1
CHOICE OF FORUM & CHOICE OF LAW DALAM HUKUM PERDATA
INTERNASIONAL: STUDY KASUS YASMINA - THE WORLD FOOD
2 T1NJAUAN UMUM TERHADAP KAIDAH HUKUM PERDATA INTERNASIONAL YANG TERKAIT DENGAN KONTRAK YANG MENGANDUNG UNSUR-UNSUR ASING ………. 15 A. Tinjauan Umum Hukum Perdata Internasional (HPI)……….…………...…… 15
Pengertian Hukum Perdata Internasional (HPI) ……… 15
Ruang Lingkup Hukum Perdata Internasional (HPI) ……… 16
Tahap-Tahap Pemeriksaan suatu Perkara Hukum Perdata Internasional (HPI) ………...………….………… 17 B. Forum yang Berwenang Menyelesaikan Perselisihan yang Timbul dalam Kontrak yang Mengandung Unsur-Unsur Asing ……… 21 b. Perumusan Klausula Arbitrase ……… 24
c. Jenis-JenisArbitrase ………. 25
d. UNCITRAL Arbitration Rules (UAR) ………...………. 26
e. Kewenangan Mengadili ……….………. 30
4.
Prinsip-Prinsip yang Berkaitan dengan Kewenangan Mengadili … 31 C. Hukum yang Berlaku (Lex Causae) dalam Kontrak yang Mengandung Unsur-Unsur Asing (Foreign Elements) ………... 32 1.
Pilihan Hukum (Choice of Law) ……… 32
2.
3
3.
Teori Lex Loci Solutionis ……….. 37
4.
Teori The Proper Law of The Contract ……… 38
5.
Teori The Most Characteristic Connection ………. 40
BAB III ANALISIS TERHADAP KONTRAK ANTARA THE WORLD FOOD PROGRAMME (WFP) DAN DAN YAYASAN ASPIRASI MUSLIMAH INDONESIA (YASMINA) ……….………..……… 42 A. Ketentuan-Ketentuan yang Disepakati dalam Kontrak ……… 42
B. Klausula dalam Kontrak yang Mengandung Unsur-Unsur Asing …...………… 54
C. Forum yang Berwenang Menyelesaikan Perselisihan yang Mungkin Timbul dalam Kontrak antara WFP dan Yasmina adalah Arbitrase ……… 55 D. Hukum yang Berlaku untuk Mengatur dan Menyelesaikan Perselisihan yang Mungkin Timbul dalam Kontrak antara WFP dan Yasmina Ditentukan oleh Forum Arbitrase ………... 62 1. Teori Lex Loci Contractus ………... 62
2. Teori Lex Loci Solutionis ……….……… 64
3. Teori The Proper Law of Contract ………... 65
4. Teori The Most Characteristic Connection ……….. 67
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ……….… 72
A. Kesimpulan ……….. 72
B. Saran ………. 72
DAFTAR PUSTAKA ……… 74 Lampiran I
Contract Between The World Food Programme (WFP) And Yasmina-Regarding The
Implementation Of Community Development Project Under The OPSM Trust Fund During The Period 1 Feruary 2005 to 30 June 2005 ………..……….. Lampiran II
Panduan Teknis untuk Operasi Pasar Swadaya Masyarakat (OPSM) ………...……
Lampiran III
4
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pemilihan Judul
Hukum Perdata Internasional (HPI) adalah termasuk dalam kelompok hukum
privat. Karena menyangkut hukum privat, maka HPI tersebut juga mengatur hubungan
hukum antar pihak dalam suatu kontrak yang timbul dari hukum perikatan. HPI memiliki
dimensi yang lebih luas dari sekedar yurisdiksi dalam satu negara. HPI adalah hukum
perdata untuk hubungan-hubungan internasional. Pengertian internasional bukan diartikan
sebagai law of nations, bukan hukum antar negara, tetapi internasional ini harus diartikan
sebagai ada unsur luar negerinya atau unsur asing (foreign element).1
Dipilihnya Kontrak Contract Between The World Food Programme (WFP) And Yasmina-Regarding The Implementation Of Community Development Project Under The OPSM Trust Fund During The Period 1 February 2005 to 30 June 20052 sebagai objek analisis dalam paper ini adalah karena kontrak ini dapat dikategorikan sebagai kontrak
yang mengandung unsur-unsur asing (foreign elements).
Oleh karena itu, apabila timbul perselisihan antara WFP dan Yasmina, dalam hal ini
merupakan bidang kajian dari HPI, yang akan menjawab persoalan-persoalan mengenai
forum mana yang berwenang mengadili jika terjadi perselisihan antara para pihak dan
hukum3 mana yang akan dipergunakan jika terjadi perselisihan antara para pihak.
Pada prinsipnya, forum yang berlaku didasarkan pada pilihan forum para pihak.
Pilihan forum yang dimaksud di atas selain dapat menunjuk kepada suatu pengadilan di
negara tertentu juga dapat menunjuk badan arbitrase tertentu.
1
Sudargo Gautama, Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia, Binacipta, Bandung, 1987, hlm. 21.
2
Selanjutnya disebut kontrak antara WFP dan Yasmina.
3
5 Selain dikenal adanya pilihan forum, di dalam suatu kontrak yang mengandung
unsur-unsur asing, dikenal pula pilihan hukum. Oleh karena itu, manakala terjadi
perselisihan antara para pihak, hukum yang akan dipergunakan adalah pilihan hukum yang
dipilih oleh para pihak.
Namun, adakalanya dalam suatu kontrak, para pihak tidak mengadakan pilihan
hukum. Untuk menjawab permasalahan tersebut, dapat digunakan bantuan titik-titik taut
penentu atau titik-titik taut sekunder yang penggunaannya tergantung pada teori yang
dianut oleh negara hakim yang bersangkutan.
Dalam salah satu klausula kontrak antara WFP dan Yasmina disebutkan bahwa
manakala terjadi perselisihan akan diselesaikan secara musyawarah antara kedua belah
pihak. Selain itu, disebutkan pula apabila cara tersebut tidak mendatangkan penyelesaian,
para pihak sepakat untuk menyelesaikannya melalui arbitrase dengan menggunakan
Arbitration Rules dari United Nations Commision on Internasional Trade Law 4. Dengan demikian, ketentuan beracara arbitrase antara WFP dan Yasmina didasarkan pada
UNCITRAL Arbitration Rules.
Dipilihnya penyelesaian sengketa melalui arbitrase didasarkan pada pertimbangan
bahwa cara tersebut lebih menguntungkan kedua belah pihak, mengingat hubungan
kerjasama bersifat perdata dan merupakan hubungan antar lembaga. Selain itu,
dikarenakan WFP masih di bawah naungan PBB maka aturan arbitrase yang dipakai adalah
aturan arbitrase yang diakui oleh lembaga tersebut, yang dalam hal ini adalah UNCITRAL
Arbitration Rules.
Berkaitan dengan hal di atas, masih terdapat suatu pertanyaan tentang hukum
manakah yang akan dipergunakan manakala terjadi sengketa antara WFP dan Yasmina.
Dengan dipilihnya UNCITRAL Arbitration Rules sebagai rules dalam penyelesaian sengketanya, maka jawaban pertanyaan di atas dapat kita telusuri dari ketentuan-ketentuan
hukum acara dalam UNCITRAL Arbitration Rules.
Pasal 33 paragrap (1) UNCITRAL Arbitration Rules disebutkan:
4
6
“The arbitral tribunal shall apply the law designated by the parties as applicable to the substance of the dispute. Failing such designation by the parties, the arbitral tribunal shall apply the law determined by the conflict of laws rules which it considers applicable”.
Selanjutnya dalam Pasal 16 UNCITRAL Arbitration Rules sisebutkan:
“Unless the parties have agreed upon the place where the arbitration is to be held, such place shall be determined by the arbitral tribunal, having regard to the
circumstances of the arbitration”.
Berdasarkan ketentuan tersebut, hukum yang dipergunakan oleh panitia arbitrase,
yang pertama-tama adalah hukum yang dikehendaki oleh para pihak sendiri dan apabila
pilihan hukum tersebut tidak ada, maka panitia arbitrase akan menggunakan hukum yang
ditentukan oleh kaidah-kaidah HPI yang dianggap harus diperlakukan oleh panitia
arbitrase. Selanjutnya, panitia arbitrase dapat menentapkan tempat arbitrase di dalam
wilayah negara yang sudah disepakati oleh para pihak dan dapat mendengar keterangan
saksi dan mengadakan pertemuan untuk berkonsultasi antara sesama anggota dimanapun
yang dianggap pantas dengan mempertimbangkan segala keadaan sekitar arbitrase.
