Mengenal Disleksia pada Anak Usia Dini
Narasumber: Prof. Dr. dr. Rini Sekartini, Sp.A (K)
Oleh: dr. Eka Lusi SusantiMasalah kesulitan belajar sering kali dialami anak baik di lingkungan sekolah maupun lingkungan sosialnya. Masalah kesulitan belajar dapat bersifat umum dan khusus. Salah satu masalah kesulitan belajar khusus yang mendapat perhatian adalah disleksia. Disleksia berasal dari Bahasa Yunani, yaitu “dys” yang berarti kesulitan dan “lexia” yang berarti kata-kata. Orang tua dan guru harus mengenali gejala dan tanda disleksia pada anak lebih dini karena akan mempengaruhi kemampuan belajar dan prestasi akademiknya. Di Indonesia, kesulitan belajar atau disleksia secara umum sudah dikenal, tetapi untuk tipe dan penanganannya belum dilaksanakan secara terstuktur dan komprehensif.
Apa itu disleksia? Bagaimana dampaknya?
Disleksia merupakan kelainan belajar khusus dengan dasar kelainan dasar neurobiologis yang ditandai dengan kesulitan dalam mengenali kata dengan tepat atau akurat dan kesulitan pengejaan dan kemampuan mengkode simbol. Kesulitan ini merupakan hasil dari defsit kemampuan fonologis bahasa yang sering tak terduga dan berhubungan dengan kemampuan kognitif lain. Akibat sekunder yang mungkin terjadi termasuk masalah dalam membaca secara komprehensif, berkurangnya pengalaman membaca, dan menghambat pertumbuhan kosakata dan latar belakang pengetahuan.
mereka sulit mengekspresikan dirinya sendiri dengan jelas dan sulit memahami apa yang orang lain katakan. Hal ini dapat menyebabkan masalah besar dalam meraih prestasi akademis di lingkungan sekolah dan lingkungan sosaialnya, bahkan anak tersebut dapat dikategorikan murid dengan pendidikan khusus.
Disleksia juga berhubungan dengan masalah sosial dan emosional seseorang. Seorang anak dengan disleksia akan cenderung mengalami stres dan kecemasan, terutama apabila ia dibandingkan dengan anak seusianya di sekolah atau di sekitar rumahnya. Selain itu anak dengan disleksia cenderung kehilangan kepercayaan diri karena merasa bodoh dan tidak memahami apa yang orang lain katakan sehingga dapat memicu seorang anak untuk mengalami depresi.
Apa penyebab disleksia?
Penyebab disleksia belum dapat dijelaskan secara pasti, tetapi terdapat gambaran anatomis dan otak yang berbeda pada seseorang dengan disleksia. Proses visual, persepsi visual, dan memori tidak menyebabkan disleksia. Pada orang disleksia dapat ditemui gambaran asimetris pada regio temporoparietal-oksipital kanan, yaitu girus angular dan korpus kallosum, dan secara spesifk pada area Brodmann 39 sebagai pusat bahasa, kognitif, dan matematika. Disleksia dapat diturunkan secara autosomal dominan sehingga memiliki orang tua atau saudara dengan disleksia dapat meningkatkan kemungkinan seseorang mengalami disleksia. Disleksia dapat terjadi pada awal kehidupan maupun pada usia yang lebih tua.
Mitos seputar disleksia
dan pola huruf dalam kata-kata. 2) Disleksia bukan penyakit sehingga tidak ada obatnya. 3) Disleksia bukan karena kekurangan kemampuan intelejensi atau ketiadaan keinginan untuk belajar dan dapat terjadi pada setiap orang dengan segala latar belakang dan tingkat intelektual.
Beberapa contoh ilmuwan dan tokoh yang mengalami disleksia adalah Albert Einstein, Sir Winston Churchill, Tom Cruise, dan Walt Disney. Dengan metode pembelajaran yang sesuai, seseorang dengan disleksia dapat belajar dengan sukses, bahkan gemilang prestasi dalam bidang lainnya, seperti seni atau musik. Dengan diagnosis yang tepat, instruksi yang tepat dan tepat waktu, kerja keras, dan dukungan dari keluarga, guru, teman, dan orang lain, individu yang mengalami disleksia dapat berhasil di sekolah dan kehidupan selanjutnya sebagai orang dewasa.
