• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran OMS dalam Pembangunan Perdamaian A

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Peran OMS dalam Pembangunan Perdamaian A"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

Peran OMS dalam Pembangunan Perdamaian Aceh Afrizal Tjoetra1 dan Kamarulzaman Askandar2

Abstract

Civil Society Organizations (CSOs) play an active role for peacebuilding in Aceh. Various initiatives were carried out during the conflict and post-disaster periods, including raising the capacity and providing support to various institutions. During the conflict period their activities have focused on community empowerment, monitoring of human rights abuses, and doing peace advocacy. During the rehabilitation and reconstruction period of tsunami, the activities also include a humanitarian and justice programs. During these periods, Aceh CSO activists have increased their skills and networks. These are achieved directly and indirectly through interactions with various international organizations present in Aceh. Through these experiences and capacity gained, the Aceh CSO’s have a strategic role in peacebuilding in the province. This explores the internal changes and the CSOs in Aceh with the support of external organizations. The issues being explored are related to the internal governance of the institutions, their independence, and capacity of available human resources. While the deepening of external support is related to policies, networks, and the response to many issues in Aceh society. According to Lili Hasanuddin (2009), CSOs with diverse backgrounds, approaches and ways of working have to work together to overcome the various problems faced by the people of Aceh after the disaster. In regards to peace building, Lederach (1997) stated that the three levels of leadership have an important role in peacebuilding. These are the top leadership, middle-range leadership, and grassroots level leadership. At the middle and grassroots leadership especially the CSOs the has a strategic role. This paper is based on a study of documents and interview with selected CSO boards in Aceh and academics. The aims to gather various information related to the response of Aceh CSOs to changes that have taken place in peacebuilding in the province.

Key words: Role, CSO, Peacebuilding, Aceh

1 Dosen pada Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Universitas Teuku Umar (UTU) Meulaboh – Aceh Barat dan sekarang sebagai Mahasiswa S3 pada Research and Education for Peace Universiti Sains Malaysia (REPUSM), Universiti Sains Malaysia, yang dibimbing oleh Professor Kamarulzaman Askandar.

(2)

Abstrak

Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) berperan aktif untuk membangun perdamaian di Aceh. Berbagai upaya yang dilakukan selama konflik dan periode paska bencana, termasuk meningkatkan kapasitas dan memberikan dukungan kepada berbagai institusi. Selama periode konflik, kegiatan OMS berfokus pada pemberdayaan masyarakat, pemantauan pelanggaran hak asasi manusia, dan melakukan advokasi untuk perdamaian. Selama masa rehabilitasi dan rekonstruksi tsunami, kegiatan yang dilakukan juga termasuk program kemanusiaan dan keadilan. Selama periode ini, sejumlah aktivis OMS di Aceh mengalami peningkatan keterampilan dan jaringan mereka. Hal ini dicapai secara langsung maupun tidak langsung melalui interaksi dengan berbagai organisasi internasional yang hadir di Aceh. Melalui pengalaman dan kapasitas yang diperoleh, OMS di Aceh memiliki peran strategis dalam pembangunan perdamaian di Aceh. Artikel ini membahas perubahan secara internal OMS di Aceh dengan dukungan organisasi eksternal. Isu-isu yang dieksplorasi terkait dengan tata kelola internal lembaga, independensi, dan kapasitas sumber daya manusia yang tersedia. Sementara pendalaman dukungan eksternal terkait dengan kebijakan, jaringan, dan respon terhadap isu-isu yang berkembang dalam masyarakat. Menurut Lili Hasanuddin (2009), bahwa OMS dengan berbagai latar belakang, pendekatan dan cara kerja telah bekerja sama untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapi oleh masyarakat Aceh paska bencana. Dalam hal pembangunan perdamaian, Lederach (1997) menyatakan bahwa tiga tingkat kepemimpinan memiliki peran penting dalam pembangunan perdamaian. Terdiri dari kepemimpinan tingkat atas, kepemimpinan pada tingkat menengah, dan kepemimpinan pada akar rumput. Pada kepemimpinan menengah dan akar rumput, khususnya OMS, memiliki peran strategis. Tulisan ini didasarkan pada studi dokumen dan wawancara dengan sejumlah pengurus OMS di Aceh dan akademisi. Upaya ini bertujuan untuk mengumpulkan berbagai informasi terkait dengan respon yang harus dilakukan OMS di Aceh terhadap berbagai perubahan yang terjadi dalam pembangunan perdamaian di provinsi Aceh.

Kata kunci: Peran, OMS, Pembangunan perdamaian, Aceh.

(3)

Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) di Aceh memainkan peran penting dalam proses-proses yang terjadi disekitarnya, termasuk melaksanakan usaha-usaha perdamaian di Aceh. Pembangunan perdamaian bermula dari komunitas hingga ragam program yang dijalankan oleh OMS, seperti; pemberdayaan ekonomi masyarakat, penyebaran maklumat dan peningkatan kapasitas masyarakat dampingan. Upaya-upaya tersebut dijalankan secara sembunyi maupun terbuka.

Ada dua isu penting yang menjadi agenda kerja OMS, pertama berkenaan dengan kemanusiaan pada masa penetapan Daerah Operasi Militer (DOM). Pada masa konflik, OMS banyak terlibat dalam isu penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) dan menggulirkan isu perdamaian serta terlibat dalam proses-proses perdamaian. Sedangkan kedua, berkenaan dengan isu perdamaian (keadilan) paska DOM dan paska tsunami dan MoU Helsinki (Otto Syamsuddin Ishak, 2009)3.

Sejak tahun 1998, OMS di Aceh melakukan usaha-usaha untuk mendukung pembangunan perdamaian. Kenyataan ini ditandai dengan berlangsungnya aktivitas yang dilakukan oleh peneliti, mahasiswa maupun berbagai lembaga lainnya melalui diskusi, seminar, workshop, bahkan pendampingan komunitas serta advokasi kebijakan. Mengenai advokasi kebijakan diwujudkan dalam bentuk penolakan terhadap penetapan status darurat militer di Aceh.

Pada masa kritis setelah gempa dan tsunami, OMS Aceh ikut serta dalam membantu situasi yang terjadi seperti penanganan pengungsi serta agenda lainnya. Aktivitas utama OMS Aceh berkenaan dengan penanganan pengungsi dan pemenuhan hak-hak korban. Hal ini berdampak pada peningkatan keahlian (aktivis menjadi profesional) serta peningkatan kemampuan dalam pengelolaan dana dan jaringan, baik nasional maupun internasional (Otto Syamsuddin Ishak, 2009 hal. 77)4.

3 Lihat Otto Syamsuddin Ishak (2009) dalam OMS Aceh sebagai Kekuatan Strategis, makalah disampaikan dalam Konferensi OMS; Tindakan Strategis Paska Pemulihan ke Arah Pembangunan yang Berkelanjutan, Banda Aceh 22-23 Maret.

(4)

OMS sebagai salah satu pendukung damai Aceh merupakan produk pembangunan dan merupakan generasi yang transformatif. Generasi baru tersebut terdiri dari kalangan terdidik baik di dunia pendidikan maupun organisasi masyarakat, yang mempunyai integritas moral, kritis, beradab dan berpandangan visioner5. Dari berbagai konsep tentang perdamaian, termasuk pendekatan dalam peacebuilding, baik liberal maupun

human security, tetap menempatkan OMS sebagai aktor yang penting dan strategis. “Terutama, keterlibatan masyarakat sipil merupakan sebuah faktor paling penting dalam menentukan apakah inisiatif pembangunan perdamaian pasca konflik akan sukses atau gagal”, demikian ungkap Corrine Parver dan Rebecca Wolf (2008)6.

2. Permasalahan dan Tantangan

Dalam pandangan sosiologis, perubahan terus berlangsung di Aceh, dari masa yang tertutup menuju proses keterbukaan dalam segala lini kehidupan. Demikian pula dengan masyarakat yang selalu bergerak, berkembang, dan berubah, terutama dalam mewujudkan situasi yang diharapkan oleh masyarakat. Mengacu J. Dwi Narwoko – Bagong Suyanto (2004)7 yaitu :

“masyarakat, boleh jadi memang tidak pernah “diam”. Masyarakat selalu bergerak, berkembang, dan berubah. Dinamika masyarakat ini terjadi bisa faktor internal yang inheren melekat dalam “diri” masyarakat itu sendiri, dan bisa juga karena faktor lingkungan eksternal”.