Persoalannya, UNCITRAL sendiri tidak mendirikan lembaga arbitrase berkenaan
dengan rules itu, sehingga para pihak dapat memilih arbitrase ad hoc atau arbitrase institusional untuk menyelesaikan sengketanya, yang dalam melaksanakan fungsinya akan
menggunakan UNCITRAL Arbitration Rules.5
Dengan latar belakang yang telah diuraikan diatas secara singkat, maka penulis
akan menyoroti klausula-klausula yang terdapat dalam Kontrak anrata WFP dan Yasmina
untuk mencari forum manakah yang berwenang dan hukum manakah yang berlaku
manakala timbul perselisihan antara WFP dan Yasmina.
B. Pokok-Pokok Permasalahan
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan pokok-pokok permasalahan,
sebagai berikut:
5
7 1. Forum manakah yang berwenang menyelesaikan apabila timbul perselisihan dalam
kontrak antara WFP dan Yasmina?
2. Hukum manakah yang akan mengatur dan menyelesaikan apabila timbul persetisihan
dalam kontrak antara WFP dan Yasmina?
C. Metode Penelitian
Metode Penelttian yang digunakan dalam penulisan paper ini adalah metode
sebagai berikut:
1. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis
normatif, yaitu dengan mengkaji Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, UNCITRAL Arbitration Rules,
pasal-pasal dalam kontrak antara WFP dan Yasmina, kaidah-kaidah HPI dalam bidang
hukum kontrak dan hukum acara perdata internasional.
2. Spesifikasi penelitian
Spesifikasi yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah berupa deskriptif analitis
yaitu untuk mendapatkan gambaran secara menyeluruh mengenai kaidah-kaidah
penyelesaian sengketa HPI dalam bidang hukum kontrak dan kaidah-kaidah hukum
acara perdata internasional.
3. Tahap Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan penelitian kepustakaan yang dimaksudkan untuk
mendapatkan data sekunder, berupa bahan-bahan hukum, yaitu:
1) Bahan hukum primer, berupa peraturan mengenai Undang-Undang Nomor 30
Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa,
8 2) Bahan hukum sekunder, berupa kontrak antara WFP dan Yasmina, doktrin
para ahli yang berkaitan dengan bidang hukum kontrak dan, hukum acara
perdata internasional, buku atau bahan-bahan yang terkait mengenai
kaidah-kaidah HPI dalam bidang hukum kontrak dan hukum acara perdata
internasional, serta bahan lain dari situs-situs internet.
3) Bahan hukum tersier, berupa kamus-kamus yang memberikan
pengertian-pengertian dasar yang menunjang.
4. Teknik Pengumpulan Data
Data penelitian yang ada dikumpulkan dengan teknik studi pustaka (library
research), yaitu melakukan penelitian dokumen-dokumen yang menyangkut kaidah-kaidah HPI dalam bidang hukum kontrak dan hukum acara perdata internasional,
ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dan ketentuan-ketentuan UNCITRAL
Arbitration Rules guna mendapatkan landasan-landasan teoritis. Selain itu, penulis juga melakukan penelusuran data-data mengenai Yasmina, dan WFP, UNCITRAL,
dan makalah-makalah pada situs-situs di internet.
5. Analisis Data
Metode yang digunakan untuk menganalisis data adalah metode yuridis
kualitatif, karena dari data yang diperoleh selanjutnya disusun secara sistematis,
selanjutnya dianalisa secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang dibahas
tanpa mempergunakan rumus dan angka-angka.
D. Kerangka Landasan Teori
Dalam hal terdapat fakta-fakta di dalam sebuah perkara atau peristiwa hukum, yang
menunjukkan bahwa peristiwa tersebut mengandur unsur-unsur asing, maka dapat
disimpulkan bahwa peristiwa hukum yang dihadapi adalah peristiwa HPI. Suatu kasus
akan menjadi kasus HPI apabila terdapat sekumpulan fakta hukum yang mengandung
9 Primer (TPP).6
TPP tersebut diantaranya:7
1. Kewarganegaraan;
2. Bendera kapal;
3. Domisili;
4. Tempat kediaman;
5. Tempat kedudukan badan hukum;
6. Pilihan hukum dalam hubungan intern.
Hal tersebut juga berlaku dalam bidang hukum kontrak. Suatu kontrak merupakan
bidang kajian HPI apabila mengandung foreign elements didalamnya. HPI pada prinsipnya
harus menjawab pertanyaan: forum manakah yang berwenang mengadili dan hukum
manakah yang harus diberlakukan. HPI adalah ilmu mengenai hukum yang harus
diberlakukan (Internationaal privaatrecht is rechtstoepassingsrecht/Applicable law/rechtstoepassingsrecht), hukum yang harus dipergunakan menurut istilah van Zevenbergen. Hukum untuk mempergunakan hukum, hukum di antara tata hukum, hukum yang mengatur, hukum manakah yang harus kita pilih di antara tata-tata hukum
masing-masing, itulah HPI.8
Pada prinsipnya, mengenai persoalan forum mana yang berhak untuk mengadili
didasarkan pada pilihan forum para pihak. Para pihak mempunyai kebebasan untuk
memilih forum manakah yang akan menyelesaikan perselisihan yang mungkin timbul
diantara kedua belah pihak, baik melalui forum pengadilan suatu negara tertentu atau suatu
badan arbitrase tertentu.
Dalam hal para pihak tidak mengadakan pilihan forum, maka untuk menentukan
suatu forum mempunyai kompetensi atau tidak, ditentukan berdasarkan Pasal 118 Met
6
Bayu Seto, Dasar-Dasar HPI, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hlm. 10.
7
Sudargo Gautama, Pengantar … Ibid, hlm.26-34.
8
10 Herziene Indonesisch Reglement (HIR).
Menurut Pasal 118 ayat (1) HIR, tuntutan atau gugatan perdata diajukan kepada
pengadilan negeri di tempat tinggal (woonplaats) si tergugat (actor sequitor forum rei),
atau jika tidak ada tempat tinggal, tempat ia sebenarnya berada (werkelijk verblijf).9
Jika terdapat lebih dari satu tergugat, maka dapat diajukan gugatan pada pengadilan
negeri dari tempat tinggal (kediaman) salah satu tergugat.10
Kemudian jika tergugat tidak mempunyai tempat tinggal yang dikenal dan juga
tempat tinggal sebenarnya tidak dikenal, maka gugatan diajukan kepada pengadilan negeri
di tempat penggugat (forum actoris). Selain itu, apabila gugatan berkaitan dengan benda
tidak bergerak (benda tetap), gugatan diajukan kepada pengadilan negeri dimana benda
tetap itu terletak (forum rei sitae).11
Berkaitan dengan uraian di atas, yang diutamakan ialah prinsip penyampaian
gugatan di tempat tinggal (beradanya) pihak tergugat. Kewenangan untuk mengadili ini
didasarkan pertama-tama atas the basis of presence, yakni bahwa pada umumnya yurisdiksi suatu negara diakui meliputi secara teritorial atas semua orang dan benda-benda
yang berada di dalam batas-batas wilayahnya.12
Prinsip presence dari pihak tergugat, yang tak dapat dirugikan dalam
pembelaannya, membawa kepada pilihan dari pengadilan tempat tinggal tergugatlah,
sebagai yang berwenang.13
Principle of effectiveness pun memegang peranan penting, di samping pertimbangan-pertimbangan untuk memberi perlindungan sewajarnya terhadap semua
orang yang mencari keadilan. Prinsip efektivitas berarti, bahwa pada umumnya hakim
hanya akan memberi putusan yang pada hakikatnya akan dapat dilaksanakan kelak.
9
Sudargo Gautama, Hukum Perdata fnternasional Indonesia, Jilid III Bagian II (Buku 8). Alumni, Bandung, 2002, hlm. 210.
10
Ibid.
11
Ibid.
12
Ibid. hlm. 213.
13
11 Tentunya yang paling terjamin apabila gugatan diajukan di hadapan pengadilan di mana
pihak tergugat (dan benda-bendanya) berada.14
Selain itu, prinsip forum of conveniens pun perlu diperhatikan. Prinsip ini
mengemukakan bahwa forum yang berwenang harus menguntungkan tergugat.15
Dalam hal
ini, penggugat tidak boleh menyulitkan tergugat dengan mengajukan gugatan di tempat
yang tidak mempunyai hubungan dengan perkara, sehingga tidak akan ada kesulitan dalam
pengumpulan bukti-bukti yang dibutuhkan.
Selain pemilihan forum pengadilan suatu negara tertentu, para pihak dapat memilih
arbitrase sebagai pilihan forumnya. Bilamana para pihak telah memilih forum arbitrase
baik melalui sistem factum de compromitendo16
maupun akta kompromis17
, maka arbitrase
memiliki kewenangan atau kompetensi absolut untuk menyelesaikan perkaranya.
Berkaitan dengan kontrak antara WFP dan Yasmina, pada Article 10, disebutkan bahwa manakala terjadi perselisihan akan diselesaikan secara musyawarah antara kedua
belah pihak. Apabila cara tersebut tidak mendatangkan penyelesaian, para pihak sepakat
untuk menyelesaikannya melalui arbitrase dengan menggunakan UNCITRAL Arbitration
Rules.