Seberapa sering terjadi disleksia?
Prevalensi gangguan belajar khusus di Amerika mencapai 5-15% pada anak usia sekolah dengan berbagai bahasa dan budaya yang berbeda. Sebanyak 40% murid sekolah dasar (SD) awal mengalami kesulitan belajar membaca, tetapi sebagian besar anak dapat membaca secara normal, sedangkan pada murid SD yang lebih tua sebanyak 15-20% dan umumnya mereka mengalami masalah yang bermakna dan kesulitan dalam membaca dengan lancar, memahami, dan mengeja. Sayangnya, di Indonesia sendiri belum ada data mengenai prevalensi disleksia. Namun, Journal of Child Psychology and Psychiatry, and Allied Disciplines (2004) menyatakan bahwa 1 dari 10 anak di dunia menyandang disleksia, sehingga prevalensi ini dapat dijadikan acuan.
Apa saja faktor risiko disleksia?
Faktor risiko yang meningkatkan seseorang mengalami disleksia di antaranya:
1) Faktor genetik atau keturunan
2) Gangguan di tingkat otak, misalnya pada anak dengan cerebral palsy
4) Faktor lingkungan, misalnya anak yang tinggal di lingkungan yang menggunakan beberapa bahasa (bi- atau multilingual), anak yang sering pindah sekolah, anak yang sering absen karena masalah keluarga, anak yang tidak tertarik dengan pembelajaran bahasa sehingga kurang konsentrasi dan sering membuat kesalahan
5) Anak yang lahir prematur dan berat badan lahir rendah
6) Anak dengan kelainan fsik, misalnya gangguan penglihatan dan gangguan pendengaran
Apa saja tipe disleksia?
Terdapat tiga tipe utama disleksia berdasarkan penyebabnya:
1) Disleksia Diseidetik. Pada tipe ini terdapat kelainan fungsi otak pada girus angular lobus parietal kiri. Seseorang dengan disleksia tipe ini akan mengalami kesulitan mengenali kata yang terlihat sehingga membuat pengalaman membaca anak lambat dan melelahkan.
2) Disleksia Disfonetik. Pada tipe ini terdapat kelainan fungsi otak pada area Wernicke lobus temporal dan perietal. Seseorang dengan disleksia tipe ini sangat tergantung pada pengenalan penglihatan dalam membaca sehingga mereka cenderung tidak dapat mengeluarkan kata-kata yang tidak dikenal, kata yang tidak dikenal tersebut sering melewatkan atau diganti selama membaca, dan mengandalkan kekuatan hafalan sehingga kata tersebut tidak dapat dieja oleh mereka.
3) Disleksia Disfoneidetik. Pada tipe ini terdapat kombinasi kelainan fungsi otak pada girus angular dan area Wernicke sehingga individu dengan tipe disleksia ini memiliki kelemahan kemampuan visual-motorik, dan seringkali sulit ditangani.
Bagaimana mengenali tanda dan gejala disleksia?
gangguan belajar berbicara
gangguan belajar kata dan pengucapannya
gangguan menulis dan berbicara bahasa
gangguan mengingat angka
membaca secara cepat dan sulit untuk dipahami
Beberapa tanda disleksia khusus pada anak usia sekolah dasar antara lain: kesulitan mengingat urutan sederhana, misalnya menghitung sampai
20, nama hari dalam seminggu, atau membaca alfabet
kesulitan memahami kata-kata berirama sama, misalnya, “buku” dan “duku”
masalah dalam mengenali kata-kata yang dimulai dengan suara sama
masalah dalam pengucapan
masalah dengan mudah bertepuk tangan dengan irama lagu
kesulitan dalam pengambilan kata (sering menggunakan kata-kata seperti "barang" dan "benda itu" daripada kata-kata tertentu untuk memberi nama objek)
masalah dalam mengingat nama tempat dan orang
kesulitan dalam mengingat perintah yang diucapkan
membaca dengan sangat lambat dan terkesan tidak yakin dengan apa yang diucapkan
menggunakan jari untuk mengikuti pandangan matanya yang beranjak dari satu teks ke teks berikutnya
melewatkan/menambahkan beberapa suku kata, frasa, atau bahkan baris dalam teks
memboak-balik susunan huruf atau suku kata dengan memasukkan huruf-huruf lain
membuat kata-kata sendiri yang tidak memiliki arti
Gangguan belajar spesifk biasanya tidak terdeteksi sampai usia sekolah. Deteksi dan tata laksana dini pada anak dengan tanda dan gejala disleksia sangat penting untuk segera melakukan diagnosis, rencana intervensi, dan dokumentasi. Evaluasi dapat mulai dilakukan pada anak usia 4 tahun melalui beberapa uji skrining, termasuk Predictive Assessment of Reading (PAR);
Dynamic Indicators of Basic Early Literacy Skills (DIBELS); Texas Primary Reading Inventory (TPRI); dan AIMSweb screening assessments. Selain itu perlu juga dilakukan evaluasi perkembangan, skrining pendengaran, penglihatan, dan tes intelejensi. Uji ini disarankan agar dilakukan pada pagi hari karena performa anak biasanya tertinggi pada pagi hari. Pendekatan multidisiplin yang melibatkan dokter anak, psikologi anak, dokter mata, dokter saraf, dan dokter anak tumbuh kembang dalam diagnosis dan tatalaksana anak dengan gangguan belajar spesifk sangat penting.