Berdasarkan seluruh proses dan pengalaman OMS Aceh, menjadi dasar untuk mengetahui apasaja langkah-langkah strategis yang telah dipersiapkan OMS guna merespon pembangunan perdamaian di Aceh. Selanjutnya, penting pula untuk mengetahui bagaimana OMS Aceh melakukan penggalangan sumberdaya yang dapat menunjang keberlanjutan kerja-kerjanya di dalam masyarakat.

5 Lihat Pelajaran dari Aceh: Masyarakat Sipil Mendemokratiskan Daerah (2009), Yappika, Jakarta. Hal 7.

6 Lihat Sutoro Eko dan Afrizal Tjoetra (2012): Membangun Perdamaian Aceh; Pelajaran dan Sumbangan Organisasi Masyarakat Sipil melalui TERAPAN, ADF. Hal. 35.

(5)

Disisi lain, paska Pemilu Legislatif 2009 dan Pemilu Gubernur/Wakil Gubernur serta Kabupaten/kota pada April 2012 lalu, menjadi bagian penting untuk memastikan peran yang dapat dilakukan OMS di Aceh. Proses politik tersebut dapat menjadi peluang sekaligus tantangan bagi OMS di Aceh. Menjadi peluang, mengingat potensi mendorong perdamaian akan lebih mulus, proses pengambilan kebijakan publik akan lebih mudah, serta potensi kolaborasi OMS dengan parapihak kian terbuka. Di sisi lain, sangat mungkin menjadi tantangan mengingat pengalaman yang dimiliki dalam mengelola tata pemerintahan dan pemenuhan aspirasi politik kepentingan jangka pendek.

Tantangan lainnya berkenaan dengan pembangunan perdamaian itu sendiri. Perdamaian Aceh tentu belum tuntas meskipun berbagai kemajuan bersamaan dengan demokratisasi dan pembangunan terus berlangsung. Secara horizontal Aceh memang

tidak menyajikan konflik terbuka antar agama maupun antar etnis dan antar subetnik, tetapi pemilahan masyarakat (devided society) berdasarkan garis afiliasi politik terasa kuat8. Suasana psikologis dan wacana mengenai orang GAM dan orang biasa masih sangat terasa, sehingga hal ini menimbulkan jarak sosial dan menjadi kendala sosio-psikologis bagi upaya reintegrasi, kerjasama dan kohesi sosial (Sutoro Eko dan Afrizal Tjoetra, 2012).

Selain itu, menurut Direktur Pusat Studi Perdamaian dan Resolusi Konflik Universitas Syiah Kuala, Saifuddin Bantasyam (2012), tantangan perdamaian Aceh sebagai berikut9:

Salah satu hal terpenting ialah Aceh merupakan daerah bekas konflik. Ada dua tantangan di sini; memastikan bahwa konflik tidak lagi berulang, memastikan konsolidasi pascakonflik berlangsung dengan lancar, dan memastikan bahwa pemerintah baru yang terpilih mampu mengakomodasi berbagai tantangan dengan cara-cara yang demokratis. Di daerah bekas konflik, tantangan itu antara berupa terlalu tingginya harapan orang terhadap demokrasi, penegakan hukum dan keadilan, dan pertumbuhan ekonomi. Tantangan lainnya adalah adanya kelompok yang bersikap sangat apatis terhadap apa pun yang dilakukan oleh pemerintah. Keduanya sama berbahayanya, khususnya ketika pemerintah tidak tahu cara yang terbaik dalam menghadapi tantangan tersebut.

8 Sutoro Eko dan Afrizal Tjoetra (2012): Membangun Perdamaian Aceh; Pelajaran dan Sumbangan Organisasi Masyarakat Sipil melalui TERAPAN, ADF.

(6)

Untuk memastikan situasi damai terus berkelanjutan, maka berbagai pihak yang sebelumnya terlibat aktif mendorong perdamaian harus pula ikut aktif membangun perdamaian (peace building). Mengingat, kondisi damai saat ini bukan tidak mungkin kembali berputar pada situasi konflik.

3. Masyarakat Sipil dan Organisasi Masyarakat Sipil untuk Keberlanjutan Perdamaian 3.1. Masyarakat Sipil dan Organisasi Masyarakat Sipil

Istilah masyarakat sipil sebetulnya telah diperdebatkan sejak abad 17. Pada masa itu konsep masyarakat sipil perlahan-lahan bertaut dengan gagasan tentang asal-usul negara atau masyarakat politik sebagai hasil kontrak sosial sebagaimana dikembangkan oleh Thomas Hobbes (1588-1679), Jhon Locke (1632-1794), dan Jean Jacques Rousseau (1712-1778)10. Rousseau, Locke, dan Hobbes mengidentikkan masyarakat sipil sama-sebangun dengan negara dan masyarakat politik (Culla, 2006 hal. 53). Namun pada abad 18-19, istilah masyarakat sipil hanya mengacu pada bagian sipil masyarakat, dan yang terpisah dari pasar dan negara. Gagasan ini dikembangkan diantaranya oleh Thomas Paine dan Immanuel Kant. Pemikir dan aktivis liberal seperti Thomas Paine (1737-1809) menganggap perlu adanya pemisahan tegas antara domain masyarakat sipil dan domain negara. Lalu, gagasan tersebut juga dikembangkan oleh Immanuel Kant (1724-1804) (Culla, 2006, hal. 46-47).

Istilah masyarakat sipil yang luas memiliki dua arti dasar. Pertama, masyarakat sipil yang mengacu pada istilah beradab, yang bermakna masyarakat yang baik. Kedua, masyarakat sipil didefinisikan sebagai warga yang saling berasosiasi dalam berbagai tujuan dengan berlandaskan pada kebaikan maupun keburukan, kekerasan maupun non-kekerasan11.

10 Lihat Adi Suryadi Culla ((2006) dalam Rekonstruksi Civil Society : Wacana dan Aksi Ornop di

Indonesia. Jakarta: Pustaka LP3ES. Hal. 44

(7)

Mengenai OMS12 dipahami beragam hingga saat ini. Salahsatu pandangan yang mengakomodasikan berbagai bentuk organisasi yang tumbuh di tengah masyarakat secara mandiri dan terbebas dari intervensi negara maupun kelompok pengusaha dinyatakan oleh CIVICUS13. Walau definisi yang disampaikan berorientasi pada masyarakat sipil namun dapat diketahui gambaran tentang OMS, yaitu :

“sebuah arena, yang berbeda dari negara dan pasar, di mana anggota masyarakat berkelompok dan berinteraksi satu dengan yang lain untuk mendefinisikan, menyatakan, dan mendorong nilai-nilai, hak-hak dan kepentingan-kepentingan mereka”14.

Menurut Iwan Gardono Sujatmiko (2001) setidaknya ada 3 (tiga) kutipan yang menunjukkan tentang civil society, yakni pertama civil society I yang lebih menekankan aspek horizontal dan merupakan konsep budaya. Kedua, konsep civil society II lebih menekankan aspek vertikal dan lebih menekankan aspek politik, dan ketiga, adalah cakupan antara civil society I dan civil society II, yakni civil society III. Mengutip Afan Gaffar, civil society III adalah15:

“Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa civil society merupakan suatu space atau ruang yang terletak antara negara di satu pihak, dan masyarakat di pihak lain, seperti yang dikatakan oleh Michael Walker (1995), dan dalam ruang tersebut terdapat asosiasi warga masyarakat yang bersifat sukarela hubungannya dikembangkan atas dasar toleransi dan saling menghargai satu sama lainnya.”16 (garis bawah oleh Iwan Gardono Sujatmiko)

Selain itu, Adi Suryadi Culla (2006) menyatakan bahwa konsep masyarakat sipil hakikatnya merupakan konsep tentang masyarakat yang mandiri atau otonom. Sehingga dapat “membatasi” diri dari intervensi pemerintahan dan negara dalam realitas yang

12 Lihat Afrizal Tjoetra dan Ferry Yunifer (2009) dalam Investasi untuk Perubahan di Aceh, IMPACT. Berikutnya dinyatakan bahawa OMS bukanlah sebuah istilah yang hanya diperuntukkan bagi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) semata, tetapi juga mencakup pertubuhan-pertubuhan keagamaan, pertubuhan rakyat, kelompok sosial, pertubuhan perempuan, pertubuhan kepemudaan, kelompok tani, pertubuhan buruh, pertubuhan profesi, dan lain-lain, termasuk LSM di dalamnya.

