BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit Paru Obstruksi Kronik ( PPOK ) adalah suatu penyakit yangditandai dengan adanya obstruksi aliran udara yang disebabkan oleh bronkitiskronis atau empisema. Obstruksi aliran udara pada umumnya progresif kadang diikuti oleh hiperaktivitas jalan nafas dan kadangkala parsialreversibel, sekalipun empisema dan bronkitis kronis harus didiagnosa dandirawat sebagai penyakit khusus, sebagian besar pasien PPOK mempunyaitanda dan gejala kedua penyakit tersebut.
Sekitar 14 juta orang Amerika terserang PPOK dan Asma sekarang menjadi penyebab kematian keempat diAmerika Serikat. Lebih dari 90.000 kematian dilaporkan setiap tahunnya.Rata-rata kematian akibat PPOK meningkat cepat, terutama pada penderitalaki-laki lanjut usia. Angka penderita PPOK di Indonesia sangat tinggi.Banyak penderita PPOK datang ke dokter saat penyakit itu sudahlanjut. Padahal, sampai saat ini belum ditemukan cara yang efisien dan efektif untuk mendeteksi PPOK. Menurut Dr Suradi, penyakit PPOK di Indonesiamenempati urutan ke-5 sebagai penyakit yang menyebabkan kematian.Sementara data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, pada tahun 2010 penyakit ini menempati urutan ke-4 sebagai penyebab kematian.
Oleh karena itu penyakit PPOK haruslah mendapatkan pengobatanyang baik dan terutama perawatan yang komprehensif, semenjak serangansampai dengan perawatan di rumah dan yang lebih penting pula untuk pasien dengan pasien PPOK adalah tindakan perawatan untuk memberikan pengetahuan dan pendidikan kepada pasien dankeluarga tentang perawatan dan pencegahan serangan berulang pada pasien PPOK di rumah. Hal ini diperlukan perawatan yang komprehensif dan paripurna saat di Rumah Sakit
1.1 Tujuan Penulisan a. Tujuan Umum
Mampu menyusun dan memahami konsep asuhan keperawatan pada gangguan respirasi pada dewasa dan lansia.
b. Tujuan Khusus
Mampu menyusun dan memahami konsep asuhan keperawatan PPOK pada pasien lansia.
1.2 Manfaat Penulisan
Hasil dari pendiskusian dan penulisan makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada semua pihak, khususnya mahasiswa unttuk menambah pengetahuan dan wawasan tentang asuhan keperawatan PPOK pada pasien lansia.
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Konsep Dasar Penyakit 2.1.1 Definisi PPOK
Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) bukanlah penyakit tunggal, tetapi merupakan satu istilah yang merujuk kepada penyakit paru kronis yang mengakibatkan gangguan pada sistem pernafasan. Secara klinis, bronkitis kronik didefinisikan sebagai manifestasi batuk kronik yang produktif selama 3 bulan sepanjang dua tahun berturut-turut. Sementara emfisema didefinisikan sebagai pembesaran alveolus di hujung terminal bronkiol yang permanen dan abnormal disertai dengan destruksi pada dinding alveolus serta tanpa fibrosis yang jelas. The Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) guidelines mendefinisikan PPOK sebagai penyakit yang ditandai dengan gangguan pernafasan yang ireversibel, progresif, dan berkaitan dengan respon inflamasi yang abnormal pada paru akibat inhalasi partikel-partikel udara atau gas-gas yang berbahaya (Kamangar, 2010).
Penyakit paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan suatu istilah yang digunakan untuk sekelompok penyakit paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran patofisiologi utamanya. Bronchitis kronik, emfisema paru dan asma bronchial, pneumonia membentuk kesatuan yang disebut PPOK.
2.1.2 Gejala-gejala PPOK
Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) sering dikaitkan dengan gejala eksaserbasi akut dimana kondisi pasien mengalami perburukan dari kondisi sebelumnya dan bersifat akut. Eksaserbasi akut ini dapat ditandai dengan gejala yang khas, seperti sesak nafas yang semakin memburuk, batuk produktif dengan perubahan volume atau purulensi sputum atau dapat juga memberikan gejala yang tidak khas seperti malaise, kelelahan dan gangguan tidur. Gejala klinis PPOK eksaserbasi akut ini
dapat dibagikan menjadi dua yaitu gejala respirasi dan gejala sistemik. Gejala respirasi berupa sesak nafas yang semakin bertambah berat, peningkatan volume dan purulensi sputum, batuk yang semakin sering, dan nafas yang dangkal dan cepat. Gejala sistemik ditandai dengan peningkatan suhu tubuh, peningkatan denyut nadi serta gangguan status mental pasien (Riyanto, Hisyam, 2006).