Panduan berikut ini mungkin akan memudahkan bagi para orangtua dan guru dalam membaca perkembangan anak dan melakukan deteksi dini atas tanda-tanda disleksia:
1. Kesulitan mengenali huruf atau mengejanya
2. Kesulitan membuat pekerjaan tertulis secara terstruktur misalnya esai 3. Huruf tertukar tukar, misal ’b’ tertukar ’d’, ’p’ tertukar ’q’, ’m’ tertukar
’w’, dan ’s’ tertukar ’z’
4. Daya ingat jangka pendek yang buruk
5. Kesulitan memahami kalimat yang dibaca ataupun yang didengar 6. Tulisan tangan yang buruk
7. Mengalami kesulitan mempelajari tulisan sambung
8. Ketika mendengarkan sesuatu, rentang perhatiannya pendek 9. Kesulitan dalam mengingat kata-kata
14.Kesulitan memahami konsep waktu
15.Kesulitan membedakan huruf vokal dengan konsonan 16.Kebingungan atas konsep alfabet dan simbol
17.Kesulitan mengingat rutinitas aktivitas sehari-hari 18.Kesulitan membedakan kanan-kiri
19.Membaca lambat-lambat dan terputus-putus serta tidak tepat misalnya: a. Menghilangkan atau salah baca kata penghubung (“di”, “ke”,
“pada”).
b. Mengabaikan kata awalan pada waktu membaca (”menulis” dibaca sebagai ”tulis”)
c. Tidak dapat membaca ataupun membunyikan perkataan yang tidak pernah dijumpai
d. Tertukar-tukar kata (misalnya: dia-ada, sama-masa, lagu-gula, batu-buta, tanam-taman, dapat-padat, mana-nama)
Diagnosis disleksia didapatkan dari mengumpulkan anamnesis baik dari anak maupun orang tua dan guru, observasi, dan uji skrining di atas. Diagnosis disleksia mungkin memakan waktu bulanan hingga tahunan karena orang tua, terutama ibu masih mencoba mendukung anaknya untuk belajar membaca di rumah. Rencana intervensi diberikan sesuai dengan gangguan dan target yang akan dicapai anak. Diagnosis disleksia dapat menggunakan kriteria diagnosis dalam International Classifcation of Mental Disorders dan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders V (DSM V) dileksia tergolong ke dalam gangguan belajar khusus (F81).
Bagaimana orang tua dan guru dapat membantu anak dengan disleksia?
Dengarkan perasaan anak Anda, anak dengan disleksia cenderung sulit mengungkapkan perasaannya sehingga orang tua dan guru harus membantu mereka mengungkapkan perasaan mereka
Hargai usaha anak Anda, pada anak dengan disleksia nilai lebih tidak penting dibandingkan kemajuan
Saat menghadapi perilaku yang tidak dapat diterima, sebaiknya tidak memberikan cap atau gelar buruk pada anak, misalnya pemalas atau bodoh karena dapat mempengaruhi pencitraan diri seorang anak
Bantu anak Anda membuat tujuan belajar sendiri yang realistis karena banyak anak dengan disleksia mengatur tujuan belajarnya secara perfeksionis dan tidak mungkin tercapai.
Bagaimana penanganan disleksia?