• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ruang Tarung dan Strategi Aktor di Arena

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Ruang Tarung dan Strategi Aktor di Arena"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Sofyan Sjaf,1

ABSTRACT

Ketika kebijakan desentralisasi diberlakukan, tidak jarang aktor yang berbeda latar belakang dan identitas saling berlomba untuk memperebutkan sumber-sumber ekonomi dan politik lokal. Dalam perebutan tersebut, antar aktor melakukan pertarungan dan menerapkan strategi agar memangkan pertarungan dan mengukuhkan kekuasaan aktor. Untuk itu, pertanyaan yang diajukan adalah apa saja faktor yang membentuk ruang pertarungan aktor di arena ekonomi politik lokal? Kemudian, siapa dan bagaimana pertarungan yang terjadi antar aktor di arena ekonomi politik lokal? Selanjutnya bagaimana strategi yang dilakukan aktor untuk memenangkan pertarungan yang terjadi di arena ekonomi politik lokal?

Untuk menjawab pertanyaan di atas, penelitian ini menggunakan metodologi kualitatif berparadigma non-positivistik dengan perspektif strukturalisme-konstruktivisme. Unit analisis penelitian adalah aktor yang berlokasi di Kendari, Sulawesi Tenggara. Adapun data diperoleh melalui wawancara mendalam, wawancara terstruktur, dan Focus Grup Discussion (FGD)

kepada aktor dari latar belakang etnik (Tolaki, Muna, Buton, dan Bugis) dan profesi (politisi, birokrasi, akademisi, dan aktivis NGO) yang berbeda.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa untuk mengetahui pertarungan, makan penting memahami praktik aktor di arena ekonomi politik lokal. Terdapat tiga praktik aktor yang dimaksud, yaitu praktik kultur kekuasaan etnik, praktik pengorganisasian ekonomi identitas, dan praktik politik identitas. Dengan demikian, terdapat tiga ruang pertarungan aktor: (1) ruang pertarungan kekuasaan ekonomi simbolis; (2) ruang pertarungan kekuasaan politik simbolis; dan (3) ruang pertarungan kekuasaan ekonomi-politik. Selanjutnya untuk memenangkan pertarungan, maka akor menerapkan strategi agar mampu tampi sebagai pemenang dalam pertarungan tersebut. Adapun strategi yang dimaksud, antara lain reproduksi simbolik, investasi simbolik, reproduksi wacana, membangun aliansi, invasi ekonomi, dukungan wacana, penyusupan simbolik, perlawanan, invasi kekuasaan, dukungan simbolik.

Key words: ruang pertarungan, strategi aktor, dan arena ekonomi politik lokal.

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dibangun oleh semangat nasionalisme berdasarkan struktur masyarakat majemuk (polietnik) dan keyakinan (polireligius). Realitas kondisi obyektif ini, diingatkan sekaligus dikritisi Furnivall sebelum Indonesia diproklamirkan. Furnivall mengingatkan akan terjadinya ancaman serius, apabila realitas tersebut tidak dijawab dengan baik. Namun perlahan-lahan,

Tetapi, peringatan Furnivall perlahan-lahan menjadi kenyataan di Indonesia. Ledakan kekerasan komunal mulai terjadi diakhir tahun 50-an dan 1965, yang lebih parah lagi, Indonesia diguncang oleh kekerasan etnorelegius yang getir dari 1996 sampai 2001. Sebagian besar sosiolog dan antropolog berpendapat bahwa kekerasan komunal pasca Orde Baru, akibat dari tekanan rezim yang tidak memberikan “ruang ekspresi” bagi identitas masyarakat

       1

(2)

majemuk di Indonesia. Politik identitas2 seakan “bangkit” menjadi isu sentral dan mengemuka pasca kepemimpinan Orde Baru.

Belajar dari kesalahan rezim sebelumnya, pemerintah transisi menerbitkan Undang-undang (UU) Nomor 22/1999 tentang Otonomi Daerah yang kemudian direvisi menjadi UU Nomor 32/2004. Besar harapan, otonomi daerah yang memberikan ruang desentralisasi kekuasaan dan pengelolaan daerah di tingkat kabupaten dapat meredam konflik dan mensejahterakan rakyat di daerah, tetapi kenyataannya jauh dari harapan. Otonomi Daerah malah menjadi “pintu masuk” kebangkitan politik identitas etnik di arena ekonomi politik lokal. Dalam kondisi inilah, maka aktor yang memiliki perbedaan bertarung untuk memperbutkan sumber-sumber ekonomi maupun politik dengan berbagai strategi yang digunakannnya. Oleh karena itu, tulisan ini dimaksudkan untuk mengenali pola pertarungan dan bentuk-bentuk strategi yang dilakukan oleh aktor.

Perumusan Masalah, Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Masalah yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah apa saja faktor yang membentuk ruang pertarungan aktor di arena ekonomi politik lokal? Kemudian, siapa dan bagaimana pertarungan yang terjadi antar aktor di arena ekonomi politik lokal? Selanjutnya bagaimana strategi yang dilakukan aktor untuk memenangkan pertarungan yang terjadi di arena ekonomi politik lokal? Dengan demikian, pertanyaan-pertanyaan tersebut akan memberikan informasi tentang faktor yang membentuk ruang pertarungan aktor, dinamika pertarungan, dan strategi yang dilakukan aktor. Diharapkan studi ini berguna untuk mengenali bentuk-bentik pertarungan dan strategi yang dilakukan oleh aktor.

METODOLOGI

Penelitian ini menggunakan metodologi kualitatif berparadigma non-positivistik. Sifat penelitian adalah subyektivisme, obyektivisme, dan historis yang dijadikan sebagai panduan menentukan responden. Agar terhindar dari “jebakan” subyektivisme versus obyektivisme, peneliti menggunakan perspektif strukturalisme-konstruktivisme. Strukturalis dimaksudkan bahwa sosiologi berusaha mencari proses pola relasi yang bekerja dibelakang aktor, sedangkan konstruktivisme berarti sosiologi menyelidiki persepsi commonsense dan tindakan aktor. Dengan demikian, membaca aktor harus bolak balik antara struktur obyektif dan subyektif (Mutahir 2011: 56).