Diagnosis PPOK dipertimbangkan apabila pasien mengalami gejala batuk, sputum yang produktif, sesak nafas, dan mempunyai riwayat terpajan faktor risiko. Diagnosis memerlukan pemeriksaan spirometri untuk mendapatkan nilai volume forced expiratory maneuver (FEV 1) dan force vital capacity (FVC). Jika hasil bagi antara FEV 1 dan FVC kurang dari 0,7, maka terdapat pembatasan aliran udara yang tidak reversibel sepenuhnya (Fahri, Sutoyo, Yunus, 2009).
2.1.3 Faktor- faktor Risiko PPOK a. Merokok
Prevalansi merokok yang tinggi di kalangan pria menjelaskan penyebab tingginya prevalensi PPOK dikalangan pria. Sementara prevalensi PPOK dikalangan wanita semakin meningkat akibat peningkatan jumlah wanita yang merokok dari tahun ke tahun (Reily, Edwin, Shapiro, 2008).
PPOK berkembang pada hampir 15% perokok. Umur pertama kali merokok, jumlah batang rokok yang dihisap dalam setahun, serta status terbaru perokok memprediksikan mortalitas akibat PPOK. Individu yang merokok mengalami penurunan pada FEV1 dimana kira-kira hampir 90% perokok berisiko menderita PPOK (Kamangar, 2010).
Second-hand smoker atau perokok pasif berisiko untuk terkena infeksi sistem pernafasan, dan gejala-gejala asma. Hal ini mengakibatkan penurunan fungsi paru (Kamangar, 2010). Pemaparan asap rokok pada anak dengan ibu yang merokok menyebabkan penurunan pertumbuhan paru anak. Ibu hamil yang terpapar dengan asap rokok juga dapat menyebabkan penurunan fungsi dan perkembangan paru janin semasa gestasi.
b. Hiperesponsif saluran pernafasan
Menurut Dutch hypothesis, asma, bronkitis kronik, dan emfisema adalah variasi penyakit yang hampir sama yang diakibatkan oleh faktor genetik dan
lingkungan. Sementara British hypothesis menyatakan bahwa asma dan PPOK merupakan dua kondisi yang berbeda; asma diakibatkan reaksi alergi sedangkan PPOK adalah proses inflamasi dan kerusakan yang terjadi akibat merokok. Penelitian yang menilai hubungan tingkat respon saluran pernafasan dengan penurunan fungsi paru membuktikan bahwa peningkatan respon saluran pernafasan merupakan pengukur yang signifikan bagi penurunan fungsi paru (Reily, Edwin, Shapiro, 2008).
c. Infeksi saluran pernafasan
Infeksi saluran pernafasan adalah faktor risiko yang berpotensi untuk perkembangan dan progresi PPOK pada orang dewasa. Dipercaya bahwa infeksi salur nafas pada masa anak-anak juga berpotensi sebagai faktor predisposisi perkembangan PPOK. Meskipun infeksi saluran nafas adalah penyebab penting terjadinya eksaserbasi PPOK, hubungan infeksi saluran nafas dewasa dan anakanak dengan perkembangan PPOK masih belum bisa dibuktikan (Reily, Edwin, Shapiro, 2008).
d. Pemaparan akibat pekerjaan
Peningkatan gejala gangguan saluran pernafasan dan obstruksi saluran nafas juga bisa diakibatkan pemaparan terhadap abu dan debu selama bekerja. Pekerjaan seperti melombong arang batu dan perusahaan penghasilan tekstil daripada kapas berisiko untuk mengalami obstruksi saluran nafas. Pada pekerja yang terpapar dengan kadmium pula, FEV 1, FEV 1/FVC, dan DLCO menurun secara signifikan (FVC, force vital capacity; DLCO, carbon monoxide diffusing capacity of lung). Hal ini terjadi seiring dengan peningkatan kasus obstruksi saluran nafas dan emfisema. Walaupun beberapa pekerjaan yang terpapar dengan debu dan gas yang berbahaya berisiko untuk mendapat PPOK, efek yang muncul adalah kurang jika dibandingkan dengan efek akibat merokok (Reily, Edwin, Shapiro, 2008).
