Journal Of Basication: Jurnal Pendidikan Dasar, 1 (1), November 2017 p-ISSN 2581-2998, e-ISSN 2581-2629
Volume 1 – Nomor 1, November 2017, 1-8 Available online at:http://ojs.uho.ac.id/index.php/PGSD
MISKONSEPSI ALJABAR: KONTEKS PEMBELAJARAN
MATEMATIKA PADA SISWA KELAS VIII SMP
RA. Herutomo1, a)
1Dosen Pendidikan Matematika, FKIP Universitas Lakidende, Jl. Sultan
Hasanuddin, No. 234, Unaaha 93461, Indonesia
a)e-mail: rezkyagungherutomo@gmail.com
Abstrak. Konsep aljabar di tingkat SMP saling terkait erat satu sama lain, sehingga miskonsepsi siswa dapat secara utuh ditelusuri berdasarkan konsep-konsep dalam materi aljabar. Identifikasi permasalahan yang terjadi di SMP Muhammadiyah 3 Kaliwungu yaitu kurangnya pemahaman prosedural dan konseptual siswa pada materi aljabar yang ditandai dengan kesalahan dalam menyelesaikan soal-soal terkait materi aljabar. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis miskonsepsi siswa pada materi aljabar. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif deskriptif dalam menganalisis miskonsepsi aljabar di kelas VIII SMP Muhammadiyah 3 Kaliwungu.Subyek penelitian ini adalah siswa kelas VIIIA dan VIIIB di SMP Muhammadiyah 3 Kaliwungu yang berjumlah 41 siswa dan diambil secara purposive sampling. Instrumen tes aljabar disusun berdasarkan materi yang diteliti, yaitu konsep variabel, operasi bentuk aljabar, pemfaktoran, dan SPLDV. Hasil penelitian menunjukkan miskonsepsi aljabar yaitu siswa kurang memahami konsep variabel sebagai sesuatu yang belum diketahui nilainya; menganggap variabel hanya merepresentasikan bilangan tertentu saja, bukan sebagai generalisasi anggota suatu himpunan bilangan; menganggap variabel sebagai label, konjoining operasi penjumlahan dan perkalian; mengubah bentuk aljabar menjadi persamaan; tidak memahami proses pemfaktoran; tidak bisa melakukan representasi aljabar, menyelesaikan soal cerita dengan memberika n penjelasan verbal; dan menggunakan cara menebak untuk menyelesaikan soal-soal SPLDV
Kata kunci: miskonsepsi, aljabar
Abstract. The concept of algebra at the junior high school level is closely intertwined with one another, so that student misconceptions can be entirely traced by concepts in algebraic material. Identification of problems that occurred in "SMP Muhammadiyah 3 Kaliwungu" that is lack of procedural and conceptual understanding of students on algebra material that is marked with errors in solving problems related to algebra material. This study aims to analyze student misconception on algebraic material. This research uses qualitative and quantitative descriptive approach in analyzing algebraic misconception in Grade VIII SMP Muhammadiyah 3 Kaliwungu.The subjects of this study were students of class VIIIA and VIIIB at SMP Muhammadiyah 3 Kaliwungu which amounted to 41 students and taken by purposive sampling. The algebra test instrument is based on the material under study, ie the concept of variables, "algebraic form operations", factoring, and SPLDV. The result of the research shows that algebraic misconception is that students do not understand the concept of variables as unknown value; assume that variables represent only certain numbers, not as generalizations of members of a set of numbers; consider variables as labels, conjoining sum and multiplication operations; change the form of algebra into equations; not understanding the factoring process; can not do algebraic representations, solve stories by giving verbal explanations; and use guessing methods to solve SPLDV problems
Journal Of Basication: JurnalPendidikanDasar, 2017 p-ISSN 2581-2998, e-ISSN 2581-2629
Pendahuluan
Kesalahan dan kemungkinan terjadinya miskonsepsi siswa pada materi aljabar tentunya akan mengakibatkan kendala bagi proses belajar siswa dalam memahami materi aljabar dan materi terkait lainnya. Dengan mengetahui kesalahan dan miskonsepsi siswa dalam materi aljabar, maka guru dapat membantu siswa memperbaiki kesalahan tersebut dan mengatasi kesulitan yang dihadapi, paling tidak guru dapat mengetahui dimana letak kesalahan yang terjadi, pada tingkat penguasaan mana siswa melakukan kesalahan, dan penyebab kesalahan tersebut. Berkaitan dengan hal tersebut, Zevenbergen et al., (2004) menyatakan bahwa penting bagi para guru untuk menggunakan berbagai alat dan teknik guna menyelidiki apa yang sebenarnya siswa konstruksi dalam pemahamannya.
