• Tidak ada hasil yang ditemukan

URGENSI REGULASI TERKAIT PENYIMPANAN DAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "URGENSI REGULASI TERKAIT PENYIMPANAN DAN"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

URGENSI REGULASI TERKAIT PENYIMPANAN DAN

PENGAMANAN INFORMASI GEOSPASIAL UNTUK MENDUKUNG

PENGELOLAAN ADMINISTRASI PERTANAHAN YANG BAIK

Akbar Hiznu Mawanda, S.H., M.H.

Badan Informasi Geospasial

Jln. Raya Jakarta-Bogor KM 46 Cibinong, Bogor, Telp. +062-8563221482, Email: [email protected]

Abstract

Ketersediaan informasi geospasial merupakan poin penting dalam menyukseskan pembangunan yang berkelanjutan. Salah satu poin penting dalam menyelenggarakan informasi geospasial agar selalu tersedia setiap saat adalah bagaimana menyimpan dan mengamankan informasi geospasial tersebut. Sadar atas pentingnya proses penyimpanan dan pengamanan informasi geospasial dalam penyelenggaraan informasi geospasial khususnya pengelolaan informasi geospasial terkait pertanahan, pemerintah dan DPR RI sepakat untuk mengatur hal ini dalam bentuk Undang-Undang. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial. Tulisan ini akan mengkaji lebih lanjut tentang bagaimana regulasi terkait penyimpanan dan pengamanan data dan informasi geospasial dapat mendukung terciptanya administrasi pertanahan yang baik.

(2)

Kata Kunci: Penyimpanan,

Pengamanan, Informasi, Geospasial

PENDAHULUAN

Beberapa tahun

belakangan ini, istilah informasi geospasial begitu akrab di telinga kita. Terlebih lagi pasca lahirnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial. Informasi Geospasial sendiri merupakan suatu istilah yag dibuat untuk mewadahi produk-produk geospasial yang selama ini berdiri sendiri dengan pengaturannya masing-masing. Undang-undang ini pada akhirnya menyatukan seluruh jenis produk geospasial dalam satu lingkup istilah sehingga memudahkan dalam hal penyebutan dan yang paling penting dalam konteks regulasi.

Pada prakteknya, Informasi Geospasial seringkali diidentikkan dengan peta. Padahal dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi

Geospasial, Informasi Geospasial lebih luas daripada sekedar peta. Dalam Undang-Undang tersebut disebutkan bahwa pengertian Informasi kebijakan, pengambilan keputusan, dan/atau pelaksanaan kegiatan yang berhubungan dengan ruang kebumian1.

Sedangkan data geospasial sendiri adalah data tentang lokasi geografis, dimensi, atau ukuran, dan/atau karakterisrik objek alam dan/atau Geospasial tidak melulu berbicara dengan peta. Dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi

1 Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial

2 Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial

Geospasial menyebutkan

bahwa Informasi

Geospasial disajikan dalam bentuk:

a. Tabel informasi berkoordinat;

b. Peta cetak, baik dalam bentuk lembaran maupun buku atlas; c. Peta digital;

d. Peta interaktif, termasuk yang dapat diakses melalui teknologi informasi dan komunikasi; e. Peta multimedia; f. Bola dunia; atau g. Model tiga dimensi. Dari bentuk penyajian informasi geospasial.

Melalui penjelasan di atas, dapat dilihat bahwa cakupan informasi geospasial sangatlah luas. Undang-undang Nomor 4 Tahun 2011 hanya membagi Informasi Geospasial menjadi dua, yaitu Informasi Geospasial Dasar dan Informasi Geospasial Tematik. Informasi Geospasial

Dasar adalah informasi geospasial yang berisi tentang obyek yang dapat dilihat secara langsung atau diukur dari kenampakan fisik d muka bumi dan yang tidak berubah dalam waktu yang relatif lama3.

Penyelenggaraan

Informasi Geospasial Dasar sendiri merupakan tanggung jawab Badan Informasi Geospasial.

Sebuah Lembaga

Pemerintah Non

Kementerian yang diberi tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang Informasi Geospasial, khususnya Informasi Geospasial Dasar. Sedangkan Informasi Geospasial Tematik adalah informasi geospasial yang menggambarkan satu atau lebih tema tertentu yang dibuat mengacu pada Informasi Geospasial Dasar.

Lahirnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial merupakan tonggak sejarah baru

(3)

dalam pelaksanaan pembangunan

berkelanjutan. Kebutuhan atas sebuah informasi geospasial menjadi hal yang mulai disadari oleh seluruh pemangku kepentingan khususnya Pemerintah Pusat dan revitalisasi Peta Rencana Tata Ruang yang kini tidak hanya sebagai pelengkap atau lampiran dalam sebuah peraturan yang mengatur perencanaan tata ruang di suatu wilayah dan penggunaan informasi

geospasial yang

berkualitas dalam sertifikat tanah. Di beberapa kasus pidana, informasi geospasial juga sudah mulai digunakan sebagai salah satu alat bukti yang sah oleh pihak-pihak yang berperkara, termasuk juga hakim. Ini membuktikan informasi geospasia sudah mulai memegang peranan penting dalam kehidupan sehari-hari.

Tema pertanahan adalah

salah satu tema yang tidak bisa ditinggalkan apabila kita berbicara tentang pembangunan yang berkelanjutan. Seringkali implementasi dari kebijakan terkait pembangunan terbentur dengan hal-hal terkait pertanahan. Duplikasi sertifikat, “beririsannya” garis batas wilayah ketika masing-masing peta tematik di-“overlay”, rendahnya kualitas informasi geospasial, perbedaan peruntukan lahan antara rencana tata ruang dengan kondisi di lapangan merupakan beberapa contoh kecil hambatan yang ditemui terkait pertanahan dalam pelaksanaan

pembangunan. Pengaturan terkait informasi geospasial secara nasional merupakan salah satu sarana untuk mengeliminir kendala-kendala tersebut. Oleh sebab itu, keberadaan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial menjadi sangat strategis

untuk mendukung

terciptanya informasi

geospasial yang

berkualitas demi

terciptanya pembangunan berkelanjutan. geospasial secara detail. Dimulai dari “hulu” ke “hilir”. Di dalam Undang-Undang tersebut, informasi geospasial diselenggarakan melalui: a. Pengumpulan Data

Geospasial;

b. Pengolahan Data dan Informasi Geospasial; c. Penyimpanan dan

Pengamanan Data dan Informasi Geospasial;

d. Penyebarluasan Data dan Informasi Geospasial; dan

e. Penggunaan Adanya pengaturan terkait bagaimana menyimpan dan mengamankan data dan informasi geospasial.

4 Pasal 25 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial.

Ini menarik karena pengaturan Informasi Geospasial dalam Undang-Undang ini sampai mengatur bagaimana melaksanakan

penyimpanan dan

pengamanan data dan informasi geospasial. Ini membuktikan bahwa pemerintah memberikan perhatian secara khusus terhadap informasi geospasial bahkan sampai mengatur bagaimana pemangku kepentingan untuk menyimpan dan mengamankan data dan informasi geospasial. Atas latar belakang itulah, tema tentang penyimpanan dan pengamanan data dan Terkait Penyimpanan dan

Pengamanan Data

Geospasial dan Informasi Geospasial untuk Mendukung Pengelolaan Administrasi Pertanahan yang Baik.

(4)

yang sudah diolah sehingga dapat digunakan sebagai alat bantu dalam perumusan kebijakan, pengambilan keputusan, dan/atau pelaksanaan

kegiatan yang

berhubungan dengan ruang kebumian5.

Sedangkan data geospasial sendiri adalah data tentang lokasi geografis, dimensi, atau ukuran, dan/atau karakterisrik objek alam dan/atau Indonesia mempunyai pengertian:

a. Tempat menyimpan (mengumpulkan dan sebagainya);

b. Proses, cara, perbuatan

menyimpan; dan c. Kegiatan pemasaran

yang bersangkutan dengan menahan dan menyimpan produk

5 Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial

6 Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial

sejak dihasilkan sampai waktu dijual. Sedangkan pengamanan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki pengertian proses, cara, perbuatan mengamankan.

Maksud dari pemilihan judul ini adalah untuk meneliti dan menganalisa apa urgensi regulasi terkait penyimpanan dan pengamanan data dan informasi geospasial dalam hubungannya untuk mendukung pengelolaan administrasi pertanahan yang baik.

METODOLOGI

Tulisan ini disusun dari hasil penelitian. Karena penelitiannya yang bersifat yuridis normatif yang

digunakan penulis dalam proses pembuatan tulisan ini adalah pendekatan Peraturan Perundang-undangan (statue

approach) dan pendekatan

konseptual (conceptual

approach). Pendekatan

peraturan

perundang-undangan dilakukan

dengan menalaah

peraturan perundang-undangan. Sedangkan pendekatan konseptual dilakukan dengan menelaaah kerangka filosofis dan konsep-konsep hukum umum yang terdapat di literatur-literatur.

