BAB II
PENGATURAN DAN BENTUK PERJANJIAN KERJASAMA JAMINAN PEMELIHARAAN KESEHATAN ANTARA PT JAMSOSTEK (PERSERO)
DENGAN KLINIK KESEHATAN SWASTA DI KOTA BINJAI
A. Perjanjian Pada Umumnya
1. Pengertian Perjanjian
Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada pihak lain
atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Melalui
perjanjian terciptalah perikatan atau hubungan hukum yang menimbulkan hak dan
kewajiban bagi masing-masing pihak yang membuat perjanjian.
Secara yuridis pengertian perjanjian terdapat pada Pasal 1313 KUHPerdata
yang berbunyi “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau
lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lainnya atau lebih”.36 Dilihat dari
bentuknya perjanjian itu dapat berupa suatu perikatan yang mengandung janji-janji
atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis37
Para sarjana hukum perdata pada umumnya berpendapat bahwa definisi
perjanjian yang terdapat dalam ketentuan di atas tidak lengkap dan terlalu luas.
Dikatakan tidak lengkap karena yang dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian
sepihak saja. Definisi tersebut dikatakan juga terlalu luas karena dapat mencakup
perbuatan di dalam lapangan hukum keluarga, seperti janji kawin yang juga
merupakan perjanjian, tetapi sifatnya berbeda dengan perjanjian yang diatur dalam
KUHPerdata Buku III. Perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata Buku III
kriterianya dapat dinilai secara materiil, dengan kata lain dinilai dengan uang.38
Abdulkadir Muhammad mengemukakan bahwa definisi perjanjian dalam
Pasal 1313 KUHPerdata tersebut masih terdapat beberapa kelemahan, yakni :39
a. Hanya menyangkut sepihak saja
Hal ini dapat diketahui dari perumusan : “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”. Kata “mengikat” sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak. Seharusnya perumusan itu ”saling mengikatkan diri” sehingga terdapat konsensus antara para pihak.
b. Kata perbuatan mencakup juga tanpakonsensus
Dalam pengertian perbuatan mencakup juga tindakan melaksanakan tugas/pekerjaan orang lain tanpa kuasa (zaakwaarneming). Perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad) yang tidak mengandung suatu
konsensusseharusnya dipakai kata persetujuan c. Pengertian perjanjian terlalu luas
Pengertian perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPerdata terlalu luas karena mencakup juga pelangsungan perkawinan, janji kawin yang diatur dalam lapangan hukum keluarga. Padahal yang dimaksudkan adalah hubungan antara debitur dengan kreditur dalam lapangan harta kekayaan saja.
d. Dalam rumusan pasal tersebut tidak disebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga para pihak mengikat dirinya tidak jelas untuk apa.
Istilah perjanjian sebenarnya merupakan terjemahan dari bahasa Belanda yaitu
overeenkomst dan dalam kepustakaan ilmu hukum di Indonesia sendiri ada berbagai
macam pendapat di kalangan para sarjana. “Sebagian para sarjana hukum
menterjemahkan sebagai kontrak dan sebagian lainnya menterjemahkan sebagai
perjanjian.”40
38 Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung : PT.Citra Aditya Bakti, 2001). Hal. 65
39
J. Satrio,Hukum Perjanjian, (Bandung : PT. Citra Aditya Bhakti, 1992) hal. 23-24
Karena rumusan perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPerdata banyak
mengandung kelemahan maka muncullah doktrin yang mencoba melengkapi
pengertian perjanjian tersebut. “Menurut pendapat para ahli hukum, perjanjian adalah
suatu perbuatan hukum (rechtshandeling) yang berdasarkan kata sepakat dapat
menimbulkan suatu akibat hukum.”41
Menurut Subekti, ”suatu perjanjian merupakan suatu peristiwa dimana
seseorang berjanji kepada orang lain, atau dimana dua orang saling berjanji untuk
melaksanakan sesuatu hal.”42
Dalam perkembangannya pengertian perjanjian tersebut mengalami perubahan
sebagaimana dikemukakan oleh J.Van Dunne, menyebutkan ”perjanjian ditafsirkan
sebagai suatu hubungan hukum penawaran dari satu pihak dan perbuatan hukum
penerimaan dari pihak lain.”43
Perjanjian dinamakan juga persetujuan atau kontrak karena menyangkut kedua
belah pihak yang setuju atau sepakat untuk melakukan sesuatu.
2. Unsur-Unsur Perjanjian
Unsur-unsur yang tercantum dalam hukum perjanjian dapat dikategorikan
sebagai berikut:44
a. Adanya kaidah hukum
Kaidah dalam hukum perjanjian dapat terbagi menjadi dua macam, yakni
tertulis dan tidak tertulis. Kaidah hukum perjanjian tertulis adalah
kaidah-kaidah hukum yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan, traktat,
41Purwahid Patrik,Op. Cit,hal. 45 42
Subekti,Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta : PT. Intermasa, 2001), hal. 36 43
Purwahid Patrik,Op. cit, hal. 45
dan yurisprudensi. Sedangkan kaidah hukum perjanjian tidak tertulis adalah
kaidah-kaidah hukum yang timbul, tumbuh, dan hidup dalam masyarakat,
seperti: jual beli lepas, jual beli tahunan, dan lain sebagainya. Konsep-konsep
hukum ini berasal dari hukum adat.
b. Subyek hukum
Istilah lain dari subjek hukum adalah rechtperson. Rechtperson diartikan
sebagai pendukung hak dan kewajiban. Subjek hukum dalam perjanjian
kerjasama ini adalah badan penyelenggara selaku pemberi kerja yaitu
PT.Jamsostek dan pelaksana pelayanan kesehatan selaku penerima kerja yaitu
klinik kesehatan.
c. Adanya prestasi
Prestasi merupakan kewajiban yang harus dipenuhi para pihak dalam suatu
kontrak. Pada umumnya suatu prestasi sebagaimana diatur dalam Pasal 1234
KUHPerdata terdiri dari beberapa hal yaitu memberikan sesuatu; berbuat
sesuatu; dan tidak berbuat sesuatu.
d. Kata sepakat
Dalam Pasal 1320 KUHPer ditentukan empat syarat sahnya perjanjian,
dimana salah satunya adalah kata sepakat (konsensus). Kesepakatan
merupakan unsur mutlak terjadinya perjnjian kerjasama. Kesepakatan dapat
penawaran dan penerimaan atas penawaran tersebut.45 Sehingga dapat
dikatakan bahwa kesepakatan ialah persesuaian pernyataan kehendak antara
para pihak.
e. Akibat hukum
Setiap Perjanjian yang dibuat oleh para pihak akan menimbulkan akibat
hukum. Akibat hukum adalah timbulnya hak dan kewajiban. Pasal 1338 ayat
(1) KUHPerdata menegaskan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya
3. Risiko dalam Perjanjian
Dalam teori hukum dikenal suatu ajaran yang disebut dengan resicoleer
(ajaran tentang risiko), yang berarti seseorang berkewajiban untuk memikul kerugian
jika ada sesuatu kejadian di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa benda
yang menjadi objek perjanjian. Ajaran ini timbul apabila terdapat keadaan memaksa
(overmach).
Pengertian risiko selalu berhubungan dengan adanya overmacht, sehingga
seharusnya ada kejelasan tentang kedudukan para pihak, yaitu pihak yang harus
bertanggung gugat dan pihak yang harus menanggung risiko atas kejadian-kejadian
dalam keadaan memaksa.
Menurut R. Subekti, yang dimaksud dengan risiko adalah ”kewajiban
memikul kerugian yang disebabkan karena suatu kejadian di luar kesalahan salah satu
pihak.”46 Sedangkan menurut Sri Redjeki Hartono, ”risiko juga merupakan suatu
ketidak pastian di masa yang akan datang tentang kerugian.”47
Risiko dalam perjanjian sepihak diatur dalam Pasal 1237 ayat (1) KUH
Perdata yang menentukan bahwa risiko dalam perjanian sepihak ditanggung oleh
kreditur. Sedangkan risiko pada perjanjian timbal balik diatur dalam Pasal 1545
KUHPerdata, bahwa jika suatu barang tertentu yang telah dijanjika untuk ditukar
musnah di luar salah pemiliknya, maka persetujuan dianggap gugur, dan siapa yang
dari pihaknya telah memenuhi persetujuan, dapat menuntut kembali barangnya yang
telah ia berikan dalam tukar menukar.
4. Perjanjian Baku
a. Latar belakang lahirnya perjanjian baku
Perjanjian baku merupakan suatu bentuk perjanjian yang berisikan hak dan
kewajiban kedua belah pihak yang diwujudkan dalam bentuk tulisan yang sudah
dibakukan. Salah satu pihak dalam perjanjian itu, yaitu pihak yang secara ekonomis
kuat, biasanya menetapkan syarat-syarat baku secara sepihak. “Perjanjian baku itu
46
R. Subekti,Aspek-aspek Hukum Perikatan Nasional, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1988), hal. 59
pada prinsipnya ditetapkan sepihak tanpa lebih dahulu merundingkannya dengan
pihak yang lainnya.”48
Perjanjian baku telah dikenal dalam masyarakat dan sangat berperan terutama
dalam dunia usaha. Istilah perjanjian baku dalam bahasa Belanda dikenal dengan
standard voor vaardeen, dalam hukum Inggris di kenal dengan standart contrac.
