• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep Budaya Stratejik dalam Hubungan I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Konsep Budaya Stratejik dalam Hubungan I"

Copied!
3
0
0

Teks penuh

(1)

071311233068 – Studi Perbandingan Budaya Strategik Week 2

Budaya Stratejik dalam Studi Hubungan Internasional

Sebagai sebuah disiplin ilmu yang dinamis, Hubungan Internasional tidak hanya terpaku pada teori-teori ataupun pemikiran-pemikiran tertentu. Hal ini seiring dengan perubahan yang muncul dalam tatanan internasional selaku bidang kajian Hubungan Internasional itu sendiri. Salah satu momentum penting dalam sejarah perkembangan Hubungan Internasional yaitu paska berakhirnya Perang Dingin di tahun 1990an. Pada era tersebut muncul berbagai pemikiran baru dari para ahli yang semakin memperkaya studi Hubungan Internasional. Lahirnya pemikiran-pemikiran baru tersebut diawali dengan berbagai perdebatan dan kritik mengenai asumsi dan posisi yang telah ada sebelumnya karena dinilai sudah tidak sepenuhnya relevan dengan kondisi internasional pada saat itu. Berakhirnya Perang Dingin dianggap telah memberi perubahan signifikan terhadap tatanan internasional dalam berbagai aspek sehingga diperlukan adanya evaluasi mendalam, termasuk pula mengenai pola pikir dan perspektif dalam penyelesaian masalah. Oleh sebab itu, neorealisme selaku teori yang dominan digunakan selama Perang Dingin mendapat banyak kritik dan respon negatif. Neorealisme dianggap tidak lagi mampu memprediksi dan menjelaskan secara tepat peristiwa di masa mendatang seperti yang terjadi dalam Perang Dingin. Keadaan itulah yang kemudian membuka peluang berkembangnya beragam alternatif baru, salah satunya yaitu Strategic Culture.

Untuk memudahkan pemahaman terkait budaya stratejik, maka hal utama yang harus diketahui yaitu pengertian dari istilah itu sendiri. Menurut Smith (2012: 41) banyak ahli yang berpendapat berbeda dalam mendefinisikan arti budaya stratejik. Salah satunya yaitu Colin Gray (dalam Smith, 2012: 41) yang mendefinisikan budaya stratejik sebagai ide, sikap, tradisi, kebiasaan, pikiran, dan metode yang digunakan oleh komunitas keamanan tertentu yang mana di dalamnya mengandung pengalaman sejarah yang unik. Selain itu, terdapat pula pandangan yang menganggap bahwa budaya stratejik merupakan bentuk perpanjangan dari budaya politik yang telah berkembang terlebih dulu pada tahun 1960an. Perbedaan di antara keduanya terletak pada ruan lingkup pandangannya. Budaya politik Johnston (dalam Glenn et al, 2004: 3) telah terbagi menjadi tiga arus. Pertama yaitu cultural analysis yang berkaitan erat dengan perilaku Amerika Serikat dan Uni Soviet di tahun 1970an. Kedua yaitu cultural instrumentality yang berkembang pada tahun 1980an. Arus kedua dari budaya stratejik tersebut menekankan bagaimana budaya dapat mempengaruhi perilaku negara. Sedangkan budaya stratejik arus ketiga lebih membahas analisis kultural dalam organisasi dan masyarakat. Jika berkaca pada ketiga arus tersebut, maka pada dasarnya era yang berkembang saat ini masih berada dalam arus ketiga yang mana budaya nasional memegang peranan penting bagi suatu negara dalam ranah internasional. Menurut Desch (1998: 142) arus ketiga kulturalisme dalam studi keamanan memiliki fokus penelitian yang sangat luas, seperti doktrin militer, akuisisi senjata, grand strategy, dan pengambilan keputusan kebijakan luar negeri. Desch (1998: 142) menambahkan bahwa terdapat empat istilah yang dapat menggambarkan budaya stratejik di arus ketiga saat ini, yaitu organizational, political, strategic, dan global.

(2)

menganggap bahwa perilaku negara bergantung pada peluang yang terdapat di lingkungan. Padahal berdasarkan pengalaman Perang Dingin, konteks budaya domestik juga memiliki peran penting dalam menentukan perilaku negara (Glenn, 2004: 4). Bahkan beberapa ahli beranggapan bahwa budaya domestik telah mempengaruhi perilaku negara bahkan sebelum Perang Dingin dimulai. Dalam hal ini Duffield (1990, dalam Glenn, 2004: 4) mengambil contoh Jerman yang mana sikapnya sejak tahun 1945 dipengaruhi oleh budaya politik domestik, termasuk pula ketika menjalin hubungan kerjasama multilateral dengan negara-negara Eropa lainnya.

