• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMETAAN KAWASAN RAWAN BANJIR DI DAERAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PEMETAAN KAWASAN RAWAN BANJIR DI DAERAH"

Copied!
66
0
0

Teks penuh

(1)

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

ASEP PURNAMA

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

(2)

PEMETAAN KAWASAN RAWAN BANJIR

DI DAERAH ALIRAN SUNGAI CISADANE MENGGUNAKAN

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

ASEP PURNAMA

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

(3)

ASEP PURNAMA. E34103035. Pemetaan Kawasan Rawan Banjir di Daerah Aliran Sungai Cisadane Menggnakan Sistem Informasi Geografis. Dibimbing oleh LILIK BUDI PRASETYO dan AGUS PRIYONO.

Banjir merupakan peristiwa terjadinya genangan pada daerah datar sekitar sungai sebagai akibat meluapnya air sungai yang tidak mampu ditampung oleh sungai. Dengan daerah tangkapan seluas 1.100 km2, DAS Cisadane merupakan salah satu sungai utama di Propinsi Banten dan Jawa Barat. Daerah tangkapan yang luas dan konversi lahan yang tinggi menyebabkan potensi banjir yang tinggi di wilayah DAS Cisadane. Salah satu disiplin ilmu yang sangat berpengaruh dalam penanggulangan masalah banjir adalah dengan bantuan aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG) yaitu untuk identifikasi dan pemetaan kawasan yang berpotensi banjir.

Penelitian dilakukan pada bulan September 2007 sampai dengan Maret 2008 di Daerah Aliran Sungai (DAS) Cisadane yang secara administratif berada di Kabupaten Bogor dan Kotamadya Bogor (Jawa Barat) serta Kotamadya Tangerang dan Kabupaten Tangerang (Banten). Alat yang digunakan antara lain: 1.) Perangkat keras: Seperangkat komputer/PC, Printer, Scanner, kamera digital, dan GPS. 2.) Perangkat lunak: ArcView GIS 3.3, Erdas 8.5, dan Microsoft Excel 2003. Bahan-bahan yang Yang dipergunakan antara lain: Data curah hujan, peta rupa bumi, peta tanah, dan Citra Landsat TM+7. Data didapat dengan melakukan ground truth (cek lapang) di lokasi DAS Dan m,enganalisa peta dan faktor-faktor penyebab banjir. Analisis berupa pemberian skoring, pembobotan, atribut dan keruangan.

(4)

dengan luas paling tinggi yaitu 441621,75 Ha. Hal ini dikarenakan daerah ini merupakan daerah dengan penutupan lahan yang didominasi oleh hutan dan perkebunan, dimana penutupan lahan hutan dan perkebunan mempunyai pengaruh yang besar dalam mencegah banjir. Kecamatan yang memiliki luas kelas kerawanan sangat rawan yang paling tinggi adalah kecamatan Kosambi (2548 Ha) diikuti Pakuhaji (2367 Ha), dan Teluk Naga (1538,5 Ha).

Saran yang dapat diberikan adalah, perlu dikaji untuk peta kerawanan banjir menggunakan data dari faktor penentu banjir lain dan menggunakan data faktor penentu kerawanan banjir yang lebih spesifik seperti data curah hujan harian dan bulanan.

(5)

ASEP PURNAMA. E34103035. Mapping for the Sensitive Flood Area in Cisadane Basin use Geographic Information System. Under supervision of LILIK BUDI PRASETYO and AGUS PRIYONO.

Flood is the puddle of water that happening around the river area, caused by the current water can’t patch be the river. Cisadane basin is a large catchment area (1.100 km2) that placed ini banten and west java province with sources in salak – Pangrango Mountain and have lower course in Java seas. The large catchment area and the change of land covering in Cisadane Basin make this area have high potential for flood happen. Geographic Information System (GIS) is useful for ward off the flood which this system that can mapping the sensitive flood area by get analysis the flood factor like hydrology, climate, and physical area condition.

Research have done in September 2007 to March 2008 with the study area in Cisadane Basin, place in Bogor (city and regency) and Tangerang (city and regency). The tools that use is hardware (computer, printer, scanner, camera, and GPS) and software (ArcView GIS 3.3, Erdas Imagine 8.5, and Microsoft Excel 2003). The substance is rainfall data, land map, and landsat image. The method for get the data is ground truth/check and analysis the map and the flood factor. The analysis is attribute and skoring.

(6)

Suggestion for this research or the next research is necessary to examine the other factor that can caused flood. The other suggestion is used the same factor with have more detail or specific data, like the rainfall data.

(7)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pemetaan Kawasan Rawan Banjir di Daerah Aliran Sungai Cisadane Menggunakan Sistem Informasi Geografis adalah benar – benar hasil karya saya sendiri dengan bibmbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Mei 2008

(8)

Judul Skripsi : Pemetaan Kawasan Rawan Banjir di Daerah Aliran Sungai Cisadane Menggunakan Sistem Informasi Geografis Nama : Asep Purnama

NIM : E34103035

Menyetujui : Komisi Pembimbing

Ketua, Anggota,

Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc.F Ir. Agus Priyono, MS NIP. 131 760 841 NIP. 131 578 800

Mengetahui :

Dekan Fakultas Kehutanan IPB,

Dr. Ir. Hendrayanto, M.Agr NIP. 131 760 834

(9)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan berbagai macam kenikmatan dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan skripsi ini.

Laporan skirpsi ini berjudul ”Pemetaan Kawasan Rawan Banjir di Daerah Aliran Sungai Cisadane Menggunakan Sistem Informasi Geografis”.

Laporan ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini penulis juga ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. Ayahanda H. Oci Sanusi dan Ibunda Hj. Umiyati serta kakak dan adikku yang telah memberi dorongan moril maupun materil serta semangat dan doanya kepada penulis selama menjalani perkuliahan sampai penyusunan skripsi ini. 2. Bapak Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, Msc dan Ir. Agus Priyono, MS selaku dosen

pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahannya selama ini. 3. Lidwina Dirgantara yang telah memberikan dukungan, semangat baik moril

maupun materil selama penulis melakukan penyusunan laporan skripsi ini. 4. Kepada seluruh dosen dan staf Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan

dan Ekowisata atas bantuan yang diberikan kepada penulis dalam kegiatan perkuliahan dan penyelesaian skripsi ini.

5. Teman-teman keluarga besar KSHE 40 beserta adik kelas dan kakak kelas, terima kasih atas dukungan dan semangatnya dari mulai perkuliahan sampai penyusunan skripsi ini.

(10)

ii

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa laporan skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu harapan adanya kritik dan masukan yang konstruktif dari para pembaca.

Semoga laporan skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya serta bagi masyarakat yang bersangkutan umumnya.

Bogor, Mei 2008

(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pekanbaru pada tanggal 13 Mei 1984, merupakan anak kedua dari pasangan Ayahanda H. Oci Sanusi dengan Ibunda Hj. Umiyati. Penulis memulai jenjang pendidikan pada tahun 1989 di Taman Kanak-Kanak Budi Luhur, kemudian melanjutkan ke Taman Kanak-Kanak Cendana pada tahun 1990. Pada tahun 1991, penulis melanjutkan Sekolah Dasar Cendana Rumbai, Pekanbaru, kemudian melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama Cendana Rumbai, Pekanbaru (1997-2000) dan melanjutkan ke Sekolah Menengah Umum Cendana Pekanbaru (2000-2003). Pada tahun 2003 penulis melanjutkan pendidikan dan diterima pada Program Sarjana, Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk Institut Pertanian Bogor (USMI) .

Selama menjalani perkuliahan di IPB, penulis turut aktif dalam kegiatan kampus dengan menjadi anggota aktif Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumber Daya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) pada tahun 2004-2006, Selain itu penulis mengikuti beberapa kegiatan seperti menjadi anggota panitia Pekan Ilmiah Kehutanan Nasional (PIKNAS) yang diadakan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Kehutanan tahun 2005 dan kegiatan yang diadakan di Program Studi Ekowisata yaitu kegiatan Pesta Anak Penyandang Cacat (PAPC) tahun 2006.

(12)

iv

DAFTAR GAMBAR... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan Penelitian ... 2

1.3 Kegunaan Penelitian ... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1 Banjir... 3

2.2 Curah Hujan ... 4

2.2.1 Klasifikasi Curah Hujan... 5

2.3 Debit Aliran Sungai... 6

2.4 Daerah Aliran Sungai (DAS) ... 6

2.5 Peta dan Pemetaan... 9

2.6 Identifikasi Kawasan Rawan Bencana Banjir ... 9

2.6.1 Faktor Kondisi Alam... 9

2.6.2 Faktor Peristiwa Alam... 11

2.6.3 Aktivitas Manusia ... 12

2.7 Sistem Informasi Geografi ... 12

2.8 Penerapan SIG untuk identifikasi dan Pemetaan Kawasan Berpotensi Banjir ... 13

2.9 Sistem Peringatan Dini (Early Warning System) Banjir .... 14

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 15

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ... 15

3.2 Alat dan Bahan... 15

3.2.1 Alat... 15

(13)

