• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hukum Keluarga Menurut BW atau KHUPerdat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Hukum Keluarga Menurut BW atau KHUPerdat"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Hukum Keluarga Menurut BW atau KHUPerdata

BAB II PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Hukum keluarga sebagai keseluruhan ketentuan yang mengenai hubungan hukum yang bersangkutan dengan kekeluargaan sedarah dan kekeluargaan karena perkawinan (perkawinan, kekuasaan orang tua, perwalian, pengampunan, keadaan tak hadir). Kekeluargaan sedarah adalah pertalian keluarga yang terdapat antara beberapa orang yang mempunyai keluhuran yang sama. Kekeluargaan karena perkawinan adalah pertalian keluarga yang terdapat karena perkawinan antara seorang dengan keluarga sedarah dari istri (suaminya). Hukum keluarga diatur dalam KUH Perdata Buku I BAB 4-18. Selain itu juga diatur dalam UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (sebagai hukum khusus dari KUH Perdata.

1.2 Penelitian terdahulu

(2)

perkawinan, perceraian, wasiat, ahliyyah (kecakapan bertindak hukum), harta warisan dan hibah. Buku ini telah dijadikan sebagai bahan rujukan hakim untuk memutuskan berbagai masalah pribadi dan keluarga di pengadilan.

Penerapan hukum keluarga di Kerajaan Turki Usmani dimulai sejak al-ahwal al-syakhshiyyah dikodifkasikan pada tahun 1917, yang diberi nama Qanun Huquq al-A’ilah al-Usmaniy (undang-undang hak keluarga di Turki Usmani). Hukum tersebut berlaku untuk seluruh wilayah kerajaan Turki Usmani, kecuali Mesir yang diberi otonomi penuh pada tahun 1805 dan memerdekakan diri dari kekuasaan Turki pada tahun 1873. Keistimewaan Qanun Huquq al-A’ilah al-Usmaniy ini adalah bahwa hukum yang terkandung di dalamnya tidak lagi terikat pada Mazhab Hanaf (mazhab resmi Negara), tetapi merupakan gabungan dari pendapat-pendapat terkuat dari 4 mazhab (Hanaf, Maliki, Syaf’iy dan Hambali). Selain itu, dalam beberapa hal ditemukan beberapa perubahan yang disesuaikan dengan perkembangan dan dinamika masyarakat.

Dalam perkembangan lebih lanjut, uraian al-ahwal al-syakhshiyyah telah lebih sistematis dan lebih mudah dipahami, karena telah diklasifkasikan dalam tiga bagian besar, yaitu:

 Ketentuan hukum mengenai kedudukan seseorang di depan hukum,

yaitu tentang ahliyyah serta wewenang yang bisa dipikulnya. Di samping itu, juga diuraikan hal-hal yang dapat menghilangkan ahliyyah itu sendiri.

 Ketentuan hukum yang menyangkut tata cara berkeluarga.

 Ketentuan hukum yang menyangkut harta bersama dalam hubungan

dengan masalah warisan.

(3)

BAB II

RUMUSAN MASALAH 2.1 Rumusan Masalah

1. Bagaimana awal mula adanya hukum keluarga ? 2. Apa pengertian dari hukum keluarga ?

3. Darimana saja sumber hukum keluarga itu ?

4. Bagaimana ritual/ tradisi hukum keluarga yang berkembang dalam hukum adat ?

2.2 Batasan Masalah

Karena cangkupan dari hukum keluarga ini cukup luas, kami membatasi penulisan makalah kami ini pada pelaksanaan dan undang – undang pada hukum keluarga modern dan hukum keluarga adat.

BAB III

LANDASAN TEORI DAN DATA 3.1 Kerangka Pemikiran

3.1.1 Pengertian Hukum Keluarga

Ali Afandi mengatakan bahwa hukum keluarga diartikan sebagai “Keseluruhan ketentuan yang mengatur hubungan hukum yang bersangkutan dengan kekeluargaan sedarah dan kekeluargaan karena perkawinan (perkawinan, kekuasaan orang tua, perwalian, pengampuan, keadaan tak hadir)”1[1]

Ada dua pokok kajian dalam defnisi hukum keluarga yang dikemukakan oleh Ali Afandi, yaitu mengatur hubungan hukum yang berkaitan (1) kekeluargaan sedarah adalah pertalian keluarga yang terdapat pada beberapa pada beberapa orang yang mempunyai leluhur sama, dan (2) perkawinan adalah pertalian keluarga yang terdapat karena perkawinan antara seorang dengan keluarga sedarah dari istri (suami).