Penggunaan perspektif strukturalisme-konstruktivisme juga ditujukan agar pembacaan realitas sosial oleh peneliti mencerminkan sebuah proses “dialektika internalisasi-eksternalitas dan eksternalisasi-internalitas”. Proses dialektika tersebut adalah upaya memahami struktur obyektif yang ada di luar pelaku sosial (eksterior) dan segala sesuatu yang melekat pada diri pelaku sosial (interior). Adapun pendekatan pengumpulan data, peneliti menggunakan penelusuran dokumen, studi sejarah, studi kasus, dan riwayat hidup. Pendekatan tersebut, ditujukan kepada aktor dari berbagai latar belakang identitas etnik (Tolaki, Muna, Bugis, dan Buton) dan profesi (politisi, akademisi, swasta, dan NGO/LSM) yang berbeda. Studi ini melibatkan 32 informan. Baik informan maupun responden ditempatkan sebagai aktor yang dianalisis. Adapun lokasi penelitian dipilih Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra) dengan pertimbangan: (1) terdapat kurang lebih 28 etnik; (2) lokasi penelitian memiliki historis

       2

(3)

masyarakat majemuk berbasis kerajaan tradisional; (3) lokasi penelitian mencerminkan konteks ekologi Indonesia, yakni “daratan” dan “kepulauan”; dan (4) lokasi penelitian menggambarkan terjadinya pergulatan politik identitas etnik.

LANDASAN TEORITIK

Pertarungan dan Strategi

Dalam pertarungan, strategi memegang peranan yang sangat penting. Konflik selalu terjadi di dalam sebuah arena, dan hal itu telah menjadi sesuatu yang lumrah. Dalam sebuah arena, selalu saja ada pihak, baik individu maupun kelompok, yang mendominasi dengan kekuatan modal yang dimiliki. Mereka yang bukan kelompok yang mendominasi, harus berusaha keras agar modal yang dimiliki bisa bertahan, berkembang, dan kemudian bisa dilestarikan (Calhoun, 1993: 72). Menurut Rusdiarti (2004:57-60) terdapat beberapa bentuk strategi dari Bourdieu, pertama, strategi investasi biologis. Strategi ini memiliki kaitan erat dengan pelestarian keturunan dan jaminan atas pewarisan modal bagi generasi yang selanjutnya dengan tujuan mempersiapkan generasi berikutnya yang lebih baik lagi.

Kedua, strategi suksesif, yaitu usaha untuk mewariskan harta bagi generasi berikutnya.

Pewarisan harta ini biasanya terkait dengan pewarisan modal ekonomi dan modal budaya;

ketiga, strategi edukatif, yaitu usaha yang dilakukan oleh suatu aktor untuk menghasilkan

pelaku-pelaku sosial baru yang bisa dengan cakap mewarisi modal yang dimiliki oleh aktor tersebut; keempat, strategi invasi ekonomi atau disebut strategi kapital ekonomi bertujuan untuk mempertahankan dan meningkatkan modal ekonomi yang sudah dimiliki sebelumnya;

dan kelima, strategi investasi simbolik. Strategi ini berkaitan dengan semua tindakan

pelestarian kapital simbolik. Strategi ini bertujuan agar seorang individu ataupun kelompok sosial mendapatkan pengesahan dalam kehidupan sosialnya. Strategi ini menjadi hal penting karena menyangkut pengakuan seseorang terhadap posisinya. Semakin besar kapital simbolik yang dimilikinya, maka semakin besar pulalah pengaruhnya pada kelompok sosial yang lain.

Arena Ekonomi Politik Lokal

Arena ekonomi politik lokal adalah kondisi obyektif dimana terjadi pertarungan antar aktor untuk memperebutkan sumber-sumber ekonomi dengan kekuasaan (politik) atau sebaliknya di tingkat lokal. Istilah “pertarungan” diambil dari definisi arena yang dirujuk dari pendapat Bourdieu (Boudieu dan Wacquant 1992). Menurutnya arena adalah field of struggle, di mana para aktor berjuang meningkatkan posisi objektif mereka. Karena berada di arena pertarungan,3 para aktor menerapkan berbagai strategi, yaitu “the active deployment of objectively oriented ‘lines of action’ that obey regularities and form coherent and socially

intelligible patterns” (Wacquant 2002: 25). Namun, pilihan-pilihan strategi yang tersedia bagi

aktor dibatasi kondisi objektif mereka di arena. Di arena, terdapat distribusi modal4 tertentu dan cara pandang mereka terhadap arena tersebut (Bourdieu dan Wacquant 1992). Hal ini dikarenakan di dalam arena masing-masing memiliki aturan.

Adapun aturan yang dimaksud adalah aturan yang berlaku dalam arena ekonomi politik. Agar pemahaman menjadi utuh tentang arena ekonomi politik lokal, maka konsepsi teoritik Granovetter (sosiologi ekonomi baru) dan Nordholt dan Klinken5 (politik lokal) menjadi diskursus yang menarik. Diskursus diorientasikan untuk menemukenali konteks arena       

3

Di arena pertarungan aktor melakukan (re)produksi doxa (wacana dominan), orthodoxy (wacana pendukung), dan heterodoxy (wacana tandingan).

4 Munurut Bourdieu, modal yang diperebutkan aktor/agen adalah ekonomi, social, simbolik, dan budaya. 5

(4)

ekonomi politik lokal yang di dalamnya terdapat aturan-aturan. Untuk itu, apabila disusun matrik antar area sosiologi ekonomi baru dengan politik lokal, maka terdapat sembilan tipologi arena ekonomi politik lokal. Kesembilan arena ekonomi politik lokal, sebagai berikut: jaringan pemekaran wilayah, peng-organisasian ekonomi pemekaran wilayah, kultur kekuasaan etnik (basis pemekaran wilayah), jejaring shadow state, pengorganisasian ekonomi

shadow state, kultur dalam shadow state, jaringan politik identitas, pengorganisasian ekonomi

identitas, dan identitas etnik dalam demokrasi atau politik lokal.

PEMBAHASAN

Ruang Pertarungan Aktor

Ruang pertarungan aktor (the space of actor clash) merupakan tempat bertemunya aktor untuk memperebutkan dan melanggengkan kuasa (simbolis, ekonomi, dan politik) di arena ekonomi politik lokal. Untuk mengidentifikasi ruang pertarungan aktor dan aktor yang melakukan pertarungan tersebut, maka penting memahami keberadaan aktor yang memiliki

distingsi baik identitas etnik, profesi, maupun kepentingan. Pemahaman ini penting

dikarenakan setiap aktor yang memiliki perbedaan, akan memiliki orientasi yang berbeda ketika menggunakan kuasa yang dimilikinya.