3.3 Metode Penelitian ... 16

3.3.1 Analisis Faktor Daerah Rawan Banjir... 16

3.3.1.1 Analisis Peta Rupa Bumi ... 16

3.3.1.2 Analisis Peta Tinjau Tanah ... 17

3.3.1.3 Analisis Citra Landsat ... 17

3.3.1.4 Analisis Data Curah Hujan ... 19

3.3.1.5 Pembuatan Peta Buffer Sungai ... 20

3.3.2 Analisis Data ... 20

3.3.2.1 Analisis Keruangan ... 20

3.3.2.2 Analisis Atribut ... 21

BAB IV KONDISI UMUM DAS CISADANE ... 26

4.1 Kondisi Biofisik DAS Cisadane... 26

4.1.1 Bentuk dan Luas Wilayah DAS ... 26

4.1.2 Karakteristik Iklim ... 27

4.1.3 Karakteristik Topografi... 27

4.1.4 Tanah dan Geologi ... 28

4.1.5 Jaringan Sungai ... 29

4.2 Karakteristik Sosial Ekonomi Masyarakat... 29

4.2.1 Kepadatan Penduduk... 29

4.2.2 Kegiatan Ekonomi dan Ketergantungan pada Lahan 29 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 32

5.1 Kemiringan Lahan... 32

5.2 Kelas Tinggi ... 33

5.3 Tekstur Tanah ... 34

5.4 Drainase Tanah ... 35

5.5 Penutupan Lahan... 36

5.6 Curah hujan ... 37

5.7 Buffer Sungai... 37

5.8 Kerawanan Banjir ... 38

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 42

6.1 Kesimpulan ... 42

(14)

vi

(15)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Tata waktu penelitian ... 15

Tabel 2 Skor untuk kelas kemiringan lahan... 21

Tabel 3 Skor untuk kelas kelas tinggi ... 22

Tabel 4 Skor untuk kelas tekstur tanah ... 22

Tabel 5 Skor untuk kelas drainase tanah... 23

Tabel 6 Skor untuk kelas penutupan lahan ... 23

Tabel 7 Skor untuk kelas curah hujan ... 23

Tabel 8 Skor untuk kelas buffer sungai... 24

Tabel 9 Bobot parameter penyebab banjir ... 24

Tabel 10 Nilai tingkat kerawanan banjir... 25

Tabel 11 Nilai kharakteristik kerawanan banjir ... 25

Tabel 12 Luas, jumlah, dan kepadatan penduduk di DAS Cisadane ... 30

Tabel 13 Kegiatan perekonomian DAS Cisadane per segmen ... 31

Tabel 14 Kemiringan lahan DAS Cisadane ... 32

Tabel 15 Kelas tinggi DAS Cisadane... 33

Tabel 16 Tekstur tanah DAS Cisadane ... 34

Tabel 17 Drainase tanah DAS Cisadane ... 35

Tabel 18 Penutupan lahan DAS Cisadane ... 36

Tabel 19 Curah hujan DAS Cisadane ... 37

Tabel 20 Kerawanan banjir DAS Cisadane ... 39

Tabel 21 Kerawanan banjir setiap bagian/segmen DAS Cisadane ... 39

(16)

viii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Citra Landsat DAS Cisadane ... 17

Gambar 2 Diagram alir tahapan analisis Citra Landsat ... 18

Gambar 3 Peta Administrasi DAS Cisadane... 26

Gambar 4 Peta Kelas Lereng DAS Cisadane... 32

Gambar 5 Peta Kelas Tinggi DAS Cisadane... 33

Gambar 6 Peta Tekstur Tanah DAS Cisadane ... 34

Gambar 7 Peta Drainase Tanah DAS Cisadane ... 35

Gambar 8 Peta Penutupan Lahan DAS Cisadane ... 36

Gambar 9 Peta Curah Hujan Tahunan DAS Cisadane... 37

Gambar 10 Peta Buffer Sungai DAS Cisadane ... 38

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Diagram alir metode penelitian ... 46

Lampiran 2 Titik-titk ground truth... 47

Lampiran 3 Stasiun pembangkit data curah hujan ... 48

(18)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Banjir merupakan peristiwa terjadinya genangan pada daerah datar sekitar

sungai sebagai akibat meluapnya air sungai yang tidak mampu ditampung oleh

sungai. Selain itu, banjir adalah interaksi antara manusia dengan alam dan sistem

alam itu sendiri. Bencana banjir ini merupakan aspek interaksi manusia dengana

alam yang timbul dari proses dimana manusia mencoba menggunakan alam yang

bermanfaat dan menghindari alam yang merugikan manusia (Suwardi 1999).

Bencana alam seperti banjir perlu mendapatkan perhatian khusus, sebab

bencana tersebut menelan korban jiwa dan kerugian terbesar (40%) dari seluruh

kerugian bencana alam (Kingma 1990).

Banjir sebagai akibat dari meluapnya atau meningkatnya debit sungai telah

banyak menimbulkan kerusakan, baik dari kerusakan lingkungan alami maupun

lingkungan buatan.

Perubahan kondisi lahan dari waktu ke waktu membuat ancaman

terjadinya banjir semakin besar. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain:

1) Daya tampung sungai makin lama makin kecil akibat pendangkalan. 2)

Fluktuasi debit air antara musim penghujan dengan musim kering makin tinggi. 3)

Terjadi konversi lahan pertanian dan daerah buffer alami ke lahan non pertanian dengan mengabaikan konservasi sehingga menyebabkan rusaknya daerah

tangkapan air (cacthment area). 4) Eksploitasi air tanah yang berlebihan

menyebabkan lapisan aquifer makin dalam sehingga penetrasi air laut lebih jauh ke darat yang berakibat mengganggu keseimbangan hidrologi (Utomo 2004).

Dengan daerah tangkapan seluas 1.100 km2, DAS Cisadane merupakan

salah satu sungai utama di Propinsi Banten dan Jawa Barat. Sumbernya berada di

Gunung Salak – Pangrango (Kabupaten Bogor) dan mengalir ke Laut Jawa.

Panjang sungai sekitar 80 km. Daerah tangkapan yang luas inilah yang

menyebabkan potensi banjir yang tinggi di wilayah DAS Cisadane. Selain itu,

(19)

yang tinggi (bagian tengah dan hulu sungai) yaitu perubahan penutupan lahan

yang umumnya dari hutan menjadi kawasan pemukiman dan sawah.

Upaya-upaya untuk mengatasi banjir telah dilakukan antara lain dengan

melakukan pengerukan sedimen, merehabilitasi tanggul sungai untuk menambah

kapasitas tampung debit sungai, peningkatan kemampuan meresapnya air hujan

dari setiap penggunaan lahan baik daerah hulu maupun hilir dan menghindari

darah rawan banjir atau bantaran sungai sebagai tempat pemukiman.

Dalam upaya mengatasi permasalahan akibat terjadinya banjir, ada

beberapa cara yaitu salah satunya mengetahui sebab-sebab terjadinya banjir dan

daerah sasaran banjir, yang tergantung pada karakteristik klimatologi, hidrologi,

dan kondisi fisik wilayah. Salah satu disiplin ilmu yang sangat berpengaruh dalam

penanggulangan masalah banjir adalah dengan bantuan aplikasi Sistem Informasi

Geografis (SIG) yaitu untuk identifikasi dan pemetaan kawasan yang berpotensi

banjir.

1.2 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi dan memetakan

kawasan yang berpotensi banjir pada DAS Cisadane.

1.3 Kegunaan Penelitian

1. Dapat memberikan pola sebaran kawasan rawan banjir pada daerah yang

rentan terhadap bencana banjir sehingga dapat dijadikan pertimbangan dalam

perencanaan dan pengembangan wilayah secara optimal dan berkelanjutan

2. Dapat memberikan informasi dan pemanfaatan peta kerawanan banjir untuk

digunakan dalam antisipasi terhadap bahaya banjir, serta prioritas utama

dalam penanganan daerah yang rawan terhadap bahaya banjir.

(20)

3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Banjir

Banjir menurut Richards (1955), diacu dalam Suherlan (2001) memiliki

dua arti yaitu meluapnya air sungai disebabkan oleh debitnya yang melebihi daya

tampung sungai pada keadaan curah hujan yang tinggi dan arti kedua adalah

banjir merupakan genangan pada daerah datar yang biasanya tidak tergenang.

Sedangkan menurut Suwardi (1999), bencana banjir merupakan aspek interaksi

antara manusia dengan alam yang timbul dari proses dimana manusia mencoba

menggunakan alam yang bermanfaat dan menghindari alam yang merugikan

manusia.

Banjir dipengaruhi oleh banyak faktor, tetapi apabila dikelompokkan maka

akan didapatkan tiga faktor yang berpengaruh tehadap banjir, yaitu elemen

meteorologi, kharakteristik fisik DAS, dan manusia. Elemen meteorologi yang

berpengaruh pada timbulnya banjir adalah intensitas, distribusi, frekuensi, dan

lamanya hujan berlangsung. Kharakteristik DAS yang berpengaruh terhadap

terjadinya banjir adalah luas DAS, kemiringan lahan, ketinggian, dan kadar air

tanah. Manusia beperan pada percepatan perubahan penggunaan lahan seperti

hutan lebat belukar. Pengaruh perubahan lahan terhadap perubahan kharakteristik

aliran sungai berkaitan dengan berubahnya areal konservasi yang dapat

menurunkan kamampuan tanah dalam menahan air. Hal tersebut dapat

memperbesar peluang terjadinya aliran permukaan dan erosi.

Dalam skala perkotaan, faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya banjir

adalah:

1. Topografi, kelandaian lahan sangat mempengaruhi timbulnya banjir terutama

pada lokasi dengan topografi dasar dan kemiringan rendah, seperti pada

kota-kota pantai. Hal in menyebabkan kota-kota-kota-kota pantai memiliki potensi/peluang

terjadinya banjir yang besar disamping dari ketersediaan saluran drainase yang

(21)

2. Areal terbangun yang luas biasanya pada kawasan perkotaan dengan tingkat

pembangunan fisik yang tinggi, sehingga bidang peresapan tanah semakin

mengecil.