Problematika pada materi aljabar yang terjadi di SMP Muhammadiyah 3 Kaliwungu diantaranya siswa masih banyak melakukan kesalahan dalam menyelesaikan soal-soal operasi bentuk aljabar, sebagai contoh pada bentuk 𝟐𝒙+𝟑𝒚 siswa memahaminya sebagai
𝟓𝒙𝒚, pada penyederhanaan bentuk𝟐
𝒙𝒚+ 𝟐𝒙
𝒚,
siswa menyederhanakannya menjadi𝟒𝒙
𝒙𝒚.
Hal-hal tersebut mengindikasikan bahwa siswa tidak menggunakan pengetahuannya pada aritmetika untuk bekerja pada materi aljabar. Siswa juga masih kesulitan dan banyak melakukan kesalahan dalam menyelesaikan soal-soal cerita dalam materi aljabar. Kesulitan yang paling mendasar yang dialami siswa adalah menerjemahkan masalah dalam soal cerita ke dalam bentuk matematika, seperti: apa yang diketahui, apa yang harus dimisalkan dalam variabel, operasi apa yang digunakan dalam permasalahan dan proses penyelesaian.
Konsep aljabar di tingkat sekolah saling terkait erat satu sama lain, sehingga miskonsepsi siswa dapat secara utuh ditelusuri berdasarkan konsep-konsep dalam materi aljabar dan memungkinkan untuk dapat diidentifikasi keterkaitan antar pola miskonsepsi.Berkaitan dengan penelitian tentang miskonsepsi siswa, Zevenbergen et al., (2004) menyatakan bahwa penting bagi para guru untuk menggunakan berbagai alat dan teknik guna menyelidiki apa yang sebenarnya siswa konstruksi dalam pemahamannya. Oleh
karena itu, menurut Steinle et al., (2009) penelitian dengan menggunakan analisis pola jawaban siswa terbukti berguna dalam mendiagnosis miskonsepsi siswa dalam materi aljabar, berbeda dengan pendekatan lain seperti analisis item atau analisis prestasi siswa, yang kurang mendapatkan informasi secara detail mengenai miskonsepsi siswa pada suatu topik tertentu.
Oleh karena itu, berdasarkan fenomena dan penjelasan di atas dirasa perlu dilakukan penelitian tentang miskonsepsi aljabar pada siswa kelas VIII, sehingga diperoleh informasi tentang miskonsepsi siswa pada materi aljabar. Sejalan dengan hal tersebut, rumusan masalah pada penelitian ini adalah bagaimanakah miskonsepsi siswa pada materi aljabar. Berdasarkan rumusan masalah tersebut, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis miskonsepsi siswa pada materi aljabar.
Kajian Pustaka
Dalam pembelajaran matematika, kemungkinan terjadinya miskonsepsi akan selalu ada. Miskonsepsi berbeda dari kesalahan. Kesalahan merupakan akibat dari kurangnya pemahaman tentang aritmetika, kurangnya penguasaan aturan atau prosedur (kesalahan proses), dan kesalahan konsep (Barrera et al., 2004; Mulungye et al., 2016).Di sisi lain, gagasan miskonsepsi merujuk pada garis pemikiran yang menyebabkan serangkaian kesalahan yang dihasilkan dari kesalahan premis yang mendasari suatu konsep atau proses tertentu, bukan kesalahan sporadis yang tidak sistematis (Nesher, 1987). Miskonsepsi bukan sebagai kesalahan yang bersifat acak atau bentuk kecerobohan dan sifat falibilis manusia, melainkan terjadi secara berulang/identik (Leinhardt et al., 1990; Hammer, 1996). Hal tersebut juga dipertegas oleh Resnick dan Omanson (1987) yang menyatakan bahwa miskonsepsi merupakan alasan yang paling mendasar yang mengakibatkan terjadinya kesalahan. Lebih lanjut miskonsepsi merupakan hambatan dalam asimilasi konsep yang benar (Lucariello et al., 2014).
Miskonsepsi Aljabar: Konteks Pembelajaran Matematika pada Siswa Kelas VIII SMP- 3 RA Herutomo
Journal Of Basication: Jurnal Pendidikan Dasar, 1 (1), November 2017 p-ISSN 2581-2998, e-ISSN 2581-2629
lain penyebab miskonsepsi pada aljabar adalah siswa gagal melakukan transisi dari aritmetika ke pola pikir aljabar (Booth et al., 2014).Menurut Warren (2003) transisi yang
dimaksud adalah konsep “operasi pada bilangan” yang merupakan pemahaman yang
dibutuhkan pada struktur aritmetika ke
“hubungan antar bilangan” yang merupakan
pemahaman yang dibutuhkan dalam struktur aljabar.
