• Tidak ada hasil yang ditemukan

Masa Depan Protokol Kyoto pada

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Masa Depan Protokol Kyoto pada "

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Melihat Kemungkinan Kelanjutan Protokol Kyoto

Periode Kedua

disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Keterampilan Akademik Semester Dua

Dosen Pengampu: Dian Mutmainah, S.IP, MA

Oleh:

Firdaus Teguh Gumelar 125120400111007

A HI 2

HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG

2013

(2)

Kyoto protocol is an agreement that was issued by the United Nations whose function is to issue rules for its members, in this case is the state to limit or even reduce the amount of emissions released as a result of industrial activities, especially by developed country industries. If effective, the Kyoto Protocol is expected to reduce significantly the level of global emissions. The Kyoto Protocol received positive feedback from some who want to care about the natural conditions, especially for the future. But the reaction came not all positive, the Kyoto Protocol by all its provisions are also opposed by a number of countries, especially the developed countries here or industrialized countries that do not want to participate in this agreement and instead issued a variety of reasons ranging from the economic and other others to reject the treaty. with a variety of positive and negative reactions from various parties, the question that arises is whether the Kyoto Protocol can continue effectively in the second period.

Kata kunci: Protokol Kyoto, perubahan iklim, negara, kelanjutan masa depan bumi, hubungan internasional, respon positif, respon negatif

Pendahuluan

(3)

Berangkat dari pertanyaan tersebut, maka melalui tulisan dalam paper berikut ini penulis bermaksud untuk membahas mengenai Protokol Kyoto dan kemungkinan Protokol Kyoto untuk bisa dilanjutkan di periode selanjutnya.

Pembahasan

Seperti yang diketahui, Protokol Kyoto adalah sebuah perjanjian internasional yang merupakan kelanjutan dari Konvensi Kerangka PBB tentang Perubahan Iklim dengan nama resmi Kyoto Protocol to the United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) yang dirancang pada tahun 1997 di Kyoto, Jepang. Penanda tanganan Protokol Kyoto mulai dibuka pada 16 Maret 1998 dan ditutup pada 15 Maret 1999, dan mulai berlaku pada 16 Februari 2005 setelah ratifikasi resmi yang dilakukan Rusia pada 18 November 2004. Isi dari Protokol Kyoto sendiri adalah, intinya, mencegah pemanasan global dengan mengurangi gas emisi dan mengurangi faktor-faktor penyebab pemanasan global.

Seperti yang dikutip dari rilis pers dari Program Lingkungan PBB, isi dari protokol kyoto adalah sebagai berikut:

"Protokol Kyoto adalah sebuah persetujuan sah di mana negara-negara perindustrian akan mengurangi emisi gas rumah kaca mereka secara kolektif sebesar 5,2% dibandingkan dengan tahun 1990 (namun yang perlu diperhatikan adalah, jika dibandingkan dengan perkiraan jumlah emisi pada tahun 2010 tanpa Protokol, target ini berarti pengurangan sebesar 29%). Tujuannya adalah untuk mengurangi rata-rata emisi dari enam gas rumah kaca - karbon dioksida, metan, nitrous oxide, sulfur heksafluorida, HFC, dan PFC - yang dihitung sebagai rata-rata selama masa lima tahun antara 2008-12. Target nasional berkisar dari pengurangan 8% untuk Uni Eropa, 7% untuk AS, 6% untuk Jepang, 0% untuk Rusia, dan penambahan yang diizinkan sebesar 8% untuk Australia dan 10% untuk Islandia." [2]

Jika sukses diberlakukan, Protokol Kyoto diprediksi akan mengurangi rata-rata cuaca global antara 0,02 °C dan 0,28 °C pada tahun 2050. (sumber: Nature, Oktober 2003).

(4)

suatu fenomena internasional, yaitu perubahan iklim (HI bukanlah ilmu yang hanya membahas fenomena internasional dari aspek politik saja, tetapi juga melibatkan aspek-aspek lainnya) [Sprout, 1950].