Dengan dipilihnya UNCITRAL Arbitration Rules sebagai rules, maka penyelesaian
sengketa ini akan memperhatikan ketentuan-ketentuan dari UNCITRAL Arbitration Rules
yang diklasifikasikan atas empat bagian, yaitu :
1. Ketentuan pengantar (intoductory rules), Pasal 1-4 UNCITRAL Arbitration Rules;
2. Komposisi Arbitrase (composition of the arbitral tribunal), Pasal 5-14 UNCITRAL
Arbitration Rules;
Sebelum terjadi sengketa diantara para pihak, telah dimasukkan atau dibuat klausula arbitrase di dalam kontrak yang bersangkutan. Lihat Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani. Hukum Arbitrase, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hlm. 47.
17
12 3. Proses Pemeriksaan (arbitral proceeding), Pasal 15-30 UNCITRAL Arbitration Rules;
4. Keputusan Arbitrase (the award), Pasal 31-41 UNCITRAL Arbitration Rules.
UNCITRAL sendiri tidak mendirikan lembaga arbitrase (arbitration institution)
berkenaan dengan rules itu. Oleh karena itu, maka para pihak dapat memilih arbitrase ad
hoc atau lembaga arbitrase (arbitral institution) yang ada untuk membantu mereka dalam menyelenggarakan arbitrase bersangkutan. Lembaga arbitrase ini dalam hal demikian akan
memakai kaedah-kaedahnya sendiri. Dengan demikian maka arbitrase yang dilakukan itu
akan merupakan suatu arbitrase ad hoc yang diatur oleh lembaga-lembaga arbitrase yang
sudah ada (administered ad hoc arbitration).18
Mengenai masalah tempat arbitrase, pada prinsipnya akan dilakukan di tempat yang
telah dimusepakati para pihak. Namun, apabila para pihak tidak mengadakan pilihan, maka
panitia arbitrase yang akan menentukan tempat itu dan dalam hal ini maka akan
diperhatikan segala keadaan sekitar arbitrase ini (circumstances of arbitration).19
Selain masalah forum manakah yang berwenang mengadili, timbul masalah lain
berkaitan dengan hukum (materiil) mana yang akan berlaku adalah hukum yang dipilih
sendiri oleh para pihak. Pilihan hukum dalam hukum perjanjian adalah kebebasan yang
diberikan kepada para pihak untuk memilih sendiri hukum yang hendak dipergunakan
untuk perjanjian mereka.20
Namun, dalam keadaan para pihak tidak mengadakan pilihan hukum, dapat
digunakan bantuan teori-teori HPI sesuai dengan yang dianut oleh negara hakim yang
bersangkutan.21
18
Sudargo Gautama, op.cit, Arbitrase Dagang International, hlm. 19.
19
Pasal 16UNCITRAL Arbitration Rules :
(1) Unless the parties have agreed upon the place where the arbitration is to be held, such place shall be determined by the arbitral tribunal, having regard to the circumstances of the arbitration.
(2) The arbitral tribunal may determine the locale of the arbitration within the country agreed upon the parties. It may hear witnesses and hold meetings for consultation among its members at any place it deems appropriate, having regard to the circumstances of the arbitration.
20
Sudargo Gautama, op. cit, hal 5, lihat pula Subekti, Hukum Perjanjian, Alumni Bandung,1987, hlm. 11.
21
13 Dalam HPI terdapat beberapa teori dalam menentukan hukum mana yang berlaku
dalam suatu kontrak, yaitu :
1. Teori Lex Loci Contractus
Menurut teori klasik lex loci contractus, hukum yang berlaku bagi suatu kontrak
internasionai adalah hukum di tempat perjanjian atau kontrak dibuat.22
Dalam hal ini,
hukum yang berlaku bagi suatu kontrak internasionai adalah hukum di tempat
perjanjian atau kontrak itu ditandatangani oleh para pihak.
2. Teori Lex Loci Solutionis
Sebagai variasi terhadap teori lex loci contractus dikemukakan pula adanya teori
lex loci solutionis, Menurut teori ini, hukum yang berlaku bagi suatu kontrak adalah
tempat di mana kontrak tersebut dilaksanakan.23
3. Teori The Proper Law of The Contract
Menurut Morris, the proper law suatu kontrak adalah sistem hukum yang
dikehendaki oleh para pihak, atau jika kehendak itu tidak dinyatakan dengan tegas
atau tidak dapat diketahui dari keadaan sekitarnya, maka proper law bagi kontrak
tersebut adalah sistem hukum yang mempunyai kaitan yang paling erat dan nyata
dengan transaksi yang terjadi.24
4. Teori The Most Characteristic connection.
Dalam teori ini kewajiban untuk melakukan suatu prestasi yang paling
karakteristik merupakan tolak ukur penentuan hukum yang akan mengatur perjanjian
itu.25
Dengan demikian, dasar analisis penulis dalam melakukan kajian terhadap
22
Ridwan Khairandy, Nandang Sutrisno, dan Jawahir Thontowi, Pengantar Hukum Perdata Internasionai Indonesia, Gama Media, Yogyakarta, 1999, hlm. 114.
23
Ibid., hlm. 116.
24
Ibid.
25
14 forum manakah yang berwenang mengadili dan hukum negara manakah yang akan
dipergunakan manakala timbul perselisihan dalam kontrak antara WFP dan Yasmina,
bertitik tolak pada hal-hal yang telah diutarakan di atas.
E. Kerangka Konsepsional
Berikut ini akan diuraikan konsep-konsep yang akan dipergunakan dalam penelitian
ini dengan tujuan menghindarkan perbedaan pengertian dan memperoleh pemahaman yang
sama. Istilah-istilah tersebut tersebut:
1. HPI
Istilah HPI yang digunakan dalam paper ini mengacu pada istilah Private International Law, International Private Law, Internationales Privaatrecht, Droit International Prive, Dirritto Internazionale Privato.26
HPI didefinisikan sebagai
keseluruhan peraturan dan keputusan hukum yang menunjukkan stelsel hukum manakah yang berlaku, atau apakah yang merupakan hukum, jika
hubungan-hubungan atau peristiwa-peristiwa antara warga (-warga) negara pada suatu waktu
tertentu memperlihatkan titik pertalian dengan stelsel-stelsel dan kaidah-kaidah
hukum dari 2 (dua) atau lebih negara, yang berbeda dalam lingkungan kuasa, tempat,
pribadi dan soal-soal.27
Dengan demikian, pengertian internasional bukan diartikan
sebagai law of nations, bukan hukum antar negara, tetapi internasional ini harus diartikan sebagai ada unsur luar negerinya atau unsur asing (foreign element).28
2. Pilihan Hukum
Pilihan hukum diartikan sebagai kebebasan yang diberikan kepada para pihak
untuk memilih sendiri hukum yang hendak dipergunakan untuk perjanjian mereka.29
Tujuan penerapan pilihan hukum adalah perlakuan sama untuk kasus serupa, dan
26
Ridwan Khairandy, Nandang Sutrisno, dan JawahirThontowi, op.cit. hlm. 1.
27
Sudargo Gautama, op.cit, Pengantar…, hlm. 21.
28
Bandingkan dengan Ibid, hlm. 6.
29
15 pengembangan kepentingan, tujuan dan kebijakan masyarakat.
3. Pilihan Forum
Pilihan forum ini dumaksudkan bahwa para pihak di dalam kontrak bersepakat
memilih forum atau lembaga yang akan menyelesaikan perselisihan yang mungkin
timbul diantara kedua belah pihak. Menurut Convention on the Choice of Court 1965,
pilihan forum terbuka untuk perkara perdata atau dagang yang mempunyai sifat
internasional. Pilihan forum dalam hal ini tidak berlaku bagi:30
1. status atau kewenangan orang atau hukum keluar, termasuk kewajiban atau
hak-hak pribadi atau finansial antara orang tua dan/ atau antara suami dan. istri;
2. permasalahan alimentasi yang tidak termasuk dalam butir a;
3. warisan;
4. kepailitan;
5. hak-hak atas benda tidak bergerak
4. UNCITRAL Arbitration Rules
UNCITRAL Arbitration Rules adalah kaidah-kaidah yang mengatur apa yang
dinamakan ad hoc arbitration. Arbitrase secara ad hoc ini adalah arbitrase yang tidak
diselenggarakan oleh suatu atau melatui suatu badan lembaga arbitrase tertentu
(institutional abitration). Para pihak dapat menunjuk kepada kaidah-kaidah
UNCITRAL Arbitration Rules ini dengan cara memasukkan arbitration clause di dalam kontrak mereka. Arbitration clause ini menyatakan secara tegas bahwa semua sengketa yang akan timbul dari atau berkenaan dengan kontrak mereka ini akan
diselesaikan secara final dan mengikat dengan cara arbitrase sesuai dengan
ketentuan-ketentuan UNCITRAL Arbitration Rules.31
F. Sistematika Penulisan
30
Sudargo Gautama, op.cit, ...Buku ke-8, hlm. 234.