“Standar kontrak merupakan perjanjian yang telah ditentukan dan telah dituangkan
dalam bentuk formulir, kontrak ini ditentukan secara sepihak oleh salah satu pihak,
terutama pihak ekonomi kuat terhadap pihak ekonomi lemah.”49
Sedangkan pendapat Mariam Darus menterjemahkan standar kontrak dengan
“istilah perjanjian baku, baku berarti patokan, ukuran, acuan. Jika bahasa hukum
dibakukan, berarti bahwa hukum itu ditentukan ukurannya, patokannya, standarnya,
sehingga memiliki arti tetap yang dapat menjadi pegangan umum.”50
Sebagaimana halnya dalam pemakaian istilah yang tidak seragam tersebut
diatas, dijumpai pula adanya beberapa pengertian mengenai perjanjian baku. Menurut
Houdius sebagaimana dikutip oleh Mariam Darus Badrulzaman merumuskan
mengenai perjanjian baku adalah “konsep perjanjian tertulis yang disusun tanpa
membicarakan isinya dan lazimnya dituangkan dalam sejumlah perjanjian tidak
terbatas yang sifatnya tertentu”51
48
Ari Purwadi,Hukum dan Pembangunan, (Majalah Hukum, No 1 Tahun XXV, 1995), hal. 58 49
Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak di Luar KUH Perdata, (Jakarta : PT.Raja Grafindo Perkasa, 2006), hal.145
50Mariam Darus Badrulzaman,Perjanjian Baku (Standard), Perkembangannya di Indonesia,(Bandung: Alumni, 1994), hal. 46
51Mariam Darus Badrulzaman ,
Az. Nasution dalam bukunya konsumen dan hukum merumuskan “perjanjian
dengan syarat-syarat baku adalah konsep tertulis yang dimuat dalam beberapa
perjanjian yang masih akan dibuat yang jumlahnya tidak tertentu tanpa terlebih
dahulu membicarakannya.”52
Kontrak atau perjanjian standar adalah kontrak yang telah dibuat dalam
bentuk baku (standard form) atau dicetak dalam jumlah blangko yang banyak untuk
beberapa bagian yang menjadi objek transaksi, seperti besarnya nilai transaksi, jenis
dan jumlah barang yang ditransaksikan dan sebagainya, sehingga dengan kontrak
standard ini lembaga pembiayaan yang mengeluarkannya tidak membuka kesempatan
kepada pihak lain untuk melaksanakan negosiasi mengenai apa yang akan disepakati
dalam kontrak.
Latar belakang tumbuhnya perjanjian baku karena keadaan sosial ekonomi.
Untuk menjaga kepentingan perusahaan besar dan perusahaan pemerintah dalam
mengadakan kerjasama, biasanya mereka menentukan syarat-syarat secara sepihak.
Pihak lawannya pada umumnya mempunyai kedudukan yang lemah baik karena
posisinya maupun karena ketidaktahuannya, mereka hanya menerima apa yang
disodorkan dan menyetujuinya, maka kemungkinan untuk mengadakan perubahan
itu sama sekali tidak ada.
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa perjanjian baku memang
lahir dari kebutuhan masyarakat itu sendiri, karena dunia bisnis tidak dapat berlangsung
tanpa perjanjian baku. Perjanjian baku dibutuhkan dan karena itu diterima oleh
masyarakat, yang masih perlu dipersoalkan apakah perjanjian itu tidak bersifat sangat
berat sebelah dan tidak mengandung klausul yang secara tidak wajar sangat
memberatkan bagi pihak lainnya, sehingga perjanjian itu merupakan perjanjian yang
tidak adil. Yang dimaksud berat sebelah di sini ialah bahwa perjanjian itu hanya
mencantumkan hak-hak salah satu pihak saja (yaitu pihak yang mempersiapkan
perjanjian baku tersebut), tanpa mencantumkan apa yang menjadi
kewajiban-kewajiban pihaknya dan sebaliknya hanya menyebutkan kewajiban-kewajiban-kewajiban-kewajiban pihak
lainnya.
b. Jenis-Jenis Perjanjian Baku
Menurut Mariam Darus Badrulzaman perjanjian baku dapat dibedakan
menjadi empat jenis, yaitu sebagai berikut:
1) Perjanjian baku sepihak adalah kontrak yang ditentukan oleh pihak yang kuat kedudukannya dalam perjanjian, contohnya adalah butir butir perjanjian pemasangan air minum, dimana pihak yang kuat disini biasanya kredibitur yang secara ekonomi kekuatan yang lebih dan debitur.
2) Perjanjian baku timbal balik adalah perjanjian baku yang isinya ditentukan oleh kedua belah pihak, misalnya perjanjian baku yang pihaknya terdiri dari majikan dan pihak yang lainnya buruh. Dimana biasanya kedua belah pihak lazimnya terkait dalam perjanjian organisasi serikat buruh, misalnya perjanjian buruh kolektif untuk menjaga sengketa sengketa antara majikan dan karyawan.
3) Perjanjian baku yang ditetapkan oleh Pemerintah, ialah perjanjian baku yang isinya telah ditentukan oleh Pemerintah terhadap perbuatan hukum tertentu saja, misalnya tentang perjanjian yang mempunyai hak hak atas tanah. Dalam bidang agraria dengan formulir formulir perjanjian sebagaimana diatur dalam SK Menteri Dalam Negeri Tanggal 6 Agustus 1977 No : 104/Dja/l977 berupa antara lain Akta Jual Beli, Model 1156727, Akta Hipotik Model 1045055 dan sebagainya.
permintaan dan anggota masyarakat yang minta bantuan Notanis atau 30 Advokad yang bersangkutan.53
c. Ciri-Ciri Perjanjian Baku
Klausula yang sering muncul dalam perjanjian baku adalah klausula eksonerasi
sebagai klausula tambahan atas unsur esensial dari suatu perjanjian. klausulaeksonerasi
adalah syarat yang berisi pembebasan atau pembatasan tanggung jawab secara tidak
langsung yaitu dengan memperluas alasan-alasan keadaan memaksa.
Klausula tersebut merupakan klausula yang sangat merugikan pihak yang
memiliki posisi lemah jika dibandingkan dengan pihak lawannya karena beban yang
seharusnya dipikul oleh pihak yang kuat, dengan adanya klausula tersebut menjadi beban
pihak yang lemah.
Mengenai klausula eksenorasi ini menurut Rijken dalam Mariam Darus
Badrulzaman, adalah klausula yang dicantumkan di dalam suatu perjanjian dengan
mana pihak yang satu menghindarkan diri untuk memenuhi kewajibannya dengan
membayar ganti rugi seluruhnya atau terbatas, yang terjadi karena ingkar janji atau
perbuatan melawan hukum.54
Klausula eksenorasi ini dapat terjadi atas kehendak satu pihak yang
dituangkan dalam perjanjian secara individual atau secara massal. Bentuk yang
bersifat massal ini telah dipersiapkan terlebih dahulu dan diperbanyak dalam bentuk
formulir.
53Mariam Darus Badrulzaman,Perjanjian Baku (Standard), Perkembangannya di Indonesia, Op. Cit, hal. 49
Menurut Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, “perjanjian baku dengan klausula
eksonerasi yang meniadakan atau membatasi kewajiban salah satu pihak (kreditur)
untuk membayar ganti kerugian kepada debitur, memiliki ciri sebagai berikut :”55
1) isinya ditetapkan secara sepihak oleh kreditur yang posisinya relatif kuat daripada debitur;
2) debitur sama sekali tidak ikut menentukan isi perjanjian itu;
3) terdorong oleh kebutuhannya, debitur terpaksa menerima perjanjian tersebut; 4) bentuknya tertulis;
5) dipersiapkan terlebih dahulu secara massal atau individual.
Perjanjian dengan syarat-syarat baku ini umumnya dapat dibedakan dalam 2
(dua) bentuk :56
1) Dalam bentuk perjanjian
Dalam bentuk perjanjian artinya suatu perjanjian yang konsepnya telah
dipersiapkan terlebih dahulu oleh salah satu pihak, biasanya penjual dan atau
produsen, perjanjian ini disamping memuat aturan-aturan umumnya biasa
tercantum dalam suatu perjanjian, memuat pula persyaratan khusus baik
berkenaan dengan pelaksanaan perjanjian, menyangkut hal hal tertentu dan /
atau berakhirnya perjanjian itu.
2) Dalam bentuk persyaratan.
Perjanjian dapat pula dalam bentuk persyaratan, yaitu syarat-syarat khusus
yang termuat dalam berbagai kwitansi, tanda penerimaan atau tanda
penjualan, kartu kartu tertentu pada papan-papan pengumuman yang
55 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo,
Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2005), hal. 117
diletakkan diruang penerimaan tamu atau di lapangan atau secarik kertas
tertentu yang termuat dalam kemasan atau wadah produk bersangkutan.
Buku III KUHPerdata selain mengatur mengenai perikatan yang timbul
dari perjanjian, juga mengatur perikatan yang timbul dari Undang-undang.
Dalam KUHPerdata terdapat aturan umum yang berlaku untuk semua
perjanjian dan aturan khusus yang berlaku hanya untuk perjanjian tertentu saja
yang namanya sudah diberikan Undang-undang.