Panasuk (2010) menjelaskan bahwa pada pembelajaran aljabar, siswa mengembangkan kemampuan mental yang disebut sebagai operasi formal. Siswa yang taraf kemampuannya belum mencapai operasi formal jelas akan kesulitan dalam memahami sistem simbol pada aljabar, dalam hal ini siswa
berupaya “mengurangi” tingkat abstraksi
masalah pada aljabar. (misalnya, dalam mencari solusi persamaan 3𝒙 + 4 = 16) ke tingkat yang lebih rendah, yaitu, “simbol
angka.” Untuk menyelesaikan masalah ini,
siswa menggunakan metode trial and error
dengan mengganti variabel 𝒙 dengan bilangan tertentu sampai ditemukan solusi yang memenuhi persamaan tersebut.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif deskriptif dalam menganalisis miskonsepsi aljabar siswa kelas VIII di SMP Muhammadiyah 3 Kaliwungu.Sumber data dalam penelitian ini adalah siswa kelas VIIIA dan VIIIB di SMP Muhammadiyah 3 Kaliwungu yang berjumlah 41 orang dan diambil secara purposif sampling.
Instrumen tes aljabar disusun berdasarkan materi yang diteliti, yaitu berkaitan dengan konsep variabel, operasi bentuk aljabar, pemfaktoran, dan SPLDV. Data yang dihimpun dari pelaksanaan tes aljabar berupa hasil pekerjaan siswa pada lembar jawaban yang disertai dengan langkah-langkah penyelesaiannya.Setelah hasil kerja siswa dianalisis, selanjutnya dipilih enam orang siswa untuk diwawancarai. Tujuan wawancara adalah untuk mendukung temuan miskonsepsi aljabar siswa dari hasil tes. Siswa yang akan diwawancarai adalah siswa yang melakukan kesalahan secara berulang, artinya kesalahan yang dilakukan identik pada beberapa item soal.
Melalui proses wawancara siswa diharapkan mengungkapkan gagasan/alasan pemikirannya tentang jawaban soal aljabar yang mereka berikan sehingga memungkinkan untuk ditemukan permasalahan siswa secara lebih terbuka terkait miskonsepsi siswa pada materi aljabar. Proses wawancara mendalam dilaksanakan berdasarkan pada pedoman wawancara yang telah disusun, namun ragam pertanyaan yang diajukan dapat berubah, tergantung pada jawaban/penjelasan yang dikemukakan siswa.
Hasil dan Pembahasan
Hasil penelusuran miskonsepsi siswa dilakukan dengan menganalisis jawaban siswa. Kesalahan-kesalahan yang identik dikelompokkan, kemudian setelah itu dilakukan proses wawancara untuk mendukung temuan miskonsepsi aljabar siswa dari hasil tes. Sebaran miskonsepsi siswa pada tiap sub materi aljabar disajikan pada Tabel 1.
Kesalahan yang diakibatkan miskonsepsi siswa terkait kurangnya pemahaman konsep variabel sebagai sesuatu yang belum diketahui nilainya cukup banyak teridentifikasi pada beberapa nomor soal dalam penelitian ini. Misalnya pada soal yang diketahui harga sebuah pensil adalah 𝒑rupiah dan harga sebuah buku tulis adalah 𝒃rupiah. Jika dibeli 3 buah pensil dan 5 buah buku tulis, maka ditemukan ada siswa yang menghitung total harga yang harus dibayar oleh Ani dengan memisalkan harga pensil dan buku dengan harga tertentu dengan alasan bahwa pada soal tidak diketahui besaran harga untuk pensil dan buku.
Hal yang serupa juga terjadi ketika siswa diminta menyederhanakan bentuk aljabar 𝟐𝒙
𝟑𝒚− 𝒙−𝟏
𝒙𝒚. Ditemukan ada siswa yang
Journal Of Basication: Jurnal Pendidikan Dasar, 1 (1), November 2017 p-ISSN 2581-2998, e-ISSN 2581-2629
(2004) dapat berupa kuantitas (harga, panjang, umur, dan sebagainya).
Hal ini perlu dicermati bahwa ternyata ada kekakuan asosiasi dalam melakukan representasi terkait harga, panjang sisi, dan kuantitas/besaran lainnya yang dinyatakan dalam variabel. Prosedur penyelesaian yang dilakukan siswa sudah benar jika menggantikan variabel dengan bilangan tertentu, akan tetapi ketika melangkah pada hal yang abstrak, siswa tidak mampu memahami dengan benar bahwa variabel yang disajikan merupakan representasi dari besaran ataupun nilai tertentu pada soal-soal tersebut.