Untuk memberikan gambaran lebih lanjut tentang hal tersebut, maka penting untuk mengetahui tempat praktik aktor di arena ekonomi politik lokal. Adapun tempat praktik aktor di arena ekonomi politik lokal adalah praktik kultur kekuasaan etnik yang mencerminkan moda praktik kekuasaan simbolis, praktik pengorganisasian ekonomi identitas yang mencerminkan moda praktik kekuasaan ekonomi, dan praktik politik identitas yang mencerminkan moda praktik kekuasaan politik. Kemudian dari ketiga tempat praktik aktor tersebut, memiliki irisan sehingga membentuk kategori ruang pertarungan antar aktor di arena ekonomi politik lokal. Adapun kategori ruang pertarungan tersebut, didasarkan pada prinsip hieraki, kekuatan modal, relasi, dan habitus aktor.

Dengan demikian, kategori ruang pertarungan aktor di arena ekonomi politik lokal dibedakan menjadi tiga bagian, pertama, ruang pertarungan kekuasaan ekonomi simbolis, yaitu ruang pertarungan aktor yang terjadi diantara praktik kultur kekuasaan etnik dengan pengorganisasian ekonomi identitas. Di ruang ini, aktor yang terlibat adalah aktor kampus, LSM, dan pengusaha.S ebelum terbentuknya ruang pertarungan ini, aktor kampus dan LSM dengan prinsip hierarki otonomnya mendominasi modal simbolik dan modal budaya. Sebaliknya aktor pengusaha dengan prinsip hierarki heteronomnya mendominasi modal ekonomi. Namun demikian, ketika dua kelompok aktor yang memiliki prinsip hierarki yang berbeda dan bertemu dalam ruang pertarungan kekuasaan ekonomi

Praktik Kultur

Otonom dan Birokrasi Aktor Politisi

(5)

simbolis, maka terjadi subordinasi prinsip otonom (modal simbolik dan budaya) dan mendominasinya prinsip heteronom (modal ekonomi).

Kedua, ruang pertarungan kekuasaan politik simbolis, yaitu ruang pertarungan aktor yang terjadi diantara praktik kultur kekuasaan etnik dengan praktik politik identitas. Di ruang pertarungan ini, aktor yang terlibat adalah mereka yang memiliki latar belakang intelektual kampus, NGO/LSM, politisi, dan birokrat. Seperti ruang pertarungan sebelumnya, aktor kampus dan NGO/LSM terdominasi oleh politisi dan birokrat. Meski dalam ruang pertarungan ini, belaku prinsip otonom yang mengutamakan modal simbolik, akan tetapi aktor politisi dan birokrat memiliki sedikit banyak modal ekonomi yang lebih dibandingkan aktor kampus maupun NGO/LSM. Dalam posisi seperti ini, maka distingsi identitas etnik memainkan peran penting; dan ketiga, ruang pertarungan kekuasaan ekonomi-politik, yaitu ruang pertarungan aktor yang terjadi diantara praktik pengorganisasian ekonomi identitas dengan praktik politik identitas. Di ruang ini, terjadi transaksi antar politisi atau birokrat dengan pengusaha. Aktor politik atau birokrat bertindak sebagai produsen yang memiliki prinsip otonom (modal simbolik) dan modal sosial yang dijadikan sebagai instrumen (tools) kekuasaan aktor. Dikarenakan masing-masing pihak (aktor) memiliki kepentingan yang sama, maka relasi terbangun cenderung equal/setara. Terbangunnya relasi yang setara tersebut, dikarenakan masing-masing aktor memiliki kekuatan modal yang dapat saling dipertukarkan (lihat Gambar 1).

 

(a) Ruang Pertarungan Kekuasaan Ekonomi Simbolis

Pada bagian ini, peneliti akan menguraikan aktor dengan distingsi identitas etnik dan profesi melakukan pertarungan di ruang ini. Di awal sub bab ini, telah dikemukakan bahwa subyek yang bertarung dalam ruang ini adalah aktor kampus, NGO/LSM, dan pengusaha. Adapun obyek yang dipertarungkan adalah sumberdaya ekonomi yang terdapat di lokasi studi. Diantara tiga aktor tersebut, aktor pengusaha didominasi Bugis, Buton, dan Cina. Sedangkan aktor kampus dan NGO/LSM cenderung merata dan tidak satupun etnik yang mendominasi. Dengan kata lain, semua aktor ini berasal dari basis etnik yang terdapat di lokasi studi. Jika demikian halnya, lalu bagaimana relasi yang terbangun antar aktor yang memiliki distingsi identitas etnik dan latar belakang profesi? Kemudian bagaimana pola pertarungan kekuasaan ekonomi simbolis yang dilakukan antar aktor yang memiliki perbedaan tersebut?

Untuk menjawab pertanyaan di atas, maka determinasi prinsip heteronom yang berorientasi keuntungan menentukan relasi dan pola pertarungan antar aktor. Dikarenakan orientasi ruang pertarungan ini adalah keuntungan, menyebabkan modal ekonomi lebih mendominasi daripada modal simbolis. Oleh karena itu, relasi yang terbangun cenderung bersifat transaksional, dimana aktor kampus dan NGO/LSM bertindak “konsumen” dan aktor pengusaha sebagai “produsen”. Adapun distingsi identintas etnik digunakan sebagai instrumen aktor untuk melakukan mobilisasi [identitas] etnik atau menarik dukungan massa berbasis etnisitas.

Penelitian ini menunjukkan bahwa pada masyarakat polietnik (majemuk), pertarungan kekuasaan ekonomi simbolis senantiasa melibatkan mobilisasi etnik (massa berbasis etnisitas) untuk memperebutkan dan melanggengkan kuasa sumberdaya ekonomi yang ditentukan regulasi pemerintah, seperti: ekonomi perdagangan (khususnya properti), berkembang, dan terbelakang.6 Sedangkan ekonomi perdagangan distributor, eceran, dan produksi jarang ditemukan pertarungan. Dalam konteks studi ini, maka terbentuklah afiliasi pengusaha dengan aktor kampus dan NGO/LSM yang masing-masing memiliki kemampuan argumentatif ilmiah dan memobilisasi atau menggerakkan massa berbasis etnisitas untuk       

6

(6)

mendukung kepentingan pengusaha. Kondisi ini sebagaimana diungkapan informan berinisial SAI:

“...tidak sedikit orang kampus dan NGO/LSM disini bergandengan tangan dengan pengusaha. Ada keuntungan yang diperoleh dari kedua pihak tersebut. Jika orang kampus atau NGO/LSM mendapatkan keuntungan uang karena memiliki kemampuan argumentatif ilmiah dan memobilisasi massa berbasis etnisitas, maka pengusaha dengan kekuatan uang yang dimilikinya mendapatkan keuntungan untuk memperluas kekuasaan ekonominya. Meski demikian, aktor-aktor yang pro pengusaha tersebut adalah mereka dengan latar belakang besar di lokal...” (Wawancara tanggal 5/01/2012).