Keberadaan suatu perjanjian baku juga tidak terlepas dari terpenuhinya
syarat-syarat mengenai sahnya suatu perjanjian/kontrak seperti yang
tercantum dalam Pasal 1320 KUH Perdata, antara lain sebagai berikut:
1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
3) Suatu hal tertentu
4) Suatu sebab yang halal
5. Asas Kebebasan Berkontrak dalam Kaitannya dengan Perjanjian Baku.
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa secara yuridis perjanjian
memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan
perjanjian yang berisi apa saja asalkan tidak melanggar undang-undang, ketertiban
umum dan kesusilaan.57 Hal ini berarti bahwa pihak yang mengadakan perjanjian
diperbolehkan membuat ketentuan-ketentuan sendiri yang menyimpang dari
pasal hukum perjanjian dan mereka diperbolehkan mengatur sendiri kepentingan
mereka dalam perjanjian yang mereka adakan.58
Dalam setiap perjanjian selalu diasumsikan bahwa kedudukan kedua belah
pihak membuat perjanjian adalah sama, baik dalam hal kekuatan maupun
pengetahuan para pihak tentang isi perjanjian, akan tetapi dalam kenyataannya tidak
selalu demikian. Sering terjadi dalam pembuatan suatu perjanjian salah satu pihak
memiliki kedudukan atau posisi yang jauh lebih kuat dibandingkan pihak yang lain.
Hal ini menyebabkan pihak yang lemah hanya memiliki dua pilihan,yaitu menerima
begitu saja syarat atau ketentuan-ketentuan yang diajukan oleh pihak yang lebih kuat
kedudukannya atau menolaknya.
Suatu asas penting berkaitan dengan berlakunya kontrak adalah asas
kebebasan berkontrak. Dengan adanya asas ini, para pihak bebas mengadakan
perjanjian apa saja meskipun belum diatur dalam KUH Perdata. Namun kebebasan itu
tidak bersifat mutlak melainkan adanya batasannya seperti yang diatur dalam pasal
1337 KUH Perdata, yaitu tidak bertentangan atau dilarang oleh Undang-Undang,
tidak bertentangan dengan kesulilaan dan kepentingan umum.
Asas kebebasan berkontrak ini mengandung makna bahwa masyarakat
memiliki kebebasan untuk membuat perjanjian sesuai dengan kehendak atau
kepentingan mereka. Kebebasan yang dimaksud meliputi:
a. kebebasan tiap orang untuk memutuskan apakah ia akan membuat perjanjian atau tidak membuat perjanjian;
b. kebebasan tiap orang untuk memilih dengan siapa ia akan membuat suatu perjanjian;
c. kebebasan para pihak untuk menentukan bentuk perjanjian; d. kebebasan para pihak untuk menentukan isi perjanjian;
e. kebebasan para pihak untuk menentukan cara pembuatan perjanjian.59
Apabila dikaji bahwa kebebasan berkontrak yang dimaksudkan dalam Pasal
1338 KUHPerdata menyiratkan adanya beberapa asas yang berkaitan dengan
kebebasan berkontrak dalam perjanjian :
a. Mengenai terjadinya perjanjian
Menurut Rutten yang dikutip Purwahid Patrik dalam bukunya
mengatakan bahwa “perjanjian yang dibuat itu pada umumnya bukan secara
formil tetapi konsensual, artinya perjanjian itu selesai karena sesuai dengan
kehendak atau konsensus semata-mata.”60
Asas konsensualisme artinya bahwa perjanjian hanya terjadi apabila telah
adanya persetujuan kehendak antara para pihak. Asas ini berkaitan dengan
saat lahirnya suatu perjanjian.
b. Tentang akibat perjanjian
Bahwa perjanjian mempunyai kekuatan mengikat antara pihak-pihak itu
sendiri. Asas ini ditegaskan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang
menegaskan bahwa ”perjanjian dibuat secara sah diantara para pihak, berlaku
sebagai undang undang bagi para pihak yang melakukan perjanjian atau
setiap perjanjian mengikat kedua belah pihak”.
Menurut Grotius, dalam buku Mariam Darus Badrulzaman, dikatakan
bahwa “Pacta sunt servanda” (janji itu mengikat). Selanjutnya ia mengatakan,
“promissorum implendorum obligation”. (kita harus memenuhi janji kita)61
Menurut asas ini apa yang telah disepakati oleh kedua belah pihak mengikat
sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Asas ini berkenaan
dengan akibat hukum dari suatu perjanjian.62
c. Tentang isi perjanjian
Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata berbunyi : Perjanjian harus dilaksanakan
dengan itikad baik. Kemudian Pasal 1339 KUHPerdata, perjanjian tidak hanya
mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga
untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan,
kebiasaan atau Undang-undang. Dengan dimasukkannya itikad baik dalam
pelaksanaan perjanjian berarti perjanjian itu ditafsirkan berdasarkan keadilan
dan kepatutan.
Menurut Pitlo, yang dikutip Purwahid Patrik dalam bukunya dikatakan
bahwa “terjadinya hubungan yang erat antara ajaran itikad baik dalam
pelaksanaan perjanjian dan teori kepercayaan pada saat perjanjian
(kesepakatan terjadi pada saat penandatanganan).”63 Selanjutnya juga
dikatakan bahwa “perjanjian itu tidak hanya ditentukan oleh para pihak dalam
61Mariam Darus Badrulzaman, KUHPerdata Buku II Hukum Perikatan dengan Penjelasannya.(Bandung : Alumni, 1993). hal 109.
62
Hardijan Rusli,Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1996), hal. 16
perumusan perjanjian tetapi juga ditentukan oleh itikad baik dan kepatutan,
jadi itikad baik dan kepatutan ikut pula menentukan isi dari perjanjian.”64
Menurut Vollmar yang dikutip Purwahid Patrik dalam bukunya
mengatakan bahwa :
Itikad baik (pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata) dan kepatutan (pasal 1339 KUHPerdata) umumnya disebutkan secara senafas dan Hoge Raad dalam putusan tanggal 11 Januari 1924 telah sependapat bahwa hakim setelah menguji dengan kepantasan dari suatu perjanjian tidak dapat dilaksanakan maka berarti perjanjian itu bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan.65
Menurut Mariam Darus Badrulzaman bahwa “di dalam perjanjian
terkandung suatu asas kekuatan mengikat, terikatnya para pihak pada
perjanjian itu tidak semata-mata terbatas pada apa yang diperjanjikan, akan
tetapi juga terhadap beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki oleh
kebiasaan dan kepatutan serta moral.”66
Selain itu isi perjanjian sepenuhnya diserahkan kepada para pihak yang
membuatnya dengan mengindahkan ketentuan Pasal 1337 KUHPerdata.
Dengan kata lain selama perjanjian baku tidak bertentangan dengan hukum
yang berlaku, kesusilaan dan ketertiban umum, maka semua isi perjanjian
akan mengikat, apabila pihak dalam perjanjian tersebut sudah
menandatanganinya.
64 Ibid 65
Ibid.
Berdasarkan prinsip “kebebasan berkontrak”, tiap-tiap perjanjian yang
dibuat secara sah adalah mengikat para pihak, mereka tidak dapat
membatalkan/mengakhirinya tanpa persetujuan kedua belah pihak.
Keberadaan asas kebebasan berkontrak dalam kaitannya dengan
perjanjian baku dilatar belakangi oleh keadaan, tuntutan serta perkembangan
dunia bisnis dewasa ini yang hampir disetiap bidangnya tidak lepas dari aspek
transaksi ataupun perjanjian.
Dalam kondisi tersebut, timbul suatu pertanyaan bahwa apakah perjanjian
baku tersebut dapat dikatakan memenuhi syarat-syarat sahnya suatu
perjanjian, atau dengan kata lain apakah perjanjian baku (standard contract)
bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak.
Dalam melihat permasalahan ini terdapat dua paham yang memandang
bahwa apakah perjanjian baku tersebut melanggar asas kebebasan berkontrak
atau tidak.67
a. Paham pertama secara mutlak memandang bahwa perjanjian baku
bukanlah suatu perjanjian
Menurut Sluijer, “perjanjian baku ini bukan perjanjian, sebab
kedudukan pengusaha di dalam perjanjian adalah seakan-akan sebagai
pembentuk undang-undang swasta. Syarat-syarat yang ditentukan
pengusaha di dalam perjanjian itu adalah undang-undang bukan
perjanjian.”68
b. Paham kedua cenderung mengemukakan pendapat bahwa perjanjian baku
dapat diterima sebagai perjanjian
Menurut Stein, “perjanjian baku dapat diterima sebagai perjanjian
berdasarkan fiksi adanya kemauan dan kepercayaan yang membangkitkan
kepercayaan bahwa para pihak mengikatkan diri pada perjanjian itu,
dengan asumsi bahwa jika dia menerima perjanjian itu, berarti dia secara
sukarela setuju pada isi perjanjian itu.”69
Setiap orang yang menandatangni perjanjian, bertanggung jawab
pada isi dan apa yang ditandatanganinya. Jika ada orang yang
membubuhkan tandatangan pada formulir baku, maka tanda tangan itu
akan membangkitkan kepercayaan bahwa yang bertandatangan
mengetahui dan menghendaki isi perjanjian yang ditandatangani
B. Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK)-Jamsostek
1. Dasar Hukum Penyelenggaraan Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK)
Keselamatan dan kesehatan kerja diatur dalam ketentuan Pasal 86 dan 87
Undang Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Setiap pekerja/buruh
mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas keselamatan dan kesehatan
68 Hasanudin Raihan,
“Seri Ketrampilan Merancang Kontrak Bisnis”, (Jakarta : Contract Drafting, 2003), hal 45
kerja yang diupayakan dalam bentuk sistem manajemen keselamatan dan kesehatan
kerja. Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 99 Undang Undang No 13 Tahun 2003 juga
mengatur mengenai kesejahteraan dimana setiap pekerja/buruh dan keluarganya
berhak untuk memperoleh Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 tahun 1992 tentang
Jaminan Sosial Tenaga Kerja menyatakan “Untuk memberikan perlindungan kepada
tenaga kerja diselenggarakan program Jaminan Sosial Tenaga Kerja yang
pengelolaannya dapat dilaksanakan dengan mekanisme asuransi”. Oleh karena itu
konsepsi dasar tentang asuransi dipergunakan sebagai dasar dalam penyelenggaraan
program Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
Secara yuridis pengertian Jamsostek secara tegas dinyatakan dalam Pasal 1
Ayat (1) Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 yaitu : ”Suatu perlindungan untuk
tenaga kerja dalam bentuk santunan berupa uang sebagai pengganti dari penghasilan
yang hilang atau berkurang dan pelayanan sebagai akibat peristiwa atau keadaan yang
dialami oleh tenaga kerja berupa kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua dan
meninggal dunia ”.70
Ditinjau dari jenis asuransi, maka Jaminan Sosial Tenaga Kerja termasuk
dalam jenis asuransi sosial yang sifatnya adalah wajib.71 Penyelenggaraan asuransi
sosial ini ditangani secara langsung oleh pemerintah dan pemberlakukannya
didasarkan pada undang-undang sehingga sifatnya wajib. Pasal 99 ayat (1) Undang
Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyatakan bahwa ”setiap
70
Sentosa Sembiring,Himpunan Undang-Undang Lengkap tentang Asuransi Jaminan Sosial Disertai Peraturan Perundang-undangan Terkait. (Bandung:Nuansa Aulia, 2006), hal. 245
pekerja/buruh dan keluarganya berhak untuk memperoleh Jaminan Sosial Tenaga
Kerja”. Pasal 99 Ayat (2) menyatakan “Jaminan Sosial Tenaga Kerja sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Kehadiran Jamsostek merupakan tuntutan dari organisasi pekerja atau serikat
buruh. Pada awal abad ke-20, banyak negara di Eropa mengalami goncangan akibat
pemogokan buruh industri.