Tabel 1. Sebaran miskonsepsi siswa pada tiap sub materi aljabar
Sub Materi Miskonsepsi
Variabel Menganggap konstanta sebagai variabel, kurang memahami konsep variabel sebagai sesuatu yang belum diketahui nilainya
Menganggap variabel hanya merepresentasikan
nilai/bilangan tertentu saja, bukan sebagai generalisasi anggota suatu himpunan bilangan
Konjoining operasi penjumlahan dan perkalian Operasi
Bentuk Aljabar
Mengganti variabel dengan nilai tertentu
Konjoining operasi penjumlahan dan perkalian Mengubah bentuk aljabar menjadi persamaan
Pemfaktoran Tidak memahami proses pemfaktoran
SPLDV Tidak bisa melakukan representasi: menyusun bentuk aljabar dan persamaan dari masalah yang diberikan
Menyelesaikan soal cerita dengan memberikan penjelasan verbal
Menggunakan cara menebak untuk menyelesaikan soal-soal SPLDV
Menganggap variabel sebagai label
Pendekatan untuk menggunakan bilangan tertentu merupakan indikasi bahwa
pemikiran siswa tentang variabel masih berorientasi pada aritmetika. Sebaliknya, jika siswa tidak mengacu pada nilai-nilai tertentu dan bekerja menggunakan variabel yang ada, maka itu menunjukkan pemikiran siswa sudah berorientasi pada objek aljabar, yaitu, variabel menjadi “objek” untuk dioperasikan.
Miskonsepsi lainnya yang ditemukan adalah menganggap variabel hanya merepresentasikan nilai/bilangan tertentu saja, bukan sebagai generalisasi anggota suatu himpunan bilangan. Hal tersebut seperti pada soal pembelian buah jeruk dan apel. Direncanakan akan dibeli 15 buah dan ditanyakan banyaknya masing-masing buah apel dan jeruk yang mungkin dibeli. Ditemukan siswa menuliskan banyak apel adalah 4 buah dan jeruk sebanyak 11 buah (dan jawaban identik lainnya). Siswa belum mampu memahami bahwa banyaknya apel dan jeruk adalah pasangan 𝒙dan 𝒚yang memenuhi persamaan 𝒙 + 𝒚 = 15,𝒙dan𝒚anggota himpunan bilangan cacah.
Hal yang sama juga terjadi ketika siswa diminta menentukan nilai 𝒏yang memenuhi𝟐𝒏>𝑛+ 2,𝑛anggota himpunan bilangan asli. Siswa berusaha mengganti nilai
𝒏menggunakan bilangan asli tertentu untuk memperoleh hubungan 2𝒏<𝒏 + 2, 2𝒏 = 𝒏 + 2, dan 2𝒏>𝒏 + 2, tetapi tidak memberikan kesimpulan (secara deduktif). Berkaitan dengan hal tersebut, menurut Akgun dan Ozdemir (2006) kesalahan-kesalahan siswa yang disebabkan oleh kurangnya pemahaman konsep variabel sebagai generalisasi bilangan, menunjukkan siswa gagal dalam proses transisi dari aritmetika menuju aljabar, penalaran siswa hanya terbatas pada pola induktif yang mengarah pada kesesatan jawaban yang diperolehnya.
Miskonsepsi lainnya yang ditemukan adalah menganggap variabel sebagai label.
Sebagai contoh “misalkan pensil = 𝒙 dan buku = 𝒚.” Variabel bukan sebagai representasi suatu objek, melainkan lebih pada nilai atau kuantitasnya. Bila hal ini dibiarkan maka terjadi kerancuan antara variabel dan label. Jelas variabel bukanlah sekedar label.
Kesalahan dan miskonsepsi variabel sebagai label juga terjadi pada soal tentang
“banyak siswa empat kali dari banyak guru”
Miskonsepsi Aljabar: Konteks Pembelajaran Matematika pada Siswa Kelas VIII SMP- 5 RA Herutomo
Journal Of Basication: Jurnal Pendidikan Dasar, 1 (1), November 2017 p-ISSN 2581-2998, e-ISSN 2581-2629
perbandingan yang menyatakan banyak siswa dan guru, proses demikian disebut sebagai
words order matching (menyesuaikan dengan
susunan kata). Ada juga siswa yang melakukan proses perbandingan, namun proses tersebut bersifat static comparison pattern (statis sesuai kalimat pada soal).