3. Kondisi saluran drainase yang tidak memadai akibat pendangkalan,

pemeliharaan kurang, dan kesadaran penduduk untuk membuangan sampah

pada tempatnya masih belum memasyarakat (Utomo 2004).

2.2 Curah Hujan

Curah hujan adalah unsur iklim yang sangat dominan mempengaruhi

aliran permukaan dan erosi di darah tropis. Sifat hujan yang penting

mempengaruhi erosi dan sedimentasi adalah energi kinetik hujan yang merupakan

penyebab pokok dalam penghancuran agregat – agregat tanah (Hillel 1971).

Curah hujan merupakan salah satu komponen pengendali dalam sistem

hidrologi. Secara kuantitatif ada dua kharakteristik curah hujan yang penting,

yaitu jeluk (depth) dan distribusinya (distibution) menurut ruang (space) dan waktu (time). Pengukuran jeluk hujan di lapangan umumnya dilakukan dengan memasang penakar dalam jumlah yang memadai pada posisi yang mewakili

(representatif) (Arianty 2000, diacu dalam Utomo 2004).

Curah hujan dibatasi sebagai tinggi air hujan (dalam mm) yang diterima di

permukaan sebelum mengalami aliran permukaan, evaporasi dan

peresapan/perembesan ke dalam tanah. Jumlah hari hujan umumnya dibatasi

dengan jumlah hari dengan curah hujan 0,5 mm atau lebih. Jumlah hari hujan

dapat dinyatakan per minggu, dekade, bulan, tahun atau satu periode tanam (tahap

pertumbuhan tanaman). Intensitas hujan adalah jumlah curah hujan dibagi dengan

selang waktu terjadinya hujan (Handoko 1993).

Intensitas curah hujan netto (setelah diintersepsi oleh vegetasi) yang melebihi laju infiltrasi mengakibatkan air hujan akan disimpan sebagai cadangan

permukaan dalam tanah, apabila kapasitas cadangan permukaan terlampaui maka

akan terjadi limpasan permukaan (surface run-off) yang pada akhirnya terkumpul dalam aliran sungai sebagai debit sungai. Limpasan permukaan yang melebihi

kapasitas sungai maka kelebihan tersebut dikenal dengan istilah banjir (Suherlan

(22)

5

Sifat hujan yang berpengaruh terhadap aliran permukaan dan erosi adalah

jumlah, intensitas, dan lamanya hujan. Dari hal-hal tersebut yang paling erat

hubungannya dengan energi kinetik adalah intensitas. Kekuatan dan daya rusak

hujan terhadap tanah ditentukan oleh besar kecilnya curah hujan. Bila jumlah dan

intensitas hujan tinggi maka aliran permukaan dan erosi yang akan terjadi lebih

besar dan demikian juga sebaliknya (Wischmeier dan Smith 1978, diacu dalam

Utomo 2004).

Hujan yang jatuh ke bumi akan mengalami proses intersepsi, infiltrasi, dan

perlokasi. Sebagian hujan yang diintersepsi oleh tajuk tanaman menguap,

sebagian mencapai tanah dengan melalui batang sebagai aliran batang (streamfall) dan sebagian lagi mencapai tanah secara langsung yang disebut air tembus

(throughfall). Sebagian air hujan yang mencapai permukaan tanah terinfiltrasi dan terperkolasi ke dalam tanah (Utomo 2004).

Hujan selain merupakan sumber air utama bagi wilayah suatu DAS

(Daerah Aliran Sungai), juga merupakan salah satu penyebab aliran permukaan

bila kondisi tanah telah jenuh, maka air yang merupakan presipitasi dari hujan

akan dijadikan aliran permukaan. Sedangkan karakteristik hujan yang

mempengaruhi aliran permukaan dan distribusi aliran DAS adalah intensitas

hujan, lama hujan dan distribusi hujan di areal DAS tersebut (Arsyad 2000, diacu

dalam Primayuda 2006).

2.2.1. Klasifikasi Curah Hujan

Secara umum, Indonesia terbagi kedalam tiga pola iklim, yaitu:

1. Pola ekuatorial, yang ditandai dengan adanya dua puncak hujan dalam setahun. Pola ini terjadi karena letak geografis Indonesia yang dilewati DKAT

(Daerah Konvergensi Antar Tropik) dua kali setahun (Farida 1999, diacu

dalam Primayuda 2006). DKAT ini merupakan suatu daerah yang lebar

dengan suhu udara sekitarnya adalah yang tertinggi yang menyebabkan

tekanan udara di atas daerah itu rendah. Untuk keseimbangan, udara dari

daerah yang bertekanan tinggi bergerak ke daerah yang bertekanan rendah.

Gerakan ini diikuti pula dengan gerakan udara naik sebagai akibat pemanasan,

(23)

2. Pola musiman, yang ditandai oleh danya perbedaan yang jelas antara periode musim hujan dan musim kemarau. Umumnya musim hujan terjadi pada

periode Oktober – Maret dan kemarau pada periode April – September.

Cakupan wilayah yang terkena pengaruh pola iklim ini secara langsung adalah

35oLU sampai 250 LS dan 300 BB sampai 1700 BT.

3. Pola lokal, yang sangat dipengaruhi oleh kondisi geografi dan topografi setempat serta daerah sekitarnya. Umumnya daerah dengan pola lokal ini

mempunyai perbedaan yang jelas antara periode musim hujan dengan periode

musim hujan, namun waktunya berlawanan dengan pola musiman.

2.3 Debit Aliran Sungai

Asdak (1995) menjelaskan debit aliran sungai adalah jumlah air yang

mengalir pada suatu titik atau tempat persatuan waktu. Debit aliran dibangun oleh

empat komponen, yaitu limpahan langsung (direct run-off), aliran dalam satu aliran tertunda (interflow/delayed run-off), aliran bawah tanah atau aliran dasar (ground precipitation). Hujan yang turun pada suatu DAS terdistribusi menjadi keempat komponen tersebut sebelum menjadi aliran sungai. Aliran permukaan

merupakan penyumbang terbesar terhadap peningkatan volume aliran sungai

(Viessman et al.1977, diacu dalam Restiana 2004).

Subarkah (1980) menambahkan bahwa hal-hal yang mempengaruhi debit

sungai yaitu:

1. Meteorologis hujan (besarnya hujan, intensitas hujan, luas daerah hujan dan

distribusi musiman), suhu udara, kelembaban relatif dan angin.

2. Ciri-ciri DAS yaitu luas dan bentuk DAS, keadaan topografi, kepadatan

drainase, geologi (sifat-sifat tanah) evaluasi rata-rata dan keadaan umum DAS

(banyaknya vegetasi, perkampungan, darah pertanian, dan sebagainya).

2.4 Daerah Aliran Sungai (DAS)

Daerah aliran sungai atau disingkat DAS diartikan oleh Lepedes et al.

(1974), diacu dalam Utomo (2004) sebagai suatu daerah yang mengalirkan air ke

(24)

7

(1976), diacu dalam Utomo (2004) mendefinisikan DAS sebagai suatu hamparan

wilayah/kawasan yang dibatasi oleh pembatas topografi (punggung bukit) yang

menerima, mengumpulkan air hujan, sedimen dan unsur hara serta

mengalirkannya melalui anak-anak sungai dan keluar pada sungai utama ke laut

atau danau.

Secara makro, DAS terdiri dari unsur biotik (flora dan fauna), abiotik

(tanah, air, dan iklim), dan manusia, dimana ketiganya saling berinteraksi dan

saling ketergantungan membentuk suatu sistem hidrologi (Haridjaja 2000). DAS

merupakan ekosistem, dimana unsur organisme dan lingkungan biofisik serta

unsur kimia berinteraksi secara dinamis dan didalamnya terdapat keseimbangan

inflow dan outflow dari material dan energi. Selain itu pengelolaan DAS dapat disebutkan merupakan suatu bentuk pengembangan wilayah yang menempatkan

DAS sebagai suatu unit pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang secara umum

untuk mencapai tujuan peningkatan produksi pertanian dan kehutanan yang

optimum dan berkelanjutan (lestari) dengan upaya menekan kerusakan

seminimum mungkin agar distribusi aliran air sungai yang berasal dari DAS dapat

merata sepanjang tahun.

Berdasarkan pendapat dari berbagai pakar, dapat disimpulkan bahwa DAS

merupakan:

1. Suatu wilayah bentang alam dengan batas topografis

2. Suatu wilayah kesatuan hidrologi

3. Suatu wilayah ekosistem

Dengan demikian, DAS dapat didefinisikan sebagai suatu wilayah

kesatuan ekosistem yang dibatasi oleh pemisah topografis dan berfungsi sebagai

pengumpul, penyimpan, dan penyalur air, sedimen, dan unsur hara dalam sistem

sungai, keluar melalui suatu outlet tunggal. DAS juga berati suatu daerah dimana

setiap air yang jatuh ke darah tersebut akan dialirkan menuju ke satu outlet.

Dalam mempelajari ekosistem DAS, dapat diklasifikasikan menjadi daerah

hulu, tengah, dan hilir. DAS bagian hulu dicirikan sebagai daerah konservasi,

DAS bagian hilir merupakan daerah pemanfaatan. DAS bagian hulu mempunyai

arti penting terutama dari segi perlindungan fungsi tata air, karena itu setiap

(25)

dalam bentuk perubahan fluktuasi debit dan transportasi sedimen serta material

terlarut dalam sistem aliran airnya. Dengan perkataan lain ekosistem DAS, bagian

hulu mempunyai fungsi perlindungan terhadap keseluruhan DAS. Perlindungan

ini antara lain dari segi fungsi tata air dan oleh karenanya pengelolaan DAS hulu

seringkali menjadi fokus perhatian mengingat dalam suatu DAS, bagian hulu dan

hilir mempunyai keterkaitan biofisik melalui daur hidrologi.