Berangkat dari penjelasan di atas, maka terdapat dua kelompok aktor yang bertarung dalam ruang kekuasaan ekonomi simbolis. Adapun kedua kelompok aktor yang dimaksud,

pertama, afiliasi golongan aktor kampus yang berasal dari out-actor dengan NGO/LSM besar (memiliki jaringan nasional); versuskedua, afiliasi golongan aktor kampus yang berasal dari

in-actor dengan NGO/LSM lokal yang memiliki jaringan terbatas atau lokal. Tentunya kedua

kelompok yang bertarung tersebut memiliki perbedaan habitus ketika memaknai kondisi obyektif identitas etnik di lokasi studi.

Selanjutnya pengkategorian kelompok aktor di atas, memberikan gambaran bahwa

in-actor (aktor dalam) cenderung berafiliasi dengan NGO/LSM lokal yang di dalamnya terdiri

dari [individu] aktor dari etnik tertentu. Kemudian melakukan mobilisasi [identitas] etnik (mobilisasi massa berbasis etnisitas) untuk mendukung kepentingan pengusaha. Sebaliknya,

out-actor (aktor luar) cenderung berafiliasi dengan NGO/LSM besar yang di dalamnya terdiri

dari berbagai [individu] aktor dengan perbedaan identitas etnik yang melakukan penolakan atas kepentingan pengusaha. Dengan demikian, pola pertarungan kekuasaan ekonomi simbolis antar aktor terdiri atas: pertama, pertarungan wacana, yaitu pertarungan antar aktor yang mendukung dan menolak kepentingan aktor pengusaha dengan mengusung wacana-wacana tertentu. Mereka yang beroposisi dengan kepentingan aktor pengusaha mengusung wacana kerusakan ekologi dan lingkungan, serta dampaknya terhadap masa depan sosio-ekonomi warga (massa) di lokasi studi.

Sedangkan aktor yang mendukung kepentingan pengusaha, mengusung wacana peningkatan ekonomi warga lokal dan serangkaian argumentatif ilmiah yang menyatakan bahwa aktivitas pengusaha tidak bermasalah dengan persoalan ekologi dan lingkungan; dan

kedua, pertarungan terbuka, yaitu pertarungan yang bersifat terbuka antar aktor yang mendukung dan menolak kepentingan pengusaha. Dalam hal ini, aktor yang beroposisi dengan pengusaha melakukan pernyataan terbuka (pers confrence) penolakan segala hal terkait kepentingan pengusaha melalui media massa. Berbeda dengan aktor yang mendukung pengusaha, cenderung melakukan mobilisasi massa dan terkadang melakukan kekerasan simbolik, seperti intimidasi, tekanan, dan lain-lain.

(b) Ruang Pertarungan Kekuasaan Politik Simbolis

Seperti halnya ruang pertarungan sebelumnya, pertarungan kekuasaan politik simbolis melibatkan beberapa aktor yang memiliki distingsi identitas etnik dan profesi. Adapun aktor yang dimaksud adalah aktor kampus, NGO/LSM, politisi, dan birokrat. Kemudian diantara aktor-aktor tersebut, aktor birokrat cenderung didominasi etnik Tolaki. Sedangkan aktor lainnya (aktor kampus, NGO/LSM, dan politisi) tidak terkesan didominasi oleh etnik tertentu.

(7)

Namun diantara aktor tersebut, terdapat share kepentingan diantara mereka. Biasanya share

tersebut, berupa akses terhadap proyek-proyek pemerintah (penelitian dan pemberdayaan masyarakat) yang diberikan aktor politisi/birokrat (sebagai produsen) kepada aktor kampus dan NGO/LSM (sebagai konsumen).

Berbeda dengan pertarungan kekuasaan simbolis yang cenderung berprinsip heteronom dengan kekuatan modal ekonominya, pertarungan kekuasaan politik simbolis lebih menitikberatkan afiliasi berdasarkan kesamaan identitas etnik atau sejarah etnisitas. Artinya politisi/birokrat akan berafiliasi dengan aktor kampus atau NGO/LSM, apabila memiliki kesamaan etnisitas atau sejarah etnik.7 Akan tetapi tak dapat dipungkiri bahwa modal ekonomi memainkan pengaruh yang cukup penting dalam ruang pertarungan kekuasaan politik simbolis ini. Sehingga afiliasi antar aktor tidak ditentukan berdasarkan kesamaan dan sejarah etnisitas.

Oleh karena itu, pengaruh modal ekonomi menyebabkan relasi yang terbangun antar aktor bersifat transaksional dikarenakan aktor memiliki orientasi kepentingan keuntungan. Disini, politisi/birokrat berkepentingan mempertahankan dan memperluas kekuasaan politik simbolis, sedangkan aktor kampus (khususnya in-actor) dan NGO/LSM (lokal) berkepentingan memperoleh modal ekonomi dan akses terhadap kekuasaan politik lokal. Kondisi tersebut menggambarkan fenomena maraknya aktor kampus atau NGO/LSM yang masuk ke dalam praktek politik identitas. Sebagaimana diungkapkan responden peneliti berinisial AIM:

“...HDY adalah mantan aktivis kampus dari etnik Muna. Dia sekarang sebagai salah satu anggota KPU Kota Kendari. Dulunya aktivis ini memimpin salah satu LSM yang sering berdemo. Karena dianggap keras, intimidasi sering dia peroleh. Perkenalannya dengan salah satu penguasa di kota ini mengantarkannya masuk sebagai anggota KPU. Beginilah cara aktivis untuk masuk ke dunia politik...” (Wawancara tanggal 2/12/2011).