(4)

Tahir Mahmoud, sebagaimana yang dikutip oleh Harian Kompas, tertanggal 12 Oktober 2000 mengartikan : “Hukum keluarga sebagai prinsip-prinsip hukum yang diterapkan berdasarkan ketaatan beragama berkaitan dengan hal-hal yang secara umum diyakini memiliki aspek religius menyangkut peraturan keluarga, perkawinan, perceraian, hubungan dalam keluarga, kewajiban dalam rumah tangga, warisan, pemberian mas kawin, perwalian, dan lain-lain.”2[2]

Defnisi yang terakhir ini mengkaji dua hal, yaitu tentang prinsip hukum dan ruang lingkupnya. Prinsip hukum berdasarkan ketaatan beragama. Ruang lingkup kajian hukum keluarga meliputi peraturan keluarga, kewajiban dalam rumah tangga, warisan, pemberian mas kawin, perwalian, dan lain – lain.

3.1.2 Sumber Hukum Keluarga

Sumber hukum keluarga dibedakan menjadi dua macam, yaitu sumber hukum keluarga dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu : (1) hukum keluarga tertulis, yaitu kaidah – kaidah hukum yang bersumber dari UU, yurisprudensi, dan traktat. (2) hukum keluarga tidak tertulis, yaitu kaidah – kaidah hukum keluarga yang timbul, tumbuh, dan berkembang dalam kehidupan masyarakat (hukum adat). Sumber hukum keluarga tertulis, dikemukakan berikut ini :

1. Kitab undang – undang hukum perdata (KUHPerdata)

2. Peraturan perkawinan campuran Stb. 1898 Nomor 158

3. Indonesia, Kristen, jawa, minahasa, dan Ambon, Stb. 1933 Nomor 74

4. UU Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk

(beragama Islam)

5. UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

6. PP Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan

7. PP Nomor 10 Tahun 1983, PP Nomor 45 Tahun 1990 tentang Izin

Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil.

(5)

Dalam hukum keluarga tidak tertulis, hukum yang dianut adalah hukum yang berada di kehidupan masyarakat sekitar daerah tempat tinggalnya Menurut Soejono Soekanto mengatakan bahwa, hukum adat hakikatnya merupakan hukum kebiasaan, namun kebiasaan yang mempunyai akhibat hukum (das sein das sollen).3[3]

Syekh Jalaluddin4[4] menjelaskan bahwa hukum adat pertama-tama merupakan

persambungan tali antara dulu dengan kemudian, pada pihak adanya atau tiadanya yang dilihat dari hal yang dilakukan berulang-ulang. Hukum adat tidak terletak pada peristiwa tersebut melainkan pada apa yang tidak tertulis di belakang peristiwa tersebut, sedang yang tidak tertulis itu adalah ketentuan keharusan yang berada di belakang fakta-fakta yang menuntuk bertautnya suatu peristiwa dengan peristiwa lain.

Hukum adat lahir dan dipelihara oleh keputusan-keputusan warga masyarakat hukum adat, terutama keputusan yang berwibawa dari kepala-kepala rakyat (kepala adat) yang membantu pelaksanaan-pelaksanaan perbuatan-perbuatan hukum, atau dalam hal pertentangan kepentingan keputusan para hakim yang bertugas mengadili sengketa, sepanjang keputusan-keputusan tersebut karena kesewenangan atau kurang pengertian tidak bertentangan dengan keyakinan hukum rakyat, melainkan senafas dan seirama dengan kesadaran tersebut, diterima, diakui atau setidaknya tidak-tidaknya ditoleransi.5[5]

Hukum adat yang berlaku tersebut hanya dapat diketahui dan dilihat dalam bentuk keputusan-keputusan para fungsionaris hukum (kekuasaan tidak terbatas pada dua kekuasaan saja, eksekutif dan yudikatif) tersebut. Keputusan tersebut tidak hanya keputusan mengenai suatu sengketa yang resmi tetapi juga diluar itu didasarkan pada musyawarah (kerukunan). Keputusan ini diambil berdasarkan nilai-nilai yang hidup sesuai dengan alam rohani dan hidup kemasyarakatan anggota-anggota persekutuan tersebut. Penegak hukum adat adalah pemuka adat sebagai pemimpin yang sangat disegani dan besar pengaruhnya dalam lingkungan masyarakat adat untuk menjaga keutuhan hidup sejahtera.