Dalam rangka memberikan gambaran keterkaitan secara menyeluruh

dalam pengelolaan DAS, terlebih dahulu diperlukan batasan-batasan mengenai

DAS berdasarkan fungsi, yaitu pertama DAS bagian hulu didasarkan pada fungsi konservasi yang dikelola untuk mempertahankan kondisi lingkungan DAS agar

tidak terdegradasi, yang antara lain dapat diindikasikan dari kondisi tutupan

vegetasi lahan DAS, kualitas air, kemampuan menyimpan air (debit), dan curah

hujan. Kedua DAS bagian tengah didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai yang dikelola untuk dapat memberikan manfaat bagi kepentingan sosial dan

ekonomi, yang antara lain dapat diindikasikan dari kuantitas air, kualitas air,

kemampuan menyalurkan air, dan ketinggian muka air tanah, serta terkait pada

prasarana pengairan seperti pengelolaan sungai, waduk, dan danau. Ketiga DAS bagian hilir didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai yang dikelola untuk

dapat memberikan manfaat bagi kepentingan sosial dan ekonomi, yang

diindikasikan melalui kuantitas dan kualitas air, kemampuan menyalurkan air,

ketinggian curah hujan, dan terkait untuk kebutuhan pertanian, air bersih, serta

pengelolaan air limbah. Keberadaan sektor kehutanan di daerah hulu yang

terkelola dengan baik dan terjaga keberlanjutannya dengan didukung oleh

prasarana dan sarana di bagian tengah akan dapat mempengaruhi fungsi dan

manfaat DAS tersebut di bagian hilir, baik untuk pertanian, kehutanan maupun

untuk kebutuhan air bersih bagi masyarakat secara keseluruhan. Dengan adanya

rentang panjang DAS yang begitu luas, baik secara administrasi maupun tata

ruang, dalam pengelolaan DAS diperlukan adanya koordinasi berbagai pihak

(26)

9

2.5 Peta dan Pemetaan

Peta merupakan media untuk menyimpan dan menyajikan informasi

tentang rupa bumi dengan penyajian pada skala tertentu. Pemetaan adalah proses

pengukuran, perhitungan, dan penggambaran permukaan bumi (terminologi

geodesi) dengan menggunakan cara dan atau metode tertentu sehingga didapatkan

hasil berupa softcopy maupun hardcopy peta yang berbentuk vektor maupun raster (Wikipedia 2007).

Pembuatan peta adalah studi dan praktek membuat peta atau globe. Peta

secara tradisional sudah dibuat menggunakan pena dan kertas, tetapi munculnya

dan penyebaran komputer sudah merevolusionerkan kartografi. Banyak peta

komersial yang bermutu sekarang dibuat dengan perangkat lunak pembuatan peta

yang merupakan salah satu di antara tiga macam utama: CAD (desain berbantuan

komputer), GIS (Sistem Informasi Geografis), dan perangkat lunak ilustrasi peta

yang khusus. Peta yang dihasilkan dari perangkat lunak (software) komputer ini disebut peta digital (Wikipedia 2007).

Penggunaan peta digital pada dasarnya sama saja dengan peta biasa, hanya

wujudnya yang agak berbeda, dimana peta biasa hanya dapat digunakan dalam

bentuk lembaran atau helai sedangkan peta digital selain ada peta seperti halnya

peta biasa disertai data yang telah tersimpan dalam media perekam seperti

magnetik tape, disket, compact disc dan lain-lain sehingga sewaktu-waktu dapat

diedit dan dicetak kembali sesuai kebutuhan (Hadjarati 2007).

2.6 Identifikasi Kawasan Rawan Bencana Banjir

Identifikasi daerah rawan banjir dapat dibagi dalam tiga faktor yaitu faktor

kondisi alam, peristiwa alam, dan aktivitas manusia. Dari faktor-faktor tersebut

terdapat aspek-aspek yang dapat mengidentifikasi daerah tersebut merupakan

daerah rawan banjir.

2.6.1 Faktor Kondisi Alam

Beberapa aspek yang termasuk dalam faktor kondisi alam penyebab banjir

adalah kondisi alam (misalnya letak geografis wilayah), kondisi toporafi, geometri

(27)

ambang atau pembendungan alami pada ruas sungai), serta pemanasan global

yang menyebabkan kenaikan permukaan air laut.

1. Topografi

Daerah-daerah dataran rendah atau cekungan, merupakan salah satu

karakteristik wilayah banjir atau genangan.

2. Tingkat Permeabilitas Tanah

Permeabilitas atau daya rembesan adalah kemampuan tanah untuk dapat

melewatkan air. Air dapat melewati tanah hampir selalu berjalan linier, yaitu jalan

atau garis yang ditempuh air merupakan garis dengan bentuk yang teratur.

Permeabilitas diartikan sebagai kecepatan bergeraknya suatu cairan pada

media berpori dalam keadaan jenuh atau didefinisikan juga sebagai kecepatan air

untuk menembus tanah pada periode waktu tertentu. Permeabilitias juga

didefinisikan sebagai sifat bahan berpori yang memungkinkan aliran rembesan

dari cairan yang berupa air atau minyak mengalir lewat rongga porinya.

Daerah-daerah yang mempunyai tingkat permeabilitas tanah rendah,

mempunyai tingkat infiltrasi tanah yang kecil dan runoff yang tinggi. Daerah

Pengaliran Sungai (DAS) yang karakteristik di kiri dan kanan alur sungai

mempunyai tingkat permeabilitas tanah yang rendah, merupakan daerah potensial

banjir.

3. Kondisi Daerah Aliran Sungai

Daerah Aliran sungai (DAS) yang berbentuk ramping mempunyai tingkat

kemungkinan banjir yang rendah, sedangkan daerah yang memiliki DAS

berbentuk membulat, mempunyai tingkat kemungkinan banjir yang tinggi. Hal ini

terjadi karena waktu tiba banjir dari anak-anak sungai (orde yang lebih kecil) yang

hampir sama, sehingga bila hujan jatuh merata di seluruh DAS, air akan datang

secara bersamaan dan akhirnya bila kapasitas sungai induk tidak dapat

menampung debit air yang datang, akan menyebabkan terjadinya banjir di daerah

(28)

11

4. Kondisi Geometri Sungai

a. Gradien Sungai

Pada dasarnya alur sungai yang mempunyai perubahan kemiringan

dasar dari terjal ke relatif datar, maka daerah peralihan/pertemuan tersebut

merupakan daerah rawan banjir.

b. Pola Aliran Sungai

Pada lokasi pertemuan dua sungai besar, dapat menimbulkan arus balik

(back water) yang menyebabkan terganggunya aliran air di salah satu sungai, yang mengakibatkan kenaikan muka air (meluap). Pada saat hujan dengan

intensitas tinggi, terjadi peningkatan debit aliran sungai sehingga pada tempat

pertemuan tersebut debit aliran semakin tinggi, dan kemungkinan terjadi banjir.

c. Daerah Dataran Rendah

Pada daerah Meander (belokan) sungai yang debit alirannya cenderung lambat, biasanya merupakan dataran rendah, sehingga termasuk dalam klasifikasi

daerah yang potensial atau rawan banjir.

d. Penyempitan dan Pendangkalan Alur Sungai

Penyempitan alur sungai dapat menyebabkan aliran air terganggu, yang

berakibat pada naiknya muka air di hulu, sehingga daerah di sekitarnya termasuk

dalam klasifikasi daerah rawan banjir. Pendangkalan dasar sungai akibat

sedimentasi, menyebabkan berkurangnya kapasitas sungai yang menyebabkan

naiknya muka air di sekitar daerah tersebut.

2.6.2 Faktor Peristiwa Alam

Aspek-aspek yang menentukan kerawanan suatu daerah terhadap banjir

dalam faktor peristiwa alam adalah:

1. Curah hujan yang tinggi dan lamanya hujan

2. Air laut pasang yang mengakibatkan pembendungan di muara sungai

3. Air/arus balik (back water) dari sungai utama 4. Penurunan muka tanah (land subsidance)

5. Pembendungan aliran sungai akibat longsor, sedimentasi dan aliran lahar

(29)

2.6.3 Aktivitas Manusia

Faktor aktivitas manusia juga berpengaruh terhadap kerawanan banjir pada

suatu daerah tertentu. Aspek-aspek yang mempengaruhi diantaranya:

1. Belum adanya pola pengelolaan dan pengembangan dataran banjir

2. Permukiman di bantaran sungai

3. Sistem drainase yang tidak memadai

4. Terbatasnya tindakan mitigasi banjir

5. Kurangnya kesadaran masyarakat di sepanjang alur sungai

6. Penggundulan hutan di daerah hulu

7. Terbatasnya upaya pemeliharaan bangunan pengendali banjir

2.7 Sistem Informasi Geografi

Sistem informasi Geografi adalah suatu sistem informasi tentang

pengumpulan dan pengolahan data serta penyampaian informasi dalam koordinat

ruang, baik secara manual maupun digital. Data yang diperlukan merupakan data

yang mengacu pada lokasi geografis, yang terdiri dari dua kelompok, yaitu data

grafis dan data atribut. Data grafis tersusun dalam bentuk titik, garis, dan poligon.

Sedangkan data atribut dapat berupa data kualitatif atau kuantitatif yang

mempunyai hubungan satu-satu dangan data grafisnya (Barus et al. 2000).