Program Jamsostek memberikan perlindungan dasar untuk memenuhi
kebutuhan minimal bagi tenaga kerja dan keluarganya, dengan memberikan kepastian
berlangsungnya arus penerimaan penghasilan keluarga sebagai pengganti sebagian
atau seluruhnya penghasilan yang hilang. Manfaat perlindungan tersebut dapat
memberikan rasa aman kepada pekerja sehingga dapat lebih berkonsentrasi dalam
meningkatan motivasi maupun produktivitas kerja.
Salah satu bentuk Jaminan Sosial Tenaga Kerja yang di atur dalam ketentuan
pasal 16 Undang Undang Nomor 3 Tahun 1992 adalah program Jaminan
Pemeliharaan Kesehatan (JPK). Selanjutnya program JPK juga diatur dalam
peraturan pelaksananya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang
Penyelenggara Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja yaitu mulai Pasal 33 sampai
dengan Pasal 46 dan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 1995 tentang
penunjukan PT.Jamsostek (Persero) selaku Badan Penyelenggara Undang Undang
Nomor 3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja72.
Program JPK bersifat wajib bersyarat, artinya perusahaan dapat tidak
mengikut sertakan tenaga kerjanya dalam program JPK sepanjang telah memberikan
pelayanan kesehatan dengan benefit atau manfaat berupa jaminan kesehatan yang
lebih baik dibandingkan dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 3 tahun
1992. Hal ini juga disebutkan dalam Bab II Pasal 2 ayat (4) Peraturan Pemerintah
Nomor 14 tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jamsostek, bahwa
”pengusaha yang telah menyelenggarakan sendiri program pemeliharaan kesehatan
bagi tenaga kerjanya dengan manfaat lebih baik dari paket JPK-Dasar menurut
Peraturan Pemerintah ini, wajib ikut dalam Jaminan Pemeliharaan Kesehatan yang
diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara.”
Iuran (premi) dalam program JPK Jamsostek merupakan kewajiban yang
harus dibayar oleh perusahaan sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun
2012 tentang perubahan kedelapan atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993,
yaitu ditetapkan berdasarkan persentase dari upah yang dibedakan atas tenaga kerja
lajang sebesar 3 % dan tenaga kerja berkeluarga 6% dari upah yang diterima, dan
untuk upah maksimal dibatasi (ceiling) sebesar Rp. 3.080.000,-. Sebagai upah
minimal tidak disebutkan, namun karena hak normatif tenaga kerja adalah upah
minimal Regional/Propinsi, maka sebagai upah minimal ditentukan UMR/UMP yang
berlaku dan ditetapkan oleh Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
2. Manfaat dan Tujuan Penyelenggaraan Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan
PT. Jamsostek menyelenggarakan 4 (empat) program Jaminan Sosial Tenaga
a. Program Jaminan Hari Tua, diberikan dalam bentuk tabungan hari tua
b. Program Jaminan Kecelakaan Kerja, diberikan dalam bentuk ganti rugi.
c. Program Jaminan Kematian, diberikan dalam bentuk santunan kematian
d. Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK), diberikan dalam bentuk
pelayanan kesehatan73
Program JPK mempunyai jaminan (benefit) yang berbeda dengan 3 (tiga)
program Jamsostek lainnya. Jaminan (benefit) program JPK diberikan dalam bentuk
pelayanan kesehatan yang dilayani oleh Pelaksana Pelayanan Kesehatan (PPK) yang
ditunjuk oleh PT.Jamsostek berdasarkan perjanjian kerjasama dan beberapa
pelayanan lainnya seperti persalinan normal dan pemberian alat bantu diberikan
dalam bentuk batasan biaya pelayanan secara langsung.
Selanjutnya perbedaan antara program JPK dengan ketiga program Jamsostek
lainnya adalah pada kepesertaan dan sifat penyelenggaraannya. Kepesertaan ketiga
program Jamsostek (JHT, JKK dan JKM) bersifat wajib bagi seluruh perusahaan dan
tenaga kerja, sedangkan kepesertaan program JPK terdiri dari tenaga kerja beserta
keluarganya dengan jumlah anak maksimal 3 (tiga) orang berusia di bawah 21 tahun
dan belum menikah.
Bagi perusahaan yang telah menyelenggarakan sendiri program jaminan
pemeliharaan kesehatan bagi tenaga kerjanya dengan manfaat yang lebih baik
dibandingkan paket dasar JPK-Jamsostek, tidak diwajibkan lagi mengikuti program
JPK-Jamsostek.
Pemeliharaan kesehatan adalah hak normatif tenaga kerja, pemenuhannya
menjadi tanggung jawab pengusaha. JPK adalah salah satu program Jamsostek yang
membantu tenaga kerja dan keluarganya mengatasi masalah kesehatan, mulai dari
pencegahan, pemenuhan kebutuhan alat bantu peningkatan fungsi organ tubuh, dan
pengobatan secara efektif dan efisien di klinik atau rumah sakit. Setiap tenaga kerja
yang telah mengikuti program JPK akan diberikan KPK (Kartu Pemeliharaan
Kesehatan) oleh PT.Jamsostek sebagai bukti diri untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan di klinik atau rumah sait yang telah ditunjuk sebagai sarana pelaksana
pelayanan kesehatan Jamsostek.
“Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan diselenggarakan secara
terstruktur, terpadu dan berkesinambungan, bersifat menyeluruh dan meliputi
pelayanan peningkatan derajat kesehatan, pencegahan dan penyembuhan penyakit,
serta pemulihan kesehatan.”74
Pelayanan dalam program JPK dibagi menjadi 4 (empat) tingkatan pelayanan
yaitu :
a. Pelayanan rawat jalan tingkat I (pertama), yaitu merupakan semua jenis
pemeliharaan kesehatan perorangan yang dilaksanakan pada Pelaksana
Pelayanan Kesehatan (PPK) tingkat I, yang mencakup pemeriksaan dan
perawatan oleh dokter umum/gigi, pemberian obat-obatan, tindakan medis
oleh dokter umum/gigi, penunjang diagnostik sederhana, persalinan normal
pada rumah bersalin pemerintah, pelayanan imunisasi dasar, pelayanan
keluarga berencana, pelayanan konsultasi dan rujukan,
b. Pelayanan rawat jalan spesialistis di rumah sakit adalah merupakan pelayanan
rujukan rawat jalan yang mencakup pemeriksaan oleh dokter spesialis,
pemberian obat-obatan spesialistis sesuai standar obat JPK, penunjang
diagnostik lanjutan, tindakan medis oleh dokter spesialis, pelayanan gawat
darurat dan pelayanan fisioterapi,
c. Pelayanan rawat inap adalah merupakan pelayanan lanjutan rawat jalan
spesialis atau tindak lanjut pelayanan gawat darurat (emergensi) yang
mencakup mondok dan makan di kelas 3 (tiga) untuk RS Swasta dan kelas 2
(dua) untuk RS Pemerintah Pusat/Daerah, pemberian obat-obatan spesialistis
sesuai standar obat JPK, pelayanan operasi (kecil sedang dan besar),
pelayanan diruang ICU/ICCU/PICU, pelayanan persalinan dengan
komplikasi, penunjang diagnostik lanjutan (laboratorium, radiolagi,
pemeriksaan elektro medis, patologi anatomi), tindakan medis oleh dokter
spesialis, dan pelayanan fisioterapi. Lamanya jaminan pelayanan rawat inap
dibatasi sampai 60 (enam puluh) hari perkasus pertahun sudah termasuk
pelayanan di ruang ICU/ICCU/PICU selama 20 (dua puluh) hari bila
d. Pelayanan khusus yang meliputi pemberian alat bantu terdiri dari pemberian
kacamata, gigi palsu, alat bantu gerak, alat bantu dengar dan mata palsu yang
diberikan dalam bentuk plafon biaya jaminan.75
Disamping keempat tingkatan pelayanan tersebut diatas, program JPK
mempunyai batasan-batasan dalam pemberian pelayanan kesehatan, yaitu antara lain :
pembatasan pada jumlah hari rawat, pembatasan penggunaan PPK di luar jaringan
yang telah ditetapkan Badan Penyelenggara, pembatasan pemberian obat-obatan,
pembatasan pada pelayanan penyakit kanker, cuci darah (hemodialisa), operasi
jantung dan pembatasan pada pelayanan cacat bawaan76.