31
16 Untuk memberikan gambaran yang komprehensif, penulis akan menyusun
sistematika penulisan paper ini sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini menguraikan latar belakang penelitian, identifikasi masalah, maksud dan
tujuan, kegunaan penetitian, kerangka pemikiran, metode penelitian dan sistematika
penulisan.
BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KONTRAK YANG MENGANDUNG
UNSUR-UNSUR ASING
Bab ini akan membahas mengenai aspek-aspek hukum secara umum yang terkait
dengan kontrak yang mengandung unsur asing, sebagai landasan dalam menganalisis
Kontrak antara WFP dan Yasmina pada bab selanjutnya. Aspek-aspek hukum tersebut
meliputi pengertian HPI, ruang lingkup HPI, tahap-tahap pemeriksaan suatu perkara HPI,
forum yang berwenang mengadili dikaitkan dengan pilihan forum, pilihan forum
pengadilan, pilihan forum arbitrase (pengertian arbitrase, perumusan klausula arbitrase,
jenis-jenis arbitrase, Uncitral Arbitration Rules, kewenangan mengadili (forum rei, forum
actoris, forum rei sitae), prinsip-prinsip yang berkaitan dengan kewenangan mengadili (the basis of presence, principle of effectiveness, dan forum of conveniens), teori-teori HPI untuk menentukan hukum yang berlaku dalam kontrak internasional ( yaitu teori lex loci
contractus, teori lex loci solutionis, teori the proper law of contract, teori the most characteristic connection).
BAB III ANALISIS TERHADAP KONTRAK ANTARA WFP DAN YASMINA
Bab ini akan menguraikan tentang unsur-unsur asing yang terdapat dalam Kontrak
antara WFP dan Yasmina, forum yang berwenang mengadili dikaitkan dengan pilihan
forum, klausula arbitrase (Article 10 Kontrak antara WFP dan Yasmina), ketentuan
UNCITRAL Arbitration Rules dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Selain itu juga menguraikan tentang
hukum yang berwenang untuk menyelesaikan dan mengatur apabila timbul perselisihan
17 menentukan hukum yang berlaku (pilihan hukum, teori lex loci contractus, teori lex loci solutionis, teori the proper law of the contract, dan teori the most characteristic connection).
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
Sebagai bab terakhir maka di dalamnya akan dirumuskan secara singkat, padat dan
jelas, hal-hal yang dapat disimpulkan dan juga saran dari hasil penelitian paper ini.
Kesimpulan ini akan menjawab pokok-pokok permasalahan dalam penelitian ini.
Selanjutnya akan disampaikan saran sebagai tindak lanjut dan perbaikan yang perlu
18 BAB II
TINJAUAN UMUM TERHADAP KAIDAH HPI YANG TERKAIT DENGAN KONTRAK
YANG MENGANDUNG UNSUR-UNSUR ASING
A. Tinjauan Umum HPI
Meningkatnya hubungan internasional berpengaruh pada semakin kompleks dan
beragamnya pola-pola hubungan hukum antar manusia dalam lingkup internasional.
Dengan demikian, sistem hukum atau aturan-aturan hukum dari suatu negara berdaulat
seringkali dihadapkan pada masaiah-masalah hukum yang tidak sepenuhnya bersifat
intern-domestik, melainkan menunjukkan adanya kaitan dengan unsur-unsur asing.32
Hubungan/peristiwa hukum yang mengandung unsur-unsur yang melampaui
batas-batas teritorial negara atau unsur-unsur transnasional itulah yang diatur oleh bidang hukum
yang dikenal dengan sebutan HPI .
1. Pengertian HPI
Dalam bukunya Pengantar HPI Indonesia, Sudargo Gautama mendefinisikan HPI
sebagai keseluruhan peraturan dan keputusan hukum yang menunjukkan stelsel hukum
manakah yang berlaku, atau apakah yang merupakan hukum, jika hubungan-hubungan
atau peristiwa-peristiwa antara warga (-warga) negara pada suatu waktu tertentu
memperlihatkan titik pertalian dengan stelsel-stelsel dan kaidah-kaidah hukum dari 2
(dua) atau lebih negara, yang berbeda dalam lingkungan kuasa, tempat, pribadi dan
soal-soal.33
Berdasarkan uraian di atas, maka pengertian internasional bukan diartikan
sebagai law of nations, bukan hukum antar negara, tetapi internasional ini harus
32
Bayu Seto, op.cit., hlm.2
33
19 diartikan sebagai ada unsur luar negerinya atau unsur asing.34
Unsur-unsur inilah yang
menjadikan hubungan-hubungan tersebut menjadi internasional (obyeknyalah yang
internasional), sedangkan kaidah-kaidah HPI adalah hukum perdata nasional. Dengan
demikian, masing-masing negara yang ada di dunia ini memiliki HPI sendiri, sehingga
akan dikenal HPI Indonesia, HPI Jerman, HPI Inggris, HPI Belanda, dan sebagainya.35
2. Ruang Lingkup HPI (HPI)
Menurut Sudargo Gautama, ruang lingkup HPI, yaitu :36
a. HPI = rechtstoepassingsrecht
HPI hanya terbatas pada masalah hukum yang diberlakukan
(rechtstoepassingsrecht). Pandangan yang demikian ini merupakan pandangan
yang tersempit sehubungan dengan ruang lingkup HPI. Sistem semacam ini dianut
oleh HPI Jerman dan Belanda.
b. HPI = choice of law + choice of jurisdiction
Menurut sistem ini, HPI tidak hanya terbatas pada persoalan-persoalan
masalah hukum yang diberlakukan (conflict of laws atau lebih tepatnya choice of
law), tetapi mencakup pula persoalan-persoalan mengenai hakim manakah yang berwenang (conflict of jurisdiction atau lebih tepat choice of jurisdiction), yakni persoalan tentang kompetensi atau wewenang hakim. Sistem HPI yang lebih luas
ini dikenal di Inggris, Amerika Serikat,, dan negara-negara Anglo Saxon lainnya.
c. HPI = choice of law + choice of jurisdiction + condition des etrangers
Dalam sistem ini HPI tidak hanya menyangkut persoalan pilihan hukum dan
pilihan forum, tapi juga menyangkut status orang asing (condition des etranger,
vreemdelingen-statuut). Sistem semacam ini dikenal di negara-negara latin, yaitu Italia, Spanyol, dan negara-negara Amerika Selatan.
34
Bandingkan dengan Ibid, hlm. 6.
35
Ridwan Khairandy, Nandang Sutrisno, dan JawahirThontowi, op.cit, hlm. 4.
36
20 d. HPI = choice of law + choice of jurisdiction + condition des etrangers +
nationalite
Menurut sistem ini, HPI menyangkut persoalan choice of laws, choice of
jurisdiction, status orang asing, dan kewarganegaraan (nationalite). Masalah
kewarganegaraan ini menyangkut persoalan tentang cara memperoleh dan
hilangnya kewarganegaraan. Sistem yang luas ini dikenal dalam HPI Perancis dan
juga dianut kebanyakan penulis HPI.
Selain itu, beberapa sarjana HPI seperti Sunaryati Hartono37
dan Bayu Seto38
mengemukakan bahwa yang termasuk dalam masalah-masalah pokok HPI, yaitu :
a. Hakim atau badan peradilan manakah yang berwenang menyelesaikan
perkara-perkara hukum yang mengandung unsur asing.
b. Hukum manakah yang harus diberlakukan untuk mengatur dan/atau
menyelesaikan persoalan-persoalan hukum yang mengandung unsur asing.
c. Bilamana/sejauh mana suatu pengadilan harus memperhatikan dan mengakui
putusan-putusan hukum asing atau mengakui hak-hak yang terbit berdasarkan
hukum atau putusan pengadilan asing.
3. Tahap-Tahap Pemeriksaan suatu Perkara HPI
Untuk menjelaskan bagaimana tahap-tahap pemeriksaan suatu perkara HPI akan
dikemukakan contoh sebagai berikut: Kontrak kerja sama antara sebuah Yayasan di
Indonesia dengan WFP, yang merupakan badan PBB, bermarkas besar di Roma, Italia
dan memiliki beberapa kantor perwakilan, yang salah satunya di Jakarta, Indonesia.
Kontrak ditandatangani di Jakarta. Dalam hal ini Yayasan tersebut mempunyai
kewajiban untuk membangun fasilitas sanitasi umum, sedangkan pihak WFP
memberikan bantuan dana, yang dilakukan dengan transfer antar bank melalui kantor
perwakilannya di Indonesia. Namun, setelah dana dikirimkan, yayasan tersebut tidak
37
Sunaryati Hartono, Pokok-Pokok Hukum Perdata Intemasional, Putra A. Bardin, Bandung, 2001, hlm. 13-14.
