• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perang Sunggal Mempertahankan Hak Ulayat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Perang Sunggal Mempertahankan Hak Ulayat"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Perang Sunggal : Mempertahankan Hak Ulayat dan Perjuangan Lintas

Etno-Relijius

Oleh :

Arafah Pramasto,S.Pd.,1Nofta Recha Putra,S.Pd.,2dan Sapta Anugrah Ginting,S.Pd.3

1. Pendahuluan

Menilik perjalanan sejarah bangsa Indonesia, Belanda sebagai kekuatan kolonial dengan

kuasa terlama, datang ke Indonesia dengan berbagai alasan, diantaranya adalah karena tanahnya

yang sangat subur untuk di tanami rempah-rempah dan tanaman lainnya seperti tembakau.

Melihat keuntungan besar yang sejalan dengan nafsu imperialisme mereka, setelah beberapa

waktu menduduki beberapa wilayah yang ada di Nusantara, maka pihak Belanda berinisiatif

untuk memperluas tanah kekuasaannya secara paksa di wilayah kepulauan ini.

“Kuasa” dalam definisi sesuai latar historis ini bisa diartikan sebagai usaha kolonialis

Belanda dalam menguasai tanah air penduduk lokal dan bagaimana pula pribumi melakukan

perlindungan terhadap daerah kekuasaannya dengan berbagai bentuk perlawanan atas

usaha-usaha Belanda untuk memperluas daerah kekuasaannya. Reaksi yang timbul dari perlawanan

tersebut juga memiliki nilai heroisme, apalagi jika harus mengkaji kesediaan dalam

mengorbankan nyawa demi independensi otoritas maupun identitas lokal terhadap perluasan

hegemoni Belanda.

Mungkin agak sedikit kurang disadari oleh masyarakat masa kini tentang dikotomi

antagonistik sebagai stigma dalam polemik “Pribumi” dan “Non-Pribumi” (utamanya

menyangkut masyarakat Tionghoa-Pen) yang justru lahir dari tendensi retorika penjajahan.

Dengan alasan “kekhawatiran atas meluasnya pengaruh aktivitas perdagangan Inggris melalui

pedagang-pedagang Cina di Nusantara”, pemerintah kolonial Hindia Belanda mulai

memandang adanya urgensi eksploitasi kekayaan alam di luar Jawa, khususnya di Sumatera

Timur. Pemerintah kolonial berusaha mengalihkan perhatian massa dengan menyudutkan Inggris

ataupun para pedagang Tionghoa, padahal ambisi penaklukan terhadap wilayah itu yang

1

Freelance Writer and History Blogger

2

(2)

kemudian disusul dengan munculnya industri perkebunan dengan segala aspek yang menjadi

dampaknya, justru dirintis sendiri oleh pihak Belanda.

Perjuangan rakyat Sunggal bisa digolongkan sebagai usaha mempertahankan tanah

tumpah darahnya dari penguasaan cengkeraman penjajahan Belanda. Wilayah Sunggal

(Serbanyaman) yang sangat subur ketika itu ingin dikuasai oleh perusahaan perkebunan Belanda

untuk ditanami tembakau. Dari usaha penguasaan tanpa seizin raja dan rakyat Sunggal itulah

maka timbul peperangan. Perang Sunggal adalah salah satu perang terbesar, pemerintah Hindia

Belanda sampai harus mengeluarkan 'Medali Khusus' untuk menghargai jajaran militernya dalam

pertempuran itu.

2. Kondisi Geografis Deli

Kesultanan Deli terletak kira-kira 4o39’ sampai 4o57’ LU dan 98o25’ sampai 98o47’

BT, terbentang diantara Sungai Labuhan Dalam di utara perbatasan Langkat dan Sungai

Pematang Oni di selatan perbatasan Serdang. Wilayah deli sekarang termasuk kabuapten

deli-serdang, bagian dari sumatara utara. Batas-batas daerah kekuasaan deli ini baru ditetapkan pada

tahun 1876. Hal ini disebabkan sering terjadinya konflik dan bahkan menimbulkan peperangan

diantara sesama kesultanan di Sumatra Timur terutama dalam mendapatkan daerah untuk

monopoli perdagangan dan tempat strategis dekat pelabuhan. Selain itu daerah pedalaman deli

yang dikenal dengan dusun-dusun didiami oleh penduduk Karo dan mereka masih tunduk

kepada Raja mereka (Sibayak) ditanah asal di pegunungan sebelah utara Danau Toba.