Sesuai dengan bunyi konsideran yang terdapat pada Undang-Undang Nomor
3 Tahun 1992 Tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja, maka dapat diketahui bahwa
tujuan penyelenggaraaan program JPK adalah untuk memberikan perlindungan dalam
rangka meningkatkan kesejahteraan bagi tenaga kerja dan keluarganya serta
meningkatkan produktifitas baik kualitas maupun kuantitasnya.
Menurut Emmy Pangaribuan penyelenggaraan program Jamsostek diharapkan
akan terwujudnya :77
a. Bantuan kepada tenaga kerja dalam memenuhi kebutuhan umum selama
bekerja dan di hari tua bersama keluarganya
b. Memberikan ketenangan bekerja pada tenaga kerja pada usia produktif dan
dengan demikian perusahaan dimana tempat mereka bekerja dapat
memperoleh hasil yang baik dari tenaga kerja tersebut.
75
Lihat Pasal 16 Nonor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja
76Buku Petunjuk Pelaksanaan Pelayanan Kesehatan Bagi Peserta, Jamsostek, hal. 22
C. Pengaturan Perjanjian Kerjasama Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK)-Jamsostek
1. Penunjukan Klinik Kesehatan Sebagai Pelaksana Pelayanan Kesehatan (PPK) Rawat Jalan Tingkat Pertama Bagi Peserta JPK-Jamsostek
PT. Jamsostek (Persero) selaku Badan Penyelenggara dalam memberikan
pelayanan kesehatan bagi peserta JPK-Jamsostek tidak dapat melaksanakannya
sendiri, tetapi harus melalui kerjasama dengan Pelaksana Pelayanan Kesehatan
(PPK), baik tingkat pertama maupun tingkat lanjutan. Adapun penunjukkan PPK
tersebut didasarkan pada negosiasi yang kemudian diikat dalam suatu ikatan
kerjasama yang dibuat secara tertulis.
Hal ini sesuai dengan ketentuan yang terdapat pada Pasal 37 Peraturan
Pemerintah No 14 Tahun 1993 Tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial
Tenaga Kerja, “Pelaksanaan pemberian pelayanan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 35 ayat (1), dilakukan oleh Pelaksana Pelayanan Kesehatan (PPK) berdasarkan
perjanjian secara tertulis dengan Badan Penyelenggara”.
Pilihan terhadap PPK ditentukan berdasarkan lokasi yang mendekati kawasan
industri/perumahan kelengkapan fasilitas yang dimiliki oleh PPK, kemudahan sarana
transportasi pencapaian ke PPK serta kemampuan daya beli program JPK
berdasarkan iuran yang diterima pada masing-masing kantor cabang.78
Ikatan kerjasama dengan PPK yang dilakukan oleh kantor cabang
PT.Jamsostek masing-masing diketahui oleh kantor wilayah sebagai pembina kantor
cabang di wilayah kerjanya. Ikatan kerjasama tersebut mencakup fasilitas yang
dimiliki oleh masing-masing PPK, hak dan kewajiban masing-masing pihak dengan
masa kontrak minimal 1 (satu) tahun dan maksimal 5 (lima) tahun yang dapat
diperpanjang ataupun dihentikan pelayanannya berdasarkan analisa dan evaluasi
pelaksanaan pelayanan yang diberikan oleh PPK tersebut.
Berdasarkan ketentuan Pasal 22 Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Republik Indonesia Nomor : Per-12/Men/VI/2007 tentang Petunjuk
Teknis Pendaftaran Kepesertaan, Pembayaran Iuran, Pembayaran Santunan dan
Pelayanan Jaminan Sosial Tenaga Kerja menyebutkan bahwa jenis PPK tingkat I
(pertama) yang ditunjuk oleh PT Jamsostek yaitu berupa Puskesmas, balai
pengobatan atau klinik kesehatan swasta, sedangkan untuk PPK tingkat II (Kedua)
yaitu berupa Rumah Sakit Umum Pemerintah Pusat/Daerah/Swasta. Demikian pula
apotik atau optikal yang digunakan terdiri dari milik Pemerintah/Swasta.
Untuk menunjang keseragaman dalam pelaksanaan pembuatan perjanjian
kerjasama dan sekaligus sebagai pedoman dalam pembuatan perjanjian kerjasama,
maka PT Jamsostek membuat suatu buku petunjuk pelaksanaan pelayanan kesehatan
bagi pelaksana pelayanan kesehatan yang didasarkan pada UU No 3 Tahun 1992.
2. Pola Pembiayaan Pelayanan Kesehatan Kepada Klinik Kesehatan
Dalam Pasal 37 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 Tentang
atau pembiayaan kepada klinik atas pelayanan kesehatan yang diberikan oleh
PT.Jamsostek dilakukan dengan sistem kapitasi.
Sistem kapitasi adalah merupakan suatu sistem pembiayaan kesehatan yang
dilaksanakan dimuka berdasarkan jumlah kapita (jiwa) yang terdaftar sebagai
peserta-JPK. Pembiayaan dengan sistem kapitasi tidak digantungkan kepada kondisi pasien
peserta Jamsostek, sakit ataupun tidak sakit pembiayaan wajib diberikan.
Pembiayaan secara kapitasi umumnya dilakukan Badan Penyelenggara
(PT.Jamsostek) kepada PPK tingkat pertama, dalam hal ini klinik kesehatan yang
telah ditunjuk sebagai Health Provider PT.Jamsostek Binjai sesuai dengan jumlah
peserta (tertanggung) yang terdaftar di klinik kesehatan tersebut.
Sesungguhnya konsep kapitasi yang dibayarkan di depan sebelum pelayanan
diberikan (prepaid)ternyata banyak memberikan dampak positif oleh karena memang
memberikan harapan yang cukup bermakna, baik dari aspek penyederhanaan
administrasi, efisiensi dana yang tersedia serta berkembangnya orientasi pelayanan ke
arah upaya-upaya pencegahan(preventif)atau promosi(promotif)79
Keuntungan pembiayaan klinik dengan sistem pembayaran dimuka (prepaid),
dimungkinkan adanya suatu perencanaan yang lebih baik, sehingga memungkinkan
tersedianya obat dan alat-alat kesehatan tepat pada waktunya. Mendorong
pengumpulan data (untuk perencanaan) yang lebih baik dan akurat.
Pembiayaan dengan sistem kapitasi juga akan mengubah hubungan pasien
dengan dokter secara lebih bertanggung jawab, dalam arti seluruh tindakan medis
yang dilakukan akan didasari pada pertimbangan medis yang tepat, penggunaaan
teknologi, tindakan medis, obat-obatan akan lebih rasional. Lebih jauh juga akan
mengubah orientasi pelayanan kearah pencegahan, oleh karena dokter yang
memegang peranan penting dan menentukan dalam pelayanan kesehatan akan
menerima beban yang berat, apabila banyak peserta yang sakit (baik dari segi
keuangan / fisik). Dengan kata lain Pelaksana Pelayanan Kesehatan (PPK) akan ikut
memikul resiko sakit peserta, termasuk dari segi keuangan.80
Hal ini sudah tentu akan mendorong upaya-upaya pencegahan, disamping itu
juga akan mengubah orientasi pelayanan yang lebih mengutamakan penyembuhan.
Dengan orientasi pelayanan yang bersifatpromotif dan preventif, diharapkan mampu
menekan angka kesakitan, sehingga dengan sendirinya pengguna jasa pelayanan
kesehatan akan lebih produktif baik secara sosial maupun ekonomi.
3. Hubungan Peserta JPK-Jamsostek Dengan Para Pihak Dalam Perjanjian Kerjasama JPK
Pengelolaan program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) melibatkan 3
(tiga) pihak yaitu PT.Jamsostek selaku Badan Penyelenggara, klinik kesehatan
sebagai Pelaksana Pelayanan Kesehatan (PPK) dan peserta JPK-Jamsostek selaku
penerima pelayanan kesehatan. Dalam menggunakan program JPK, peserta
Jamsostek tidak berhubungan langsung dengan PT. Jamsostek melainkan dengan
klinik kesehatan. Secara sederhana hubungan para pihak dalam pengelolaan program
JPK-Jamsostek dapat dilihat dalam bagan berikut ini :
SKEMA
Hubungan Para Pihak Dalam Penyelenggaraan Program JPK-Jamostek
Sumber : Buku petunjuk pelaksanaan pelayanan kesehatan bagi pelaksana pelayanan kesehatan tahun 2010
Sebelum PT.Jamsostek melakukan perjanjian kerjasama dengan pihak klinik
kesehatan, PT.Jamsostek telah bekerjasama dengan perusahaan yang melahirkan hak
dan kewajiban bagi kedua belah pihak. Berdasarkan skema tersebut di atas dapat
diketahui bahwa hubungan yang terjadi antara PT.Jamsostek dengan Perusahaan yaitu
pihak perusahaan mendaftarkan tenaga kerja beserta keluarganya (peserta) kepada
PT.Jamsostek dengan membayar premi sesuai dengan prosentase kali upah untuk
mengikuti program JPK. Atas pembayaran premi tersebut, maka PT.Jamsostek
sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang undangan,
sekaligus sebagai hak dari peserta Jamsostek (tertanggung).