3.1.3 Bagian – Bagian dalam Hukum Keluarga

Hukum Keluarga juga dapat merujuk pada kontrak pernikahan dalam iman Islam, yang meliputi penyisihan laki-laki untuk menikahi hingga

3

4

(6)

empat istri, dalam keadaan tertentu. Hukum kekeluargaan mengatur tentang :

1. Keturunan

2. Kekuasaan orang tua

3. Perwalian 4. Pendewasaan 5. Pengampuan

6. Orang hilang

Hukum keluarga memuat rangkaian peraturan hukum yang timbul dari pergaulan hidup kekeluargaan. Yang termasuk dalam hukum keluarga antara lain :

1. Keturunan (KUHPerdata 42 sampai 44). Anak yang sah adalah anak yang

dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Hal ini menjelaskan bahwa anak yang dilahirkan diluar perkawinan tidak sah adalah anak yang tidak sah. Pasal 55 dijelaskan bahwa asal usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akte kelahiran yang otentik yang dikeluarkan oleh penjabat berwenang.

2. Kekuasaan orang tua (KUHPerdata 45 dan seterusnya). Setiap anak wajib hormat dan

patuh kepada orang tuanya, sebaliknya orang tua wajib memelihara dan memberi bimbingan anak-anaknya yang belum cukup umur (belum 21 tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin) sesuai dengan kemampuannya masing-masing.

Kekuasaan orang tua berhenti apabila:

a. Anak tersebut telah dewasa (sudah 21 tahun).

b. Perkawinan orang tua putus.

c. Kekuasaan orang tua dipecat oleh hakim, misalnya karena pendidikannya buruk sekali.

d. Kelakuan si anak luar biasa nakalnya hingga orang tuanya tidak berdaya lagi.

3. Perwalian. Anak yatim piatu atau anak yang belum cukup umur dan tidak dalam kekuasaan

orang tua memerlukan pemeliharaan dan bimbingan, karena itu harus ditunjuk wali yaitu orang atau perkumpulan yang akan menyelenggarakan keperluan hidup anak tersebut. Pasal 51 menyatakan bahwa :

a. Wali dapat ditunjuk oleh satu orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua sebelum ia

(7)

b. Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak atau orang lain yang telah dewasa, berfikir

sehat, adil, jujur, dan berkelakuan baik.

c. Wali wajib mengurus anak yang di bawah penguasaannya dan harta bendanya

sebaik-baiknya dengan menghormatinya agama dan kepercayaan anak itu.

d. Wali wajib membuat daftar harta benda yang berada di bawah kekuasaannya pada waktu

memulai jabatannya dan mencatat semua perubahan harta benda anak itu.

e. Wali bertanggung jawab tentang harta benda anak yang berada di bawah perwaliannya serta

kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan atau kelalaiannya.

4. Pengampuan. Orang yang sudah dewasa akan tetapi sakit ingatan, pemboros, lemah daya,

atau tidak sanggup mengurus kepentingan sendiri dengan semestinya, disebabkan kelakuan burukdi luar batas atau mengganggu keamanan, memerlukan pengampunan. Oleh sebab itu, dibutuhkan Kurator; biasanya suami jadi pengampun atas istrinya atau sebaliknya, akan tetapi mungkin juga Hakim mengangkat orang lain atau perkumpulan sedangkan sebagai Pengampu Pengawas ialah Balai Harta Peninggalan.