Menurut ESRI (1999), Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah suatu alat

berbasis komputer untuk memetakan dan meneliti hal-hal yang ada dan terjadi di

muka bumi. Sistem Informasi Geografis mengintegrasikan operasi database

umum seperti query dan analisa statistik dengan visualisasi yang unik dan manfaat analisa mengenai ilmu bumi yang ditawarkan oleh peta. Kemampuan ini menjadi

penciri Sistem Informasi Geografis dari sistem informasi lainnya, dan sangat

berguna bagi suatu cakupan luas perusahaan swasta dan pemerintah untuk

menjelaskan peristiwa, meramalkan hasil, dan strategi perencanaan.

Menurut Barus dan Wiradisastra (2000), Sistem Informasi Geografis (SIG)

merupakan alat yang handal untuk menangani data spasial. Dalam SIG, data

dipelihara dalam bentuk digital. Sistem ini merupakan suatu sistem komputer

untuk menangkap, mengatur, mengintegrasi, memanipulasi, menganalisis dan

(30)

13

dalam 4 kelompok, yaitu: perangkat keras, perangkat lunak, organisasi

(manajemen), dan pemakai.

Sistem informasi geografi (SIG) pada saat ini sudah merupakan teknologi

yang dianggap biasa pada kalangan perencana atau kelompok-kelompok lain yang

berkecimpung dalam hal pemetaan sumberdaya. Dua dekade sebelum ini terjadi

juga pada Penginderaan Jauh (PJ) atau Remote Sensing, walaupun tidak secepat kepopuleran SIG. Kedua teknologi tersebut merupakan teknologi informasi atau

lebih spesifik lagi teknologi informasi spasial karena berkaitan dengan

pengumpulan dan pengolahan data spasial. (Barus et al. 2000)

2.8 Penerapan SIG untuk Identifikasi dan Pemetaan Kawasan Berpotensi Banjir

Kemampuan SIG dapat diselaraskan dengan Penginderaan Jauh.

Penginderaan Jauh adalah ilmu pengetahuan dan seni memperoleh informasi suatu

obyek, daerah, atau suatu fenomena melalui analisa data yang diperoleh dengan

suatu alat yang tidak berhubungan dengan obyek, daerah, atau fenomena yang

diteliti (Lillesland dan Kiefer 1994). Citra satelit merekam objek di permukaan

bumi seperti apa adanya di permukaan bumi, sehingga dari interpretasi citra dapat

diketahui kondisi penutupan/penggunaan lahan saat perekaman. Pada dasarnya,

teknologi berbasis satelit ini menyajikan informasi secara aktual dan akurat.

Teknik Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan

salah satu alternatif yang tepat untuk dijadikan sebagai penyedia informasi tentang

berbagai parameter faktor penyebab kemungkinan terjadinya bahaya banjir di

suatu daerah.

Dalam penerapan SIG, data-data yang diperlukan untuk pemetaan kawasan

rawan banjir diperoleh dari foto udara dan data sekunder, berupa peta-peta

tematik. Peta-peta tematik yang berbeda, baik yang diperoleh dari analisis

penginderaan jauh maupun cara lain dapat dipadukan untuk menghasilkan peta

turunan. Data-data yang terkumpul diolah untuk mendapatkan informasi baru

dengan menggunakan SIG melalui metode pengharkatan. Pada tahap pemasukan

data, yang diperlukan untuk penyusunan peta tingkat kerawanan banjir dapat

(31)

komputer, kemudian dilakukan pemasukan data atribut dan pemberian harkat.

Untuk memperoleh nilai kawasan rawan banjir dilalukan tumpang tepat peta-peta

tematik yang merupakan paramaeter lahan penentu rawan banjir, yaitu peta

kemiringan lereng, peta ketinggian, perta tanah, peta isohiet, dan peta penutupan

atau penggunaan lahan. Proses tumpang tepat peta dengan mengaitkan data

atributnya, melalui manipulasi dan analisa data. Pengolahan dan penjumlahan

harkat dari masing-masing parameter akan menghasilkan harkat baru yang berupa

nilai potensi rawan banjir. Kemudian dengan mempertimbangkan kriteria rawan

banjir, maka potensi banjir lahan tersebut dibagi kedalam kelas-kelas rawan banjir

(Utomo 2004).

Untuk kajian banjir, peta tematik hasil interpretasi citra dapat digabung

dengan peta-peta lainnya yang telah disusun dalam data dasar SIG melalui proses

digitasi. Peta-peta tersebut adalah peta kemiringan lereng, peta geologi, peta jenis

tanah, peta penutupan/penggunaan lahan, peta isohiet, dan peta-peta lain yang

berhubungan dengan terjadinya banjir. Melalui metode tumpang tepat dan

pengharkatan dengan SIG maka akan dihasilkan kelas-kelas rawan banjir. Hasil

dari kelas-kelas tersebut dipresentasikan dalam bentuk peta, sehingga dapat dilihat

distribusi keruangannya. Dari peta itu para pengguna dan pengambil keputusan

dapat memanfaatkan untuk mengatisipasi banjir di darah penelitian, sehingga

kerugian-erugian yang ditimbulkan dapat ditekan sekecil mungkin, atau bahkan

dieliminir (Utomo 2004).

2.9 Sistem Peringatan Dini (Early Warning System) Banjir

Sistem peringatan dini digunakan untuk memberikan informasi tentang

sesuatu hal yang akan terjadi, agar bisa memberikan peringatan sedini mungkin

untuk menghindari atau meminimalkan akibat yang akan ditimbulkan. Sistem

peringatan dini banjir sangat penting, karena: (1) intensitas dan keragaman hujan

menurut ruang dan waktu sangat tinggi sehingga banjir bisa terjadi secara

tiba-tiba, (2) hujan besar umumnya terjadi dari sore sampai malam hari. Sistem

penyampaian peringatan dini tentang banjir kepada masyarakat dapat dilakukan

melalui berbagai peralatan komunikasi seperti telepon, radio dan televisi (Grenti

(32)

15

BAB III

METODOLOGI

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan Juli 2007 sampai dengan Desember 2007

di Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas

Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Wilayah studi yang dikaji adalah wilayah

Daerah Aliran Sungai (DAS) Cisadane yang secara administratif berada di

Kabupaten Bogor dan Kotamadya Bogor (Jawa Barat) serta Kotamadya

Tangerang dan Kabupaten Tangerang (Banten).

Tabel 1 Tata waktu penelitian

No. Kegiatan Juli Agustus Sep Okt Nov Des

1. Pembuatan Proposal

2. Pengambilan Data

3. Pengolahan dan Analisis Data

4. Penyusunan Skripsi

5. Seminar Hasil

6. Sidang

3.2 Alat dan Bahan 3.2.1 Alat

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:

1. Perangkat keras (Hardware) : Seperangkat komputer/PC, Printer, Scanner,

kamera digital, dan GPS.

2. Perangkat lunak (software) : ArcView GIS 3.3, Erdas 8.5, dan Microsoft Excel 2003.

3.2.2 Bahan

Bahan-bahan yang diperlukan dalam penelitian ini antara lain:

1. Data curah hujan (periode 2001 – 2006) lokasi DAS Cisadane.

2. Peta dalam bentuk paper print/digital, yang terdiri dari:

a. Peta Tinjau Tanah Semi Detail lokasi penelitian 1 : 25.000

b. Peta Rupa Bumi lembar 1209skala 1 : 250.000

(33)

3.3Metode Penelitian

Metode penelitian berupa analisis parameter rawan banjir dengan

menggunakan Sistem Informasi Geografi yang dibagi ke dalam tahap-tahap utama

yaitu: pembangunan basis data dan analisis data, yang diawali dengan

pengumpulan data dan peta pendukung, studi pustaka, dan penelaahan data

skunder terutama yang berkaitan dengan kejadian banjir.

3.3.1 Analisis Faktor Penentu Daerah Rawan Banjir 3.3.1.1 Analisis Peta Rupa Bumi

Peta Rupa Bumi mempunyai banyak informasi seperti titik tinggi, kontur,

dan batas administrasi. Dari informasi-informasi tersebut dapat dilakukan analisis.

Analisis tersebut bertujuan untuk menghasilkan peta kelas lereng dan peta kelas

tinggi. Perangkat lunak yang digunakan adalah ArcView 3.3 dengan extensions 3D analyst dan Model Builder.

1. Pembuatan Peta Kelas Lereng

Sebelum membuat peta kelas lereng terlebih dahulu dibuat peta shapefile

berupa titik-titik yang mempunyai data atribut tinggi yang diperoleh dari digitasi

peta rupa bumi yang telah dikoreksi. Dari peta titik tinggi tersebut maka dapat

dibuat peta kontur. Peta kontur diubah menjadi Model Elevasi Digital (Digital Elevation Model/DEM) dengan metode TIN (Triangulated Irregular Network)

dengan memilih Surface-Create TIN from features kemudian memasukkan

interval kontur sebagai height source sehingga terlihat bentukan tiga dimensi dari topografi DAS Cisadane. Selanjutnya TIN dikonversi ke dalam bentuk Grid

(rasterisasi), yaitu proses transformasi data spasial yang berbentuk rangkaian titik, garis, dan poligon ke dalam bentuk susunan sel yang mempunyai nilai.

Setelah itu, dengan menggunakan operasi model builder – add process – terrain – slope, dilakukan klasifikasi/pengkelasan kemiringan lereng berdasarkan batasan nilai yang sudah ditetapkan. Selanjutnya, hasil klasifikasi tersebut diubah menjadi

bentuk vektor dengan mengkonversi ke dalam bentuk shapefile setelah dilakukan generalisasi.

2. Pembuatan Peta Kelas Tinggi

Pembuatan peta kelas tinggi menggunakan data vektor berupa titik/point

(34)

17

pakai adalah model builder – add process – data conversion – point interpolation.