Secara langsung, isi dari Protokol Kyoto tersebut mengikat negara-negara maju anggotanya yang rata-rata menjadi penyumbang terbesar gas rumah kaca hasil dari aktivitas industri mereka untuk menurunkan emisi gas penyebab pemanasan global tersebut sesuai dengan target yang telah ditetapkan. Jika dihubungkan dengan studi HI, ini sejalan dengan pendekatan realis yang berhubungan dengan pendapat dari Machiavelli bahwa manusia perlu dipaksa. (Machiavelli, 1532)

Sebanyak 141 negara telah menyetujui dan meratifikasi perjanjian ini di awal, hanya AS yang tidak meratifikasi perjanjian ini sejak awal. Pada 3 Desember 2007, tercatat jumlah negara yang meratifikasi meningkat menjadi 174 negara yang telah meratifikasi, termasuk Tiongkok, India, Jepang, Selandia Baru, Rusia, serta Rumania dan Bulgaria. Termasuk juga dalam tambahan negara-negara tersebut adalah Kanada dan Uni Eropa yang merupakan negara-negara Annex I (negara penghasil gas rumah kaca terbesar). Namun ada 2 negara yang telah menanda tangani namun belum meratifikasi, yaitu Amerika Serikat dan Kazakhstan.

Adanya Protokol Kyoto ini sebenarnya cukup mendapat respon positif dari beberapa pihak mulai dari negara berkembang hingga negara maju pun ada yang memberikan respon positif seperti contohnya Jerman yang mendukung protokol ini meskipun timbul banyak kecurigaan atas sikap setuju tersebut yang ditengarai sebagai upaya pemolesan citra saja. Menteri lingkungan jerman pada saat itu juga mengkritisi AS yang tidak mau ikut serta dalam Protokol Kyoto dan mengatakan, “ tidaklah dapat diterima bahwa di AS pada standar hidup yang sama seperti di Eropa, emisi gasnya dua setengah kali lebih banyak.” Beliau juga menegaskan bahwa, “perlindungan iklim juga semacam politik sosial global, sebab kerugian diakibatkan oleh perubahan iklim , terutama akan dirasakan oleh rakyat miskin, dalam bentuk badai, banjir atau kekeringan.”

(5)

“BP merasa berkewajiban mendukung kesinambungan perlindungan iklim . Hanya dengan demikian dalam jangka panjang , kami dapat menawarkan penambahan nilai bagi para pemegang saham. BP melihat perlindungan iklim sebagai peluang dan tidak sebagai masalah”. (deutsche welle, 2005)

Indonesia sebagai negara berkembang juga mendukung adanya Protokol Kyoto, seperti yang dilaporkan oleh situs berita Kompas edisi 4 november 2009 bahwa “Pemerintah Indonesia menyatakan akan berupaya keras mempertahankan Protokol Kyoto dalam konferensi perubahan iklim di Kopenhagen, Denmark, Desember nanti. Protokol itu dinilai sangat penting sebagai perangkat aturan guna mengurangi tingkat emisi gas karbon dunia.”[kompas: 2009]. Hal ini merupakan respon yang sangat positif bagi Protokol Kyoto banyak dukungan lain yang datang terutama dari negara-negara berkembang yang berupa peringatan akan ancaman dari negara-negara yang ingin membubarkan perjanjian ini.

(6)

Namun, alasan-alasan yang dikemukakan pemerintah Amerika Serikat tersebut tetap saja tidak bisa dipahami oleh dunia internasional sebagai alasan yang logis dan bahkan dunia melihat alasan itu sebagai alasan yang tidak realistis karena, untuk alasan gangguan ekonomi misalnya, tidak hanya Amerika Serikat saja yang akan mengalami gangguan, tapi pastinya semua negara pun pasti akan mengalami situasi yang sama.