Selanjutnya dalam penyelenggaraan program jaminan pemeliharaan kesehatan
bagi peserta (tenaga kerja beserta keluarganya) PT. Jamsostek menjalin kerjasama
dengan klinik kesehatan sebagai sarana pelayanan kesehatan rawat jalan tingkat
pertama berdasrkan ketentuan Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993
tentang Penyelenggaraan Program Jamsostek yang tentunya melahirkan juga hak dan
kewajiban bagi para pihak.
Terhadap hak dan kewajiban pihak PT.Jamsostek dan pihak klinik kesehatan
dalam perjanjian kerjasama jaminan pemeliharaan kesehatan tersebut juga
digantungkan hak dan kewajiban peserta jamsostek.
Pihak klinik dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada peserta
Jamsostek melibatkan pihak tenaga medis/dokter. Hubungan yang terjadi antara
peserta-JPK dengan klinik adalah hubungan antara pasien peserta JPK-Jamsostek
sebagai subjek hukum yaitu konsumen jasa pelayanan kesehatan dan klinik sebagai
subjek hukum yaitu produsen jasa pelayanan kesehatan, sehingga antara klinik
dengan pasien peserta JPk-Jamsostek terdapat aturan-aturan atau kaidah-kaidah
hukum perdata dan memenuhi hubungan tentang pengaturan hak dan kewajiban para
pihak.81 Hubungan hukum antara pasien dengan klinik tersebut juga tidak dapat
dipisahkan dengan hubungan hukum yang terjadi antara klinik dengan tenaga
medis/dokter ataupun hubungan pasien dengan dokter yang melahirkan hak dan
kewajiban pagi dokter dan pasien, dan tentunya berkaitan dengan tanggung jawab
pihak klinik kesehatan.
Dalam melaksanakan fungsinya, klinik memberikan pelayanan kesehatan
kepada peserta JPK-Jamsostek sesuai dengan standar pelayanan kesehatan yang
terdapat dalam perjanjian kerjasama yang telah disepakatinya.
Dokter/tenaga kesehatan merupakan pekerja profesional di klinik yang telah
mempunyai surat ijin praktek yang dikeluarkan oleh Dinas Kesehatan. Setiap tenaga
kesehatan yang bekerja di klinik harus bekerja sesuai dengan standar profesi, standar
prosedur operasional, standar pelayanan, etika profesi, menghormati hak pasien,
mengutamakan kepentingan dan keselamatan pasien.82
Hubungan hukum antara pasien peserta JPK-Jamsostek dengan dokter / tenaga
kesehatan/klinik selalu menimbulkan hak dan kewajiban yang bertimbal balik, hak
dokter merupakan kewajiban pasien dan hak pasien menjadi kewajiban dokter /
tenaga kesehatan/klinik, dengan adanya kesepahaman ini maka akan menimbulkan
kedudukan yang sederajat diantara para pihak.83
Hubungan hukum yang terjadi antara pasien peserta JPK-Jamsostek dengan
dokter/tenaga kesehatan/klinik adalah hubungan hukum yang didasarkan atas
perjanjian terapeutik, yaitu suatu perjanjian menyangkut pelayanan medis yang
terjadi antara dokter/tenaga kesehatan dengan pasien. (dalam hal ini peserta
JPK-Jamsostek).
82Lihat Pasal 19 Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 028/MENKES/PER/I/2011 Tentang Klinik
Mukadimah Kode Etik Kedokteran Indonesia yang dilampirkan dalam
Keputusan Menteri Kesehatan RI, No 434/Men.Kes/X/1983 tentang Berlakunya
Kode Etik Kedokteran Indonesia Bagi para Dokter di Indonesia, dinyatakan bahwa
yang dimaksud dengan transaksi terapeutik adalah hubungan antara dokter dan
penderita yang dilakukan dalam suasana saling percaya (konfidensial), serta
senantiasa diliputi oleh segala emosi, harapan dan kekhawatiran makhluk insani.
Perjanjianterapeutik juga disebut dengan kontrakterapeutikyang merupakan
kontrak yang dikenal dalam bidang pelayanan kesehatan.84 Dalam hal ini Salim
mengutip pendapat Fred Ameln yang mengartikan kontrak atau perjanjian terapeutik
dengan “kontrak dimana pihak dokter berupaya maksimal menyembuhkan pasien
(inspaningsverbintenis) jarang merupakan kontrak yang sudah pasti
(resultastsverbintenis).85
Perjanjian terapeutik tersebut disamakan dengan kontrak yang belum pasti
karena dalam kontrak ini dokter hanya berusaha untuk menyembuhkan pasien dan
upaya yang dilakukan belum tentu berhasil. Harmien Hadiati Koswadji
mengemukakan bahwa hubungan dokter dan pasien dalam transaksi teurapeutik
(perjanjian medis) bertumpu pada dua macam hak asasi yang merupakan hak dasar
manusia, yaitu :
a. Hak untuk menentukan nasib sendiri (the right to self-determinations)
b. Hak atas dasar informasi (the right to informations).86
Pengertian perjanjian terapeutik di atas oleh undang-undang dimaknai
berbeda, karenanya Salim HS, menyempurnakan pengertian perjanjian terapeutik,
yaitu sebagai:
“Kontrak yang dibuat antara pasien dengan tenaga kesehatan/dokter atau dokter gigi, di mana tenaga kesehatan dan atau dokter atau dokter gigi berusaha melakukan upaya maksimal untuk melakukan penyembuhan terhadap pasien sesuai dengan kesepakatan yang dibuat antara keduanya dan pasien berkewajiban membayar biaya penyembuhannya.”87
Dalam pengertiannya tersebut perjanjian terapeutik dapat ditarik beberapa
unsur, yaitu:
a. Adanya subjek perjanjian, meliputi pasien dengan tenaga kesehatan/
dokter/dokter gigi
b. Adanya objek perjanjian, yaitu upaya maksimal untuk melakukan
penyembuhan terhadap pasien
c. Kewajiban pasien, membayar biaya penyembuhan.
Dalam pelaksanaanya perjanjian teurapeutik ini harus didahului oleh adanya
persetujuan tindakan tenaga kesehatan/dokter/dokter gigi terhadap pasien yang lazim
disebutInformed consent. Istilah transaksi atau perjanjian Terapeutik memang tidak
dikenal dalam KUH Perdata, akan tetapi dalam unsur yang terkandung dalam
86 Harmien Hadiati Koeswadji, Hukum Kedokteran di Dunia Internasional, Makalah Simposium,Medical Law, Jakarta, 1993, hal. 143
87
perjanjianterapeutik juga dapat dikategorikan sebagai suatu perjanjian sebagaimana
diterangkan dalam Pasal 1319 KUH Perdata.
4. Syarat Sahnya Perjanjian Kerjasama Jaminan Pemeliharaan Kesehatan
Perjanjian kerjasama jaminan pemeliharaan kesehatan termasuk perjanjian
tidak bernama (innominaat). ”Menurut Pasal 1319 KUH Perdata, baik perjanjian
yang bernama maupun tidak bernama (semua perjanjian baik yang diatur dalam
KUHPerdata Buku III Bab V sampai Bab XVIII maupun yang terdapat di luar Buku
III KUH Perdata) tunduk pada ketentuan-ketentuan umum dari KUHPerdata Buku III
Bab I dan Bab II.”88
Perjanjian jaminan pemeliharaan kesehatan dikatakan sah apabila perjanjian
tersebut telah memenuhi syarat yang telah ditentukan oleh undang-undang sehingga
perjanjian tersebut diakui oleh hukum dan mempunyai kekuatan mengikat. Syarat
sahnya perjanjian jaminan pemeliharaan kesehatan sama dengan syarat sahnya
perjanjian yang terdapat dalam Pasal 1320 KUH Perdata, meliputi :
a. Sepakat bagi mereka yang mengikatkan dirinya
Kata sepakat berarti persesuaian kehendak, maksudnya memberikan
persetujuan atau kesepakatan. Jadi sepakat merupakan pertemuan dua kehendak
dimana kehendak pihak yang satu saling mengisi dengan apa yang dikehendaki
pihak lain dan kehendak tersebut saling bertemu.
Menurut Subekti, yang dimaksud dengan kata sepakat adalah ”persesuaian kehendak
antara dua pihak yaitu apa yang dikehendaki oleh pihak ke satu juga dikehendaki oleh
pihak lain dan kedua kehendak tersebut menghendaki sesuatu yang sama secara timbal
balik.”89.
Disyaratkan kata sepakat diatas dalam mengadakan perjanjian, maka berarti
kedua belah pihak harus memiliki kebebasan kehendak, para pihak tidak boleh
mendapat tekanan ataupun paksaan yang dapat mengakibatkan adanya cacat
dalam perwujudan kehendak tersebut.
Sehubungan dengan hal tersebut, Pasal 1321 KUHPerdata menentukan bahwa
tiada kata sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilapan atau
diperolehnya karena paksaan atau penipuan.
Pada perjanjian kerjasama pemberian pelayanan kesehatan program
JPK-Jamsostek, pihak klinik kesehatan swasta yang ingin bekerjasama dengan PT.