Teuku Lukman Sinar dalam buku Sari Sejarah Serdang (1971) menyebutkan bahwa

dalam silsilah kesultanan Delididapati nama ‘Gocah Pahlawan’. Iadianggap sebagai tokoh yang

menurunkan para sultan yang memerintah di Kesultanan Deli. Dipercaya bahwa ia berasal dari

keturunan Raja India yang terdampar di Pantai Pasai Aceh. Oleh karena keberaniannya, ia

kemudian diangkat sebagai panglima Sultan Aceh. Sebelum Gocah Pahlawan berkuasa di Deli

sebagai wakil imperium Aceh, di wilayah ini telah berdiri empat wilayah kekuasaaan yang

sekaligus menjadi wilayah hukum suku Karo. Mengutip dari pendapat Ratna (1992) dalam

majalah Masyarakat Indonesia, aslinya wilayah suku Karo berada di Dataran Tinggi Karo.

Penyebaran mereka ke daerah rendah (dusun) terjadi sekitar abad ke-16. Biasanya mereka datang

(3)

Penyebaran mereka juga sampai ke kawasan pesisir, berbaur dengan suku Melayu dan sebagian

diantara mereka biasanyamenjadi “Melayu”dengan memeluk Islam.

Orang-orang Karo itu hidup dalam kesatuan administratif lokal yang disebut Urung

yakni kumpulan kampung yang mempunyai hubungan federatif. Istilah Urung lebih banyak

dipengaruhi oleh budaya Karo Gunung. Urung-urung yang ada kala itu adalah Senembah,

Sepuluh Dua Kuta, Sukapiring, dan Serbanyaman atau yang lebih dikenal sebagai ‘Sunggal’.

Masing-masing wilayah urung ini diperintah oleh seorang datuk yang disebut Datuk Urung.

Berkuasanya keempat datuk ini atas daerah-daerah tersebut erat kaitannya dengan asal mula

berdirinya daerah-daerah tersebut. Diantara keempatnya, Urung Sunggal adalah urung yang

terkuat dan terbesar wilayahnya yang membentang hingga pesisir. Oleh karena itu, untuk

memperkokoh kekuasaannya, Gocah Pahlawan menikahi adik Datuk Sunggal (Datuk Hitam)

yang bernama Nang Baluan pada tahun 1623.

3. Latar Belakang Terjadinya Perang Sunggal

Hadirnya kekuasaan Belanda di Deli, tidak terlepas dari Traktat Siak (1858) yang salah

satu isinya menyebutkan pengakuan Siak beserta jajahannya, yang membentang dari Siak hingga

Sungai Tamiang, untuk tunduk kepada Belanda. Isi lainnya memuat pengakuan sepihak Siak

sebagai “Yang Dipertuan” diantara kerajaan-kerajaan lain di Sumatera Timur mendapat protes

dari Deli khususnya yang pada waktu itu masih mengakui Aceh sebagai “Yang Dipertuan”.

Ketika Belanda berhasil memaksa Sultan Deli menandatangani perjanjian tunduk itu, Sultan Deli

mendapat protes dari Aceh dan Datuk-datukUrungDeli. Secara politik, perjanjian itu membuka

peluang pemerintah Belanda untuk memantapkan kekuasaannya di wilayah-wilayah Sumatera

Timur. Sedangkan dari sisi ekonomi ikut menjadi tonggak penting bagi sejarah perkebunan asing

di Deli.