38
21 memenuhi janjinya untuk menyelesaikan pembangunan fasilitas sanitasi umum pada
waktunya. Dalam kontrak kerja sama tersebut para pihak memilih forum Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat untuk menyelesaikan sengketa di antara mereka.
Menurut Sunaryati Hartono, tahap-tahap pemeriksaan suatu perkara HPI,
yaitu:39
a. Jika dengan bantuan TPP diketahui terdapat suatu perkara HPI, maka pertama-tama
harus ditentukan: pengadilan mana yang berwenang memeriksa perkara yang
bersangkutan.
Dalam tahap ini, terdapat persoalan hukum dalam wujud sekumpulan fakta
hukum yang mengandung unsur-unsur asing. Contoh di atas menunjukkan adanya
kaitan antara fakta-fakta yang ada di perkara dengan suatu negara dan juga sistem
hukum negara-negara tertentu, yaitu :
1) Status badan hukum Yayasan (Indonesia);
2) Status hukum WFP (Italia);
3) Tempat kontrak ditandatangani (Indonesia);
4) Tempat dilaksanakannya pembangunan fasilitas sanitasi umum (Indonesia);
5) Tempat dilakukannya pemberian dana melalui transfer antar bank (Indonesia);
6) Tempat perkara diajukan/forum (Indonesia);
7) Bahasa dalam kontrak yang digunakan (Inggris).
Fakta-fakta tersebut dalam HPI disebut TPP. TPP adalah faktor-faktor atau
keadaan-keadaan atau sekumpulan fakta yang melahirkan atau menciptakan
hubungan HPI.40
TPP menunjukkan bahwa suatu peristiwa hukum merupakan
peristiwa HPI, dan bukan suatu peristiwa intern nasional. Oleh sebab itu maka TPP
39
Sunaryati Hartono, op .cit, hlm. 81-82. Lihat juga Bayu Seto, op. cit, hlm. 9-14.
40
22 juga dinamakan titik taut pembeda.41
Selanjutnya, sebagai akibat dari adanya unsur-unsur asing tersebut,
kemudian harus ditentukan forum yang memiltki kewenangan untuk memeriksa
perkara. Dalam hal ini karena para pihak memilih forum Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat, maka HPI dan Hukum Acara Indonesia yang akan beriaku baginya. Dalam
hal para pihak memilih arbitrase sebagai pilihan forumnya, maka hukum formil
yang mengatur prosedur arbitrase ini adalah hukum dari tempat dimana arbitrase ini
dilakukan. Misalnya saja para pihak mengadakan arbitrase di Indonesia, maka
ketentuan beracara mereka akan menggunakan hukum acara Indonesia.
b. Tingkat yang kedua selanjutnya adalah menentukan mengenai persoalan apakah
perkara HPI tersebut.
Pada tahap ini dilakukan kualifikasi (dari fakta-fakta). Oleh karena pada
tahap ini baru diketahui lex fori-nya42
, maka pengkualifikasian dilakukan menurut
lex fori, Dari contoh di atas, maka hakim Indonesia harus terlebih dahulu melakukan kualifikasi fakta43
yang pada dasarnya merupakan upaya untuk
menentukan kategori yuridik dari sekumpulan fakta yang dihadapi dalam perkara
dan menentukan kualifikasi hukum44
dari pokok perkara berdasarkan kategori
yuridis yang dikenal hakim (berdasarkan kategori yuridis yang dikenal di dalam lex
fori). Dalam hal ini, hakim Indonesia mengkualifikasikan sekumpulan fakta yang dihadapi dalam perkara tersebut, selanjutnya berdasarkan kualifikasi hukum yang
dikenal di dalam hukum Indonesia, perkara dikualifikasikan sebagai gugatan
wanprestasi dalam kontrak.
c. Usaha selanjutnya adalah mencari hukum mana yang berlaku (lex causae). Dalam
41
Sunaryati Hartono, op. cit, hlm. 88.
42
Lex fori adalah sistem hukum dari tempat dimana persoalan hukum diajukan sebagai perkara. Dengan kata lain, lex fori adalah hukum dari forum tempat perkara diselesaikan. Lihat Bayu Seto, op.cit, hlm.10.
43
Kualifikasi fakta adalah proses kualifikasi yang dilakukan terhadap sekumpulan fakta di dalam sebuah peristiwa hukum untuk ditetapkan menjadi satu atau lebih peristiwa atau masalah hukum (legal issues), sesuai dengan klasifikasi kaidah-kaidah hukum yang berlaku di dalam suatu sistem hukum tertentu. Lihat Ibid, hlm. 47.
44
23 tahap ini harus dicari titik-titik pertalian sekunder (TPS) yang dilakukan
berdasarkan lex fori, oleh karena sampat tahap ini belum ada sistem hukum lain yang ditemukan. TPS adalah faktor-faktor atau sekumpulan fakta yang menentukan
hukum mana yang harus digunakan atau berlaku dalam suatu hubungan HPI.45
IPS
seringkali disebut titik taut penentu, karena fungsinya akan menentukan hukum dari
tempat manakah yang akan digunakan (lex causae) dalam penyelesaian suatu
perkara.46
Dalam praktik, terkadang lex causae ini adalah lex fori juga, maka usaha
selanjutnya diteruskan menurut lex fori. Selain itu, terkadang lex causae ditentukan
oleh tempat ditandatanganinya kontrak (lex loci contractus), tempat dilaksanakannya kontrak (lex loci solutionis), dan lain-lain.
Sejalan dengan butir b di atas, misalnya kaidah HPI yang harus digunakan
adalah kaidah HPI lex fori (Indonesia) tentang pelaksanaan kontrak, yang rumusannya sebagai berikut: "Masalah-masalah hukum yang timbuldari
pelaksanaan suatu kontrak (ini adalah kategori perkara hasil kualifikasi) harus
diatur berdasarkan hukum dari tempat di mana kontrak itu dilaksanakan. Dengan
demikian, karena fakta dalam perkara menunjukkan bahwa tempat pelaksanaan
kontrak (pembangunan sanitasi umum dan pemberian dana) adalah di Indonesia,
maka hukum Indonesia-lah yang harus dianggap sebagai lex causae. Artinya, kaidah-kaidah hukum perdata intern Indonesia-lah yang akan digunakan untuk
menyelesaikan perkara hukum yang sedang dihadapi.
d. Setelah lex causae diketahui, maka kualifikasi dan penentuan perkara HPI selanjutnya dilakukan menurut lex causae. Dihubungkan dengan contoh di atas, hakim akan memutus perkara tentang wanprestasi dalam pelaksanaan kontrak
dengan menggunakan kaidah-kaidah hukum di dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata Indonesia (KUH Perdata). Namun, apabila lex causae memberi hasil yang :
1) Bertentangan dengan ketertiban umum lex fori, maka lex fori-lah yang berlaku;
atau
45
Sunaryati Hartono, op.cit, hlm, 34.
46
24 2) Jika lex causae tidak mengatur persoalan HPI yang bersangkutan.
B. Forum yang Berwenang Menyelesaikan Perselislhan yang Timbul dalam Kontrak yang
Mengandung Unsur-Unsur Asing
Yurtsdiksi suatu forum di dalam HPI merupakan kekuasaan dan kewenangan suatu
forum untuk memeriksa dan menentukan suatu permasalahan yang dimintakan kepadanya
untuk diputuskan dalam setiap kasus yang melibatkan paling tidak satu elemen hukum
asing yang relevan.47
Untuk menjalankan yurisdiksi yang diakui secara internasional, suatu forum harus
mempunyai kaitan tertentu dengan para pihak atau harta kekayaan yang dipersengketakan.48
Mengenai persoalan forum mana yang berhak untuk mengadili harus diperhatikan
masalah pilihan forum (forum pengadilan atau forum arbitrase), kewenangan mengadili dan
prinsip-prinsip yang berkaitan dengan kewenangan mengadili.
1. Pilihan Forum
Di dalam suatu kontrak internasional, selain dikenal adanya pilihan hukum
(choice of law) juga dikenal adanya pilihan forum (choice of forum). Pilihan forum ini
bermakna, bahwa para pihak di dalam kontrak bersepakat memilih forum atau lembaga
yang akan menyelesaikan perselisihan yang mungkin timbul diantara kedua belah
pihak.
Menurut Convention on the Choice of Court 1965, pilihan forum terbuka untuk
perkara perdata atau dagang yang mempunyai sifat internasional. Pilihan forum tidak
berlaku bagi:49
a. status atau kewenangan orang atau hukum keluar, termasuk kewajiban atau hak-hak
pribadi atau fmansial antara orang tua dan/ atau antara suami dan. istri;
47
Ridwan Khairandy, Nandang Sutrisno, dan Jawahif Thontowi, op.cit, hlm. 141.
48
Ibid.