Satu bagian yang amat penting di dalam Hukum Kekeluargaan adalah Hukum Perkawinan. Hukum Perkawinan ialah peraturan hukum yang mengatur perbuatan hukum serta akibat-akibatnya antara dua pihak, yaitu seorang laki-laki dan seorang wanita dengan maksud hidup bersama untuk waktu yang lama menurut peraturan yang ditetapkan dalam undang-undang. Kebanyakan isi peraturan mengenai pergaulan hidup suami dan istri diatur dalam norma keagamaan, kesusilaan atau kesopanan. Hukum Perkawinan di bagi dalam dua bagian :

a. Hukum perkawinan

Hukum perkawinan adalah keseluruhan peraturan – peraturan yang berhubungan dengan suatu perkawinan. Ketentuan secara rinci terdapat pada Undang – undang Nomor 1 tahun 1974 yang dilaksankan oleh Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975, yang mengatur perkawinan, akibat perkawinan dan perkawinan campuran

b. Hukum kekayaan

Hukum Kekayaan dalam Perkawinan adalah keseluruhan peraturan-peraturan yang berhubungan dengan harta kekayaan suami dan istri di dalam perkawinan.

(8)

I. Perkawinan didasarkan pada asas monogami (pasal 27 BW). Penegasan ini tercantum

pada dalam pasal 27 BW yang berbunyi : Dalam waktu yang sama seorang lelaki hanya boleh mempunyai seorang istri, dan seorang perempuan hanya seorang suami.

II. Undang–undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungannya perdata (pasal

26 BW). Perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan di muka petugas Kantor Pencatatan Sipil. Perkawinan adalah suatu persetujuan antara seorang lelaki dan seorang perempuan di dalam bidang hukum keluarga.

III. Menurut pasal 28 asas perkawinan menghendaki adanya kebebasan kata sepakat antara

kedua calon suami istri. Dengan demikian jelaslah kalau perkawinan itu adalah suatu persetujuan. Tapi persetujuan ini berbeda dengan persetujuan sebagai yang termuat di dalam Buku III.

IV. Perkawinan supaya dianggap sah, harus memenuhi syarat-syarat yang dikehendaki oleh

undang-undang.

4.1 Perbandingan Teori

(9)

UU No. 1 Tahun 1974 dalam pasal 47 (1) bahwa anak yang belum pernah melangsungkan pernikahan ada di bawah kekuasaan orang tuanya

Pasal 50 (1) yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua dapat berdiri sendiri tetap

berada di bawah dewasa dengan keputusan pengadilan dalam hal melalaikan kewajibannya terhadap anak, atau berkelakuan buruk. dalam dan di luar pengadilan

(10)

BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan

1. Hukum keluarga dimulai pada abad ke – 19. Sebelumnya hukum orang dan hukum keluarga ada di berbagai buku fkih. Penerapan hukum keluarga di Kerajaan Turki Usmani dimulai sejak al-ahwal al-syakhshiyyah dikodifkasikan pada tahun 1917, yang diberi nama Qanun Huquq al-A’ilah al-Usmaniy (undang-undang hak keluarga di Turki Usmani). Hukum tersebut berlaku untuk seluruh wilayah kerajaan Turki Usmani, kecuali Mesir yang diberi otonomi penuh pada tahun 1805 dan memerdekakan diri dari kekuasaan Turki pada tahun 1873. Keistimewaan Qanun Huquq al-A’ilah al-Usmaniy ini adalah bahwa hukum yang terkandung di dalamnya tidak lagi terikat pada Mazhab Hanaf (mazhab resmi Negara), tetapi merupakan gabungan dari pendapat-pendapat terkuat dari 4 mazhab (Hanaf, Maliki, Syaf’iy dan Hambali). Selain itu, dalam beberapa hal ditemukan beberapa perubahan yang disesuaikan dengan perkembangan dan dinamika masyarakat.

Di Indonesia, persoalan al-ahwal al-syakhshiyyah telah dikodifkasikan melalui Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang ditetapkan berdasarkan Inpres No. 1/1991 dan Kep. Menteri agama No. 154/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Secara garis besarnya, KHI dibagi menjadi tiga bagian (disebut dengan istilah Buku) yang mengatur tiga persoalan utama, yaitu Buku I tentang perkawinan dan berbagai aspeknya, Buku II tentang pembagian harta warisan, dan Buku III tentang hukum perwakafan.