J. Nienhuys adalah Pengusaha asing pertama yang datang ke Pantai Timur Sumatera

tepatnya ke Deli pada 1863. J. Nienhuys merupakan pionir pertama bagi pengusaha-pengusaha

asing yang kemudian datang ke Pantai Timur Sumatera. Nienhuys berhasil memperoleh tanah

konsesi dari Sultan Deli selama 99 tahun. Nienhuys memulai penanaman tembakau di Deli

(1863) setelah perjanjian Siak ditandatangani. Deli menjadi wilayah pertama usaha perkebunan

(4)

Deli dari Sultan Deli, Sultan Mahmud Perkasa Alam. Awalnya usaha Nienhuys belum

membuahkan hasil yang memuaskan, terutama oleh faktor sulitnya memperoleh tenaga kerja.

Akan tetapi pada 1865 usahanya mulai memperlihatkan hasil yang baik dengan

meningkatnya hasil panen tembakau. Keberhasilan ini mendorong Nienhuys untuk mendapatkan

lagi konsesi tanah dari Sultan Deli. Sultan Deli mengizinkannya menggunakan tanah di kampung

Klupang seluas 2.000 bahu. Pada 1868, Nienhuys memperoleh lagi konsesi tanah dari Sultan

Deli, yaitu tanah yang terletak antara Sungai Deli dan Percut hingga Deli Tua. Perluasan tanah

perkebunan yang terus-menerus ini tidak hanya diperuntukkan bagi tanaman tembakau, tapi juga

untuk tanaman ekspor lainnya seperti kelapa, pala, karet, kopi, lada, yang dikelola oleh penguasa

Eropa lainnya. Pada 1871 telah terdapat perkebunan-perkebunan besar di Deli, diantaranya

Enterprice, Arendsburg, Polonia, Amplas, Tanjung Morawa dan Perseverance.

Keberhasilan usaha perkebunan ini tidak hanya memberi keuntungan kepada para

pengelola perkebunan, tetapi juga pada Sultan Deli. Ada sebuah pola interaksi yang kurang baik

dalam perolehan konsesi tanah untuk bisa disewa oleh para pengusaha perkebunan dari sang

sultan penguasa Deli. Agar bisa memperoleh sewa tanah yang serendah-rendahnya para

pengusaha kebun tidak segan-segan memberi “upeti” dalam bentuk sejumlah besar uang atau

barang pada setiap kali konsesi kepada Sultan. Cara-cara gratifikasi ini mungkin saja

menyenangkan hati pengusaha dan penguasa lokal, dalam hal ini adalah sultan Deli, namun tentu

saja dampak utama bisa lebih terasa pada tatanan kekuasaan yang ada di bawah maupun bagi

rakyat umum.

Pengaruh kebijakan tersebut selanjutnya terasa pula ke Urung Sunggal (Serbanyaman).

Konsesi tanah pada para investor asing ikut merambah ke wilayahnya, hal itu membuat Datuk

Sunggal merasa dirugikan. Sultan dianggap telah melanggar aturan tentang tanah ulayat dalam

masyarakat Karo. Secara umum, hak ulayat adalah kewenangan milik masyarakat dan diatur

secara adat yang membolehkan mereka mengambil manfaat sumber daya alam – utamanya

tanah–bagi kelangsungan hidupnya. Secara hukum adat, tanah-tanah itu merupakan tanah milik

kesatuan masyarakat sehingga pengambilalihan perlu dimusyawarahkan terlebih dahulu dengan

Datuk Urungatau penghulu kampung. Disamping itu Sultan Deli cenderung memberi kebebasan

kepada para Investor untuk menentukan sendiri tanah-tanah yang diperlukan mereka sehingga

(5)

penduduk. Akibatnya, tanah-tanah di perkampungan dan tanah-tanah yang diperuntukkan bagi

perluasan kampung kerap terpakai.

Dalam buku Toean Keboen dan Petani: Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria di

Sumatera Timur 1863-1947, karangan Karl J. Pelzer (1985) diungkapkan sebab-sebab terjadinya

reaksi ketidakpuasan orang-orang Suku Karo yang merasa telah dilanggar tanah adatnya. Dari

sejak awal melakukan usaha membuka perkebunan, para investor beranggapan bahwa

tanah-tanah itu milik Sultan Deli, sehingga mereka merasa tidak memiliki permasalahan yang akan

berdampak secara kultural. Demikian halnya juga dengan Sultan Deli, ia menganggap semua

tanah wilayah kekuasaannya adalah hak miliknya, sehingga dapat diberikan atau disewakan

kepada siapapun sesuai dengan kehendaknya.