13 CIVICUS merupakan sebuah organisasi nirlaba tingkat internasional yang keanggotaannya terdiri dari kumpulan Organisasi Masyarakat Sivil (OMS) dan individu yang menekuni perkembangan masyarakat sipil di berbagai Negara, sekaligus melakukan advokasi untuk penguatan masyarakat sivil. Lihat Abdi Suryaningati dalam op.cit, 2003, hal. 14.

14 Lihat Abdi Suryaningati dalam op.cit, 2003, hal. 15.

15 Iwan Gardono Sujatmiko (2001) dalam Wacana Civil Society, Jurnal Labsosio FISIP-Universitas Indonesia, Jakarta. Hal. 37-42.

(8)

diciptakannya, serta senantiasa memperlihatkan sikap kritis dalam kehidupan politik. Sejumlah karakteristik penting yang menjadi rujukan mengacu pada ciri-ciri utama, yakni otonomi politik berhadapan dengan negara, di samping aspek keswadayaan (self

supporting), dan keswasembadaaan (self generating)17. Acuan konseptual masyarakat

sipil18 dapat dilihat sebagai berikut :

Gambar 1:

Acuan Konseptual Masyarakat Sipil

ACUAN KONSEPTUAL MASYARAKAT SIPIL (CIVIL SOCIETY)

CIVIL SOCIETY

Merujuk pada pandangan ahli di atas, dapat dipahami bahwa keberadaan OMS di Aceh bukanlah sesuatu yang baru. Pembentukan dan pengembangannya mengacu pada perkembangan OMS di Indonesia. Di Aceh, embrio OMS sudah ada sebelum tahun 1970-an19, dengan adanya organisasi keagamaan dan Dayah (pesantren) yang menangani

17 Larry Diamond, “Rethinking Civil Society: Toward Democratic Consolidation”, dalam Journal of

Democracy, Juli 1994, hal. 5; Muhammad AS Hikam, Demokrasi dan Civil Society (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 1997), hal. 3; Muhammad AS Hikam, “The State, Grassroots Politics and Civil Society: A Study of Sosial Movements Under Indonesia’s New Order (1989-1994)” (Disertasi, University of Hawaii, Mei 1995), hal. 28, dalam Investasi untuk Perubahan di Aceh, hal. 44.

18 Lihat Adi Suryadi Culla (2009) dalam Pengembangan Masyarakat Sipil dalam Konteks Hubungan Negara dan Masyarakat,” disampaikan pada Konferensi Organisasi Masyarakat Sipil: Tindakan Strategis Paska Pemulihan ke Arah Pembangunan Berkelanjutan Aceh,” Banda Aceh, 22 -23 Maret . Bagan ini juga dapat dilihat pada Adi Suryadi Culla (2006) dalam Rekonstruksi Civil Society: Wacana dan Aksi Ornop di Indonesia. Hal. 72

(9)

masalah-masalah umat melalui jalur pendidikan dan peningkatan pendapatan ekonomi rakyat.

Perkembangan OMS non-keagamaan mulai muncul di Aceh pada periode 80an, yang diinisiasi oleh kalangan kampus. Kelahiran Organisasi non Pemerintah (Ornop— merupakan bagian dari OMS) di Aceh didorong oleh idealisme atau cita-cita untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat di pedesaan yang miskin dan marginal. Aktivitas OMS pada saat itu berupa pemberdayaan rakyat miskin melalui kegiatan-kegiatan yang sifatnya masih sangat karitatif, seperti halnya kegiatan peningkatan pendapatan, pendidikan ketrampilan dan kegiatan-kegiatan yang sifatnya menjawab persoalan kemiskinan. Namun, ketika aktivitas pembangunan telah membawa dampak negatif terhadap kehidupan rakyat dan kerusakan lingkungan hidup, kasus-kasus lingkungan yang dihadapi masyarakat mulai disuarakan, meskipun tidak senyaring di daerah-daerah lain, mengingat situasi Aceh yang masih dilanda konflik.

Situasi konflik yang terjadi, dalam derajat tertentu, memberikan tekanan terhadap OMS di Aceh. Namun, kiprah OMS tetap berlangsung, bahkan terlibat secara aktif dalam proses-proses perdamaian, seperti upaya penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) yang disuarakan Forum LSM Aceh, Koalisi NGO HAM Aceh dan bahkan Kelompok Kerja Transformasi Gender (KKTG) Aceh. Beberapa kegiatan kerjasama antara OMS dengan mahasiswa terjadi dalam bentuk advokasi pencabutan DOM. Serta, upaya-upaya dalam hal sosialisasi MoU Helsinki pada publik, sebagaimana yang dilakukan oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh serta jaringannya.

Selain itu, kegiatan advokasi Rancangan Undang-undang Pemerintahan Aceh (RUUPA) yang ditunjukkan oleh Jaringan Demokrasi Aceh (JDA)20. Pengalaman advokasi ini juga menunjukkan bagaimana OMS di Aceh berhasil membangun sinergi

(10)

dengan OMS di luar Aceh dan aktor-aktor non-OMS tanpa kehilangan jati dirinya sebagai pihak yang kritis menyikapi perkembangan yang terjadi21.

3.2. Tipologi OMS di Aceh

Sejak tahun 1970-an, berbagai LSM pembangunan yang bergerak di bidang pelayanan sosial dan ekonomi telah hadir di Aceh. Selanjutnya, sebagai bentuk respon terhadap perkembangan pembangunan, terutama industrialisasi, pada 1980-an muncul banyak LSM yang bergerak dalam isu-isu pengelolaan dan pelestarian lingkungan hidup (Lili Hasanuddin, 2009).

Selanjutnya, pada 1990-an, di Indonesia muncul gerakan-gerakan LSM yang bergerak dalam advokasi HAM dan demokrasi dengan berbagai tuntutan seperti dipulihkannya hak-hak sipil dan politik rakyat, menentang pelanggaran HAM yang dilakukan negara serta menuntut demokratisasi politik (Lili Hasanuddin, 2009). Proses ini juga berlangsung di Aceh mengingat dalam kurun waktu 1989-1998 berbagai peristiwa pelanggaran HAM berlangsung di Aceh dan mulai dikampanyekan, setidaknya oleh aktivis yang tergabung dalam Koalisi NGO HAM Aceh.

Terkait dengan penggalangan dana publik, maka dapat diperoleh perbedaan sikap OMS. Temuan yang diperoleh menunjukkan adanya perbedaan sikap dan pandangan antara LSM tipe developmentalistik dan tipe advokasi. LSM developmentalis berpendapat bahwa mereka bersedia dan terbuka dalam menggunakan dana publik untuk kegiatannya, bahkan dana pemerintah sekalipun tidak dipersoalkan. Sebaliknya, LSM advokasi atau transformatif cenderung lebih memilih untuk membangun kemitraan dengan mengandalkan donor yang bersumber dari lembaga-lembaga non-pemerintah, termasuk donor asing22.

21 Lihat Lili Hasanuddin (2009) dalam Investasi untuk Perubahan di Aceh, IMPACT, Banda Aceh. Hal. 12.

(11)

Selanjutnya, tipologi OMS Aceh dapat pula dilihat sesuai focus utama yang dilaksanakan oleh lembaga23. Pembagiannya terdiri dari; shortime recovery,

peace-related activities, democracy and justice, human right, education, empowerment of

women, corruption and good governance, economic livelihood and income generating,

ulama and media.

Mengikuti penggolongan NGO yang disampaikan Billah (2000), maka sebagian besar NGO di Aceh dari tahun 1980 hingga akhir 1990-an itu dapat digolongkan sebagai NGO yang bersifat developmentalist, yang mana NGO ini cenderung kompromi dengan pemerintah dan bahkan mendukung program-program yang dilaksanakan pemerintah. Hanya sebahagian kecil NGO yang dapat digolongkan sebagai NGO reformist atau

transformatoris24.