49
25 b. permasalahan alimentasi yang tidak termasuk dalam butir a;
c. warisan;
d. kepailitan;
e. hak-hak atas benda tidak bergerak
Pilihan forum yang dimaksud di atas selain dapat menunjuk kepada suatu
pengadilan di negara tertentu, juga dapat menunjuk badan arbitrase tertentu. Pengadilan
atau arbitrase sebelum memeriksa atau mengadili perkara yang diajukan kepadanya,
terlebih dahulu harus meneliti apakah ia berwenang mengadili perkara tersebut. Salah
satu cara untuk menentukan berwenang tidaknya ia mengadili perkara yang
bersangkutan adalah dengan meneliti ktausula pilihan forum yang terdapat dalam
kontrak yang bersangkutan.50
Bilamana hakim yang mengadili suatu perkara yang mengandung unsur asing
menemui adanya pilihan forum yang menunjuk kepada badan peradilan lain atau
menunjuk pada badan arbitrase lain, tetapi berlainan kompetensi relatifnya, maka
hakim yang bersangkutan harus menyatakan dirinya tidak berwenang mengadili perkara
tersebut.51
Demikian juga apabila di dalam suatu kontrak itu para pihak ternyata memilih
forum arbitrase di luar negeri atau di Indonesia, maka perkaranya tidak dapat diajukan
kepada Pengadilan Negeri.52
2. Pilihan Forum Pengadilan
Penyelesaian sengketa melalui forum pengadilan adalah suatu pola penyelesaian
melalui proses gugatan atas suatu sengketa yang diritualisasikan untuk menggantikan
sengketa sesungguhnya, melalui persidangan-persidangan untuk diperiksa oleh hakim,
50
Bandingkan dengan Ridwan Khairandy, Nandang Sutrisno, dan Jawahir Thontowi op.cit, hlm. 147.
51
Ibid.
52
26 dengan putusannya yang bersifat mengikat.53
Para pihak dapat melakukan pilihan forum pada pengadilan untuk
menyelesaikan sengketanya, dengan mencantumkan klausula dalam kontrak. Misalnya
saja para pihak memilih yurisdiksi District of Court di New York, maka dalam hal ini
District of Court New York-lah yang mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan sengketa di antara mereka.
Pada umumnya para pihak dianggap mempunyai kebebasan untuk memilih
forum pengadilan. Mereka bisa menyimpang dari kompetensi relatif dengan memilih
hakim lain. Akan tetapi, tidak diperkenankan untuk menjadikan suatu peradilan
menjadi berwenang bilamana menurut kaidah-kaidah hukum intern negara yang
bersangkutan hakim tidak berwenang adanya. Menurut Sudargo Gautama, misalnya
saja untuk Nederland tak akan dapat dipilih hakim jika menurut hukum Belanda sama
sekali tidak ada hakim Belanda yang, relatif berwenang untuk mengadili perkara itu.54
3. Pilihan Forum Arbitrase
a. Pengertian Arbitrase
Berdasarkan definisi yang diberikan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa,
arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum
yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak
yang bersengketa.
Jadi, arbitrase adalah perjanjian perdata di antara para pihak sendiri yang
bersepakat untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi di antara mereka, yang
diputuskan oleh pihak ketiga yang netral (arbitrator) secara musyawarah.
b. Perumusan Klausula Arbitrase
Berdasarkan definisi yang diberikan dalam Undang-Undang Nomor 30
53
Salim, H.S., Hukum Kontrak (Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak), Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm. 141.
54
27 Tahun 1999 tentang tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa,
dikenal adanya dua bentuk klausula arbitrase, yaitu :55
1) Pactum de compromittendo
Dalam pactum de compromittendo, para pihak mengikat kesepakatan akan menyelesaikan perselisihan melalui forum arbitrase sebelum terjadi
perselisihan yang nyata.
Bentuk klausula pactum de compromittendo ini diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa. Pasal tersebut berbunyi: “Para pihak dapat
menyetujui suatu sengketa yang terjadi atau yang akan terjadi antara mereka
untuk diselesaikan melalui arbitrase”.
Berdasarkan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, cara pembuatan klausula
pactum de compromittendo ada dua cara, yaitu dengan mencantumkan klausula arbitrase yang bersangkutan dalam perjanjian pokok atau dibuat terpisah dalam
akta tersendiri.
2) Akta Kompromis
Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa, akta kompromis diatur dalam Pasal 9 yang
berbunyi:
(1) Dalam hal para pihak memilih menyelesaikan sengketa melalui arbitrase
setelah sengketa terjadi, persetujuan mengenai hal tersebut harus dibuat
dalam suatu perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak.
(2) Dalam hal para pihak tidak dapat menandatangani perjanjian tertulis
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), perjanjian tertulis tersebut harus
dibuat dalam bentuk akta notaris.
55
28 (3) Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memuat:
a) masalah yang dipersengketakan;
b) nama lengkap dan tempat tinggal para pihak;
c) nama lengkap dan tempat tinggal arbiter atau rnajelis arbitrase;
d) tempat arbiter atau majelis arbitrase akan mengambil keputusan;
e) nama lengkap sekretaris;
f) jangka waktu penyelesaian sengketa;
g) pernyataan kesediaan arbiter; dan
h) pernyataan kesediaan para pihak yang bersengketa untuk
menanggung segala biaya yang diperlukan untuk penyelesaian
sengketa melalui arbitrase. (4) Perjanjian tertulis yang tidak memuat
hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) batal demi hukum.
c. Jenis-Jenis Arbitrase
Dengan mengacu kepada Konvensi New York 1958 dan ketentuan yang terdapat dalam UNCITRAL Arbitration Rules, maka dapat dikemukakan dua jenis
arbitrase, yaitu:56
1) Arbitrase ad hoc;
Arbitrase ad hoc adalah arbitrase yang dibentuk khusus untuk menyelesaikan atau memutus perselisihan tertentu. Arbitrase ini bersifat
insidental dan jangka waktunya tertentu sampai sengketa itu diputuskan. Para
pihak dapat mengatur cara-cara bagimana pelaksanaan pemilihan para arbiter,
kerangka kerja prosedur arbitrase dan aparatur administratif dari arbitrase.
56
29 2) Arbitrase institusional
Arbitrase institusional merupakan lembaga atau badan arbitrase yang
sifatnya permanen. Karena sering juga disebut permanent arbitration sebagaimana dalam Pasal 1 ayat (2) Konvensi New York 1958, arbitrase ini
disedikan oleh organisasi tertentu dan sengaja didirikan untuk menampung
perselisihan yang timbul dari perjanjian. Selain itu, arbitrase institusional ini
sudah ada sebelum sengketa timbul yang berbeda dengan arbitrase ad hoc yang
baru dibentuk setelah perselisihan timbul.
d. UNCITRAL Arbitration Rules
UNCITRAL Arbitration Rules merupakan suatu set kaidah-kaidah yang
mengatur apa yang dinamakan ad hoc arbitration, Arbitrase secara ad hoc ini adalah
arbitrase yang tidak diselenggarakan oleh suatu atau melatui suatu badan lembaga
arbitrase tertentu (institutional abitration). Para pihak dapat menunjuk kepada
kaidah-kaidah UNCITRAL Arbitration Rules ini dengan cara memasukkan
Arbitration Clause di dalam kontrak mereka. Arbitration clause ini menyatakan secara tegas bahwa semua sengketa yang akan timbul dari atau berkenaan dengan
kontrak mereka ini akan diselesaikan secara final dan mengikat dengan cara
arbitrase sesuai dengan ketentuan-ketentuan UNCITRAL Arbitration Rules.57
Kaidah-kaidah ini bersifat optional di dalam arbitrase ad hoc. Artinya bahwa para pihak tidak diwajibkan untuk memakainya. Mereka dapat memilih
untuk memakainya atau tidak.
Mengingat UNCITRAL sendiri tidak mendirikan lembaga arbitrase, maka
para pihak dapat memilih ad hoc arbitration atau memilih lembaga arbitrase yang
ada untuk membantu mereka dalam menyelenggarakan arbitrase bersangkutan.
Lembaga arbitrase ini dalam hal demikian akan memakai
kaedah-kaedahnya sendiri. Dengan demikian maka arbitrase yang dilakukan itu akan
merupakan suatu ad hoc arbitration yang diatur oleh lembaga-lembaga arbitrase
57
30 yang sudah ada (administered ad hoc arbitration).58
Substansi UNCITRAL Arbitration Rules diklasifikasikan atas empat bagian,
yaitu:
1) Ketentuan pengantar (intoductory rules), yang mencakup:
a. Ruang Lingkup (Scope of Application), Pasal 1 UNCITRAL Arbitration Rules.
Pasal 1 Paragraph 1 dari UNCITRAL Arbitration Rules menyatakan secara tegas bahwa apabila para pihak telah menyetujui secara tertulis
(yaitu dengan menerima apa yang dinamakan suatu arbitration clause) untuk menyelesaikan sengketa yang timbul dari kontrak melalui arbitrase
berdasarkan UNCITRAL Arbitration Rules, maka sengketa-sengketa
demikian itu harus diselesaikan sesuai dengan apa yang diatur UNCITRAL
Arbitration Rules, kecuali jika para pihak telah mengadakan modifikasi-modifikasi tertentu secara tertulis terhadap kaidah-kaidah UNCITRAL
Arbitration Rules ini.