Ada anggapan bahwa aljabar merupakan materi tentang huruf ke 24 dan 25 (𝒙dan 𝒚) (Knuth et al., 2005). Meskipunanggapan tersebuthanyalah lelucon, tetapi perlu digarisbawahipentingnya
mengembangkankonsepsiyang benar tentang makna variabeldanpenggunaannya dalamaljabar. Hal tersebut juga diikuti oleh
transisi konsep “operasi pada bilangan” yang
merupakan pemahaman yang dibutuhkan pada
struktur aritmetika ke “hubungan antar bilangan” yang merupakan pemahaman yang
dibutuhkan dalam struktur aljabar (Warren, 2003).
Konjoining operasi penjumlahan dan perkalian terjadi pada bentuk aljabar 𝟑𝒑+𝟓𝒃
dan disederhankan menjadi 𝟖𝒑𝒃. Siswa menganggap bahwa bentuk aljabar yang terbuka sebagai bentuk yang tidak lengkap dan menerapkan hal yang sama pada operasi penjumlahan bilangan. Hal yang sama juga terjadi pada penelitian Lucariello et al. (2014), ditemukan ada siswa yang menjawab 𝟒𝒑+
𝟐– 𝟑𝒑+𝟕=𝟏𝟎.Konjoining yang terjadi
tentunya berkaitan dengan penggunaan tanda
“=” pada bentuk aljabar.
Berkaitan dengan hal tersebut, Knuth et al., (2008) menjelaskan bahwa konsepsi tanda
“=” dapat dipandang sebagai simbol kesetaraan
(yaitu, sebuah simbol yang menunjukkan hubungan antara dua kuantitas) dan sebagai penanda suatu hasil atau jawaban dari operasi aritmetika. Namun yang terjadi pada penelitian ini tanda sama dengan hanya dipandang sebagai penanda hasil dari suatu operasi, bukannya sebagai kesetaraan.
Miskonsepsi lainnya yang berkaitan dengan tanda sama dan bentuk aljabar dengan adalah mengubah bentuk aljabar menjadi persamaan. Ketika siswa diminta menyederhanakan suatu bentuk aljabar, justru siswa berusaha mengubahnya menjadi
persamaan dan mencari
penyelesaiannya.Merujuk dari berbagai literatur dan hasil penelitian, miskonsepsi terkait variabel, konjoining, dan mengubah bentuk aljabar menjadi persamaan bisa
dikatakan ada pada satu topik yang sama, yaitu kegagalan transisi dari aritmetika menuju aljabar.
Dalam matematika terdapat dua level berpikir yang hierarki, yaitu aritmetika dan aljabar. Van Amerom (2003) menjelaskan bahwa aritmetika berhubungan langsung dengan perhitungan bilangan-bilangan yang diketahui. Dengan kata lain, aritmetika merupakan proses yang secara langsung menghitung dari hal yang diketahui menuju apa yang tidak diketahui. Disisi lain, aljabar memerlukan penalaran tentang variabel ketika berproses dari yang belum diketahui, menggunakan yang diketahui, sehingga membentuk persamaan. Jadi perbedaan mendasar aritmetika dan aljabar adalah aritmetika bergerak dari situasi spesifik sedangkan aljabar berkaitan dengan suatu solusi umum.
Transisi dari aritmetika menuju aljabar juga melibatkan transisi pengetahuan yang dibutuhkan dalam mengerjakan masalah aritmetika (operasi pada bilangan) menuju pengetahuan untuk menyederhanakan bentuk atau menyelesaikan persamaan aljabar (operasi pada variabel) (Warren, 2003). Dari dua pandangan tersebut dapat disimpulkan bahwa transisi dari aritmetika menuju aljabar melibatkan transisi pemahaman konseptual dan simbolik yang merupakan inti perbedaan antara aritmetika dan aljabar. Namun
kenyataannya terjadi “diskontinuitas kognitif”
dalam transisi dari artimatika menuju aljabar (Staceydan MacGregor, 2000).
Kurangnya pemahaman siswa pada penyederhanaan dan operasi bentuk aljabar berakibat juga pada proses pemfaktoran. Siswa terlalu menyederhanakan bentuk aljabar dengan melakukan proses kanselasi. Hal tersebut sejalan dengan kesalahan prosedural siswa yang dikemukakan oleh Norton dan Irvin (2007) yaitu menerapkan𝒂𝒙
𝒃𝒙=
𝒂 𝒃 pada
bentuk𝒂+𝒙
𝒃+𝒙=
𝒂
𝒃. Pada penelitian ini kesalahan
pemfaktoran juga terjadi pada soal yang berkaitan dengan bentuk 𝒂𝒙𝟐+𝒃𝒙+𝒄,𝒂 ≠ 𝟎. Siswa menuliskan (𝒙𝟐+𝟓𝒙+𝟔)−
𝒙𝟐+𝟐𝒙+𝟏 =𝒙 𝒙+𝟓 +𝟔 − 𝒙 𝒙+𝟐 +
𝟏.