e. Polusi udara
Beberapa peneliti melaporkan peningkatan gejala gangguan saluran pernafasan pada individu yang tinggal di kota daripada desa yang berhubungan dengan polusi udara yang lebih tinggi di kota. Meskipun demikian, hubungan polusi udara dengan terjadinya PPOK masih tidak bisa
dibuktikan. Pemaparan terus-menerus dengan asap hasil pembakaran biomass dikatakan menjadi faktor risiko yang signifikan terjadinya PPOK pada kaum wanita di beberapa negara. Meskipun begitu, polusi udara adalah faktor risiko yang kurang penting berbanding merokok (Reily, Edwin, Shapiro, 2008). f. Faktor genetik
Defisiensi α1-antitripsin adalah satu-satunya faktor genetik yang berisiko untuk terjadinya PPOK. Insidensi kasus PPOK yang disebabkan defisiensi antitripsin di Amerika Serikat adalah kurang daripada satu peratus. α1-antitripsin merupakan inhibitor protease yang diproduksi di hati dan bekerja menginhibisi neutrophil elastase di paru. Defisiensi α1-antitripsin yang berat menyebabkan emfisema pada umur rata-rata 53 tahun bagi bukan perokok dan 40 tahun bagi perokok (Kamangar, 2010).
2.1.4 Patogenesis PPOK
Perubahan patologis pada PPOK terjadi di saluran pernafasan, bronkiolus dan parenkim paru. Peningkatan jumlah leukosit polimorfonuklear yang diaktivasi dan makrofag yang melepaskan elastase tidak dapat dihalangi secara efektif oleh antiprotease. Hal ini mengakibatkan destruksi paru. Peningkatan tekanan oksidatif yang disebabkan oleh radikal-radikal bebas di dalam rokok dan pelepasan oksidan oleh fagosit, dan leukosit polimorfonuklear menyebabkan apoptosis atau nekrosis sel yang terpapar. Penurunan usia dan mekanisme autoimun juga mempunyai peran dalam patogenesis PPOK (Kamangar, 2010).
2.1.5 Patofisiologi
Faktor risiko utama dari PPOK adalah merokok. Komponen-komponen asap rokok merangsang perubahan pada sel-sel penghasil mukus bronkus. Selain itu, silia yang melapisi bronkus mengalami kelumpuhan atau disfungsional serta metaplasia. Perubahan-perubahan pada sel-sel penghasil mukus dan silia ini mengganggu sistem eskalator mukosiliaris dan menyebabkan penumpukan mukus kental dalam jumlah besar dan sulit dikeluarkan dari saluran napas. Timbul peradangan yang menyebabkan edema jaringan. Proses ventilasi terutama ekspirasi
terhambat. Timbul hiperkapnia akibat dari ekspirasi yang memanjang dan sulit dilakukan akibat mukus yang kental dan adanya peradangan (GOLD, 2009).
Komponen-komponen asap rokok juga merangsang terjadinya peradangan kronik pada paru.Mediator-mediator peradangan secara progresif merusak struktur-struktur penunjang di paru. Akibat hilangnya elastisitas saluran udara dan kolapsnya alveolus, maka ventilasi berkurang. Saluran udara kolaps terutama pada ekspirasi karena ekspirasi normal terjadi akibat pengempisan (recoil) paru secara pasif setelah inspirasi. Dengan demikian, apabila tidak terjadi recoil pasif, maka udara akan terperangkap di dalam paru dan saluran udara kolaps (GOLD, 2009).
Berbeda dengan asma yang memiliki sel inflamasi predominan berupa eosinofil, komposisi seluler pada inflamasi saluran napas pada PPOK predominan dimediasi oleh neutrofil. Asap rokok menginduksi makrofag untuk melepaskan Neutrophil Chemotactic Factors dan elastase, yang tidak diimbangi dengan antiprotease, sehingga terjadi kerusakan jaringan (Kamangar, 2010).