Selain itu, OMS Aceh secara khusus dapat pula dibagi mengikuti wilayah kerja25. Mengacu pada Kamarulzaman dan Lukman (2002), diketahui bahwa OMS Aceh terdiri dari :

Garis pertama, terdiri dari kumpulan masyarakat sipil yang bekerja di dalam wilayah Aceh. Garis kedua, terdiri dari kumpulan warga Aceh yang berada di luar Aceh, serta garis penyokong, yang berisikan kumpulan masyarakat sipil bukan Aceh yang menumpukan perhatian dalam pembangunan perdamaian dan transformasi konflik di Aceh.

Realitas dan fenomena OMS di Indonesia (termasuk Aceh) menunjukkan bahwa sangat sulit untuk membuat suatu generalisasi yang mencakup seluruh keragaman daerah-daerah di Indonesia. OMS di setiap daerah-daerah berkembang menurut pola yang spesifik. Secara umum, berikut kesimpulan yang dapat diketahui26:

23 Kamarulzaman Askandar (2007), “Building Peace: Reflection from Southeast Asis, SEACSN Publication. Hal. 193-194.

24 Lihat Lukman (2007) dalam Peranan Masyarakat Sivil dalam Transformasi Konflik Aceh, University Sains Malaysia (USM)-Malaysia. Hal. 118.

25 Lihat Lukman (2002) mengutip proposal yang tidak dipublikasikan “Conflict Transformation in Aceh: Strengthening Civil Society as an Agenda for Peace”, oleh Kamarulzaman Askandar and Lukman Age, Research and Education for Peace, Universiti Sains Malaysia-Malaysia.

(12)

a. Hubungan negara – masyarakat sipil di Indonesia sangat dipengaruhi oleh konteks lokal (budaya masyarakat dan budaya politik), karakter OMS (SDM dan manajemen, finansial, model gerakan, jaringan), dan dinamika ekonomi politik lokal dan nasional. Fakta-fakta yang ada menunjukkan bahwa ciri-ciri khusus daerah seharusnya menjadi perhatian dalam perencanaan pengembangan masyarakat sipil.

b. OMS merupakan potensi penting bagi proses konsolidasi demokrasi di Indonesia. Terdapat banyak LSM di tingkat lokal yang telah memiliki kapasitas yang memadai dan mampu memberi pengaruh positif dalam mengelola hubungan negara dan masyarakat sipil. LSM-LSM ini kemudian menjadi patron (secara tidak langsung) bagi pertumbuhan LSM-LSM baru, dimana kemampuan dalam manajemen organisasi, pengelolaan pendanaan, dan kapasiti jaringan dengan lembaga-lembaga di peringkat nasional maupun internasional yang dimiliki dapat menjadi pendorong pertumbuhan OMS yang sehat di tingkat lokal.

Dengan demikian, jika mengacu pada pendapat di atas, dapat dinyatakan bahwa tipologi OMS Aceh dapat dikategorikan pada 3 (tiga) bagian utama yakni karitatif, developmentalis, serta transformatif sesuai dengan isu dan wilayah kerjanya.

3.3. Posisi OMS di Aceh Pasca Konflik

Pasca penandatanganan MoU Helsinki dan bencana tsunami, OMS di Aceh lebih fokus kepada isu kemanusiaan dan perdamaian. Aktivitas utamanya terlibat dalam proses-proses rehabilitasi dan rekonstruksi serta reintegrasi. Keterlibatan OMS dalam isu ini, telah membawa keuntungan berupa peningkatan keahlian serta peningkatan kemampuan dalam pengelolaan dana dan jaringan nasional dan internasional.

(13)

pengalaman yang banyak dan kuat dalam pelaksanaan program-program pemberdayaan ekonomi rakyat menjadi sebuah proses penting untuk mendukung usaha perdamaian.

Menurut Otto Syamsuddin Ishak (2009), OMS di Aceh perlu melakukan refleksi guna mengorientasikan dirinya ke masa depan. Tentunya, dengan mempertimbangkan pengalaman semasa DOM dan pasca DOM (OMS sebagai kekuatan politik yang strategis), pengalaman periode pembangunan dan perdamaian (OMS sebagai sumberdaya manusia) dan sistem demokrasi yang telah berubah (OMS sebagai sumberdaya manusia). Berdasar uraian di atas, dapat dinyatakan bahwa perkembangan OMS Aceh memiliki dinamika khusus. Jika mengacu pada konflik yang terjadi maka dapat dipastikan OMS Aceh mengalami tekanan yang kuat untuk dapat berkembang. Apalagi jika dikaitkan dengan bencana tsunami dan gempa, beberapa aktivis OMS Aceh menjadi korbannya. Secara ringkas, penulis ingin menyampaikan tiga hal yang membuat OMS Aceh berperan aktif dalam mendukung terwujudnya perdamaian termasuk pembangunan perdamaian pasca konflik, yaitu :

Pertama: ragam upaya OMS Aceh pada masa konflik dan semasa bencana tsunami,

berkembang sesuai dinamikanya walau mendapat tekanan oleh kebijakan yang tidak ramah selama Orde Baru dan situasi konflik di Aceh. Hal ini diyakini memiliki perbedaan dinamika dengan OMS wilayah lainnya. Bahkan terdapat berbagai penggolongan OMS Aceh sesuai dengan upaya dan konstribusinya. Penggolongan OMS Aceh dimaksud untuk memastikan konstribusi yang saling mendukung antar OMS di Aceh. Sehingga berbagai upaya yang dilakukan tidak saling meniadakan antara satu organisasi dengan yang lainnya, baik yang dipandang developmentalis mahupun transformatif.

Kedua: OMS berbeda dengan negara dan swasta. Perbedaan ini mempermudah upaya

(14)

politic), di samping aspek keswadayaan (self supporting), dan keswasembadaaan (self generating)27.

Hubungan yang efektif menghasilkan pelbagai kebijakan untuk pembangunan perdamaian, misalnya dalam pembentukan UU tentang Pemerintahan Aceh. Bahkan, interaksi ini masih bertahan hingga pembentukan beberapa Qanun lainnya28 sebagai peraturan turunan dari UU Pemerintahan Aceh. Perkara ini juga berproses selama penanganan pasca bencana, seperti dihuraikan di atas. Sehingga bila aktivis OMS Aceh tidak berkelanjutan mengupayakan posisinya akan memberi dampak terhadap peranannya pada masa yang akan datang.

Hakikatnya, walau berbeda dalam tiga organ, namun parapihak dimaksud dapat saling memperkuat dalam proses perubahan. Keberpihakan OMS hanya pada kebijakan atau proses pembangunan yang mendukung kepentingan masyarakat. Sehingga independensi aktivis OMS menjadi keharusan pada masa pembangunan perdamaian, dengan tetap membangun hubungan positif antara negara dan pasar.

Ketiga : proses peacebuilding di Aceh memerlukan keterlibatan banyak pihak dengan

ragam fungsinya. Mengacu pada Lederach (1997), dapat dipastikan bahwa ketiga tingkatan aktor memiliki peranan penting dalam pembangunan perdamaian (Lukman, 2007).

Bauran ketiga perkara di atas membuat peranan OMS Aceh dalam pembangunan perdamaian dapat berkelanjutan. Pengalaman-pengalaman yang diperoleh semasa konflik dan bencana tsunami dapat menjadi pembelajaran sehingga peran yang dilaksanakan sesuai dengan perubahan keadaan, baik internal maupun lingkungan

27 Larry Diamond (1994), “Rethinking Civil Society: Toward Democratic Consolidation”, dalam

Journal of Democracy, Hal. 5; Muhammad AS Hikam, Demokrasi dan Civil Society (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 1997), hal. 3; Muhammad AS Hikam, “The State, Grassroots Politics and Civil Society: A Study of Sosial Movements Under Indonesia’s New Order (1989-1994)” (Disertasi, University of Hawaii, Mei 1995), hal. 28, dalam Investasi untuk Perubahan di Aceh, IMPACT, Banda Aceh. Hal. 44.