HASIL

Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial, Penyimpanan

dan Pengamanan

memegang peranan

penting dalam

penyelenggaraan data dan informasi geospasial terlebih lagi dalam pengelolaan administrasi pertanahan. Pengaturan terkait penyimpanan dan pengamananan data dan informasi geospasial diatur secara umum dalam Bab V Bagian Keempat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial. Pengaturan lebih rinci dapat dilihat di

dalam Peraturan Geospasial dan Peraturan Kepala Badan Informasi Geospasial Nomor 12 Tahun 2013 tentang Standar Prosedur

Penyimpanan dan

(5)

jangka waktu penyerahan duplikat informasi geospasial kepada lembaga terkait. Duplikat informasi geospasial untuk bahan perpustakaan diserahkan kepada lembaga terkait paling lambat 3 (tiga) bulan sejak informasi geospasial diterbitkan. Sedangkan duplikat informasi geospasial untuk bahan arsip diserahkan kepada lembaga terkait paling lambat 2 (dua) tahun sejak selesainya kegiatan penyelenggaraan informasi geospaial adalah duplikat informasi geospasial dalam format asli dan saji berikut juga perangkat lunaknya. Format penyerahan yang begitu detil ini dibuat agar lembaga penerima dapat mengakses duplikat informasi geospasial yang telah diserahkan kepadanya. Kebutuhan lembaga penerima untuk mengakses duplikat

informasi geospasial yang diterimanya merupakan salah satu upaya untuk memenuhi kewajiban lembaga penerima sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasil. Dalam Pasal 55 Peraturan Pemerintah tersebut menyebutkan bahwa Lembaga Penerima wajib melaksanakan:

a. Penyimpanan dan pengamanan duplikat informasi geospasial; b. Penyediaan akses

terhadap duplikat informasi geospasial; dan

c. Pembuatan sarana bantu penemuan kembali duplikat informasi geospasial tersebut.

Untuk melaksanakan kewajiban tersebut, lembaga penerima membutuhkan format asli dan format saji, serta

perangkat untuk

memudahkan lembaga penerima melaksanakan kewajiban sebagaimana telah dijelaskan di atas.

Pengaturan lebih rinci khusus penyimpanan dan pengamanan data dan informasi geospasial dapat dilihat di dalam Peraturan Kepala Badan Informasi Geospasial Nomor 12 Tahun 2013 tentang Standar Prosedur

Penyimpanan dan

Mekanisme Penyimpanan untuk Pengarsipan Data Geospasial dan Informasi Geospasial. Di dalam Peraturan Kepala Badan Informasi Geospasial tersebut diatur mengenai standar prosedur penyimpanan data dan informasi geospasial dan mekanisme penyimpanan untuk pengarsipan data dan informasi geospasial. Standar Prosedur dalam Peraturan Kepala Badan Informasi Geospasial tersebut mengatur tentang:

a. Unit penyimpan b. Personil penyimpan c. Sarana dan prasarana

penyimpanan d. Pengamanan

e. Pengaksesan kembali; dan

f. Prosedur penyimpanan.

Begitu rincinya pengaturan

Peraturan Kepala Badan Informasi Geospasial ini sampai mengatur standar kompetensi minimal Prosedur dalam Peraturan Kepala Badan Informasi Geospasial tersebut adalah adanya pengaturan tentang Pengaksesan Kembali. Ini membuktikan bahwa salah satu tujuan begitu rincinya pengaturan

penyimpanan dan

pengamanan data dan informasi geospasial adalah agar dapat diakses kembali. Dari sini secara adalah agar nantinya dapat diakses kembali sewaktu-waktu oleh seluruh pemangku kepentingan.

(6)

geospasial sangat penting dalam penyelenggaraan informasi geospasial. Salah satu latar belakang mengapa pengaturan terkait penyimpanan dan pengamanan data dan informasi geospasial diatur begitu rinci dalam peraturan perundang-undangan terkait informasi geospasial adalah untuk menjamin ketersediaan data dan informasi geospasial yang autentik dan terpercaya serta untuk menjamin perundang-undangan ini secara tidak langsung meningkatkan derajat data dan informasi geospasial sebagai aset nasional yang

harus dijaga

keberadaannya.

Dalam konteks

pembangunan

berkelanjutan kegiatan penyimpanan informasi geospasial memegang

peranan penting

khususnya dalam

pengelolaan administrasi pertanahan yang baik.

Seperti yang telah dijelaskan di atas, administrasi pertanahan yang baik akan sangat mendukung pelaksanaan pembangunan yang berkelanjutan. Seringkali suatu pembangunan terhambat karena masalah-masalah yang secara administrasi harusnya tidak terjadi. Yang paling sering terjadi adalah dokumen-dokumen pertanahan yang terselip bahkan hilang sehingga menghambat secara tidak langsung menghambat pemerintah dalam ketika bencana tsunami di Aceh terjadi. Penanganan dan penanggulangan bencana di Aceh sempat terhambat karena tidak lengkapnya informasi geospasial yang tersedia. Tidak lengkapnya informasi geospasial khusunya pertanahan juga menimbulkan kendala

ketika kegiatan

rekonstruksi pasca bencana di Aceh.