Point interpolation inilah yang berfungsi menghitung daerah mana saja yang memiliki nilai tinggi yang sama sehingga dapat dilakukan klasifikasi kelas tinggi.

3.3.1.2 Analisis Peta Tinjau Tanah

Analisis peta Tinjau Tanah dilakukan untuk mempersiapkan peta tekstur

dan peta drainase tanah. Untuk membuat peta tekstur tanah dan drainase tanah

menggumakan metode digitasi on screen setelah terlebih dahulu melakukan

koreksi geometrik terhadap peta tinjau. Setelah dilakukan digitasi maka hasil

digitasi yang berupa peta vektor (shapefile)diberikan atribut sesuai legenda yang ada pada peta tinjau. Pada legenda tersebut terdapat keterangan tekstur dan

drainase tanah yang dapat dijadikan atribut pada peta vektor. Peta vektor yang

telah diberi atribut tersebut merupakan peta tekstur tanah dan peta drainase tanah.

3.3.1.3 Analisis Citra Landsat

Pada penelitian ini digunakan citra Landsat TM+7 Propinsi Jawa Barat dan

Banten tahun 2005. Secara umum analisis dilakukan dengan bantuan software

Erdas Imagine 8.5.

Gambar 1 Citra Landsat DAS Cisadane.

1. Koreksi Geometrik

Koreksi Geometrik dilakukan pada citra dengan mengidentifikasi Ground Control Points (GCP) atau titik-titik ikat yang mudah ditentukan seperti percababangan sungai atau perpotongan jalan. Nilai akurasi GCP ditunjukkan oleh

nilah Root Mean Square Error (RMS-error). RMS-error menyatakan nilai

Kab. Rangkasbitung Kab. Serang

Kab. Sukabumi

(35)

kesalahan dari proses koreksi geometrik. Akurasi yang baik ditunjukkan oleh nilai

RMS-error yang sangat kecil mendekati nol. Perhitungan RMS-error dengan menggunakan persamaan berikut:

Keterangan:

X dan Y = Koordinat citra asli (input) X dan y = Koordinat citra keluaran (output)

2. Penentuan Daerah Contoh (Training Site)

Pengambilan daerah contoh untuk penutupan/penggunaan lahan sangat

penting pada pengolahan citra landsat, terutama untuk klasifikasi terbimbing,

karena kualitas klasifikasi penutupan/penggunaan lahan akan ditentukan oleh

penentuan daerah contoh.

3. Klasifikasi Citra

Klasifikasi citra dilakukan dengan menggunakan pendekatan klasifikasi

terbimbing dengan metode klasifikasi kemiripan maksimum (Maximum

Likelihood Classification atau MLC). Klasifikasi bertujuan untuk mendapatkan kelas-kelas penggunaan/penutupan lahan. Klasifikasi ini dilakukan setelah

diperoleh daerah contoh (Training Site).

4. Ground Truth

Setelah dilakukan klasifikasi maka dilakukan pengukuran keakuratan

dengan melakukan ground truth, yaitu pengambilan titik-titik di lapangan/lokasi penelitian menggunakan GPS dengan memberikan data atribut pada titik tersebut

sesuai dengan keadaan sebenarnya di lapangan.

Ya

Tidak

Gambar 2 Diagram alir tahapan analisis Citra Landsat.

RMS-

error

=

(Xx)+(Yy)

Peta Penutupan Lahan

Koreksi Geometri Penentuan Training Site Klasifikasi

Terbimbing

Akurasi

(36)

19

3.3.1.4. Analisis Data Curah Hujan

Analisis data curah hujan terdiri dari beberapa tahapan yaitu:

1. Pengumpulan Data Hujan

Pencarian dilakukan di instansi yang terkait dengan data hujan, yaitu

Badan Meteorologi dan Geofisika. Data curah hujan yang terkumpul berupa data

curah hujan tahunan (2001-2006) yang meliputi: (1) jumlah curah hujan dan (2)

hari hujan. Data tersebut berasal dari stasiun – stasiun penakar hujan yang ada di

wilyah DAS Cisadane.

Nilai curah hujan rata-rata tahunan dihitung dengan menggunakan

persamaan sebagai berikut:

Keterangan:

X = Curah hujan rata-rata tahunan

Ri = Curah hujan tahunan untuk tahun ke-i

N = Jumlah tahun data curah hujan yang digunakan untuk membuat peta curah

hujan

2. Pembuatan peta curah hujan

Terdapat dua metode yang umumnya digunakan untuk membuat peta

curah hujan yaitu metode poligon Thiessen dan model interpolasi titik. Metode

tersebut adalah:

a. Metode Poligon Thiessen

Poligon Thiessen mendefinisikan individu area yang dipengaruhi oleh

sekumpulan titik yang terdapat di sekitarnya. Poligon ini merupakan pendekatan

terhadap informasi titik yang diperluas (titik menjadi poligon) dengan asumsi

bahwa informasi yang terbaik untuk semua lokasi yang tanpa pengamatan adalah

informasi yang terdapat pada titik terdekat dimana hasil pengamatannya diketahui

(Aronoff, 1989 diacu dalam Primayuda 2006). Garis didefinisikan pada jarak

equidistan antara dua titik yang berdampingan (Barus 2005). b. Metode Interpolasi Titik

Prosesnya Metode Interpolasi Titik menggunakan ArcView 3.3 dengan

extensions model builder. Interpolasi titik merupakan prosedur untuk menduga

n

X =

Ri/n

(37)

nilai-nilai yang tidak diketahui dengan menggunakan nilai yang diketahui pada

lokasi yang berdekatan. Titik-titik yang berdekatan tersebut dapat berjarak teratur

atau tidak.

3.3.1.5Pembuatan Peta Buffer Sungai

Buffer sungai adalah suatu daerah yang mempunyai lebar tertentu yang digambarkan di sekeliling sungai dengan jarak tertentu. Buffer sungai dibuat berdasarkan logika dan pengetahuan mengenai hubungan sungai dan kejadian

banjir. Dengan asumsi semakin dekat dengan sungai, maka peluang untuk

terjadinya banjir lebih tinggi.

Peta buffer sungai dibuat berdasarkan zona buffer sungai yang dihasilkan dari pengkelasan tingkat kerawanan banjir suatu wilayah berdasarkan jarak

dengan sungai. Kegiatan ini dilakukan dengan menggunakan operasi Theme –

create buffer. Batas buffer berdasarkan kriteria yang telah ditentukan berdasarkan perkiraan tingkat kerawanan daerah dekat sungai terhadap banjir.

3.3.2 Analisis Data

Tahap analisis data dibagi menjadi dua bagian, yaitu analisis keruangan

dan analisis atribut. Analisis – analisis tersebut mempunyai fungsi-fungsi

masing-masing dalam pembuatan peta kerawawan banjir.

3.3.2.1 Analisis Keruangan

Analisis keruangan adalah analisis yang berhubungan dengan data berupa

data vektor maupun raster. Dimana masing – masing data tersebut di analisis

untuk menghasilkan data yang diinginkan.

1. Klasifikasi/ Reklasifikasi

Digunakan untuk mengklasifikasikan atau reklasifikasi data spasial atau

data atribut menjadi data spasial baru dengan memakai kriteria tertentu, untuk

mempermudah dalam proses analisis selanjutnya.

2. Overlay

Analisis ini merupakan hasil interaksi atau gabungan dari beberapa peta.

Overlay berupa peta tersebut akan menghasilkan suatu informasi baru dalam bentuk luasan atau poligon yang terbentuk dari irisan beberapa poligon dari peta –

(38)

21

3. Buffer

Analisis ini digunakan untuk membatasi suatu wilayah dengan lebar

tertentu yang digambarkan di sekeliling titik, garis, atau poligon dengan jarak

tertentu.

3.3.2.2Analisis Atribut

Dua proses paling penting dalam analisis data yaitu pengskoran dan

pembobotan. Dua proses tersebut dilakukan setelah proses klasifikasi nilai dalam

tiap parameter. Setelah kedua proses tersebut selesai, dilanjutkan dengan tahap

analisis tingkat kerawanan banjir.

1. Pengskoran

Pengskoran dimaksudkan sebagai pemberian skor terhadap masing-masing

kelas dalam tiap parameter. Pemberian skor ini didasarkan pada pengeruh kelas

tersebut tehadap banjir. Semakin tinggi pengeruhnya terhadap banjir, maka skor

yang diberikan akan semakin tinggi.

a. Pemberian Skor Kelas Kemiringan

Kemiringan lahan semakin tinggi maka air yang diteruskan semakin

tinggi. Air yang berada pada lahan tersebut akan diteruskan ke tempat yang lebih

rendah semakin cepat, dibandingkan lahan yang kemiringannya rendah (landai).

Sehingga kemungkinan terjadi penggenangan atau banjir pada daerah yang derajat

kemiringan lahannya tinggi semakin kecil (Tabel 2).

Tabel 2 Skor untuk kelas kemiringan lahan

No Kelas Skor

6 Berbukit curam/terjal (>45%) 0

Sumber: Primayuda (2006)

b. Pemberian Skor Kelas Tinggi

Kelas ketinggian mempunyai pengaruh terhadap terjadinya banjir.

Berdasarkan sifat air yang mengalir mengikuti gaya gravitasi yaitu mengalir dari

daerah tinggi ke daerah rendah. Dimana daerah yang mempunyai ketinggian yang

(39)

ketinggian rendah lebih berpotensi besar untuk terjadinya banjir. Pemberian skor

pada kelas ketinggian yang lebih tinggi lebih kecil daripada skor untuk kelas

ketinggian yang rendah.