(15)

eksternal. Konstribusi dimaksud akan berlangsung efektif apabila adanya dukungan dari negara, utamanya dalam hal jaminan partisipasi masyarakat serta pada proses perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan. Selain itu, dipastikan pula dukungan dari pasar terhadap upaya-upaya yang tengah dan akan dilaksanakan OMS Aceh. Termasuk berkonstribusi dalam pendanaannya melalui Corporate Sosial

Responsibility (CSR).

Sekiranya konstribusi OMS Aceh ini berkurang, maka dikhawatirkan proses pembangunan perdamaian dalam masyarakat mengalami hambatan. Terutama dalam hal menyuarakan berbagai isu dan kasus-kasus yang terjadi, seperti dalam bidang ekonomi, pemenuhan HAM, sosial, pelayanan dasar dan demokratisasi di Aceh. Oleh karenanya pengalaman-pengalaman positif dapat diteruskan, baik di Aceh ataupun sebagai pembelajaran bagi kawasan konflik lainnya.

3.4. Organisasi Masyarakat Sipil dan Pembangunan Perdamaian

Aktor merupakan komponen penting dalam perdamaian, demokratisasi dan pembangunan, termasuk dalam jalur, tahap dan agenda pembangunan perdamaian. Jika jajaran elite mempunyai posisi dan peran penting dalam level makro, OMS bisa masuk ke semua ranah, ke empat kuadran (aktor dan jalur serta makro dan mikro). Setiap literatur perdamaian, termasuk pendekatan dalam peacebuilding, baik liberal maupun human

security, tetap menempatkan OMS sebagai aktor yang penting dan strategis29.

Merujuk pada Lederach (1997), dapat dipastikan bahwa 3 peringkat kepimpinan—

top ledearship, middle-range leadership, serta grassroot leadership, memiliki peran penting dalam pembangunan perdamaian. Namun secara khusus Lederach menekankan pentingnya proses bottom-up30.

29 Lihat Sutoro Eko dan Afrizal Tjoetra (2009) dalam Membangun Perdamaian Aceh; Pelajaran dan Sumbangan Organisasi Masyarakat Sipil melalui TERAPAN, ADF. Hal. 35

(16)

Gambar 2 :

Aktor dan Pendekatannya dalam Pembangunan Perdamaian Sumber : Lederach (1997: 39)31

Selain itu, Kusnanto Anggoro (2009) menyatakan bahwa :

Di daerah-daerah paska konflik, pemerintah nasional maupun provinsi dihadapkan pada sejumlah tugas penting untuk merajut kembali kesatuan sosial. Namun pemerintah yang terbentuk kerap dihadapkan pada sejumlah tantangan serius, mulai dari divided government yang kerap menjadi biang inefektifitas penyelenggaraan pemerintahan, sampai dengan reformasi sektor keamanan yang membuka persoalan baru, khususnya koordinasi lintas-instansi yang tidak mudah diwujudkan baik karena tidak adanya otoritas politik maupun karena tidak adanya aturan main yang disepakati bersama. Di lain pihak, masyarakat kerap kali masih tenggelam dalam persoalan lama. Memori kolektif tentang konflik tidak dengan sendirinya terhapus hanya dengan perjalanan waktu32.

31 Lihat Jhon Paul Lederach (1997) dalam Building Peace: Sustainable Reconciliation in Divided

Societies.

(17)

Sehingga, Kusnanto Anggoro menyatakan masyarakat sipil dapat mengisi ruang atau dalam keadaan tertentu menciptakan ruang baru yang tidak digarap oleh negara dan tidak dapat dibangun sendiri oleh masyarakat umum. Mereka yang tergabung dalam human

rights group dan civic organization dapat memainkan peran untuk memelihara

kesejajaran antara theory and practices of democracy. Mereka yang lebih peduli pada pembangunan berkelanjutan bisa memainkan peranan penting untuk memantau seluk beluk rencana pembangunan. Asosiasi-asosiasi profesi dapat menyumbangkan kompetensinya masing-masing untuk membantu negara dan memberdayakan masyarakat. Sektor privat dapat memainkan peranan penting untuk memperkuat ekonomi rakyat. Elit strategis, khususnya yang tidak berafiliasi dengan partai politik, dapat memberi gagasan ke atas institusi-institusi negara atau menjadi perantara antara negara dan masyarakat.

Perdamaian Aceh yang tengah berlangsung merupakan satu cerita keberhasilan dalam resolusi konflik atau perdamaian di Indonesia dan dunia internasional. Perdamaian Aceh, menghasilkan Nobel Perdamaian bagi fasilitatornya yaitu Marti Ahtisaari. Terjadi ”win-win solution” antara Republik Indonesia yang semula dengan option Otonomi Khusus, dan GAM dengan opsi Merdeka, akhirnya menjadi ”self goverment” yang ditransformasikan kedalam UUPA33.

Selanjutnya, Ichsan Malik (2009) juga menyampaikan bahwa meskipun pendekatan dari atas sangat siginifikan untuk penyelesaian konflik di Aceh, namun kontribusi dari kelompok masyarakat sipil bukan bermakna tidak ada bagi upaya terwujudnya perdamaian Aceh. ACSTF (Acehnese Civil Society Task Force), adalah salah sebuah dari OMS Aceh, yang sejak awal pendiriannya pada tanggal 8 Oktober 2001, sudah gencar membuat kampanye bahwa penyelesaian konflik kekerasan di Aceh harus dilakukan dengan cara dialog. Mereka secara berkesinambungan membuat persidangan antar negara. Bermula daripada ”Brotherly Dialog among Acehnese for a Just Peace in Aceh" di Washington DC, 5 hingga 8 Oktober 2001. Persidangan tersebut diadakan oleh International Forum For Aceh (IFA) dan Global peace Centre of American University.

Kemudian berbagai pertemuan dialog Aceh damai terus dilakukan oleh ACSTF di tingkat

(18)

nasional, maupun di tingkat lokal (Ichsan Malik, 2009). Pengakuan konstribusi OMS Aceh dalam membangun perdamaian seperti uraian di atas, tentunya tidak harus berhenti setelah penandatanganan kesepahaman damai dilaksanakan. Setidaknya, menurut Ikrar Nusa Bhakti (2009) pada tataran yang konkret masyarakat sipil di daerah konflik harus:

pertama, semakin membuka diri satu dengan lain. Inklusifisme jauh lebih baik dan positif

bagi kerjasama dan perdamaian. Keterbukaan akan menimbulkan saling pengertian, dari saling pengertian akan terbuka ruang bagi kerjasama, dan dari kerjasama itu akan terbuka pintu perdamaian. Kedua, pemimpin kelompok masyarakat sipil sepatutnya dapat menyebarkan virus perdamaian dan menutup rapat peluang bagi informasi negatif yang dapat menimbulkan konflik baru34.

OMS sendiri, menurut studi yang ada juga mengandung berbagai keterbatasan. Studi World Bank (2006)35 telah memberikan ringkasan kelebihan, keterbatasan dan tantangan OMS dalam pembangunan perdamaian seperti di bawah ini :

Tabel : 1

Ringkasan kekuatan, kelemahan dan tantangan OMS

Strengths

Better information on reality on the ground Can work where government can not (areas) Can speak to parties government can not reach

Can work on social change issues government often can not CSOs are better grounded, particularly community-based organizations who enjoy trust and legitimacy

Can inform and monitor policies (the view from below) CSOs operate more flexibly and adapt better to the context

Limitations/ Often tense relations with, disregard and mistrust from government

Capacity to act in situations of violent conflict equally hampered

NGOs may weaken the state, by substituting service delivery for too long periods

Challenges Sheer diversity of CSOs, hence different motivations,

34 Lihat Ikrar Nusa Bhakti (2009) dalam Demokrasi dan Keamanan (Perdamaian), Propatria Institute. 35 Lihat Sutoro Eko dan Afrizal Tjoetra (2009) dalam Membangun Perdamaian Aceh; Pelajaran dan

(19)

capacities, contributions

Effectiveness of CSO peacebuilding initiatives difficult to measure

Tension between having constituency ties (leading partisanship) and impartiality and neutrality

Key conditions for peace are often out of reach for CSOs Sumber: World Bank, 2006.