Selain itu, Amerika Serikat juga tidak setuju pada pandangan Protokol Kyoto atas China dan India yang digolongkan sebagai negara berkembang, sehingga tidak dibebankan keharusan untuk mengurangi emisinya. Ketidak setujuan ini juga datang dari pihak Jepang yang menilai bahwa ini tidak adil karena pembatasan emisi di negaranya akan menghambat perekonomian mereka, sedangkan negara tetangga mereka tak terikat kewajiban apapun dan mencapai pertumbuhan ekonomi tinggi dengan cara mencemari atmosfer bumi.

Dan selain itu juga akhirnya Jepang menolak untuk ikut serta dalam protokol kyoto periode kedua dan lebih memilih untuk melakukan tindakan secara sukarela dalam menurunkan emisi dengan menetapkan target sendiri dalam membatasi pengeluaran emisi hasil industrinya. Namun demikian, Jepang justru mendesak Amerika Serikat dan Cina untuk ikut dalam protokol kyoto di periode yang kedua.

Tidak hanya penolakan yang dilakukan oleh negara-negara maju tersebut, hambatan besar juga datang dari negara anggotanya yaitu Kanada yang menyatakan mundur dari perjanjian ini.

Pada desember 2011, Kanada menyatakan secara resmi mundur dari Protokol Kyoto, satu-satunya perjanjian internasional yang memasang target jelas pengurangan emisi gas rumah kaca, Senin (12/12/2011) waktu setempat. Kanada menjadi negara pertama yang mundur dari perjanjian ini dan menjadi pukulan berat bagi usaha PBB untuk menangani masalah pemanasan global. (sumber: kompas, 2011)

(7)

Kanada terbebas dari kewajiban membayar denda sebesar 14 miliar dollar Kanada (sekitar Rp 123,23 triliun). (sumber: kompas, 2011).

Selain itu, Kanada juga menolak untuk ikut serta dalam Protokol Kyoto tahap kedua. Selain Kanada dan Jepang, negara lain yang juga menolak Protokol Kyoto tahap dua adalah Selandia Baru. Apa yang dilakukan oleh Kanada berdampak besar pada UNFCCC sendiri khususnya dan negara-negara anggota lain umumnya. UNFCCC menjadi semakin sulit dalam melakukan misinya untuk menyelamatkan bumi, karena dengan keluarnya Kanada akan menyebabkan negara lain bergejolak dan nantinya mungkin juga tidak mau ikut serta dalam Protokol kyoto periode kedua.

Selain itu, negara-negara berkembang juga telah memperingatkan akan bahaya dari usaha banyak pihak untuk meniadakan Protokol Kyoto dan mereka juga memprotes usaha Denmark untuk menggantikannya dengan teks bersifat kompromi tanpa berkonsultasi dengan mereka.

“Kami telah melihat gelagat negara-negara maju yang menandatangani Protokol Kyoto untuk berusaha membubarkannya.” kata Nafie Ali Nafie, kepala delegasi Sudan, mewakili kelompok 77 dan Cina. Seperti diketahui, Protokol Kyoto mengikat negara industri yang menandatanganiya untuk memenuhi sasaran mengurangi emisi. (sumber: nias online, 2009)

Apa yang diperkirakan diatas sebenarnya sudah terlihat dan menjadi kenyataan di Protokol Kyoto tahap I lalu seperti keluarnya Kanada dari Protokol Kyoto pada tahun 2011 lalu, dan ini merupakan pertanda yang kurang baik karena nantinya diperkirakan akan berpengaruh terhadap sikap-sikap negara lain pada Protokol Kyoto tahap II.