Tabel 3 Skor untuk kelas tinggi

No Kelas Skor

c. Pemberian Skor Kelas Tekstur Tanah

Tanah dengan tekstur sangat halus memiliki peluang kejadian banjir yang

tinggi, sedangkan tekstur yang kasar memiliki peluang kejadian banjir yang

rendah. Hal ini disebabkan semakin halus tekstur tanah menyebabkan air aliran

permukaan yang berasal dari hujan maupun luapan sungai sulit untuk meresap ke

dalam tanah, sehingga terjadi penggenangan. Berdasarkan hal tersebut, maka

pemberian skor untuk daerah yang memiliki tekstur tanah yang semakin halus

semakin tinggi (Tabel 3).

Tabel 4 Skor untuk kelas tekstur tanah

No Kelas Skor

Sumber: Primayuda (2006)

d. Pemberian Skor Kelas Permeabilitas (Drainase) Tanah

Drainase tanah yang terhambat memiliki peluang kejadian banjir yang

tinggi disebabkan aliran air tidak dapat meresap ke dalam permukaan tanah

dengan lancar sehingga berpotensi menimbulkan terjadinya genangan. Sebaliknya

(40)

23

Tabel 5 Skor untuk kelas drainase tanah

No Kelas Skor

Sumber: Nurjanah (2005) (Modifikasi)

e. Pemberian Skor Kelas Penutupan Lahan

Penggunaan lahan akan mempengaruhi kerawanan banjir suatu daerah.

Penggunaan lahan akan berperan pada besarnya air limpasan hasil dari hujan yang

telah melebihi laju infiltrasi. Daerah yang banyak ditumbuhi oleh pepohonan akan

sulit mengalirkan air limpasan. Hal ini disebabkan besarnya kapasitas serapan air

oleh pepohonan dan lambatnya air limpasan mengalir disebabkan tertahan oleh

akar dan batang pohon, sehingga kemungkinan banjir lebih kecil daripada daerah

yang tidak ditanami oleh vegetasi (Tabel 6).

Tabel 6 Skor untuk kelas penutupan lahan

No Kelas Skor

1 Sawah, tanah terbuka 9

2 Pertanian lahan kering, permukiman 7

3 Semak, belukar, alang-alang 5

4 Perkebunan 3

5 Hutan 1

6 Awan dan bayangan awan 1

Sumber: Primayuda (2006)

f. Pemberian Skor Kelas Curah Hujan

Daerah yang mempunyai curah hujan yang tinggi akan lebih

mempengaruhi terhadap kejadian banjir. Berdasarkan hal tersebut, maka

pemberian skor untuk daerah curah hujan tersebut semakin tinggi. pemberian skor

kelas curah hujan dibedakan berdasarkan jenis data curah hujan tahunan, dimana

data curah hujan dibagi menjadi lima kelas (Tabel 7).

Tabel 7 Skor untuk kelas curah hujan

(41)

g. Pengskoran Kelas Buffer Sungai

Semakin dekat jarak suatu wilayah dengan sungai, maka peluang untuk

terjadinya banjir semakin tinggi. Oleh karena itu, pemberian skor akan semakin

tinggi dengan semakin dekatnya jarak dengan sungai (Tabel 8).

Tabel 8 Skor untuk kelas buffer sungai

No Kelas Jarak Buffer Skor

Pembobotan adalah pemberian bobot pada peta digital terhadap masing –

masing parameter yang berpengaruh terhadap banjir. Makin besar pengaruh

parameter terhadap kejadian banjir maka bobot yang diberikan semakin tinggi

(Tabel 9).

Tabel 9 Bobot parameter penyebab banjir

No Parameter Bobot

1 Kemiringan lahan 0,20

2 Kelas ketinggian 0,10

3 Tekstur tanah 0,20

3 Permeabilitas (Drainase) tanah 0,10

4 Curah hujan 0,15

5 Penggunaan lahan 0,15

6 Buffer sungai 0,10

Sumber: Primayuda (2006) (Modifikasi)

3. Analisis Tingkat Kerawanan dan Resiko Banjir

Analisis ini ditujukan untuk penentuan nilai kerawanan dan resiko sutu

daerah terhadap banjir. Nilai kerawanan suatu daerah tehadap banjir ditentukan

dari total penjumlahan skor seluruh parameter yang berpengaruh tehadap banjir.

Nilai kerawanan ditentukan dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:

(42)

25

Menurut Kingma (1991) untuk menetukan lebar interval masing-masing

kelas dilakukan dengan membagi sama banyak nilai-nilai yang didapat dengan

jumlah interval kelas yang ditentukan dengan persamaan sebagai berikut:

Keterangan:

i = Lebar interval

R = Selisih skor maksimum dan skor minimum

n = Jumlah kelas kerawanan banjir

Daerah yang sangat rawan terhadap banjir akan mempunyai total nilai

yang tinggi dan sebaliknya daerah yang tidak rawan terhadap banjir akan

mempunyai total nilai yang rendah. Dari tabel 10 menunjukkan tingkat kerawanan

banjir berdasarkan nilai kerawanan penjumlahan skor masing-masing parameter

banjir.

Tabel 10 Nilai tingkat kerawanan banjir

No Tingkat Kerawanan Banjir Total Nilai

1 Sangat rawan 6,75 – 9

2 Rawan 4,5 – 6,75

3 Tidak Rawan 2,25 – 4,5

4 Aman < 2,25

Masing-masing kelas kerawanan banjir tersebut mempunyai kharakteristik

Banjir yang dapat dilihat berdasarkan frekuensi, durasi, dan kedalaman kejadian

banjir. (Tabel 11)

Tabel 11 Nilai kharakteristik kerawanan banjir

Kharakteristik Banjir

No. Kelas Kerawanan

Frekuensi Durasi Kedalaman (m)

1 Aman Tidak pernah banjir - -

2 Tidak Rawan/ Rendah 1 – 2 tahun - -

3 Rawan/Sedang 1 – 2 tahun 1 – 2 hari 0,5 – 1.0

4 Sangat Rawan/Tinggi Setiap tahun 2 – 15 hari 0,5 – 3.0

Sumber: Nurjanah (2005) dan Primayuda (2006)

(43)

BAB IV

KONDISI UMUM DAS CISADANE

4.1 Kondisi Biofisik DAS Cisadane 4.1.1 Bentuk dan Luas Wilayah DAS

Secara umum daerah aliran sungai Cisadane terdapat pada 2 wilayah

administrasi, yaitu Kabupaten Bogor dan Kota Bogor (Provinsi Jawa Barat) serta

Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang (Provinsi Banten). Melihat kawasan

yang dilalui oleh sungai Cisadane dan beberapa anak sungai yang bermuara pada

sungai ini, maka pengelolaan dan pemanfaatan sungai tersebut menjadi sangat

penting dan strategis terutama dalam pemanfaatan sumberdaya air serta lahan

sekitarnya.

Gambar 3 Peta Administrasi DAS Cisadane.

Secara geografis DAS Cisadane terletak diantara 6º02’ sampai 6º54’ LS

dan 106º 17’ sampai Bujur Timur. DAS Cisadane dibatasi oleh sub DAS

Cimanceuri di sebelah barat dan DAS Ciliwung di sebelah timur. Sungai Cisadane

berhulu di Gunung Salak dan Gunung Pangrango, Kabupaten Bogor (Propinsi

Jawa Barat) dan mengalir ke arah Utara melalui Kotamadya dan Kabupaten

Tangerang (Propinsi Banten) dan bermuara di Laut Jawa. Sungai Cisadane

mempunyai anak-anak sungai antara lain Cikaniki, Cianten, Cibeber, Ciampea,

dan sebagainya. Kab. Rangkasbitung

Kab. Serang

Kab. Sukabumi

(44)

27

Luas DAS Cisadane dari hulu sampai Teluk Naga adalah sekitar

148682,68 Ha. DAS ini melingkupi Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kota

Tangerang dan Kabupaten Tangerang yang di bagi menjadi tiga segmen yakni :

1. Bagian hulu DAS Cisadane seluas 112093,50 Ha sebagian besar termasuk

wilayah Kabupaten Bogor (Kecamatan Nanggung, Leuwiliang, Pamijahan,

Cibungbulang, Ciampea, Cijeruk, Ciawi, Kemang, Parung, Gunung

Sindur, Rumpin, Cigudeg, Dramaga dan Ciomas) dan sebagian kecil Kota

Bogor (Kecamatan Bogor Barat dan Bogor Selatan) serta sebagian kecil

kecamatan di Kabupaten Sukabumi (Cibadak, Lebak, Cicurug,

Kabandungan, Cidahu, Cibeber, Kadudampit, dan Nagrak)

2. Bagian tengah DAS Cisadane seluas 20264,68 Ha termasuk wilayah

Kabupaten Tangerang (Kecamatan Curug, Legok, Serpong, dan Batu

Ceper, dan Pedegangan), Kota Tangerang (Kecamatan Cipondoh,

Jatiuwung, dan Tangerang).

3. Bagian hilir seluas 16324,50 Ha termasuk wilayah administrasi

pemerintahan Kabupaten Tangerang, yang terdiri dari wilayah Kecamatan

Mauk, Sepatan, Teluk Naga, Paku Haji, Benda, dan Kosambi

4.1.2 Karakteristik Iklim

Ikilm Daerah Aliran Sungai Cisadane bervariasi menurut segmen hulu,

tengah dan hilir. Namun data yang diperoleh hanya menjelaskan karakteristik

bagian hulu yaitu Curah hujan yang terjadi berkisar antara 81 – 526 mm/bln.