Menurut laporan World Bank (2006) yang dikutip Sutoro Eko (2012), yang dapat dikategorikan sebagai organisasi civil society dalam peacebuilding antara lain:

• NGO, khususnya yang secara langsung mendukung proses perdamaian atau capacity building

• Organisasi Hak Asasi Manusia, kelompok advokasi keadilan sosial, dan jaringan perdamaian

 Organisasi yang memiliki kepentingan khusus, seperti kelompok keagamaan, perempuan, kepemudaan, dan asosiasi profesional

• Organisasi komunitas, seperti asosiasi petani, dan pemimpin tradisional

• Organisasi yang bergerak di bidang pendidikan atau informasi, seperti media independen, asosiasi wartawan, lembaga-lembaga riset dan think-tanks.

3.5. Peran dan Fungsi OMS untuk Pembangunan Perdamaian Aceh

Merujuk Sutoro Eko (2012), dengan cara pandang fungsional, OMS memainkan beragam peran dalam pembangunan perdamaian. Sejumlah literatur (Béatrice Pouligny, 2005; World Bank, 2006; Thania Paffenholz Christoph Spurk, 2006; Catherine Barnes, 2006; Thania Paffenholz, 2009; ProPatria, 2009) pada umumnya menyampaikan tujuh fungsi OMS sebagai berikut:

(20)

dibidang advokasi dan organisasi kemasyarakatan. Namun, penting untuk dicatat bahwa fungsi proteksi ini juga dijalankan oleh aktor-aktor lainnya, khususnya oleh negara yang justru kerapkali menjadi aktor utama yang paling bertanggungjawab dalam menjalankan fungsi proteksi. Keikutsertaan NGO dalam menjalankan fungsi proteksi ini tidak boleh menjadi faktor yang justru memperumit konflik akibat ketumpangtindihan dengan aktor-aktor lainnya yang menjalankan fungsi yang sama.

Kedua, fungsi monitoring/peringatan dini, yang mencakup kegiatan mendeteksi berbagai persoalan yang dapat melahirkan kembali konflik. Fungsi monitoring ini umumnya dimaksudkan untuk meningkatkan responsibilitas pihak-pihak terkait dalam menjalankan butir-butir kesepakatan damai, sekaligus untuk mengawasi agar tidak terjadi pelanggaran yang dapat mengundang kembalinya konflik.

Ketiga, fungsi advokasi dan atau komunikasi publik, yakni artikulasi kepentingan khusus, utamanya kepentingan kelompok terpinggirkan (marginal), mengangkat isu-isu yang relevan kedalam perdebatan publik, membuka saluran komunikasi, meningkatkan kesadaran warga, dan mendorong debat publik, dan keterlibatan secara aktif dalam proses perdamaian yang resmi.

Keempat, sosialisasi, yang mencakup kegiatan untuk mendorong praktik-praktik demokratis dan terbangunnya nilai-nilai perdamaian dalam masyarakat, termasuk sikap toleransi, saling percaya, dan penyelesaian konflik tanpa kekerasan. Aktivitas sosialisasi pada umumnya cenderung mengadopsi pendekatan resolusi konflik, dengan kegiatan-kegiatan seperti fasilitasi dialog, prakarsa rekonsiliasi, pendidikan perdamaian, program pertukaran, serta pelatihan-pelatihan resolusi konflik dan peningkatan kapasitas (capacity building).

(21)

intermediasi/fasilitasi, dalam rangka membangun komunikasi antar kelompok masyarakat dan antara masyarakat dan negara. Dalam konteks peacebuilding, fungsi ini dapat dilaksanakan tidak hanya antara negara dan warga, tetapi juga diantara pihak-pihak yang bertikai, dalam sebuah kelompok, dan pada semua level masyarakat. Aktivitas yang sering dilakukan oleh NGO dalam menjalankan fungsi ini prakarsa fasilitasi formal dan informal diantara pihak-pihak yang bertikai, maupun antara masyarakat dengan aktor-aktor lainnya seperti lembaga donor, lembaga yang bergerak di bidang development. Fungsi ini dapat dijalankan oleh NGO lokal dengan bekerjasama dengan NGO internasional.

Ketujuh, fungsi pelayanan, yakni memberikan pelayanan kepada masyarakat, yang dapat berfungsi sebagai entry points bagi peacebuilding. Di negara atau wilayah pasca konflik, kemampuan negara untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat akan berkurang, dan NGO dapat menjadi aktor yang membantu memberikan layanan kepada masyarakat. Pendidikan darurat dan pelayanan kesehatan merupakan dua contoh kegiatan yang kerap dilakukan oleh NGO dalam menjalankan fungsi pelayanan ini kepada masyarakat.

(22)

Ketiga, dalam tahap jendela kesempatan untuk perundingan damai, fungsi sosialisasi dan kohesi sosial menempati level aktivitas yang tinggi tetapi tetap berada pada relevansi yang rendah. Berbeda dengan fungsi advokasi dan fasilitasi yang menempati relevansi dan level aktivitas yang sama-sama tinggi. Fungsi pelayanan mempunyai relevansi tinggi tetapi tetap menempati level aktivitas yang rendah. Dalam masyarakat pascakonflik, sosialisasi dan kohesi sosial menempati posisi relevansi dan level aktivitas yang sama-sama tinggi. Pelayanan masuk ke level aktivitas berskala medium dan tetap menempati relevansi yang tinggi. Meujuk Thania Paffenholz, diketahui bahwa fungsi advokasi OMS menempati urutan teratas, kemudian diikuti fasilitasi, proteksi, monitoring, pelayanan, kohesi sosial dan sosialisasi menempati urutan ketujuh.36

Secara umum, Thania Paffenholz (2009) mengambil kesimpulan bahwa fungsi advokasi OMS menempati urutan teratas, kemudian diikuti fasilitasi, proteksi, monitoring, pelayanan, kohesi sosial dan sosialisasi menempati urutan ketujuh37.

Selanjutnya, Lili Hasanuddin (2009) menyatakan bahwa OMS Aceh penting untuk membangun orientasinya sehingga dapat menentukan peran-perannya ke depan. Salah satu orientasi yang dapat dibangun adalah bagaimana mendorong terwujudnya tata pemerintahan Aceh yang demokratis. Untuk itu, maka setidaknya ada lima peran yang selayaknya dimainkan oleh OMS di Aceh, yaitu :

Pertama, hal-hal yang berkaitan dengan penyempurnaan perangkat kebijakan yang mengarah pada tatakelola pemerintahan Aceh yang demokratis. Kedua, mendorong pelaksanaan kebijakan yang sudah ada sesuai dengan semangat yang terkandung di dalamnya. Dalam banyak kasus, dokumen kebijakan saja tidak cukup menjadi cerminan dari pemerintahan yang demokratis. Ketiga, mendorong tercipta sistem pemerintahan yang bersih melalui upaya-upaya pemantauan dan pengungkapan kasus-kasus korupsi, pelanggaran HAM serta pelanggaran-pelanggaran lainnya. Perhatian atas isu ini sekaligus untuk mendorong pemenuhan hak-hak dasar masyarakat yang harus dipenuhi oleh pemerintah.

(23)

Keempat, hal-hal yang berkaitan dengan peningkatan penyadaran publik untuk menjaga perdamaian dan menghindari mencuatnya kembali konflik, termasuk konflik horizontal yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Dalam hal membangun perdamaian dan pencegahan konflik, OMS di Aceh sudah memiliki pengalaman panjang dan bahkan berperan aktif dalam mendorong lahirnya perdamaian di Aceh.

Kelima, hal-hal yang berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat dengan berupaya membuka akses yang lebih besar kepada kalangan masyarakat Aceh, utamanya korban tsunami dan korban konflik, atas sumberdaya ekonomi untuk kehidupan mereka. Dalam konteks ini, OMS dapat menjadi pendamping bagi masyarakat dalam membuka akses yang tersedia.

Dengan demikian, terdapat beberapa peran yang dapat dilaksanakan oleh OMS Aceh untuk memastikan perdamaian yang berkelanjutan. Upaya ini akan terlaksana jika OMS Aceh melakukan perubahan pada internalnya sesuai dengan perubahan yang berlangsung di lingkungan eksternal.