Dalam Pasal 1 Paragraph 2 UNCITRAL Arbitration Rules disebutkan bahwa UNCITRAL Arbitration Rules digunakan selama proses
arbitrase berlangsung, kecuali terdapat pertentangan antara UNCITRAL
Arbitration Rules dengan hukum dari iempat dimana arbitrase dilakukan, maka dalam hal ini UNCITRAL Arbitration Rules tidak dapat digunakan.
b. Pemberitahuan, perhitungan jangka waktu (notice, calculation of periods of
time).
Pasal 2 paragraph 1 mengatur tentang pemberitahuan dari Penggugat
kepada tergugat bahwa sengketa akan diselesaikan melalui arbitrase
dengan ketentuan UNCITRAL Arbitration Rules.
Pasal ini menyebutkan bahwa setiap surat pemberitahuan, segala
58
31 bentuk komunikasi atau penawaran sianggap sudah diterima Tergugat
apabila telah dikirimkan secara fisik ke tempat tinggal Tergugat atau
ketempat berdomisili atau tempat ia menjalankan usaha atau mailing address.
Pasal 2 mengatur tentang perhitungan jangka waktu yang mulai
dihitung sejak pemberitahuan tersebut diterima oleh Tergugat.
c. Pemberitahuan adanya proses arbitrase (Notice of Arbitration), Pasal 3.
Dalam Pasal 3 diatur bahwa pihak Penggugat harus memberitahukan
tergugat tentang adanya proses arbitrase ini.
d. Representation and Assistance (Perwakilan dan pemdampingan), Pasal 4.
Pasal 4 menyatakan bahwa para pihak dapat diwakili atau
didampingi oleh orang yang telah mereka tunjuk, mengenai nama, alamat
dan dalam posisi apa orang yang mewakili tersebut ditunjuk sebagai
perwakilan atau pendampingan, harus diberitahukan secara tertulis kepada
pihak lainnya.
2) Komposisi Arbitrase (composition of the arbitral tribunal), Pasal 5-14
UNCITRAL Arbitration Rules;
Komposisi arbitrase yang dibentuk didasarkan kepada persetujuan
pihak-pihak, jumlah arbiter dapat satu orang atau tiga orang. Jika dalam waktu
15 hari belum diperoleh kesepakatan tentang jumlah arbitrase bersifat tunggal
(satu orang} akan diangkat tiga orang arbiter. Apabila harus diangkat tiga
orang arbiter, maka tiap pihak akan mengangkat seorang arbiter. Kedua arbiter
ini akan memilih arbiter yang ketiga untuk bertindak sebagai Ketua dari Panitia
Arbitrase ini. Penyanggahan terhadap arbiter dapat dilakukan dalam hal arbiter
telah dipilih bersikap tidak adil atau ada dalam pengaruh pihak lain. Selain itu,
ketentuan ini juga mengatur dalam hal arbiter meninggal dunia atau
32 3) Proses Pemeriksaan (arbitral proceeding), Pasal 15-30 UNCITRAL
Arbitration Rules;
Pada prinsipnya akan diterima tempat yang telah dimufakati oleh para
pihak sebagai tempat untuk melaksanakan arbitrase.
Dalam hal para pihak tidak menentukan tempat arbitrase, tempat itu
akan ditentukan oleh panitia arbitrase dengan memperhatikan segala keadaan
sekitar arbitrase (circumstances of the arbitration). Mengenai bahasa yang
akan digunakan akan ditentukan oleh arbiter setelah pengangkatannya. Selain
itu, dalam section ini pun diatur mengenai isi dari surat gugatan, yang meliputi:
a. nama dan alamat dari para pihak (the name and addresses of the parties),
b. fakta-fakta yang mendukung klaim bersangkutan (a statement of
the facts supporting the claim),
c. pokok persoalan yang menjadi sengketa (the point at issues),
d. apa yang diminta dari pihak tergugat (the relief of remedy sought).
Hal demikian juga berlaku terhadap jawaban pembelaan (statement of
defence).
4) Keputusan Arbitrase (the award), Pasal 31-41 UNCITRAL Arbitration Rules.
Jika arbitrase dipimpin oleh tiga hakim, keputusan akan diambil
berdasarkan pola mayoritas. Keputusan dapat menyangkut seluruh atau
sebagian substansi tuntutan. Keputusan itu dibuat dalam bentuk tertulis.
Keputusan tidak akan memuat pertimbangan-pertimbangannya dan akan
diumumkan dengan persetujuan para pihak (Pasal 31 UNCITRAL Arbitration
Rules). Mengenai masalah hukum yang dipergunakan oleh panitia arbitrase yang pertama-tama adalah hukum yang dikehendaki oleh para pihak sendiri
(pilihan hukum). Apabila pilihan hukum tersebut tidak ada, maka panitta
arbitrase akan menggunakan hukum yang ditentukan oieh kaidah-kaidah HPI
33 Arbitration Rules). Hukum yang harus diperlakukan ini adalah Hukum Materiil. Perlu diadakan pembedaan dengan hukum yang berlaku untuk
prosedur arbitrase bersangkutan sendiri. Biasanya Hukum Formil yang
mengatur prosedur arbitrase ini adalah hukum dari tempat dimana arbitrase ini
dilakukan. Pasal 1 paragraph 2 dari UNCITRAL Arbitration Rules menyatakan
bahwa mengenai Hukum Acara Arbitrase ini yang bersifat memaksa, akan
berlaku jika bertentangan dengan UNCITRAL Arbitration Rules.59
Kemudian
perlu juga diperhatikan bahwa panitia arbitrase dapat membuat keputusan atas
dasar ex aequo et bono atau amiable compositeur, apabila memang para pihak telah menentukan demikian dalam perjanjian mereka dan juga apabila hukum
yang berlaku untuk acara arbitrase ini membolehkan hal yang demikian.
4. Kewenangan Mengadili
Jika para pihak tidak melakukan pilihan forum, maka dalam hal penentuan ke
mana penyelesaian sengketa harus diajukan didasarkan pada kompetensi relatif
pengadilan. Dalam hal ini, untuk menentukan suatu forum mempunyai kompetensi atau
tidak, ditentukan berdasarkan Pasal 118 HIR.60
Menurut Pasal 118 ayat (1) HIR, tuntutan atau gugatan perdata diajukan kepada
pengadilan negeri di tempat tinggal (woonplaats) si tergugat, (actor sequitor forum rei),
atau jika tidak ada tempat tinggai, tempat ia sebenarnya berada (werkelijk verblijf).
Jika terdapat lebih dari satu tergugat, maka dapat diajukan gugatan pada
pengadilan negeri dari tempat tinggal (kediaman) salah satu tergugat.
Kemudian jika tergugat tidak mempunyai tempat tinggal yang dikenal dan juga
tempat tinggal sebenarnya tidak dikenal, maka gugatan diajukan kepada pengadilan
negeri di tempat penggugat (forum actoris). Selain itu, apabila gugatan berkaitan
dengan benda tidak bergerak (benda tetap), gugatan diajukan kepada pengadilan negeri
dimana benda tetap itu terletak (forum rei sitae).
59
Ibid, hlm. 30.
60
34 Di dalam yurisprudensi Indonesia sering ditemukan perkara-perkara di mana
tergugat tidak mempunyai tempat kediaman yang dikenal di Indonesia, sehingga
prosedur khusus telah dilakukan.
Berkenaan dengan hal ini dapat dikaji ketentuan yang terdapat dalam Pasal 6 sub
8 Reglement op de Burgerlijk Rechtsverordering (RV) mengenai dagvaarding yang harus disampaikan kepada pihak tergugat yang bertempat tinggal di luar Indonesia
sepanjang mereka tidak mempunyai tempat kediaman yang dikenal di Indonesia.
Tuntutan diserahkan kepada pejabat kejaksaan pada tempat pengadilan dimana
seharusnya perkara diajukan. Pejabat ini membubuhkan kata-kata gezien dan menandatanganinya serta menyerahkan salinan eksploit untuk yang bersangkutan kepada pemerintah Indonesia untuk dikirim. Dengan demikian, mereka yang bertempat
tinggal di luar negeri pun dapat digugat di Indonesia berdasarkan ketentuan tersebut.
5. Prinsip-Prinsip yang Berkaitan dengan Kewenangan Mengadili
Berdasarkan uraian- di atas, dapat disimpulkan bahwa yang diutamakan adalah
prinsip penyampaian gugatan di tempat tinggal (beradanya) pihak tergugat.