(11)

sama, dan (2) perkawinan adalah pertalian keluarga yang terdapat karena perkawinan antara seorang dengan keluarga sedarah dari istri (suami). 3. Sumber hukum keluarga diperoleh dari : (1) hukum keluarga tertulis, yaitu

kaidah – kaidah hukum yang bersumber dari UU, yurisprudensi, dan traktat. (2) hukum keluarga tidak tertulis, yaitu kaidah – kaidah hukum keluarga yang timbul, tumbuh, dan berkembang dalam kehidupan masyarakat (hukum adat)

4. Hukum adat lahir dan dipelihara oleh keputusan-keputusan warga masyarakat hukum adat, terutama keputusan yang berwibawa dari kepala-kepala rakyat (kepala adat) yang membantu pelaksanaan-pelaksanaan perbuatan-perbuatan hukum, atau dalam hal pertentangan kepentingan keputusan para hakim yang bertugas mengadili sengketa, sepanjang keputusan-keputusan tersebut karena kesewenangan atau kurang pengertian tidak bertentangan dengan keyakinan hukum rakyat, melainkan senafas dan seirama dengan kesadaran tersebut, diterima, diakui atau setidaknya tidak-tidaknya ditoleransi.

Hukum adat yang berlaku tersebut hanya dapat diketahui dan dilihat dalam bentuk keputusan-keputusan para fungsionaris hukum (kekuasaan tidak terbatas pada dua kekuasaan saja, eksekutif dan yudikatif) tersebut. Keputusan tersebut tidak hanya keputusan mengenai suatu sengketa yang resmi tetapi juga diluar itu didasarkan pada musyawarah (kerukunan). Keputusan ini diambil berdasarkan nilai-nilai yang hidup sesuai dengan alam rohani dan hidup kemasyarakatan anggota-anggota persekutuan tersebut. Penegak hukum adat adalah pemuka adat sebagai pemimpin yang sangat disegani dan besar pengaruhnya dalam lingkungan masyarakat adat untuk menjaga keutuhan hidup sejahtera.

DAFTAR PUSTAKA

Djamali, Abdoel R. 1984. Pengantar hukum Indonesia. Jakarta : PT Grafindo Persada.

Djamali, Abdoel R. 1993. Pengantar hukum Indonesia. Jakarta : PT Grafindo Persada.

(12)

Halim, A Ridwan. 2007. Pengantar Hukum Indonesia dalam Tanya Jawab jilid 1. Bogor: Ghalia Indonesia.

Hadikusuma, Hilman. 1992. Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia. Bandung: Mandar Maju

Sudiyat, Imam. 1981. Hukum Adat Sketsa Asas. Yogyakarta: Liberty Suhardana, F.X. 2001. Hukum Perdata I. Jakarta: PT Grafndo Pustaka.

Wulandari, Dewi. 2012. Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar. Bandung : Refka Aditama

Referensi

Dokumen terkait

English sentence as a starting point in teaching composi-. tion to SMA students so that they will be able to

Sehingga dari uraian tersebut maka penulis merumuskan permasalahan “Apakah ada hubungan terpaan iklan Berniaga.com di Media Massa dan Intensitas Komunikasi Word of

Faktor ini merupakan faktor yang mendukung perkembangan individu dalam bakat sebagai totalitas karakteristik individu yang diwariskan orang tua kepada anak dalam

Masing-masing variabel indikator X2 (Kemudahan untuk dipelajari), X3 (Kemudahan untk digunakan) dan X4 (Kemudahan untuk berinteraksi) secara signifikan merupakan konstruk yang

Router dapat digunakan untuk menghubungkan banyak jaringan kecil ke sebuah jaringan yang lebih besar, yang disebut dengan internetwork, atau untuk membagi sebuah

Selama proses penelitian ada hal menarik yang merupakan temuan antara keterkaitan teori yang sering digunakan dalam pemotretan model dengan penyusunan gerakan untuk membentuk

Penggunaan Media Pembelajaran Alat Peraga terhadap Hasil Belajar Matematika Materi Kubus dan Balok pada Siswa Kelas VIII MTs Negeri Aryojeding. Pengaruh ( Contextual

Pembobotan ditentukan dengan mengamati perbedaan spesifikasi cpu dan memori pada kedua server, hasil data utilisasi cpu dan memori sebelum implementasi mekanisme load balancing