Dari penjelasan di atas, maka ruang pertarungan kekuasaan politik simbolis merupakan pertarungan yang terjadi antara kelompok-kelompok afiliasi. Setidaknya terdapat dua kelompok afiliasi, yaitu: (1) afiliasi politisi/birokrat – in-actor – NGO/LSM lokal yang memiliki basis etnik sama atau sejarah etnisitas; dan (2) afiliasi out-actor – NGO/LSM yang memiliki jaringan nasional dan [individu] aktor yang bergabung tidak didasarkan atas kesamaan etnik. Dari kedua kelompok afiliasi tersebut, maka pertarungan antar aktor di ruang ini dibagi atas: (1) pertarungan aktor dari kelompok afiliasi pertama yang memiliki

distingsi identitas etnik; dan (2) pertarungan aktor dari kelompok afiliasi kedua dengan

kelompok afiliasi pertama. Umumnya, kelompok afiliasi pertama bertindak sebagai penguasa lokal.

Penelitian ini menunjukkan bahwa pertarungan kekuasaan politik simbolis antar aktor, senantiasa melibatkan kondisi obyektif distingsi identitas etnik dan juga mobilisasi massa berbasis etnik. Sebagai misal, kelompok afiliasi pertama yang mana aktor politisi/birokrat memanfaatkan in-actor untuk melegitimasi kekuasaan politik dan kebijakan yang disusunnya. Sedangkan aktor NGO/LSM lokal dimanfaatkan untuk memobilisasi [identitas] etnik (massa berbasis etnik) untuk mendukung dan melegitimasi kekuasaan aktor, serta mendelegitimasi kekuatan yang berlawanan dengan kekuasaan politisi/birokrat. Adapun konsekuensi dukungan tersebut, adalah in-actor atau aktor NGO/LSM lokal memperoleh proyek-proyek pemerintah dari pendanaan APBD dan akses terhadap kekuasaan politik lokal.

       7

(8)

Fenomena di atas berbeda dengan aktor yang tidak berafiliasi dengan politisi/birokrat manapun. Kelompok afiliasi ini senantiasa melakukan penolakan (oposisi) atas segala hal yang terkait dengan kekuasaan dan kebijakan dari para politisi/birokrat. Walau demikian, pertarungan yang dilakukan tersebut tidak lain bertujuan memperkuat pengaruh kekuasaan aktor di tengah-tengah masyarakat.

Berangkat dari penjelasan di atas, maka pola pertarungan kekuasaan politik simbolis cenderung berupa pertarungan kekuasaan simbolik, yaitu pertarungan yang terjadi antar aktor yang mendukung dan menolak kekuasaan politisi/birokrat lokal. Aktor yang mendukung merupakan kelompok afiliasi yang memiliki kesamaan etnik atau warisan sejarah etnisitas. Berbeda dengan sebelumnya, aktor yang beroposisi adalah aktor yang berbeda identitas etnik dengan kelompok afiliasi sebelumnya. Juga mereka yang beroposisi adalah aktor kampus (khususnya out-actor) dan NGO/LSM besar karena tidak bersesuaian dengan kebijakan penguasa (aktor politisi/birokrat). Baik aktor yang mendukung maupun beroposisi memiliki tujuan merebut pengaruh massa dan meraik kekuasaan politik lokal.

 

(c) Ruang Pertarungan Kekuasaan Ekonomi-Politik

Berbeda dengan dua ruang pertarungan sebelumnya, pertarungan kekuasaan ekonomi-politik menempatkan posisi yang equal antar aktor. Hal ini dikarenakan masing-masing aktor memiliki kekuatan modal yang dapat saling dipertukarkan. Dimana pengusaha memiliki kekuatan modal ekonomi dan politisi/birokrat memiliki kekuatan modal simbolik, serta modal sosial. Namun demikian, orientasi kedua aktor tersebut tetap sama, yaitu memperoleh keuntungan dalam konteks yang berbeda. Aktor politisi atau birokrat berkepentingan mempertahankan dan memperluas kekuasaan miliknya, sedangkan aktor pengusaha berkepentingan untuk mengamankan dan mengakumulasi kekuasaan ekonomi. Dengan demikian, relasi kedua aktor tersebut lebih bersifat transaksional yang menyebabkan ruang pertarungan ini mensubordinasi prinsip otonom yang dimiliki politisi maupun birokrat. Dengan kata lain, prinsip heteronom lebih mendominasi ruang pertarungan kekuasaan ekonomi-politik.

Selanjutnya dalam ruang pertarungan ini, mereka yang terlibat adalah pengusaha dan politisi maupun birokrat. Lebih khusus, pengusaha yang terlibat adalah mereka yang usaha ekonominya bersentuhan dengan regulasi pemerintah (seperti: properti, pertambangan, dan kontraktor). Untuk itu, sebagian besar mereka adalah pengusaha dari etnik Cina ketimbang empat etnik mayoritas. Meski ditemukan beberapa (dalam jumlah kecil) pengusaha dari etnik Bugis dan Buton terlibat dalam ruang pertarungan ini. Sebagian besar mereka yang terlibat adalah pengusaha yang mencoba masuk di ekonomi berkembang (pertambangan) dan terbelakang (kontraktor).

Berbeda dengan di atas, aktor politisi maupun birokrat berasal dari empat etnik mayoritas di Kendari maupun Sultra. Kemudian untuk mempertahankan dan memperluas kekuasaannya, aktor politisi/birokrat membangun afiliasi dengan pengusaha agar memperoleh “bantuan” modal ekonomi dalam bentuk uang. Fenomena ini begitu nampak ketika berlangsungnya pilkada, dimana aktor politisi membutuhkan sejumlah uang untuk memenangkan pertarungan politik lokal. Dikarenakan warisan sejarah etnik dan kepentingan yang sama antar pengusaha, maka afiliasi cenderung terpola berdasarkan doxa pertentangan antar etnik. Kondisi ini sebagaiamana diungkapkan responden berinisial ZNL:

(9)

kandidat. Polarisasi etnik disini memberikan keuntungan bagi pengusaha Cina...” (Wawancara tanggal 28/12/2011).

Merujuk penjelasan di atas, maka afliasi dalam ruang pertarungan kekuasaan ekonomi-politik terbagi ke dalam dua kelompok, yaitu: (1) kelompok afiliasi pengusaha Cina dengan aktor politisi/birokrat asal etnik Muna dan Tolaki (Cina-Muna-Tolaki); dan (2) kelompok afiliasi pengusaha Bugis dan Buton dengan aktor politisi atau birokrat dari etnik yang sama.