Kewenangan untuk mengadilt ini didasarkan pertama-tama atas the basis of presence,
yakni bahwa pada umumnya yurisdiksi suatu negara diakui meliputi secara territorial
atas semua orang dan benda-benda yang berada di dalam batas-batas wilayahnya.
Pengecualiannya adalah berkaitan dengan immunitas negara berdaulat dan staf
diplomatik.61
Prinsip presence dari pihak tergugat, yang tak dapat dirugikan dalam
pembelaannya, membawa kepada pilihan dari pengadilan tempat tinggal tergugat-lah,
sebagai yang berwenang.62
Principle of effectiveness pun memegang peranan penting, di samping pertimbangan-pertimbangan untuk memberi perlindungan sewajarnya terhadap semua
orang yang mencari keadilan. Prinsip efektivitas berarti, bahwa pada umumnya hakim
hanya akan memberi putusan yang pada hakikatnya akan dapat dilaksanakan kelak.
61
Ibid. hlm. 213.
62
35 Tentunya yang paling terjamin apabila gugatan diajukan di hadapan pengadilan di
mana pihak tergugat (dan benda-bendanya) berada.63
Selain itu, prinsip forum of conveniens pun perlu diperhatikan. Prinsip ini mengemukakan bahwa forum yang berwenang harus menguntungkan tergugat. Prinsip
ini dikemukakan dalam perkara Inggris, Logain v. Bank of Scotland (1906), dalam hal
ini ditentukan bahwa jika suatu perkara berkenaan dengan peristiwa-peristiwa yang
sama sekali berlangsung di negara lain dan semua bukti-bukti terdapat di negara
tersebut, maka dimulainya perkara di depan hakim Inggris merupakan salah pemakaian
wewenang. Penggugat menyukarkan tergugat secara tak perlu dengan mengajukan
perkaranya di negara lain.64
C. Hukum yang Berlaku (Lex Causae) dalam Kontrak yang Mengandung
Unsur-Unsur Asing
Kontrak adalah persetujuan di antara 2 (dua) atau lebih orang yang berisi sebuah janji
atau janji-janji yang bertimbal balik yang diakui berdasarkan hukum, atau yang
pelaksanannya diakui sebagai suatu kewajiban hukum.65
Dalam HPI, persoalan bidang hukum kontrak pada dasarnya berkisar pada penentuan
hukum yang harus berlaku atas masalah-masalah yang timbul dari suatu kontrak. Oleh karena
itu, terdapat beberapa teori dalam menentukan hukum manakah yang berlaku dalam suatu
kontrak, yaitu pilihan hukum (choice of law), teori lex loci contractus, teori lex loci solutionis, teori the proper law of contract, dan teori the most characteristic connection. 1. Pilihan hukum
Setiap orang pada dasarnya memiliki kebebasan untuk mengikatkan diri pada
perjanjian (asas kebebasan berkontrak, freedom to contract, atau party autonomy). Dalam
perkembangannya kebebasan para pihak untuk berkontrak ini dimanifestasikan pula
63
Ibid.
64
Ibid, hlm. 274.
65
36 dalam kebebasan untuk menentukan hukum yang berlaku untuk mengatur kontrak yang
mereka buat (freedom to choose the applicable law).66
Bila dalam suatu kontrak, terdapat klausula pilihan hukum, maka hukum yang
berlaku bagi kontrak tersebut adalah hukum sebagaimana yang ditunjuk dalam kontrak
tersebut, karena apa yang telah disepakati oleh kedua belah pihak tadi berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya.67
Pada dasarnya para pihak bebas untuk melakukan pilihan hukum dengan
mengingat beberapa pembatasan sebagai berikut:68
a. Pilihan hukum hanya dibenarkan dalam bidang hukum kontrak. Dalam bidang hukum
kekeluargaan tidak dapat diadakan pilihan hukum, karena bidang hukum ini tidak
dipandang sebagai suatu wirtschaftseinheit demi kepentingan seluruh masyarakat dan
keluarga.
b. Pilihan hukum tidak boleh mengenai hukum yang bersifat memaksa.
Pilihan hukum tidak boleh diadakan untuk perjanjian-perjanjian pacht,
perjanjian sewa benda tidak bergerak, perjanjian yang dilangsungkan di bursa-bursa,
dan perjanjian kerja, karena perjanjian-perjanjian di bidang-bidang tersebut bersifat
ordeningsvoorschriften yang diadakan oleh pemerintah untuk mengatur hukum perdata dengan ciri-ciri hukum publik.
c. Pilihan hukum tidak boleh menjelma menjadi penyelundupan hukum.
Pilihan hukum tidak boleh diadakan bila dalam kontrak tersebut terdapat titik
pertalian lain yang jauh lebih kuat dari pada pilihan hukum. Pilihan hukum ini hanya
dapat made with a bonafide intention, tidak ada khusus memilih suatu tempat tertentu
untuk maksud menyelundupkan peraturan-peraturan lain, karenanya harus not fictitious, based on a normal relation dan harus memperlihatkan adanya a natural and vital connection, a substantial connection antara kontrak dan hukum yang dipilih.
66
Ibid hlm. 180.
67
Ridwan Khairandy, Nandang Sutrisno, dan Jawahir Thontowi, op. cit, hlm. 108.
68
37 Pilihan hukum itu sendiri dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu:69
a. Pilihan hukum secara tegas
Pada pilihan hukum secara tegas ini para pihak yang mengadakan kontrak
secara tegas dan jelas menentukan hukum negara mana yang mereka pilih. Hal
tersebut biasanya muncul dalam klausula governing law atau applicable law yang misalnya berbunyi; this contract will be governed by the laws of the Republic of Indonesia.
b. Pilihan hukum secara diam-diam
Di samping pilihan hukum secara tegas, para pihak dapat juga memilih hukum
secara diam-diam (stilzwijgend, implied, tacitly). Untuk mengetahui adanya pilihan
hukum tertentu yang dinyatakan secara diam-diam, bisa disimpulkan dari maksud
atau ketentuan-ketentuan, dan fakta-fakta yang terdapat dalam kontrak. Misalnya :
jika para pihak memilih domisili pada Kantor Pengadilan Negeri di negara X, maka
dapat disimpulkan bahwa para pihak secara diam-diam menghendaki berlakunya
hukum negara X.
Keberatan terhadap pilihan hukum secara diam-diam ini adalah jika sang
hakim hendak melihat adanya suatu pilihan yang sebenarnya tidak ada (fictief). Oleh
karena itu, hakim hanya menekankan kepada kemauan para pihak yang diduga
(vermoedelijke partijwil) dan yang dikedepankan adalah kemauan para pihak yang
fiktif.
c. Pilihan hukum secara dianggap
Pilihan hukum secara dianggap ini hanya merupakan preasumption iuris, suatu
rechtsvermoeden. Maksudnya, hakim menerima telah terjadi suatu pilihan berdasarkan dugaan-dugaan hukum belaka. Pada pilihan hukum yang demikian ini
tidak dapat dibuktikan menurut saluran yang ada. Dugaan hakim merupakan
69
38 pegangan yang dipandang cukup untuk mempertahankan bahwa para pihak
benar-benar telah menghendaki berlakunya suatu sistem hukum tertentu.
d. Pilihan hukum secara hipotesis
Dalam pilihan hukum secara hipotesis hakim bekerja dengan fiksi : seandainya
para pihak telah memikirkan hukum yang dipergunakan, hukum manakah yang
dipilih mereka dengan cara sebaik-baiknya. Jadi, sebenarnya tidak ada pilihan hukum
dari para pihak, justru hakim-lah yang memilih hukum tersebut.
2. Teori Lex Loci Contractus
Menurut teori klasik lex loci contractus, hukum yang berlaku bagi suatu kontrak internasional adalah hukum di tempat perjanjian atau kontrak itu dibuat, diciptakan,
dilahirkan.70
Dengan demikian hukum yang berlaku adalah hukum di tempat perjanjian
atau kontrak itu ditandatangani.
Penerapan teori ini memang sangat cocok pada zamannya di mana dulu biasanya
para pihak yang mengadakan kontrak berada pada tempat yang sama, para pihak
langsung bertemu muka.71
Di masa modern ini tampaknya sudah tidak memadai lagi,
terutama bila dikaitkan dengan kontrak-kontrak yang diadakan antara pihak-pihak yang
tidak berhadapan satu sama lain (intrerabsentes). Hal ini disebabkan semakin banyak
kontrak yang dibuat dengan bantuan sarana komunikasi modern seperti telex, telegram,
facsimile, sehingga penentuan locus contractus menjadi sulit dilakukan.72
Dalam keadaan demikian sulit-kiranya untuk menentukan hukum negara mana
yang berlaku bagi kontrak itu, karena setiap Negara menganut pandangan yang
berbeda dalam menentukan lex locin contractus, yaitu :73
70
Sudargo Gautama, op.cit., ...Buku ke-8, hlm. 12.
71
Ibid. hlm. 13.
72
Sunaryati Hartono, op.cit, hlm. 13.
73