(8)

Protokol Kyoto ini sesungguhnya memang sangat penting untuk masa depan Planet bumi karena berkaitan dengan perubahan iklim, maka dari itu perjanjian ini harus dilaksanakan karena dampak dari emisi global yang terus menerus dihasilkan oleh industri akan menyebabkan semakin banyaknya kadar karbon di udara yang nantinya akan menyebabkan kenaikan suhu yang dapat berdampak sangat serius di kemudian hari. Seperti dikutip dari majalah ilmiah terkemuka yang menerbitkan artikel tentang percobaannya di Swedia Utara yang menyebutkan bahwa kenaikan suhu satu derajat Celsius saja, akan meningkatkan emisi alami CO2 tanah gambut sangat luas sekitar Kutub Utara hingga 60 persen. Memang sebelumnya sudah diketahui bahwa hal ini bisa terjadi. Tapi ketika itu tidak lebih dari sebuah teori saja. Sekarang jelas terbukti bahwa kenaikan suhu sedikit saja berdampak sangat besar. (sumber: radio nederland wereldomroep, 2009)

Diperkirakan kenaikan suhu satu derajat Celsius akan bisa terjadi dalam 20 tahun mendatang. (sumber: radio nederland wereldomroep, 2009)

(9)

dianggap tidak mau rugi atau mau menang sendiri. Memang hal ini wajar jika dihubungkan dengan pandangan realis yang menganggap bahwa negara adalah aktor rasional dan akan melakukan tindakan-tindakan yang orientasinya adalah keuntungan negara ataupun national interest. Tapi, walaupun demikian negara juga harus memikirkan yang lainnya seperti yang dikatakan oleh kaum neorealis bahwa fokus negara adalah menjaga eksistensinya, yang akan lebih sulit dilakukan jika kondisi alam tidak bersahabat dan justru akan merugikan negara itu sendiri karena harus berkutat dengan masalah yang ditimbulkannya sendiri, seperti jika mereka membiarkan pemanasan global yang nanti pada gilirannya akan menyebabkan banyak bencana, maka perhatian mereka mau tidak mau harus terpecah karena harus mengurusi rakyatnya yang terkena bencana. Jadi sebenarnya masalah pemanasan global yang dihadapi ini sangatlah kompleks dan berkelanjutan.

Kesimpulan

Negara-negara maju menganggap Protokol Kyoto ini hanya sebagai penghambat dalam proses kegiatan ekonomi mereka. Menurut mereka, dengan ikut serta dalam Protokol Kyoto maka akan mengalami hambatan dalam urusan ekonomi negara mereka dan ini tidak adil jika dibandingkan dengan negara berkembang yang diberikan target yang tidak sama dalam pembatasan emisi. Disaat negara maju dipaksa untuk mengurangi jumlah pengeluaran emisi mereka, negara berkembang justru diijinkan untuk menghasilkan jumlah emisi yang lebih banyak dari sebelumnya. Hal inilah yang mungkin menyebabkan beberapa negara-negara maju seakan-akan cemburu dan akhirnya tidak mau mendukung sepenuhnya Protokol Kyoto ini apalagi untuk mendukung kelanjutan Protokol Kyoto hingga tahap yang selanjutnya.

(10)

saja yang akan terkena imbasnya, namun juga negara lain yang notabene adalah negara berkembang yang sumbangan emisinya masih kalah oleh negara industri.

Dari pemaparan yang telah disampaikan diatas, maka telah membuktikan bahwa Protokol Kyoto merupakan suatu hal yang sangat penting bagi kelanjutan masa depan makhluk hidup di muka bumi ini. Maka dari itu sudah seharusnya negara-negara selaku pihak yang mempunyai kewajiban untuk menjaga eksistensi dari rakyat dan juga kehidupan masyarakat di negararnya masing-masing untuk turut serta mendukung langkah untuk meneruskan kelanjutan dari protokol kyoto ini. Jika kegiatan ekonomi negara-negara maju hanya berorientasi pada yang ada di saat ini saja, dan tidak memikirkan kemungkinan apa yang akan terjadi di masa mendatang, maka tentu akan mengakibatkan dampak yang buruk bagi banyak pihak di masa yang akan datang.