Terpolarisasinya kelompok afiliasi tersebut, kemudian membentuk pola pertarungan antar aktor dalam bentuk pertarungan modal ekonomi, dimana aktor (baik pengusaha maupun politisi atau birokrat) mempertahankan dan meningkatkan modal ekonomi yang sudah dimiliki sebelumnya. Pertarungan tersebut, disatu sisi memberikan keuntungan bagi aktor pengusaha (baik Cina, Buton, dan Bugis) karena dapat mengakumulasi modal ekonomi tanpa adanya rivalisasi dengan etnik lainnya, disisi lain, aktor politik atau birokrat mampu menjaga eksistensinya di tengah-tengah massa (masyarakat) karena memiliki modal yang dapat digunakan untuk mempertahankan dan memperluas kekuasaan politiknya. Dengan demikian, penelitian ini menunjukkan bahwa pertarungan kekuasaan ekonomi-politik antar aktor senantiasa terkait dengan sejarah etnisitas dan rivalitas ekonomi. Dalam sejarah ini, aktor yang terdominasi akan berusaha melakukan “perlawanan” agar dapat mendominasi kekuasaan ekonomi-politik.

Strategi-strategi Aktor

Bagian sebelumnya, telah ditunjukkan bahwasanya ruang pertarungan aktor didominasi prinsip hierarki heteronom yang mengutamakan kekuatan modal dan berorientasi pada keuntungan yang diperoleh aktor. Artinya, prinsip hierarki otonom yang mengutamakan kekuatan modal simbolis tersisihkan dan hanya ditempatkan sebagai instrumen (tools) aktor untuk mewujudkan kepentingannya. Jika demikian halnya, maka pertarungan-pertarungan tersebut hanyalah sebentuk permainan aktor yang digunakannya untuk mempertahankan dan melanggengkan kekuasaannya di arena ekonomi politik lokal. Tentang hal tersebut, Bourdieu menyatakan “...strategi adalah produk dari rasa praktis seperti halnya rasa permainan buat suatu permainan yang partikular dan historis –rasa yang diperoleh semasa kanan-kanak,

dengan cara berpartisipasi dalam aktivitas sosial...” (Bourdieu 2011:82)

Mencermati pendapat Bourdieu di atas, maka strategi aktor dapat dilacak dari modus ruang pertarungan aktor yang berlangsung di arena ekonomi politik lokal. Dalam konteks studi ini, mereka yang bertarung adalah aktor kampus, politisi dan birokrat, NGO/LSM, dan pengusaha yang memiliki masing-masing habitus dan kekuatan modal berbeda-beda. Namun, hampir semua aktor (terkecuali out-actor dan NGO/LSM besar) senantiasa menempatkan distingsi identitas etnik sebagai instrumen (tools) untuk memenangkan pertarungan. Untuk itu, penempatan strategi akan tidak dibedakan berdasarkan basis etnisitas aktor.

Dengan demikian, pada sub bab ini peneliti akan mengidentifikasi strategi-startegi yang dimainkan aktor dengan terlebih dahulu memetakan strategi yang diproduksi dari relasi antar aktor. Setidaknya, terdapat empat strategi yang diproduksi dari relasi antar aktor, yaitu: (1) strategi yang diproduksi dari relasi aktor kampus – NGO/LSM; (2) strategi yang diproduksi dari relasi aktor kampus – politisi/birokrat – pengusaha; (3) strategi yang diproduksi dari relasi aktor NGO/LSM – pengusaha – politisi/birokrat; dan (4) strategi yang diproduksi dari relasi aktor politisi/birokrat – pengusaha. Adapun uraian keempat hal tersebut, sebagaimana dijelaskan pada bagian berikut tulisan ini.

(10)

Relasi antar aktor kampus dengan aktor NGO/LSM cenderung terpolarisasi menjadi dua bagian. Pertama, relasi antar aktor NGO/LSM lokal dengan kategori in-actor dalam aktor kampus; dan kedua, relasi antar aktor NGO/LSM besar (memiliki jaringan nasional) dengan

out-actor yang merupakan kategori lainnya aktor kampus. Polarisasi tersebut dikarenakan

perbedaan habitus dan pemaknaan aktor atas distingsi identitas etnik yang begitu kental di lokasi studi (telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya).

Akibat dari polarisasi tersebut, menyebabkan masing-masing kelompok relasi menciptakan dan memainkan strategi berdasarkan kekuatan modal yang dimilikinya. Setidaknya terdapat dua bentuk strategi yang diproduksi dari relasi aktor NGO/LSM lokal –

in-actor, yaitu: (1) strategi reproduksi simbolik, merupakan proses pemeliharaan atau

pelestarian symbolic power (berisi sejarah pertentangan antar etnik) yang dimiliki oleh masing-masing entitas etnik dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Tabel 1. Strategi yang Diproduksi dari Relasi Aktor Kampus – NGO/LSM.

Aktor NGO/LSM Aktor Kampus

In-Actor (Aktor Dalam) Out-Actor (Aktor Luar)

Lokal

• Strategi reproduksi simbolik; dan

• Strategi investasi simbolik.

Besar (Jaringan Nasional)

• Strategi reproduksi wacana;

• Strategi membangun aliansi strategis; dan

• Strategi edukatif.

Dikarenakan sebagian besar aktor atau aktivis NGO/LSM lokal merupakan lulusan kampus negeri maupun swasta daerah, maka in-actor (aktor yang lahir dan besar di daerah) melakukan “kadernisasi” dengan menggunakan media kampus (sekolah); dan (2) strategi investasi simbolik, merupakan tindakan aktor untuk melestarikan modal simbolik8 yang dimilikinya. Strategi ini bertujuan agar aktor mendapatkan pengakuan terhadap posisinya dan pengesahan dalam kehidupan sosialnya.

Berbeda dengan di atas, relasi aktor NGO/LSM besar (memiliki jaringan nasional) –

out-actor memproduksi tiga strategi, yaitu: (1) strategi reproduksi wacana, merupakan

heterodoxy yang mempertentangkan realitas simbolik yang kaku dengan wacana-wacana

multikukturalisme dan kondisi aktual sebagai dampak dari relasi-relasi yang dibangun atas dasar etnisitas. Strategi ini bertujuan agar setiap orang berhak memperoleh akses yang sama terhadap kekuasaan politik maupun ekonomi; (2) strategi membangun aliansi strategis, adalah strategi yang dilakukan aktor untuk membangun agenda kolektif yang lebih bersifat praksis dengan menitikberatkan pembauran aktor dari beragam latar belakang etnisitas. Adapun strategi ini bertujuan untuk menciptakan kesadaran bersama akan bahaya kolektivitas etnik yang masif; dan (3) strategi edukatif, adalah usaha yang dilakukan aktor untuk menghasilkan pelaku-pelaku sosial baru yang bisa dengan cakap mewarisi modal yang dimiliki aktor tersebut (lihat Tabel 1).