4. Jalannya Perang Sunggal

Menjelang akhir tahun 1871, rapat-rapat rahasia sering dilakukan di Sunggal. Hal-hal

yang dibicarakan dalam pertemuan mereka itu, antara lain mengenai posisi mereka di wilayah

Kesultanan Deli dan daerah Urung yang dirasakan semakin merosot dan mengenai hak-hak

mereka atas konsesi tanah yang dimonopoli oleh Sultan Deli. Salah seorang tokohnya bernama

Datuk Badiuzzaman Surbakti. Ia bernama lengkap Datuk Sri Diraja Badiuzzaman Sri Indera

Pahlawan Surbakti lahir di Sunggal, Kecamatan Medan Sunggal, pada tahun 1845. Ia merupakan

seorang putera dari hasil perkawinan antara Raja Sunggal pada masa itu yakni Datuk Abdullah

Ahmad Sri Indera Pahlawan Surbakti dengan seorang perempuan yang bernama Tengku Kemala

Inasun Bahorok. Datuk Badiuzzaman merupakan putera terbaik pada masa Kerajaan Sunggal

(Serbanyaman), ia merupakan keturunan ke-11 dari pemerintahan Tradisional Sunggal.

Pertemuan itu kelak dapat dilihat sebagai sesuatu yang membuat pertempuran ini unik. Di

dalamnya didapati gabungan perlawanan dari berbagai komponen anak bangsa, mulai dari suku

Karo, Melayu, Batak, Gayo, dan Aceh. Mereka semua bersepakat untuk melawan ekspansi

Belanda.

Perlawanan Sunggal dilakukan rakyat dengan bergerilya sambil membakar

bangsal-bangsal tembakau di atas tanah rakyat yang dikuasai oleh Belanda. Dalam perang ini, Datuk

Badiuzzaman Surbakti terlihat taktis dalam melakukan perlawanan terhadap pihak Belanda, ia

(6)

yang dipersenjatai dengan senjata yang lebih canggih, tetapi hal ini tidak menyurutkan semangat

juang para pahlwanan untuk tetap maju dan perang demi perang alhasil sering dimenangkan oleh

para pejuang dengan tidak sedikit mengorbankan nyawa para pejuang yang ikut didalam medan

perang. Belum selesai menghadapi kekuatan perlawanan rakyat Sunggal, Belanda kian

kewalahan saat seorang tokoh dari Batukarang, sekarang berada di Kabupaten Karo yang

bernama Kiras Bangun ikut menyambut perlawanan yang terjadi di Sunggal.

Kiras Bangun dilahirkan pada tahun 1852, ia adalah tokoh adat yang berkharisma dan

dikenal sangat tekun menuntut ilmu. Meski tidak pernah bersekolah secara formal yang kala itu

belum dikenal, tatkala ia berkunjung ke Binjai maka Kiras menyempatkan diri belajar bahasa

Melayu dan akhirnya mampu baca-tulis huruf latin. Walaupun hanya sebagai kepala kampung,

kemenonjolan Kiras Bangun ditunjukkan dengan keahliannya sebagai juru damai. Ia menggalang

kerjasama antar desa dengan cara berkeliling dari satu tempat ke tempat lain untuk memelihara

adat serta norma-budaya dan juga dengan mengadakan runggu (musyawarah) antar-marga dan

antar-kampung. Persengketaan antar-marga, antar-kampung di Tanah Karo kerap meminta peran

dari Kiras Bangun yang juga dijulukiGaramata/ “Bermata Merah”.Tak hanya itu, iapun pernah

mendamaikan sengketa antara orang Karo dan suku lain, seperti antara Penghulu Mardinding dan

Panglima Hasan dari Aceh. Seorang tokoh yang amat peduli dengan masyarakat sekitar seperti

Kiras Bangun “Garamata” tentu tidak tinggal diam ketika rakyat lokal melakukan perlawanan

terhadap penjajahan. Beberapa kali Garamata mengirimkan pasukan ke Langkat untuk

membantu masyarakat setempat melawan Belanda.