Tidak hanya itu, dari segi hubungan internasional negara-negara juga mungkin akan saling menyalahkan atas keadaan yang terjadi. Negara berkembang akan menyalahkan negara industri karena merekalah yang dianggap sebagai penyebab terbesar karena sumbangan emisinya yang sangat banyak, sedangkan negara industri tidak akan mau mengalah, mereka akan tetap mengelak dengan segala dalihnya dan justru menuduh negara berkembang bahwa itu semua hanyalah salah satu bentuk kecemburuan mereka terhadap negara maju karena tidak mampu menyaingi dan hanya bisa selalu berada selangkah di belakang negara-negara maju tersebut.

(11)

Daftar Pustaka

Buku:

Zedillo, Ernesto. (2008). Global Warming Looking Beyond Kyoto. Virginia : RR Donnelley.

Perwita, DR. Anak Agung B. , DR Yanyan Mochamad Yani. (2005). Pengantar Ilmu Hubungan Internasional. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.

Machiavelli, Niccolo. (1532). Il principe.

Artikel dan Jurnal:

Parmesan, C. & Yohe, G. (2003). Nature 421, 37–42

Root, T. L. et al. (2003). Nature 421, 57–60

Christensen, J. H. & Christensen, O. B. (2003). Nature 421, 805–806

Website:

http://id.wikipedia.org/wiki/Protokol_Kyoto/ diakses pada 06-06-2013 pukul 20:38 WIB

http://www.nature.com/nature/journal/v426/n6968/full/426756a.html/ diakses pada 06-06-2013 pukul 20:51 WIB

http://sains.kompas.com/read/2011/12/13/0807097/twitter.com/ diakses pada 07-06-2013 pukul 07:22 WIB

http://www.tempo.co/read/news/2011/12/13/116371366/Kanada-Keluar-dari-Protokol-Kyoto/ diakses pada 07-06-2013 pukul 07:47 WIB

http://loubnalucu.wordpress.com/2012/08/30/mundurnya-kanada-dari-protokol-kyoto-desember-2011/ diakses pada 07-06-2013 pukul 08:48 WIB

http://www.dw.de/jerman-menyambut-pemberlakuan-protokol-kyoto/a-2935693/ diakses

(12)

http://niasonline.net/2009/12/17/negara-negara-berkembang-bersikap-tegas-tentang-protokol-kyoto/ diakses pada 07-06-2013 pukul 21:43 WIB

http://www.rnw.nl/bahasa-indonesia/article/sia-siakah-protokol-kyoto/ diakses pada 08-06-2013 pukul 20:44 WIB

http://sains.kompas.com/read/2009/11/04/1935515/

Referensi

Dokumen terkait

Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, warisan Pemerintah Hindia- Belanda dahulu yang hingga sekarang masih berlaku, diberikan tempat yang sangat banyak untuk mengatur hukum

Pertimbangan lain agar stasiun ini bisa dipakai untuk jangka waktu yang lama, bila memberikan akses yang baik dan kapasitas parkir yang lebih dari keadaan eksisting, maka yang

Biji maupun stek batang dapat digunakan sebagai bahan perbanyakan tanaman jarak pagar, namun memiliki pertumbuhan dan perkembangan yang beragam pada media

Dua hal yang dipelajari penulis dengan pendekatan kemosistematika dalam peng- amatan adalah: (1) ketetapan karakter pada kelompok besar tetumbuhan yang memiliki arti dalam

Pahit manis perjuangan yang begitu berkesan selama menjadi mahasiswa Psikologi Universitas Muria Kudus (UMK) semoga mendapatkan hikmah didalamnya dan menjadi bekal

Baja amutit ukuran penampang 17 mm x 17 mm dengan panjang ± 120 mm dibentuk menggunakan mesin potong, mesin milling dan mesin surface grinding menjadi menjadi balok

Simpangan baku(S) adalah nilai yang menunjukan tingkat variasi kelompok data atau ukuran standar penyimpangan dari nilai rata-ratanya... X = nilai rata-rata data n = jumlah data

Dengan demikian penggunaan pendekatan whole language dapat meningkatkan kemampuan membaca pemahaman siswa kelas V Sekolah Dasar Negeri Bendungan Hilir 01 Pagi Jakarta Pusat..