Aktor Kampus – Politisi/Birokrat – Pengusaha

Dibandingkan penjelesan sebelumnya, relasi antar aktor yang memproduksi strategi cukup variatif. Meski demikian, terdapat beberapa kesamaan strategi yang diproduksi dari relasi antar aktor. Sebagai misal relasi politisi/birokrat – in-actor memiliki bentuk strategi       

(11)

yang sama dengan relasi aktor NGO/LSM lokal – in-actor. Hal yang menarik dari penelitian ini adalah ditemukannya bentuk strategi baru yang dilakukan aktor untuk melepaskan diri dari tekanan struktur obyektif di lokasi studi.

Adapun strategi yang dimaksud adalah strategi penyusupan simbolik yang terbentuk dari relasi out-actor – aktor politisi/birokrat. Strategi ini bertujuan melakukan penyusupan dengan menggunakan instrumen kesamaan identitas etnik dengan politisi/birokrat. Ketika penyusupan dianggap berhasil, maka out-actor melakukan reproduksi wacana dan edukatif di institusi-institusi politik maupun birokrat yang sarat dengan distingsi identitas etnik. Kondisi ini sebagaimana diungkapkan informan berinisial SAI, “tidak ada cara lain agar wacana multikulturalisme dapat diterima disini, selain menyusup. Dengan menyusup, maka kita dapat mendekonstruksi wacana yang ada dengan wacana yang baru, lalu melakukan

edukasi-edukasi” (Wawancara tanggal 22/12/2011, Sjaf 2012).

Tabel 2. Strategi yang Diproduksi dari Relasi Aktor Kampus – Politisi/Birokrat – Pengusaha.

Aktor Aktor Kampus

In-Actor (Aktor Dalam) Out-Actor (Aktor Luar)

Politisi/Birokrat • Strategi reproduksi simbolik;

• Strategi investasi simbolik. • Strategi penyusupan simbolik.

Pengusaha • Strategi invasi ekonomi; dan

• Strategi dukungan wacana. • Strategi perlawanan.

Selanjutnya bentuk strategi yang diproduksi dari relasi in-actor – aktor pengusaha adalah strategi invasi ekonomi dan dukungan wacana. Strategi invasi ekonomi bertujuan untuk mempertahankan atau meningkatkan modal ekonomi yang sudah dimiliki sebelumnya. Bagi in-actor, relasi yang dijalin dengan pengusaha berdampak terhadap peningkatan modal ekonomi yang dimilikinya. Sebaliknya, bagi pengusaha bahwa dukungan wacana yang positif (argumentasi-argumentasi ilmiah) dari in-actor tentang usaha yang dibangunnya, memiliki dampak terjadinya peningkatan modal ekonomi atau setidaknya bertahan seperti yang sudah dimiliki sebelumnya. Kondisi tersebut berbeda ketika relasi yang terbangun antar pengusaha

out-actor, strategi yang diproduksi adalah strategi perlawanan, dimana setiap usaha

ekonomi yang dilakukan aktor akan mendapatkan perlawanan dari out-actor. Biasanya,

out-actor melakukan perlawanan dalam bentuk gugatan atas kerusakan lingkungan dan

sosio-ekonomi warga yang ditimbulkan dari pembangunan yang diiniasi oleh pengusaha (lihat Tabel 2).

Aktor NGO/LSM – Politisi/Birokrat – Pengusaha

Seperti uraian dan penjelasan sebelumnya, relasi yang dibangun dari aktor-aktor ini membentuk enam strategi berdasarkan konteks masing-masing relasinya. Relasi NGO/LSM lokal – politisi/birokrat memproduksi dua strategi, yaitu strategi reproduksi simbolik dan strategi invasi kekuasaan. Dari dua strategi tersebut, hal yang berbeda dengan sebelumnya adalah strategi invasi kekuasaan. Strategi ini bertujuan mempertahankan dan memperluas kekuasaan aktor dari kekuasaan yang dimiliki sebelumnya.

(12)

kekuasaan aktor akan bertambah luas dikarenakan aktor politisi/birokrat memiliki kemampuan mengakumulasi modal sosial yang dimiliki NGO/LSM lokal tersebut.

Tabel 3. Strategi yang Diproduksi dari Relasi Aktor NGO/LSM – Politisi/Birokrat – Pengusaha.

Aktor NGO/LSM

Lokal Besar (Jar. Luas)

Politisi/Birokrat • Strategi reproduksi simbolik; dan

• Strategi invasi kekuasaan. • Strategi reproduksi wacana

• Strategi perlawanan Pengusaha • Strategi invasi ekonomi; dan

• Strategi dukungan simbolik.

Selanjutnya relasi antar pengusaha – NGO/LSM lokal memproduksi dua bentuk strategi, yaitu strategi invasi ekonomi dan strategi dukungan simbolik. Khusus strategi yang terakhir, merupakan tindakan pendukungan aktor terhadap aktor lainnya dikarenakan adanya

share yang diperoleh dari relasi antar aktor. Dalam hal ini, pengusaha akan merasa tenang dan

dapat memperluas kekuasaan ekonominya dikarenakan LSM lokal yang memiliki kemampuan memobilisasi [identitas] etnik (massa berbasis etnik) mendukung aktivitas ekonomi yang dijalankan oleh aktor tersebut. Kemudian relasi antar NGO/LSM besar – politisi/birokrat – pengusaha memproduksi dua bentuk strategi, yaitu strategi reproduksi wacana dan strategi perlawanan (lihat Tabel 3).

Aktor Politisi/Birokrat – Pengusaha

Meski relasi antar aktor ini tidak sekompleks dengan sebelumnya, akan tetapi dari relasi cenderung equal ini membentuk tiga strategi, yaitu strategi invasi kekuasaan, strategi invasi ekonomi, dan strategi dukungan modal. Strategi invasi kekuasaan bertujuan mempertahankan dan memperluas kekuasaan aktor dari kekuasaan yang dimiliki sebelumnya. Meski strategi ini menguntungkan aktor politisi atau birokrat, akan tetapi pengusaha menganggap bahwa dengan membantu mempertahankan atau memperluas kekuasaan politisi/birokrasi, maka akan berdampak terhadap keamanan dan perluasan kekuasaan ekonomi yang akan dilakukan aktor ini.

Tabel 4. Strategi yang Diproduksi dari Relasi Politisi/Birokrat – Pengusaha.