Banyaknya dokumen yang hilang menimbulkan banyaknya potensi konflik di kemudian hari. Meski potensi masalah tersebut dapat diredam, namun tindakan antisipasi apabila kejadian bencana terjadi lagi di kemudian hari.

Ketersediaan informasi geospasial dengan format yang standar akan memudahkan seluruh pemangku kepentingan untuk mengakses data dan informasi geospasial tersebut. Akibatnya, adanya suplai data dan informasi geospasial yang komprehensif dan berkualitas akan sangat membantu para pengambil

kebijakan untuk

menetukan kebijakan yang akan diambilnya. Adanya pengaturan yang begitu

detail terhadap

penyimpanan dan

pengamanan data dan informasi geospasial akan menjamin ketersediaan informasi geospasial yang dapat diakses sewaktu-waktu dan pada akhirnya

akan mendukung

pengelolaan administrasi pertanahan yang baik demi tercipta pembangunan

berkelanjutan yang informasi geospasial tidak dilaksanakan sesuai saat ini penyimpanan dan pengamanan data dan informasi geospasial tidak dapat berjalan sesuai dengan yaang diharapkan.

PENUTUP penyelenggara informasi geospasial. Padahal kegiatan ini sangat erat hubungannya dengan ketersediaan informasi geospasial berikut juga pengaksesannya di

kemudian hari.

Penyimpanan dan

(7)

informasi geospasial juga sangat urgen dalam melaksanakan pengelolaan administrasi pertanahan yang baik. Penyimpanan dan pengamanan yang standar akan juga memudahkan pemangku kepentingan untuk mengakses informasi geospasial yang telah disimpan.

DAFTAR BACAAN

Abubakar, Hadi, Pola Kearsipan Modern, Sjambatan, Jakarta, 1985.

Anonim, Penelitian Tentang Efektifitas Sanksi Administratif

Dalam Rangka

Penegakan Hukum Lingkungan Sebagai Upaya Pencegahan Pencemaran, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta, 1998.

Darmawan, Mulyanto, Menguak Teknologi Informasi Geospasial Dibalik Kegiatan Tanggap Darurat, Rehabilitasi, dan Rekonstruksi NAD-Nias Pasca Tsunami 2004, Mediatama Septakarya,

Jakarta, 2011.

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial.

Peraturan Kepala Badan Informasi Geospasial Nomor 12 Tahun 2013 tentang Standar Prosedur Penyimpanan

dan Mekanisme

Penyimpanan untuk Pengarsipan Data Geospasial dan Informasi Geospasial.

Pranoto, Edi., Sanksi Hukum Administrasi, 7 Mei

2011,http://edipranoto .blogspot.com/2011/0 5/sanksi-hukum-administrasi.html (25 Oktober 2012)

Pusat Komunikasi Publik Kementerian Pekerjaan Umum, 2007,

Penerapan Aturan Zonasi dan Penegakan Hukum Harus

Konsisten,

http://www1.pu.go.id/ uploads/berita/ppw16 0507rnd.htm (16 Mei

2007)

Pusat Komunikasi Publik Kementerian Pekerjaan Umum, 2011, Penataan Ruang Syarat Utama Pelaksanaan MP3EI, http://www1.pu.go.id/ m/main/view/104 (25 Desember 2011)

SBM, Nugroho, 2011, Kepentingan Ekonomi dan Pelanggaran Tata Ruang, http://nugroho-sbm.blogspot.com/201 1/09/kepentingan-

ekonomi-dan-pelanggaran.html (19 September 2011)

Sugandhy, Aca, Penataan

Ruang dalam

Pengelolaan

Lingkungan Hidup, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1999.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial

dan Naskah

Akademiknya.

Van Bemmelen, J.M., Hukum Pidana 1 Hukum Pidana Meterial

Bagian Umum,

Binacipta, Bandung,

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bahwa penyimpanan senjata api didalam gedung perwakilan bertentangan dengan fungsi misi diplomatik yang diatur dalam

Selain kedua saran tersebut, disarankan juga pengaturan Penghubung KY harus diatur oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yaitu peraturan pemerintah, sehingga

Pasal 15 ayat 3 tersebut diatas, dijelaskan kembali dalam penjelasan yaitu : “yang dimaksud dengan kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan, antara lain,