Akibatnya, pihak Belanda yang sering kewalahan melawan para pejuang dan sering

meminta bantuan pasukan dari pusat yang berada di Jawa ketika itu. Bantuan pertama, tibanya

Korps Ekspedisi Militer Belanda yang ke-1. Untuk menghadapi keadaan darurat maka Korps

Ekspedisi Militer Belanda yang ke-1 ini segera dibentuk secara tergesa-gesa dengan gabungan

Angkatan Darat dan Korps Marinir Angkatan Laut dari kapal-kapal perang Banka dan Den Briel.

Panglima Korps Ekspedisi I ini adalah Kapten W. Koops dan langsung menuju Ke Sunggal pada

tanggal 15 Mei 1872. Bantuan Korps Ekspedisi Militer Belanda yang ke-2, hal inipun tidak

banyak memberikan bantuan terhadap pasukan Belanda dalam peperangan. Sedangkan ekspedisi

yang terakhir ialah dengan tibanya Korps Ekspedisi Militer Belanda yang ke-3. Panglima

(7)

dapat dicapainya. Pada tanggal 24 September tibalah di Deli kapal perang Willem III membawa

anggota anggota pasukan baru Belanda dalam Ekspedisi Militer ke-3 yang dipimpin oleh Mayor

N. W. C. Stuwe.

Di bawah pimpinan Datuk Sunggal Badiuzzaman Surbakti dan adiknya yang bernama

Datuk Alang Muhammad Bahar Surbakti, rapat-rapat rahasia dengan pemuka rakyat sering

diadakan untuk merencanakan strategi perang melawan pasukan Belanda, ia membentuk badan

perjuangan untuk memobilisasi rakyat pribumi melawan pasukan Belanda yang terorganisir yang

terletak di Desa Gajah. Badan perjuangan ini dipimpin oleh Datuk Kecil Surbakti yang

merupakan pamannya dan Datuk Jalil Surbakti dengan panglima perangnya Datuk Sulong Barat

Surbakti, Datuk Alang Surbakti dibantu dengan Nabung Surbakti serta panglima dari Aceh yaitu

Nyak Makam.

Keadaan di Deli sendiri ketika itu sedang gawat karena bahaya kelaparan mengancam

yang disebabkan kaum tani turut bersimpati tidak menjual beras kepada Belanda. Sehingga

Belanda terpaksa mengimpor beras secara besar-besaran dari Rangoon, Birma. Di samping itu

perlawanan terus terjadi dimana-mana yang dipimpin oleh Sri Diraja dengan bergerilya dan

membakar bangsal-bangsal tembakau milik Belanda. Karena perlawanan yang dipimpin oleh

Datuk Badiuzzaman ini sulit dipadamkan oleh Belanda, maka Belanda secara licik menipu beliau

dalam sebuah perundingan damai, beliau tiba-tiba ditangkap oleh pasukan Belanda pada tahun

1895 dan kemudian beliau bersama adiknya Datuk Alang Muhammad Bahar Surbakti dibuang ke

tanah Jawa seumur hidup. Usainya Perang Sunggal tidak berarti bahwa pergolakan di tanah

Sumatera Timur berhenti. Perlawanan di bawah Garamata (Kiras Bangun) masih berjalan yang

berujung pada perang perlawanannya di Tanah Karo dari 1905-1909.