Journal Of Basication: Jurnal Pendidikan Dasar, 1 (1), November 2017 p-ISSN 2581-2998, e-ISSN 2581-2629
soal cerita dalam persamaan merupakan hal yang sulit bagi siswa. Siswa diminta untuk menyusun SPLDV berdasarkan informasi yang disajikan pada soal dan kemudian menyelesaikannya. Kesalahan tersebut sangat berkaitan dengan kurangnya kemampuan siswa melakukan representasi. Menurut Dreyfus(2002)representasi yang dimaksudkan disni adalah representasi simbolik, secara eksternal melalui ucapan atau tulisan, dengan tujuan untuk mengkomunikasikan konsep menjadi lebih mudah.
Memang penting untuk mempunyai banyak representasi tentang suatu konsep, akan tetapi jika representasi itu salah maka tidak akan membantu suatu konsep tertentu untuk dapat digunakan secara fleksibel dalam pemecahan masalah, meskipun benar namun jika representasinya tidak terkait satu sama lain juga tidak akan membantu (Dreyfus, 2002). Lebih lanjut dijelaskan bahwa representasi sangat berkaitan dengan kemampuan menerjemahkan masalah (translating) dan soal-soal aplikasi adalah contoh keterkaitan keduanya.
Bentuk kesalahan dan miskonsepsi lainnya yang paling banyak dilakukan pada soal cerita yang berkaitan dengan SPLDV adalah penjelasan secara verbal. Kesalahan ini sejalan dengan penelitian Breiteig dan Grevholm (2006) yang menunjukkan kesulitan siswa dalam transisi aritmetika dan bentuk verbal ke dalam bentuk aljabar. Ketika siswa diminta untuk menemukan dua buah bilangan yang jumlahnya 19 dan selisihnya 5, ada siswa yang mengerjakannya dengan cara memberi penjelasan verbal untuk mendapatkan dua bilangan tersebut. Meskipun jawabannya secara verbal benar, namun ini menunjukkan siswa belum mampu berpikir secara abstrak, terbukti dari penggunaan bahasa verbal yang mendominasi ketimbang penggunaan simbol-simbol aljabar.
Selain jawaban verbal, miskonsepsi lainnya yang terjadi pada soal tentang SPLDV adalah jawaban menebak tanpa alasan. Miskonsepsi ini terjadi ketika siswa berusaha memperoleh jawaban yang benar namun tidak ada petunjuk yang jelas bahwa informasi yang dinyatakan sebagai hasil/jawaban soal berasal dari suatu proses operasi matematik yang tepat. Ketika siswa diminta menyelesaikan SPLDV𝒙+𝒚=𝟗 dan 𝟐𝒙+𝟑𝒚=𝟐𝟑, siswa mengerjakannya dengan cara menebak sehingga diperoleh hasil 𝒙= 𝟒 dan 𝒚=𝟓.
Menurut Filloy, Rojano, dan Solares (2003), proses itu mungkin dapat dipertimbangkan sebagai cara yang benar, akan tetapi itu menunjukkan siswa sangat defisit dalam memahami aturan pencarian solusi sistem persamaan linear dua variabel, bisa dibayangkan jika sistem itu mengandung lebih dari dua variabel, proses menebak hanya akan menyesatkan jawaban siswa.
Transisi aritmetika ke aljabar tentunya melibatkan pembelajaran aritmetika di sekolah dasar (SD) dan seberapa perlu aljabar diajarkan sejak SD. Berkaitan dengan hal tersebut Zevenbergen et al., (2004) menjelaskan bahwa di beberapa negara, aljabar tidak diajarkan pada jenjang sekolah dasar. Hal tersebut mengacu pada tingkat perkembangan Piaget bahwa siswa sekolah dasar belum dapat berpikir secara abstrak, materi aljabar sangat abstrak, hal tersebut dianggap diluar kemampuan siswa sekolah dasar. Namun, beberapa pakar menganggap aljabar adalah studi tentang pola, kemampuan untuk mengidentifikasi dan mendeskripsikan pola, yang dianggap sesuatu yang sangat umum di sekolah dasar. Contohnya 3 + ... = 5 merupakan bentuk permulaan yang diajarkan sebelum siswa diperkenalkan bentuk aljabar
𝟑+𝒙=𝟓, oleh karena itu materi aljabar dapat diperkenalkan sejak dini.