Dengan bulan basah terjadi selama 11 bulan antara bulan September hingga Juli

dan bulan terbasah terjadi pada bulan Desember. Bulan lembab terjadi pada bulan

Agustus.

Menurut klasifikasi iklim Schmidth-Ferguson, DAS Cisadane bagian hulu

digolongkan kedalam tipe A, yaitu daerah basah dengan vegetasi hutan hujan

tropis. Sedangkan menurut klasifikasi Oldeman digolongkan kedalam tipe A1,

yaitu sesuai untuk Padi terus menerus, tetapi produksi kurang karena pada

umumnya kerapatan fluks surya radiasi surya rendah sepanjang tahun.

4.1.3 Karakteristik Topografi

DAS Cisadane mempunyai topografi yang bervariasi dari datar hingga

(45)

merupakan daerah datar dengan kemiringan antara 0 – 8%. Daerah bertopografi

datar hinga landai terdapat pada bagian utara (hilir) hingga tengah.

DAS Cisadane wilayah hulu mempunyai ciri sungai pegunungan yang

berarus deras, banyak tebing curam dengan dasar batuan pasir, berkerikil dan alur

sungai yang berkelok-kelok, mempunyai hidrograf aliran dengan puncak-puncak

yang tajam waktu menaik (rising stage) dan menurun (falling stage). Di DAS Cisadane wilayah tengah banyak dijumpai galian pasir dan kerikil, arus air yang

deras menggerus tepi sungai di berbagai kelokan sehingga memperlebar badan

sungai. DAS Cisadane wilayah hilir yang mempunyai topografi datar (0-3%),

aliran sungainya semakin lambat.

4.1.4 Tanah dan Geologi

Berdasarkan Peta Tanah Tinjau Jawa Barat BRLKT Ciliwung-Citarum

skala 1:250.000 penyebaran jenis tanah pada DAS Cisadane dapat dijelaskan

dengan membagi DAS Cisadane menjadi tiga, yaitu:

1. Wilayah hulu, dimulai dari Gunung Salak sampai Batu Beulah, Kabupaten Bogor. Daerah Gunung Salak sebagian daerah puncak dengan ketinggian

+2500 m didominasi oleh tanah-tanah Andosol dengan bahan induk dari abu

volkan intermedier hingga basis. Sedangkan di bagian lembah berkembang

tanah-tanah angkutan dari Gunung Salak seperti regosol dan lateritik. Pada

bagian sepanjang aliran Sungai Cisadane berkembang tanah aluvial yang

terbentuk karena adanya pengendapan tanah yang terangkut oleh aliran sungai

dangan bahan induk berupa endapan liat dan pasir.

2. Wilayah tengah, dimulai dari Batu Beulah hingga Pasar Baru, Tangerang. Pada wilayah ini didominasi oleh tanah-tanah telah berkembang lanjut, seperti

latosol dan lateritik dengan bahan induk tuf vulkan intermedier yang berasal

dari Gunung Salak. Tetapi pada sepanjang Sungai Cisadane tetap berbentuk

aluvial yang berasal dari endapan Sungai Cisadane dengan bahan induk

endapan liat dan pasir.

3. Wilayah hilir, dimulai dari Pasar Baru, Kabupaten Tangerang hingga muara Sungai Cisadane. Wilayah ini penyebaran jenis tanah lebih didominasi oleh

tanah aluvial dengan bahan induk endapan liat hingga pasir. Hal ini didukung

(46)

29

yang terbawa aliran sungai akan diendapkan. Macam tanah terbentuk meliputi

aluvial coklat kekelabuan, aluvial kelabu, dan aluvial hidromorf.

4.1.5 Jaringan Sungai

Sungai Cisadane memiliki hulu di kawasan Sukabumi. Beberapa anak

Sungai Cikaniki di bagian barat, Sungai Cianten dan Cihideung di bagian tengah

dan Sungai Ciapus di bagian timur. Disamping itu masih ada beberapa sungai

kecil lain yang bermuara baik langsung ke Sungai Cisadane maupun pada

anak-anak sungainya, karena itu kawasan hulu Sungai Cisadane ini meliputi kawasan

yang sangat luas sehingga aliran Cisadane merupakan kumulatif dari seluruh

sungai-sungai tersebut.

4.2 Karakteristik Sosial Ekonomi Masyarakat 4.2.1 Kepadatan Penduduk

Berdasarkan data jumlah penduduk dan kepadatan penduduk setiap

kecamatan di seluruh DAS Cisadane terlihat bahwa kepadatan terbesar berada

pada daerah kecamatan – kecamatan yang terdapat pada segmen tengah dari DAS

Cisadane. Sedangkan segmen hulu masih memiliki kepadatan yang relatif rendah

meskipun pada beberapa titik masih terdapat pemukiman yang padat terutama

pada daerah perkotaan.

4.2.2Kegiatan Ekonomi dan Ketergantungan Pada Lahan

Sungai Cisadane merupakan sarana yang penting bagi masyarakat karena

sebagian besar air sungai dimanfaatkan untuk keperluan sumber baku air minum,

air baku industri, irigasi/pertanian, perikanan dan juga dimanfaatkan untuk

keperluan rumah tangga (MCK), serta rekreasi dan pariwisata, Selain itu sungai

Cisadane juga berfungsi sebagai sungai pembuang/sarana penampungan air

limbah dari buangan rumah tangga (limbah penduduk), limbah industri, limbah

pertanian dan limbah peternakan, Jumlah kegiatan perekonomian DAS Cisadane

(47)

Tabel 12 Luas, jumlah, dan kepadatan penduduk di DAS Cisadane

Kosambi 3666,59 2,47 47813 3267

Sepatan 3180,60 2,14 132659 3727

Hilir

Benda 1053,61 0,71 - -

Batu Ceper 1744,32 1,17 81293 7020

Curug 2884,15 1,94 217743 5315

Serpong 4181,11 2,81 170329 3896

Padegangan 7063,71 4,75 - -

Kabupaten Tangerang

Legok 1,78 0,00 104375 2542

Jatiuwung 1411,89 0,95 124900 8668

Cipondoh 2621,86 1,76 146540 8182

Tengah

Kota Tangerang

Tangerang 266,52 0,18 122043 7752

Gunung

Sindur 3643,05 2,45

66800 1369

Rumpin 10053,41 6,76 98271 1218

Parung 6546,58 4,40 69692 2901

Cigudeg 5628,42 3,79 104376 683

Kemang 2816,00 1,89 69945 2703

Pamijahan 12279,19 8,26 113548 1404

Ciampea 7045,08 4,74 109516 3386

Leuwiliang 10867,35 7,31 89197 1564

Dramaga 3488,41 2,35 75853 3153

Nanggung 19090,44 12,84 72970 1024

Ciomas 5426,84 3,65 100521 2749

Ciawi 7560,72 5,09 66958 2659

Cijeruk 8356,73 5,62 61884 1695

Megamendung 679,75 0,46 - -

Total 148682,68 100,00

(48)

31

Tabel 13 Kegiatan perekonomian DAS Cisadane per segmen

No. Kegiatan Ekonomi Satuan Hulu Tengah Hilir

1 Penduduk Orang 1.377.986 845.180 246.3353

Penggunaan Lahan Ha 988,45 540,85 5527,08

Sawah Ha 1434,31 - -

Ladang Ha 78050,71 3866,34 448,65

Kebun campuran Ha 12966,52 16647,02 63,39

Perkebunan Ha - 897,18 -

2

Kolam/tambak Ha - - 2069.812

Ternak: Ekor 19465 - -

a. Sapi/Kerbau Ekor 116540 159 -

b. Kambing/ Domba Ekor 7162414 2847 -

3

c. Ayam/Itik Ekor 939 63884 -

4 Pasar - - 1,663 -

Industri: - 29 - -

a. Makanan &Minuman - - 37 10

b. Pulp & Kertas - 15 - -

c. Bahan Kimia Industri &

Karet - 34 106 12

5

d.Tekstil - - 59 2

Gambar

Tabel 1 Tata waktu penelitian
Gambar 1 Citra Landsat DAS Cisadane.
Gambar 2 Diagram alir  tahapan analisis Citra Landsat.
Tabel 3 Skor untuk kelas tinggi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kemampuan citra Quickbird untuk menyadap parameter fisik lahan yang mempengaruhi tingkat kerawanan banjir, mengkaji hubungan

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kemampuan citra Quickbird untuk menyadap parameter fisik lahan yang mempengaruhi tingkat kerawanan banjir, mengkaji hubungan

faktor – faktor yang mempengaruhi tingkat kerentanan terhadap bencana banjir rob pada 6 kelurahan di Kawasan Pantai Utara Surabaya.. dilakukan menggunakan

Terdapat 12 parameter yang digunakan dalam pembuatan peta kerawanan banjir sub-DAS Gunting yang terlihat pada Gambar 3 dan Gambar 4, yaitu parameter peta elevasi, peta kemiringan lereng

SIMPULAN Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan maka kesimpulan berdasarkan tujuan dari penelitian ini adalah tingkat kerawanan banjir di DAS Batu Merah, zona kawasan banjir

Hasil validasi menunjukkan bahwa seluruh kecamatan yang disebutkan dalam Peta Wilayah Siaga Darurat Bencana merupakan daerah yang memiliki tingkat kerawanan banjir ’Sangat Rawan’ pada

Hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah memperoleh gambaran mengenai Peta Daerah Rawan Banjir Menggunakan Metode Height Above Nearest Drainage HAND di DAS Karang Mumus,

Dengan menggunakan teknologi geospasial yakni Sistim Informasi Geografis SIG kita dapat memodelkan dan memetakan bahaya banjir di suatu wilayah berdasarkan factor-faktor penyebab