Aktor Politisi/Birokrat

Pengusaha

• Strategi invasi kekuasaan;

• Strategi invasi ekonomi; dan

• Strategi dukungan simbolik

(13)

memobilisasi massa berbasis etnik memberikan keuntungan tersendiri bagi pengusaha untuk mengamankan asset dan memperluas usaha yang dimilikinya.

SIMPULAN

Untuk memahami ruang pertarungan dan strategi aktor di arena ekonomi politik lokal, maka penting memahami praktik aktor di arena ekonomi politik lokal. Setidaknya terdapat beberapa tempat praktik aktor di arena ekonomi politik lokal, yaitu praktik kultur kekuasaan etnik, praktik pengorganisasian ekonomi identitas, dan praktik politik identitas. Kemudian dari ketiga tempat praktik aktor tersebut, memiliki irisan sehingga membentuk kategori ruang pertarungan antar aktor di arena ekonomi politik lokal. Adapun ruang pertarungan, didasarkan pada prinsip hieraki, kekuatan modal, relasi, dan habitus aktor.

Di arena ekonomi politik lokal, terdapat tiga ruang pertarungan aktor, pertama, ruang pertarungan kekuasaan ekonomi simbolis, yaitu ruang pertarungan aktor yang terjadi diantara praktik kultur kekuasaan etnik dengan pengorganisasian ekonomi identitas; kedua, ruang pertarungan kekuasaan politik simbolis, yaitu ruang pertarungan aktor yang terjadi diantara praktik kultur kekuasaan etnik dengan praktik politik identitas; dan ketiga, ruang pertarungan kekuasaan ekonomi-politik, yaitu ruang pertarungan aktor yang terjadi diantara praktik pengorganisasian ekonomi identitas dengan praktik politik identitas.

Selanjutnya untuk memenangkan pertarungan di atas, maka akor menerapkan strategi agar mampu tampi sebagai pemenang dalam pertarungan tersebut. Setidaknya, terdapat empat strategi yang diproduksi dari relasi antar aktor, yaitu: (1) strategi yang diproduksi dari relasi aktor kampus–NGO/LSM, seperti: reproduksi simbolik, investasi simbolik, reproduksi wacana, membangun aliansi; dan edukatif; (2) strategi yang diproduksi dari relasi aktor kampus–politisi/birokrat–pengusaha, seperti: reproduksi simbolik, investasi simbolik, invasi ekonomi, dukungan wacana, penyusupan simbolik, dan perlawanan; (3) strategi yang diproduksi dari relasi aktor NGO/LSM–pengusaha–politisi/birokrat, seperti: reproduksi simbolik, invasi kekuasaan, invasi ekonomi, dukungan simbolik, reproduksi wacana, dan perlawanan; dan (4) strategi yang diproduksi dari relasi aktor politisi/birokrat–pengusaha, seperti: invasi kekuasaan, invasi ekonomi, dan dukungan simbolik.

DAFTAR PUSTAKA

Bourdieu, Pierre. 2011. Choses Dites: Uraian dan Pemikiran. Yogyakarta: Penerbit Kreasi Wacana.

Bourdie, Pierre and Loic J. D. Wacquant, 1992. An Invitation to Reflexive Sociology. Chicago: The University of Chichago Press.

Calhoun, Craig. 1993. Habitus, Field, and Capital: The Question of Historical Specifity. Furnivall, J.S. 2009. Hindia Belanda: Studi tentang Ekonomi Majemuk. Jakarta: Freedom

Institute.

Granovetter, M. and Swedberg, R. 1992. The Sociology of Economic Life. Westview Press, San Francisco, USA.

Hardiman, F. Budi. 2009. Demokrasi Deliberatif. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Maunati, Yekti. 2004. Identitas Dayak: Komodifikasi dan Politik Kebudayaan. Yogyakarta: LKIS.

(14)

Nordholt, HS. dan Klinken [ed.]. 2007. Politik Lokal di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Rusdiarti, Suma Riella. 2004. Bahasa, Kapital Simbolik dan Pertarungan Kekuasaan:

Tinjauan Filsafat Sosial Pierre Bourdieu tentang Bahasa. Depok: Tesis

Pascasarjana Departemen Filsafat FIB [tidak dipublikasikan].

Swedberg, R. 1998. Max Weber and the Idea of Economic Sociology. New Jersey, USA:

Princeton University Press.

Tadjoeddin, MZ. 2002. Anatomi Kekerasan Sosial dalam Konteks Transisi: Kasus Indonesia 1990-2001. Jakarta: United Nations Support Facility for Indonesian Recovery

(UNSFIR).

Wacquant, Loïc J. D. 2002. From Slavery to Mass Incarceration: Rethinking the “Race

Question” in the US. New Left Review 13. Pp. 41-60.

Gambar

Gambar 1.  Ruang Pertarungan Aktor di Arena Ekonomi Politik Lokal. 
Tabel 1.  Strategi yang Diproduksi dari Relasi Aktor Kampus – NGO/LSM.
Tabel 2.  Strategi yang Diproduksi dari Relasi Aktor Kampus –  Politisi/Birokrat – Pengusaha

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara bobot tubuh dan panjang total pada ikan layang jantan dan betina, baik yang tertangkap di perairan

Kegiatan  assurance  merupakan  penilaian  objektif  yang  dilakukan  auditor  internal  atas  bukti  untuk  memberikan  pendapat  independen  mengenai  tata 

Sedangkan menurut Nur (2003), “motivasi adalah suatu proses internal yang dapat mengaktifkan, memandu, dan mempertahankan prilaku dari waktu ke waktu.Pada umumnya

We also saw how modern banking was developed in Europe and later transferred to the Muslim World, and how Islamic banking came about to fill the gap that modern

Merumuskan Program dasar Perencanaan dan Perancangan yang berhubungan dengan aspek-aspek perancangan dan perencanaan Masjid Agung DIY sebagai tempat ibadah,

Tesis ini membahas tentang “Efektivitas Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 16/15/2014 tentang Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing Bukan Bank Terkait Jasa Money Changer

Berdasarkan dari hasil penelitian sebelumnya pada F2 didapatkan nilai heritabilitas pada beberapa karakter kuantitatif 4 populasi F2 tanaman cabai adalah nilai heritabilitas

Pada era globalisasi ini, dapat dilihat segelintir dari sesetengah industri perhotelan di daerah ini seringkali terlibat dengan aktiviti negatif seperti, pelacuran, kelab