Demikian halnya juga di Indonesia, materi operasi hitung bilangan dan sifat-sifatnya sudah diperkenalkan sejak siswa duduk di kelas IV SD dan memang materi aljabar belum diajarkan. Akan tetapi bila merujuk pada contoh 3 + ... = 5, maka sebenarnya soal-soal demikian juga sudah diberikan pada siswa SD di Indonesia. Oleh sebab itu perlu penekanan yang lebih lagi, baik dari segi materi maupun proses pembelajaran untuk bisa mendukung transisi siswa dari aritmetika ke aljabar. Berkaitan dengan hal tersebut, Blanton dan Kaput (2005) menyatakan ada dua isu yang menarik untuk pembelajaran di SD, yaitu: (1) kemampuan berpikir aljabar dapat diintegrasikan sejak pembelajaran di SD untuk mempersiapkan siswa lebih matang ketika belajar aljabar nantinya dan (2) guru-guru di SD dapat menggunakan sumber dan metode pembelajaran yang variatif yang dapat mendukung (1).
Miskonsepsi Aljabar: Konteks Pembelajaran Matematika pada Siswa Kelas VIII SMP- 7 RA Herutomo
Journal Of Basication: Jurnal Pendidikan Dasar, 1 (1), November 2017 p-ISSN 2581-2998, e-ISSN 2581-2629
secara aljabar. Kaput (2008) menyatakan ada dua aspek penting dalam berpikir aljabar, diantaranya: (1) membuat bentuk generalisasi secara formal berdasarkan sistem penyimbolan, (2) penalaran simbol yang meliputi manipulasi simbolik. Dua aspek tersebut termuat dalam tiga cabang aljabar yang dipelajari di sekolahan, yaitu: (1) aljabar sebagai studi tentang struktur dan abstraksi sistem perhitungan, (2) aljabar sebagai studi tentang relasi dan fungsi, dan (3) aljabar sebagai aplikasi untuk memodelkan bahasa yang menyatakan penalaran tentang situasi yang dimodelkan.
Berdasarkan hasil penelitian ini, maka tidak terlalu berlebihan jika dikatakan bahwa problematika pada materi aljabar sangat kompleks. Kesalahan dan miskonsepsi yang ada saling berkaitan, baik antar konsep aljabar maupun konten materi yang lainnya. Perlu terus diupayakan penelusuran kesalahan dan penyebab terjadinya kesalahan tersebut, tidak harus menggunakan soal-soal yang kompleks, faktanya dari hasil tinjauan berbagai literatur pada jurnal internasional, soal yang disajikan untuk menelusuri kesalahan dan miskonsepsi siswa sangat sederhana yang bersifat rutin, akan tetapi benar-benar difokuskan pada kesalahan konsep atau proses yang ingin diidentifikasi.
Simpulan
Berdasarkanhasilpenelitianmakadapatdisimpul kanbahwamiskonsepsialjabarsiswaantara lain: kurangmemahamikonsepvariabelsebagaisesuat u yang belumdiketahuinilainya, menganggapvariabelhanyamerepresentasikanbi langantertentusaja,
bukansebagaigeneralisasianggotasuatuhimpuna nbilangan, menganggapvariabelsebagai label, konjoiningoperasipenjumlahandanperkalian, mengubahbentukaljabarmenjadipersamaan, tidakmemahami proses pemfaktoran, tidakbisamelakukanrepresentasialjabar,
menyelesaikansoalceritadenganmemberikanpe
njelasan verbal,
danmenggunakancaramenebakuntukmenyelesa ikansoal-soal SPLDV.
Berdasarkan hasil penelitian ini maka disarankan agar pola pikir aljabar harus diitegrasikan sejak pembelajaran aritmetika dan guru perlu mengidentifikasi miskonsepsi aljabar siswa agar tidak menjadi kendala dalam proses pembelajaran. Lebih lanjut soal-soal
yang dirancang untuk menganalisis kesalahan dan miskonsepsi siswa sebaiknya dibuat bervariasi, sehingga dapat mengungkap kesalahan dan miskonsepsi siswa yang lebih beragam.
Daftar Pustaka
Akgun, L. & Ozdemir, E. (2006). Students’
Understanding of The Variable As General Number and Unknown: A Case Study. The Teaching Of Mathematics, IX(1), 45–51.
Barrera, R., Medina, M.P., & Robayna, M.C. (2004). Cognitive Abilities and Errors of Students in Secondary School in Algebraic Language Processes. In D. E. McDougall & J. A. Ross (Eds.),
Proceedings of the Twenty-sixth Annual Meeting of the North American Chapter of the International Group for the Psychology of Mathematics Education,
(pp. 253-260). Canada: Ontario Institute for studies in Education, University of Toronto.
Blanton, M. L. & J.J. Kaput, J.J. (2005). Functional Thinking As A Route Into Algebra in the Elementary Grades.
ZDM-International Reviews on
Mathematical Education,37(1), 34–42.