Jamsostek untuk melaksanakan pelayanan kesehatan kepada peserta
JPK-Jamsostek harus mengajukan surat penawaran kerjasama kepada PT.JPK-Jamsostek,
kemudian apabila klinik tersebut dinilai telah memenuhi syarat-syarat sesuai
dengan ketentuan yang berlaku dan juga adanya kebutuhan penambahan jaringan
klinik oleh PT.Jamsostek, maka pihak klinik kesehatan tersebut diminta untuk
melengkapi persyaratan administrasi. Sebelum menandatangani formulir
tersebut, pihak PT.Jamsostek memberi kesempatan kepada pihak klinik
kesehatan untuk membaca dan mempelajari terlebih dahulu isi perjanjian
tersebut90.
Jika pihak klinik kesehatan merasa terdapat hal-hal yang dianggap kurang
jelas, maka mereka dapat segera menanyakan secara langsung kepada Kepala
89Subekti,
Bunga Rampai Ilmu Hukum, (Bandung : Alumni, 1992), hal. 4.
Kantor Cabang PT.Jamsostek Binjai, tetapi apabila telah diberi kesempatan,
namun tidak dipergunakan, maka secara otomatis pihak PT. Jamsostek
beranggapan bahwa pihak klinik kesehatan sudah mengerti mengenai isi
perjanjian kerjasama tersebut.91
Berdasarkan keterangan dari Ibu Keliat, selaku Pimpinan Klinik ”Keliat”,
dikatakan bahwa sebelum menandatangani perjanjian kerjasama pelayanan
kesehatan tersebut, mereka juga telah membaca terlebih dahulu isi perjanjian
tersebut dan pada dasarnya telah mengerti mengenai hak dan kewajiban mereka
sebagaiHealth ProviderPT.Jamsostek.92
Konsekuensi dari adanya kewajiban membaca kontrak ini adalah bahwa pada
prinsipnya para pihak tidak bisa dikemudian hari mengelak untuk melaksanakan
kontrak dengan alasan bahwa dia sebenarnya tidak membaca klausula kontrak
tersebut atau terjebak dengan klausula kontrak yang bersangkutan. Jadi pada
prinsipnya yang berlaku adalah prinsip ”kontrak adalah kontrak” (contract is
contracts), ketentuan seperti ini merupakan hukum yang berlaku umum dan
berlaku dimana-mana.93
Dengan ditandatanganinya perjanjian kerjasama oleh para pihak, maka pada
prinsipnya kedua belah pihak telah mengetahui dan memahami isi serta maksud
dari perjanjian yang dibuat dan menandakan telah adanya kesepakan.
b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
91 Wawancara dengan Ibu Rosdiana Hasibuan, Kepala Bidang Pelayanan Cantor Cabang PT.Jamsostek Binjai, pada tanggal 20 Agustus 2012
92
Pada dasarnya setiap orang yang telah dewasa dan tidak terganggu
ingatannya, cakap bertindak dalam lalu lintas hukum. ”Orang dewasa yang
terganggu ingatannya, anak di bawah umur dan orang yang berada di bawah
pengampuan dianggap tidak cakap bertindak dalam lalu lintas hukum.”94
Dalam pelaksanaan penandatanganan perjanjian kerjasama JPK, PT.Jamsostek
(Persero) merupakan Badan Usaha Milik Negara selaku Badan Penyelenggara
diwakili oleh kepala Kantor Cabang PT.Jamsostek Binjai, dan merupakan orang
yang berwenang dan cakap unuk melakukan perjanjian kerjasama.
Sedangkan pihak klinik kesehatan sebagai usaha perorangan, dalam
melakukan penandatanganan perjanjian kerjasama dilakukan oleh pimpinan
kliniknya yang juga pemilik klinik berdasarkan surat ijin klinik yang dikeluarkan
oleh Dinas Kesehatan, dan oleh karena itu ia juga memiliki kewenangan untuk
menandatangani perjanjian
c. Suatu hal tertentu
Syarat yang ketiga ini ditegaskan dalam Pasal 1333 KUHPerdata
menyebutkan, bahwa dalam suatu persetujuan harus mempunyai pokok atau
objek yang harus ditentukan jenisnya.
Syarat ini menentukan bahwa obyek dari suatu perjanjian harus dapat
ditentukan. Apa yang diperjanjikan harus cukup jelas ditentukan jenisnya,
mengenai jumlahnya boleh tidak disebutkan asalkan kemudian dapat dihitung
atau ditetapkan.95
Syarat bahwa prestasi harus tertentu atau dapat ditentukan, adalah untuk
menetapkan hak dan kewajiban kedua belah pihak jika timbul perselisihan dalam
pelaksanaan perjanjian. Jika prestasi kabur atau dirasakan kurang jelas akan
menyebabkan perjanjian itu tidak dapat dilaksanakan, sehingga dianggap tidak
mempunyai obyek perjanjian, yang mengakibatkan perjanjian itu batal demi
hukum.
Mengenai suatu hal tertentu yang merupakan pokok perjanjian dalam
perjanjian kerjasama ini terdapat pada Pasal 2 ayat (1) dan (2) jo Pasal 4, yaitu
pemberian pelayanan kesehatan rawat jalan tingkat pertama bagi peserta
JPK-Jamsostek dan keluarganya, yaitu suami, istri dan anak maksimal 3 (tiga) orang
dengan ketentuan belum menikah, belum bekerja dan usia maksimal 21 tahun
d. Suatu sebab yang halal
Dalam Pasal 1320 ayat (4) jo Pasal 1337 KUH Perdata dinyatakan bahwa
suatu sebab adalah terlarang apabila dilarang oleh undang-undang atau apabila
berlawanan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.
Hukum pada asasnya tidak menghiraukan apa yang berada dalam gagasan
seseorang atau apa yang dicita-citakan seseorang, yang diperhatikan oleh hukum
atau undang-undang hanyalah tindakan orang dalam masyarakat.96
Pengertian kata sebab (oorzaak, causa) tidak lain adalah sesuatu yang
berkaitan dengan isi perjanjian itu sendiri, tidak boleh bertentangan dengan
undang-undang, norma agama, kesusilaan dan ketertiban umum.
Dalam perjanjian kerjasama pelayanan kesehatan yang dimaksudkan dengan
prestasi yang diutamakan adalah melakukan suatu perbuatan berupa pemberian
pelayanan kesehatan bagi peserta Jamsostek, baik dalam rangka pencegahan
(preventif), penyembuhan (curatif), pemulihan (rehabilitatif), maupun
peningkatan (promotif). Dengan demikian perjanjian yang terjadi dalam bidang
pelayanan kesehatan ini ádalah sah dan tidak melanggar hukum.
Syarat subjektif dari suatu perjanjian yaitu sepakat bagi mereka yang
mengikatkan diri dan kecakapan untuk membuat suatu perikatan. Kalau syarat
subjektif tidak dipenuhi, maka perjanjian itu bukannya batal demi hukum akan
tetapi dapat dimintakan pembatalan oleh salah satu pihak.
Syarat objektif yang dianut pada syarat sahnya perjanjian yaitu suatu hal
tertentu dan suatu sebab yang halal. Jika syarat ini tidak terpenuhi dalam suatu
perjanjian, maka perjanjian adalah batal demi hukum.
Dengan terpenuhinya syarat sahnya perjanjian yaitu syarat subyektif dan
syarat objektif sebagaimana diatur oleh Pasal 1320 KUHPerdata, maka perjanjian
kerjasama pelayanan kesehatan tersebut adalah sah dan mengikat sebagai
undang-undang bagi para pihak.
D. Bentuk Perjanjian Kerjasama Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Antara PT. Jamsostek dengan Klinik Kesehatan Swasta
1. Anatomi Perjanjian Kerjasama
Dalam Penelitian tesis ini dikaji 3 (tiga) dokumen perjanjian kerjasama
tentang pemberian pelayanan kesehatan melalui klinik kesehatan swasta bagi peserta
program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK)-Jamsostek, yaitu perjanjian
a. PT. Jamsostek (Persero) kantor Cabang Binjai dengan Klinik ”Sehat Sehati”
dengan Nomor PER / 17 / 122011
b. PT. Jamsostek (Persero) kantor Cabang Binjai dengan Klinik ”Keliat” Nomor
PER / 14 / 122011
c. PT. Jamsostek (Persero) kantor Cabang Binjai dengan Klinik ”Adhisma
Husada” Nomor : PER /07 / 122011
Ketiga dokumen perjanjian kerjasama tersebut di atas yang telah
ditandatangani oleh para pihak mempunyai pola atau anatomi sebagai
berikut :
a. Judul (Heading)
Judul (Heading) atau nama kontrak diberi nama sesuai dengan isi
kontrak itu sendiri haruslah singkat, jelas dan padat. Pemahaman awal
antara para pihak yang bernegosiasi sebagaimana yang dituangkan dalam
kontrak kerjasama oleh para pihak untuk melakukan kontrak kerjasama,
karena kesepakatan awal seperti yang tertuang didalam Pasal 1320 KUH
Perdata merupakan pendahuluan untuk merintis lahirnya suatu kontrak
kerjasama yang sebenarnya, yang kemudian baru diatur dan dituangkan
secara lebih rinci dalam kontrak dalam bentuk lebih formal. Salah satu
contoh judul perjanjian kerjasama JPK adalah : ”Perjanjian kerjasama
antara PT.Jamsostek (Persero) Kantor Cabang Binjai dengan klinik Sehat
Sehati tentang pemberian pelayanan kesehatan melalui klinik bagi peserta
kerjasama tersebut pada dasarnya mempunyai judul yang sama, perbedaan
hanya terletak pada nama klinik. .Setelah judul perjanjian lalu diikuti
dengan nomor perjanjian
b. Pembukaan (Opening).