5. Kesimpulan

Meskipun perang ini oleh pihak Belanda di sebut “Perang Batak “ karena pertempuran

yang sering terjadi berada di wilayah pegunungan yang didiami suku Batak Karo , namun perang

ini bersifat nasionalistis dan memiliki dengan beberapa ciri khasnya. Pertama, tidak berunsur

keagamaan, di sini suku Melayu Islam yang bersatu dengan suku Batak Karo saat itu lebih

banyak masih memeluk agama asli mereka yakniPemena. Meskipun banyak tokoh Karo-Muslim

(8)

dari berbagai suku bangsa, yaitu suku Melayu, suku Batak Karo, dan Suku Aceh Gayo.Ketiga,

menentang perampasan tanah-tanah rakyat oleh pihak perkebunan milik Belanda. Keempat,

mempertahankan tanah air terhadap ekspansi kolonial Belanda. Serta yang terakhir / kelima,

membentuk popular front untuk pembebasan dimana Belanda sudah bercokol.*)

Sumber

Ajisaka, Arya. 2008.Mengenal Pahlawan Indonesia, Jakarta : Kawan Pustaka.

Hadi, Farid Mas. “Perjuangan Politik Datuk Badiuzzaman Surbakti dalam Perang Sunggal” Jurnal Dinamika Politik Vol. 1 No. 02, (Medan : Universitas Sumatera Utara, Oktober 2012), hlm. 23.

Muhammad Said. 1990.Koeli Kontrak Tempo Doeloe Dengan Derita dan Kemarahannya, Cetakan ke II. Medan: PT. Harian Waspada.

Pelzer, Karl J. 1985 Toean Keboen dan Petani: Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria di Sumatera Timur 1863-1947. Jakarta: Sinar Harapan

Putro, Brahma. 1979.Karo Dari Zaman ke Zaman;. Jilid 2. Ulih Saber: Medan.

Ratna, “Orang Karo di Kerajaan Deli”. Masyarakat Indonesia: Majalah Ilmu-ilmu Sosial Indonesia. Jil. XIX No. 1 (Jakarta: LIPI, 1992).

Reid, Anthony. 1987. Perjuangan Rakyat: Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatera. Jakarta: Sinar Harapan.

Sinar, Tengku Lukman,“Perang Besar dalam Kampung Keci: Riwayat Perjuangan Rakyat Sunggal”,Prisma, No. 8 (Jakarta: LP3ES, Agustus 1980), hlm. 11.

Sinar, Tengku Lukman. 1971.Sari Sejarah Serdang; Jilid II. Medan:Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Sinar, Tengku Lukman. 2009. Sejarah Medan Tempo Doeloe. Medan: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kota Medan.

Sudarmanto, J.B. 2007. Jejak-Jejak Pahlawan : Perekat Kesatuan Bangsa Indonesia, Jakarta : Grasindo.

Suroyo, A.M Djuliati. 2012. Indonesia dalam Arus Sejarah; Kolonisasi dan Perlawanan.

Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve.

Tamboen, P. 1953.Adat Istiadat Karo. Jakarta: Balai Pustaka.

(9)

Referensi

Dokumen terkait

Switch Sensor DFRobot Adjustable Infrared digunakan untuk mengetahui apakah benda yang telah keluar dari ruang baca warna siap diangkat oleh lengan robot

1) Kelompok A, untuk anak tiga sampai empat tahun. 2) Kelompok B, untuk anak umur empat sampai lima tahun. 3) Kelompok C, untuk anak usia lima sampai enam tahun. Pada usia prasekolah

(nilai yang ditanamkan: Jujur, disiplin, kerja keras, mandiri, rasa ingin tahu, menghargai prestasi, peduli lingkungan, tanggung jawab.

Dari grafik lama waktu penyelesaian KTI mahasiswa Program Studi DIII Kebidanan tingkat akhir di STIKES ‘Aisyiyah Yogyakarta didapatkan hasil dengan presentase

ceramah sebagai metode utama dan sering dilakukan. Gaya mengajar guru yang sering digunakan oleh guru di SMP Negeri 8 Palu adalah gaya mengajar klasik. Gaya mengajar ini

[r]

Berdasarkan hasil analisis yang peneliti lakukan sesuai dengan rumusan masalah yang telah ditentukan, ditemukan bentuk-bentuk abreviasi yang ditulisa dalam halaman

1) Kesediaan untuk melakukan apa yang harus dilakukan dengan sebaik mungkin. Bertanggung jawab berarti suatu sikap terhadap tugas yang membebani kita. Kita merasa