Secara internal, OMS Aceh secara berkelanjutan harus melakukan pembenahan diri berkaitan dengan tatakelola lembaga, kemampuan penggalangan pendanaan, dan kapasitas sumberdaya manusia (SDM) yang tersedia. Pengelolaan lembaga yang terbuka dan demokratis sangat dimungkinkan berkonstribusi terhadap penciptaan kultur perdamaian secara luas dalam masyarakat. Selain itu, pengelolaan pendanaan yang transparan dan akuntabel akan semakin meningkatkan kepercayaan publik. Sehingga akan memberi ruang bagi OMS Aceh untuk memulai atau bahkan melanjutkan upaya-upaya mewujudkan kemandirian pendanaan. Berikutnya, pengelolaan SDM yang efektif akan berdampak terhadap kualitas layanan dan bahkan perluasan jaringan kerja.

(24)

pembangunan perdamaian. Partisipasi aktif masyarakat akan memberi dampak dalam pembentukan kebijakan yang lebih berorientasi pada pemecahan masalah, perencanaan dan pelaksanaan pembangunan yang partisipatif, serta semakin luasnya ruang bagi parapihak untuk saling berinteraksi. Kondisi ini akan meningkatkan kohesi sosial dalam masyarakat. Situasi dan kondisi internal serta dukungan eksetrnal bagi OMS Aceh saling terkait satu dengan lainnya.

Hal ini bersesuaian dengan David C. Korten (2001) bahwa “setidaknya OMS harus mempertimbangkan peran strategis dan berkelanjutan guna memastikan berlangsungnya perdamaian”. Mengingat ragam kebutuhan masyarakat pasca konflik, maka seharusnya transformasi peran OMS harus berlangsung sekaligus memberi dampak pada pembangunan perdamaian. Pada periode konflik, OMS lebih fokus pada upaya-upaya perdamaian maka paska konflik lebih berorientasi pada pembangunan perdamaian. Sehingga, berbagai agenda pembangunan dapat dihasilkan melalui mekanisme yang partisipatif, termasuk pelaksanaan dan pengawasannya. Tentunya, jika mengacu untuk peranan OMS di Aceh, perbedaan situasi politik yang sedang berlangsung akan memberi pengaruh tersendiri bagi OMS Aceh.

Walaupun, pemilihan peran ini memiliki tantangan sendiri, menurut Coen Husain Pontoh (2001), realitas politik menunjukkan LSM mengalami disorientasi dalam gerakannya. Disorientasi itu timbul karena perubahan situasi politik, dari poltik otoriter ke politik liberal. Sikap ambigu dan gamang itu tampak menonjol ketika terjadi pertarungan politik antara eksekutif dan legislatif38.

Berbagai potensi yang dimiliki OMS Aceh dapat ditingkatkan untuk memastikan keberlanjutan perdamaian. Beberapa faktor pendukung dapat dimaksimalkan, seperti kebijakan khusus yang berlangsung di Aceh serta kepercayaan masyarakat Aceh terhadap berbagai upaya yang telah dicapai39, baik selama konflik maupun paska bencana tsunami.

38 Coen Husain Pontoh (2001) dalam Aliansi: Media Aspiratif dan Komunikatif, Yappika. Edisi VI – Oktober 2001. Hal. 10.

(25)

Menurut Juanda Djamal, Sekretaris Jenderal ACSTF (Acehneese Civil Society Task

Force)40 “upaya bersama untuk memperkuat solidaritas masyarakat guna mendukung

perdamaian supaya terus disuarakan, termasuk pula konstribusi dari berbagai lembaga yang selama ini turut memberikan dukungan terhadap perdamaian Aceh”. Selain itu, pemuka masyarakat juga menyampaikan dukungannya agar OMS terus memberikan perhatian serius terhadap proses damai yang tengah berlangsung41. “Kita tak ingin konflik berulang di Aceh”, ungkap Nana Azriana, Koordinator Relawan untuk Kemanusiaan (RPUK) Aceh.

Dengan demikian, OMS Aceh harus mampu merawat jalinan dan solidaritas yang telah terbangun, baik nasional maupun internasional. Proses ini diyakini dapat mempererat cakupan kerjasama dengan berbagai pihak sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat Aceh. Selanjutnya, meningkatkan konstribusi OMS Aceh pada berbagai peristiwa di wilayah nusantara lainnya, dan bahkan pada belahan negara lain. Kedua agenda ini dapat berlangsung apabila OMS Aceh terus memperkaya pengalamannya dan meningkatkan kapasitasnya.

Pilihan peran OMS di Aceh dapat mengacu pada formulasi kebijakan dan pelaksanaannya guna mendorong tata pemerintahan yang baik dan bersih, meningkatkan partisipasi publik dalam pembangunan, peningkatan kesejahteraan hidup, serta pemenuhan layanan dasar, baik untuk korban konflik, bencana tsunami maupun kelompok masyarakat lainnya. Berbagai agenda dan upaya tersebut, akan maksimal apabila dilaksanakan secara sinergi dengan penentu kebijakan dan pelaku usaha.

40 Wawancara pada 11 Agustus 2012 dalam pelaksanaan kegiatan Jaringan Masyarakat Sipil untuk Perdamaian (JMSP), Banda Aceh.

(26)

Selain itu, T. Kamaruzzaman42 mengungkapkan agar proses perdamaian Aceh dapat didukung semua pihak maka sangat penting lahirnya road map (peta jalan) perdamaian itu sendiri. “Forum ini dipandang penting untuk mendorong lahirnya road map

perdamaian Aceh. Dengan demikian, parapihak dapat memahami peran dan fungsi yang hendak dilakukan dalam pembangunan perdamaian pada masa yang akan datang”, ungkapnya.

4. Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa :

1. Sesuai dengan uraian para ahli di atas diketahui bahwa OMS memiliki peran strategis untuk pembangunan perdamaian. Dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya, OMS dapat bergerak lintas sektor serta jalur maupun upaya di tingkat mikro dan makro. Kondisi ini menjadi dinamika tersendiri bagi OMS guna berkonstribusi dalam pembangunan perdamaian. Untuk itu, sangat diharapkan agar OMS di Aceh membangun road map (peta jalan) perdamaian Aceh. Dengan harapan agar parapihak dapat menjalankan peran dan fungsinya sesuai harapan masyarakat. 2. Masih diperlukan upaya yang serius dan fokus untuk mendukung peran OMS

dalam pembangunan perdamaian. Hal ini dengan mempertimbangkan berbagai pengalaman dan jaringan yang dimiliki pada periode konflik dan pasca bencana tsunami. Apalagi dengan adanya perubahan iklim politik serta kebijakan yang saat ini berlangsung di Aceh pasca MoU serta didukung dengan UU tentang Pemerintahan Aceh.

3. Peran Ornop (lebih dikenal sebagai NGO/LSM) memang seharusnya sebagai organisasi yang secara profesional membangun institusional politik yang lebih demokratis. Adalah suatu tantangan besar bagi para aktivis untuk tidak menjadi

(27)

partisan43. Agar kiprah OMS Aceh dapat berlangsung maksimal, maka secara internal diperlukan upaya pembenahan diri terkait dengan tatakelola lembaga, kemandirian, dan kapasitas sumberdaya manusia yang dimiliki. Sedangkan melalui lingkungan eksternal diharapkan adanya berbagai bentuk dukungan seperti kebijakan yang lebih terbuka, jaringan, serta respon terhadap isu yang berkembang dalam masyarakat serta ruang yang tersedia.

4. Selain itu, bagi OMS di Aceh sangat terbuka ruang untuk terus aktif dalam hal memastikan keberlanjutan perdamaian dan rekonstruksi paska bencana. Berbagai peran dan pengalaman dalam melakukan perlindungan korban, pendampingan masyarakat, monitoring, advokasi, fasilitasi, serta pelayanan dapat terus berlangsung. Upaya tersebut dapat dijalankan paralel dalam satu kesatuan program maupun secara mandiri sesuai dengan isu yang dijalankan.