Setelah judul dan nomor perjanjian kemudian diawali dengan
pembukaan yaitu berupa tanggal yang merupakan permulaan dari suatu
kontrak. Pembuatan kontrak antara PT. Jamsostek (Persero) Kantor
Cabang Binjai dengan Klinik kesehatan Sehat Sehati dimulai dengan
kata-kata atau kalimat : “Pada hari ini, Rabu tanggal dua puluh delapan
desember tahun dua ribu duabelas (28-12-2012), yang bertandatangan
dibawah ini”.
c. Komparisi/Identitas Para Pihak
Komparisi merupakan bagian kontrak yang memuat identitas para
pihak atau pembuat perjanjian, termasuk uraian yang dapat menunjukkan
bahwa yang bersangkutan mempunyai kecakapan (rechtsbekwaamheid)
serta kewenangan (rechtsbevoegheid)untuk melakukan tindakan-tindakan
hukum (rechthandelingen) sebagaimana dinyatakan dalam
kontrak/surat/akta. Salah satu contoh komparisi dalam perjanjian
kerjasama program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan adalah sebagai
(1) Umardin Lubis, SE : Kepala Kantor Cabang Binjai, bersadarkan Surat
Keputusan Direksi PT.Jamsostek (Persero) No : KEP/143/062011
tanggal 15 Juni 2011 dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama
Direksi PT.Jamsostek (Persero) berkedudukan dan berkantor di
Jl.Soekarno Hatta No.469 Binjai, selanjutnya disebut PIHAK
PERTAMA.
(2) dr. Elvi Susanti Sitepu : Pimpinan Balai Pengobatan Sehat Sehati
berdasarkan surat izin No : 194/440/SIPD/DS/2010 berkedudukan di
jalan Medan Binjai Km. 14.6 No.18 Desa Diski Kecamatan Sunggal,
selanjutnya disebut sebagai : PIHAK KEDUA.
d. Premise(Recitals)
Suatu dokumen legal, premise atau recitals merupakan dasar atau
pertimbangan, digunakan sebagai pendahuluan (introduction) atau suatu
pengantar dari pernyataan yang tertuang didalam surat perjanjian yang
menunjukkan maksud dan tujuan para pihak, dan menyatakan alasan
mengapa kontrak itu dibuat. Adapun premise dalam perjanjian kerjasama
ini adalah:
“Pihak Pertama dan Pihak Kedua telah saling setuju untuk mengadakan
perjanjian kerjasama pemberian pelayanan kesehatan bagi peserta
program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) dan keluarganya yaitu
suami atau istri dan maksimal 3 (tiga) orang anak dengan ketentuan
e. Isi Perjanjian
Perjanjian kerjasama pelayanan kesehatan antara Kantor
PT.Jamsostek (Persero) Cabang Binjai dengan ketiga klinik kesehatan
tersebut, masing-masing memuat 13 (tiga belas) pasal dan 6 (enam)
lampiran yang mengatur berbagai klausula hak dan kewajiban para
pihak guna memberikan pelayanan kesehatan bagi peserta
JPK-Jamsostek, yaitu sebagai berikut :
1) Pengertian Umum (definisi)
Klausula pengertian umum ini memuat berbagai definisi untuk
keperluan kontrak. Definisi ini hanya berlaku pada kontrak tersebut
dan dapat menyimpang dari pengertian. ”Klausula definisi penting
dalam rangka mendefinisikan klausul-klausul selanjutnya karena
tidak perlu diadakan pengulangan.”97 Klausula tentang pengertian
umum atau definisi dalam perjanjian kerjasama ini terapat pada
Pasal 1
2) Kewenangan Hukum(rechtsbevoegheid)Para Pihak.
Seperti yang telah diterangkan di dalam komparisi/indentitas
para pihak mengenai adanya kewenangan hukum para pihak, lebih
lanjut penting untuk dikaji tentang hal tersebut sebagaimana secara
tersirat diterangkan di dalam Pasal 3 perjanjian kerjasama ini, yaitu
mengenai ”Pedoman dan Dasar Hukum”.
Terkait dengan kewenangan hukum para pihak, Pihak Pertama
dalam perjanjian memiliki privilege untuk berperan sebagai
satu-satunya Badan Penyelenggara yang melakukan pengelolaan Jaminan
Sosial Tenaga Kerja khususnya dalam bidang jaminan pemeliharaan
kesehatan tenaga kerja sebagaimana yang diamanahkan oleh Undang
Undang Nomor 3 Tahun 1992. tentang Jamsostek. Selanjutnya
mengenai penetapan Pihak Pertama sebagai satu-satunya Badan
Penyelenggara juga disebutkan di dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 36 Tahun 1995 tentang Penetapan Badan Penyelenggara
Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja, yang dalam pelaksanaannya
Badan Penyelenggara tersebut harus melakukan kerja sama tertulis
dengan para pelaksana pelayanan kesehatan, yang dalam hal ini
salah satu di antaranya adalah Pihak Kedua dalam perjanjian.
Adanya kewenangan hukum Pihak Kedua dalam perjanjian
kerjasama tersebut tidak terlepas dari pemberlakuan beberapa
regulasi peraturan perundang-undangan terkait yakni:
a) Pasal 22 Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 12 Tahun 2007
yang menyatakan bahwa, untuk memberikan pelayanan
menunjuk pelaksana pelayanan kesehatan yang diantaranya
terdiri dari, Balai Pengobatan, Puskesmas dan Dokter Praktek
Swasta.
b) Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993
yang menyatakan bahwa, pelaksanaan pemberian pelayanan
kesehatan peserta, dilakukan oleh Pelaksana Pelayanan
Kesehatan berdasarkan perjanjian secara tertulis dengan Badan
Penyelenggara.
Sehingga dengan demikian, dapat diyakini jika kekuatan
hukum dari perjanjian tersebut juga disandarkan pada kewenangan
hukum para pihak yang membuatnya. Kewenangan hukum tersebut
menjadi sangat penting ketika dipahami secara berdampingan dengan
kecakapan bertindak, sebagaimana yang menjadi pendapat dari
J.Satrio berikut ini:
“Kecakapan bertindak” menunjuk kepada kewenangan yang umum, kewenangan umum untuk menutup perjanjian lebih luas lagi, untuk melakukan tindakan hukum pada umumnya sedang “kewenangan bertindak” menunjuk kepada yang khusus, kewenangan untuk bertindak dalam peristiwa yang khusus. Ketidakwenangan hanya menghalang-halangi untuk melakukan tindakan hukum tertentu.98
Berdasarkan uraian tersebut dapat dinyatakan bahwa ”tidak
cakap adalah mereka yang pada umumnya tidak boleh menutup
perjanjian dan sebaliknya tidak berwenang dapat dipahami sebagai
mereka yang oleh undang-undang dilarang menutup
perjanjian-perjanjian tertentu.”99
Dengan demikian secara a contrario dapat disimpulkan bahwa
selain kecakapan bertindak, oleh undang undang yang terkait para
pihak juga diharuskan memiliki kewenangan hukum untuk melakukan
perbuatan hukum tertentu khususnya dalam hal ini adalah perbuatan
hukum untuk membuat perjanjian kerja sama tersebut di atas.
3) Hak dan Kewajiban Para Pihak
Pengaturan tentang hak dan kewajiban terdapat dalam Pasal 7
dan Pasal 8 perjanjian kerjasama. Dalam pasal-pasal tersebut memuat
hak dan kewajiban dari pihak klinik kesehatan terhadap PT.Jamsostek
maupun sebaliknya. Dalam pengaturan hak dan kewajiban tersebut
dijelaskan beberapa prestasi dan kontra prestasi dari para pihak
sehubungan dengan pelaksanaan perjanjian ini.
Prestasi pokok dalam perjanjian kerjasama ini yakni berupa
penunjukan Pihak Kedua sebagai Pelaksana Pelayanan Kesehatan
(PPK) bagi Peserta Jamsostek oleh Pihak Pertama dalam
kedudukannya sebagai Badan Penyelenggara Jaminan Pemeliharaan
99 Herlien Budiono,
Kesehatan, dan penerimaan penunjukan tersebut oleh Pihak Kedua
guna memberikan pelayanan kesehatan kepada peserta Jamsostek dan
keluarganya100
Prestasi yang harus diberikan oleh pihak klinik kesehatan kepada
pihak PT.Jamsostek dalam perjanjian kerjasama jaminan pemeliharaan
kesehatan ini ádalah sebagai berikut :
a) Pihak Kedua wajib memberikan prestasi dalam bentuk menjalankan tata laksana pelayanan kesehatan sesuai etika medis
dan ruang lingkup pelayanan kesehatan program jaminan
pemeliharaan kesehatan paket dasar, dan wajib menerapkan
standar manajemen utilisasi dalam pengendalian mutu pelayanan
kesehatan yang diberikan tersebut.101
b) Pihak Kedua wajib memberikan prestasi dalam bentuk penyampaian laporan tertulis tentang laporan bulanan berupa
rekapitulasi data kesakitan dan laporan bulanan rekapitulasi kasus
dan pembiayaan kepada Pihak Pertama.102
c) Pihak Kedua wajib memberikan prestasi dalam bentuk mengembangkan upaya peningkatan pengetahuan (promotif) dan
100Pasal 4 ayat (1) Perjanjian Kerjasama Antara PT.Jamsostek dengan Klinik Sehat Sehati 101
Pasal 8 ayat (1) huruf (a) dan Pasal 8 ayat (4) huruf (b) Perjanjian Kerja Sama Antara PT.Jamsostek dengan Klinik Sehat Sehati