Booth, J.L., Barbieri, C., Eyer, F., & Pare-Blagoev, E.J. (2014). Persistent and Pernicious Errors in Algebraic Problem Solving. Journal of Problem Solving, 7, 10-23.
Breiteig, T. & Grevholm. (2006). The Transition From Arithmetic To Algebra: To Reason, Explain, Argue, Generalize And Justify. In J. Novotná, H. Moraová, M. Krátká, & N. Stehlíková (Eds.).
Proceedings 30th Conference of the International Group for the Psychology
of Mathematics Education (pp.
225-232). Prague: PME
Dreyfus, T. (2002). Advanced Mathematical Thinking Processes. In David Tall (Ed.),
Advanced Mathematical Thinking(pp. 25
– 40). New York: Kluwer Academic Publisher.
Journal Of Basication: Jurnal Pendidikan Dasar, 1 (1), November 2017 p-ISSN 2581-2998, e-ISSN 2581-2629
Unknown Quantities. In Marit Johnsen Hoines, Anne Berit Fuglestad (Eds.),Proceedings of the 28th Conference of the International Group for the Psychology of Mathematics
Education (pp. 391-398). Bergen,
Norway.
Hammer, D. (1996). Misconceptions or P-primes: How May Alternative Perspectives of Cognitive Structure Influence Instructional Perceptions and Intentions? The Journal of The Learning
Science, 5(2), 97-127.
Kaput, J.J. (2008). What Is Algebra? What Is Algebraic Reasoning? In Kaput, J., Carraher, D. and Blanton, M. (Eds.),Algebra In The Early Grades(pp. 5-18). New York: Lawrence Erlbaum Associates.
Knuth, J.E., Alibali, M.W., McNeil, N.M., Weinberg, A., & Stephens, A.C. (2005). Middle School Students’ Understanding of Core Algebraic Concepts: Equivalence & Variable. ZDM, 37(1), 68-76.
Knuth, J.E., Alibali, M.W., McNeil, N.M., Hattikudur, S., & Stephens, A.C. (2008). The Importance of Equal Sign Understanding in The Middle Grades.
Mathematics Teaching in The Middle
School, 13(9), 514-519.
Leinhardt, G., O. Zaslavsky, & M. K. Stein. (1990). Functions, Graphs, and Graphing. Review of Educational
Research, 60(1), 1-64.
Lucariello, J., Tine, M.T., & Ganley, C.M. (2014). A Formative Assessment of
Students’ Algebraic Variable Misconceptions. Journal of
Mathematical Behaviour, 33, 30-41.
Mulungye, M., O’Connor, M., & Ndethiu.
(2016). Sources of Student Errors and Misconceptions in Algebra and Effectiveness of Classroom Practice Remediation in Machakos County- Kenya. Journal of Education and
Practice, 7(10), 31-33.
Nesher, P. (1987). Towards an Intructional
Theory: The Role Of Student’s
Misconceptions. For the Learning Of
Mathematics, 7(3), 33-39.
Norton, S. & Irvin, J. (2007). A Concrete Approach to Teaching Symbolic Algebra. In J. Watson & K. Beswick (Eds.) Proceedings of the 30th Annual
Conference of the Mathematics
Education Research Group of
Australasia(pp. 551-560). Merga. Inc.
Panasuk, R. (2010). Three-Phase Ranking Framework for Assessing Conceptual Understanding in Algebra Using Multiple Representations. Education, 131(4), 235-259.
Resnick, L. B. & Omanson, S. F. (1987). Learning to Understand Arithmetic. In R., Glaser (Ed.), Advances In
Instructional Psychology (pp. 41-95).
Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum Associates.
Stacey, K. & MacGregor, M. (2000). Learning the Algebraic Method of Solving Problems. Journal of Mathematical
Behaviour, 18(2), 149–167.
Steinle, V., Gvozdenko, E., Price, B., Stacey, K., & Pierce, R. (2009). Investigating
Students’ Numerical Misconceptions in
Algebra. In R. Hunter, B. Bicknell, & T. Burgess (Eds.), Proceedings of the 32nd Annual Conference of the Mathematics
Education Research Group of
Australasia(pp. 491-498). Palmerston
North, NZ: Merga.
van Amerom, B.A. (2003). Focusing On Informal Strategies when Linking Arithmetic to Early Algebra.
Educational Studies in Mathematics, 54,
63-75.
Warren, E. (2003). The Role of Arithmetic Structure in the Transition from Arithmetic to Algebra. Mathematics
Education Research Journal, 15(2),
122-137.
Zevenbergen, R., Dole, S., & Wright, R. J. (2004). Teaching Mathematics in
Primary Schools. Australia: Allen &