Untuk mempelajari budaya stratejik sendiri maka harus mengkombinasikan antara konteks geografi, sejarah, dan politik (Smith, 2012: 45). Para ahli beranggapan bahwa ketiga hal tersebut memberi pengaruh kuat terhadap perilaku negara dalam mencapai keinginan atau kepentingan nasionalnya. Hal inni seperti yang diungkapkan Johnston (1995, dalam Glenn, 2004: 9) yang menyatakan bahwa setiap negara memiliki strategi khusus yang berbeda antara satu sama lain untuk memenuhi tujuan nasionalnya. Perbedaan strategi tersebut sebagian besar dipengaruhi oleh faktor domestik yang meliputi tiga komponen dalam budaya stratejik seperti yang telah disebutkan di atas. Seperti yang diketahui bersama, kondisi geografi masing-masing negara memiliki perbedaan. Begitu pula dengan konteks sejarah dan keadaan politik. Sekalipun terdapat negara yang berdekatan dan memiliki keterkaitan sejarah, namun negara-negara tersebut dipastikan tidak memiliki keseluruhan sejarah dan keadaan politik yang sama. Hal inilah yang kemudian mempengaruhi perbedaan perilaku antara satu negara dengan negara lainnya. Oleh sebab itu alternatif budaya stratejik dinilai lebih mampu menjelaskan kondisi hubungan internasional paska Perang Dingin hingga saat ini jika dibandingkan dengan asumsi-asumsi neorealisme.

Sekalipun kemunculan budaya stratejik seringkali dibandingkan dengan neorealisme, namun banyak ahli berpendapat bahwa keduanya bukanlah perspektif-perspektif yang ingin menggantikan satu sama lain. Kehadiran budaya stratejik dianggap sebagai pelengkap kekurangan-kekurangan yang ada dalam pemikiran neorealisme karena pada dasarnya kedua pemikiran tersebut masih memiliki keterkaitan. Jika neorealisme fokus pada bagaimana struktur lingkungan mempengaruhi perilaku negara, maka budaya stratejik fokus pada bagaimana faktor budaya domestik mempengaruhi perilaku negara. Budaya stratejik berusaha menjelaskan perilaku-perilaku negara yang tidak mendapat pengaruh dari faktor lingkungan (Glenn, 2004: 11).

(3)

Referensi:

Desch, Michael. 1998. “Culture Clash: Assessing the Importance of Ideas in Security Studies”, dalam International Security, 23 (1): 141-70.

Glenn, John, Darryl Howlett, dan Stuart Poore, eds. 2004. Neorealism Versus Strategic Culture. London: Ashgate. Ch 1, 2, 3.

Referensi

Dokumen terkait

This retrospective study was conducted to assess the epidemiology of patients with burns treated at a major referral hospital in Brunei Darussalam, with particular reference

Hasil pengujian terkait dengan ketepatan reaksi investor menunjukkan bahwa investor bereaksi atas pengumuman dividen meningkat baik yang diberikan oleh perusahaan bertumbuh dan

Hasil dari survey di lapangan dan hasil analisis maka tingkat pelayanan dan pemanfaatan simpang bersinyal Suprapto–Imam Bonjol sudah cukup baik, namun untuk

Hasil pengujian parsial (uji t) antara variabel BOPO dengan variabel LDR menunjukkan nilai t hitung sebesar -0,464, koefisien regresi sebesar - 0,091, dan nilai

Pada pengujian calon induk dari 24 famili yang dihasilkan secara komunal diperoleh keragaan pertumbuhan terbaik pada populasi persilangan antara betina GIMacro dengan jantan Musi

Sebuah tesis yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Magister Pendidikan pada Program Studi. Bimbingan

Berdasarkan analisis hasil penelitian dan pembahasan disimpulkan bahwa: 1) Pembinaan Pengawas dalam upaya meningkatkan kinerja guru-guru binaan mata pelajaran

Simpulan, kolonisasi MRSA yang terdapat pada lesi kulit penderita DA derajat sedang hingga berat didapatkan hasil lebih tinggi dibandingkan dengan kulit individu sehat dan