5. Jadi, mendukung pembangunan perdamaian tidak hanya dibatasi oleh berbagai upaya selama proses perdamaian itu sendiri. Berbagai agenda yang telah berlangsung semasa konflik (seperti penegakan HAM dan pemberdayaan masyarakat) dapat saja diteruskan saat ini. Selain itu, agenda-agenda pembangunan untuk memperkuat kelompok marginal, yang diproses secara partisipatif juga menjadi bagian penting dalam pembangunan perdamaian itu sendiri. Mengingat, keberhasilan pembangunan dan demokrasi akan berdampak pada perdamaian, begitu pula sebaliknya perdamaian yang gagal akan berdampak pada pembangunan dan demokrasi.

DAFTAR PUSTAKA

Askandar, Kamarulzaman (2005) The Aceh Conflict and The Role of Civil Society. Kertas bentangan pada “Workshop on the Roles of Civil Society in Peace Building in Southeast Asia. Dianjurkan oleh Departemen Peace and Conflict Research, Uppsala University, Sweden.

(28)

Askandar, Kamarulzaman (2006). Budaya Perdamaian Budaya Kita. Penang: REPUSM dan SEACSN.

Chandoke, Neera (2001). Benturan Negara dan Masyarakat Sipil. Yogyakarta: Institut Tafsir Wacana (ISTAWA).

Clark, Jhon (1995). NGO dan Pembangunan Demokrasi, Yogya: PT Tiara Wacana.

Culla, Adi Suryadi (1999). Masyarakat Madani: Pemikiran, Teori dan Relevansinya dengan

Cita-cita Reformasi. Ed. 1., Cet. 1, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Culla, Adi Suryadi (2006). Rekonstruksi Civil Society : Wacana dan Aksi Ornop di Indonesia. Jakarta: Pustaka LP3ES.

Damanhuri, S. Didin (2009). INDONESIA: Negara, Civil Society dan Pasar dalam Kemelut

Globalisasi. Jakarta: Lembaga Penerbit FEUI.

Doyle Paul Johnson (1986). Teori Sosiologi Klasik dan Modern, University of South Florida, dialihbahasakan Robert M.Z. Lawang, Jakarta: PT Gramedia.

Duverger, Maurice (2007). Sosiologi Politik, Penerjemah Daniel Dhakidae, Yayasan Ilmu-ilmu Sosial, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Eko, Sutoro. et. al (2009). Masyarakat Sipil Mendemokrasikan Daerah. Jakarta: YAPPIKA. Eko, Sutoro dan Afrizal Tjoetra (2012). Membangun Perdamaian Aceh : Pelajaran dan

Sumbangan Organisasi Masyarakat Sipil melalui TERAPAN. Aceh Development Fund

(ADF).

Faulks, Keith (2010). Sosiologi Politik: Pengantar Kritis. Penerjemah Helmi Mahadi dan Shohifullah, Bandung: Nusa Media.

Fisher dkk. (2001). Mengelola Konflik: Ketrampilan dan Strategi Untuk Bertindak. Jakarta: Responding RTC to Conflict

Giddens, Anthony (1986). Kapitalisme dan Teori Sosial Modern: Suatu Analisis Karya Tulis

Marx, Durkheim dan Weber. Jakarta: UI Press.

Herdi, SRS (1999). LSM Demokrasi dan Keadilan Sosial: Catatan Kecil dari Arena Masyarakat

dan Negara. Jakarta: LP3ES dan YAPPIKA.

Hikam, M.A.S. (1997). Demokrasi dan Civil Society. Jakarta : LP3ES.

(29)

Hikmah, Nor –Editor (2002). Indonesia Menapak Demokrasi: Evaluasi Perkembangan

Reformasi dan Peran Organisasi Masyarakat Sipil. Jakarta: YAPPIKA.

Ibrahim, Rustam –Editor (1999). Strategi Mewujudkan Civil Society. Jakarta: YAPPIKA-LP3ES, 1999.

Iwan Gardono, S (2001). Wacana Civil Society. Jurnal Lab-Sosio FISIP-Universitas Indonesia, Jakarta.

Korten, David C. Menuju Abad ke-21 (2001). Tindakan Sukarela dan Agenda Global, Forum Pembangunan Berpusat-Rakyat, diterjemahkan Lilia Tejasudhana, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Lederach, JP. (1996). Remember and Change: Peace and Reconciliation

Conference,Enniskillen: Fermanagh District Partnership.

Lederach, J.P. (1997). Building Peace: sustainabele reconciliation in divided societies.

Washington, D.C: United States Institutes of Peace Press.

Lukman (2007). Peranan Masyarakat Sivil dalam Transformasi Konflik di Aceh, Penang: University Sains Malaysia.

M. Parera, Frans dan T. Jacob Koekerits – penyunting (1999). Masyarakat versus Negara:

Paradigma Baru Membatasi Dominasi Negara. Jakarta: Kompas.

Narwoko, J. Dwi dan Bagong Suyanto (Editor) (2004). Sosiologi: Teks Pengantar & Terapan. Jakarta: Prenada Media.

Trijono , L. (2009), “Pembangunan Perdamaian dan Peran Masyarakat Sipil di Indonesia”, dalamPrihatono, TH. et. al.,Post-Conflict Peacebuilding: Naskah Akademik untuk

Penyusunan Manual, Jakarta: ProPatria Institute.

Otto Syamsuddin Ishak (2000). Dari Maaf ke Panik Aceh: Sebuah Sketsa Sosiologi-Politik. Jakarta: Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP).

Otto Syamsuddin Ishak (2005). Bandar: Refleksi tentang Aceh. Jakarta: acehkita.

Rochman, Meutia Ghanie (1999),Masyarakat versus Negara: Opini Masyarakat Reformasi

Kehidupan Berbangsa, Jakarta: Kompas.

Salim, Agus – penyunting (2001). Teori dan Paradigma Penelitian Sosial (dari Denzin Guba

dan Penerapannya). Yogya: PT. Tiara Wacana.

(30)

Susan, Novri (2009). Pengantar Sosiologi Konflik dan Isu-isu Konflik Kontemporer. Jakarta: Kencana Prenada Media Gorup.

Suryaningati, Abdi – Penyunting (2003), Menilai Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Sipil:

Petunjuk Penggunaan Indeks Masyarakat Sivil CIVICUS. Jakarta: YAPPIKA.

Tim Penulis Salemba Tengah (2007). Mengawal Demokrasi: Pengalaman Jaringan Demokrasi

Aceh dan RUUPA. Jakarta: YAPPIKA.

Tjoetra, Afrizal dan Ferry Yuniver --- editor (2009). Investasi untuk Perubahan di Aceh. Banda Aceh: IMPACT.

Gambar

Gambar 1:Acuan Konseptual Masyarakat Sipil
Gambar 2 : Aktor dan Pendekatannya dalam Pembangunan Perdamaian
Tabel : 1Ringkasan kekuatan, kelemahan dan tantangan OMS

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat Signifikansi pengaruh Variabel bebas Motivasi Pimpinan yang terdiri dari Prestise, Pengakuan, Jenis Pekerjaan,

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : (a) Data berupa skor kemampuan guru dalam melaksanakan pembelajaran dengan Instrumen Penilaian

Penelitian ini memiliki tujuan untuk menganalisis pengaruh beberapa faktor terhadap produktivitas kerja karyawan (Studi pada: LPK Istibank di Surakarta). Dengan variabel

Musik Instrumen dan naraasi 1 menit Motion tween Scene 2 6 Hidrokarbon Menampilkan halaman permainan kimia karbon yang mana akan muncul lima pertanyaan yang

setiap program pembangunan yang memberikan kemudahan bagi SKPD untuk menentukan arah dan sasaran kegiatan serta pengukuran tingkat keberhasilannya. Visi Badan Penanggulangan

Jika produk ini mengandungi ramuan dengan had pendedahan, pemantauan peribadi, suasana tempat kerja atau biologi mungkin perlu untuk menentukan keberkesanan pengudaraan

knowledge yang akan dipakai dengan cara mencari knowledge tersebut pada database. Apabila knowledge tersebut tidak terdapat pada database, karyawan tersebut

Dari Tabel 5.5 di atas menunjukkan bahwa secara bersama- sama/serentak (uji F) variabel bebas yang terdiri Luas lahan, Tenaga kerja, Benih, Pupuk dan Pompa mempunyai pengaruh yang