Selama eksaserbasi akut, terjadi perburukan pertukaran gas dengan adanya ketidakseimbangan ventilasi perfusi. Kelainan ventilasi berhubungan dengan adanya inflamasi jalan napas, edema, bronkokonstriksi, dan hipersekresi mukus.Kelainan perfusi berhubungan dengan konstriksi hipoksik pada arteriol (Chojnowski, 2003).
2.1.6 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) adalah : 1. Batuk
2. Sputum putih atau mukoid, jika ada infeksi menjadi purulen atau mukopurulen
3. Sesak, sampai menggunakan otot-otot pernafasan tambahan untuk bernafas (Mansjoer, 2001)
2.1.7 Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan medis penatalaksanaan medis dari Penyakit Paru Obstruksi Kronik adalah:
b. Bronkodilator (β-agonis atau antikolinergik) bermanfaat pada 20-40% kasus. 19
c. Pemberian terapi oksigen jangka panjang selama >16 jam memperpanjang usia pasien dengan gagal nafas kronis (yaitu pasien dengan PaO2 sebesar 7,3 kPa dan FEV 1 sebesar 1,5 L).
d. Rehabilitasi paru (khususnya latihan olahraga) memberikan manfaat simtomatik yang signifikan pada pasien dengan pnyakit sedang-berat. e. Operasi penurunan volume paru juga bisa memberikan perbaikan
dengan meningkatkan elastic recoil sehingga mempertahankan patensi jalan nafas. (Davey, 2002)
2. Penatalaksanaan keperawatan
Penatalaksanaan keperawatan dari Penyakit Paru Obstruksi Kronik adalah: a. Mempertahankan patensi jalan nafas
b. Membantu tindakan untuk mempermudah pertukaran gas c. Meningkatkan masukan nutrisi
d. Mencegah komplikasi, memperlambat memburuknya kondisi
e. Memberikan informasi tentang proses penyakit/prognosis dan program pengobatan (Doenges, 2000)
2.1.8 Pemeriksaan Diagnostik PPOK
1. Chest X-Ray : dapat menunjukkan hiperinflation paru, flattened diafragma, peningkatan ruang udara retrosternal, penurunan tanda vaskular/bulla (emfisema), peningkatan bentuk bronchovaskular (bronchitis), normal ditemukan saat periode remisi (asthma)
2. Pemeriksaan Fungsi Paru : dilakukan untuk menentukan penyebab dari dyspnea, menentukan abnormalitas fungsi tersebut apakah akibat obstruksi atau restriksi, memperkirakan tingkat disfungsi dan untuk mengevaluasi efek dari terapi
3. TLC : meningkat pada bronchitis berat dan biasanya pada asthma, menurun pada emfisema.
4. Kapasitas Inspirasi : menurun pada emfisema
5. FEV1/FVC : ratio tekanan volume ekspirasi (FEV) terhadap tekanan kapasitas vital (FVC) menurun pada bronchitis dan asthma.
6. ABGs : menunjukkan proses penyakit kronis, seringkali PaO2 menurun dan PaCO2 normal atau meningkat (bronchitis kronis dan emfisema) tetapi
seringkali menurun pada asthma, pH normal atau asidosis, alkalosis respiratori ringan sekunder terhadap hiperventilasi (emfisema sedang atau asthma).
7. Bronchogram : dapat menunjukkan dilatasi dari bronchi saat inspirasi, kollaps bronchial pada tekanan ekspirasi (emfisema), pembesaran kelenjar mukus (bronchitis)
8. Darah Komplit : peningkatan hemoglobin (emfisema berat), peningkatan eosinofil (asthma).
9. Kimia Darah : alpha 1-antitrypsin dilakukan untuk kemungkinan kurang pada emfisema primer.
10. Sputum Kultur : untuk menentukan adanya infeksi, mengidentifikasi patogen, pemeriksaan sitologi untuk menentukan penyakit keganasan atau allergi.
11. ECG : deviasi aksis kanan, gelombang P tinggi (asthma berat), atrial disritmia (bronchitis), gel. P pada Leads II, III, AVF panjang, tinggi (bronchitis, emfisema), axis QRS vertikal (emfisema)
12. Exercise ECG, Stress Test : menolong mengkaji tingkat disfungsi pernafasan, mengevaluasi keefektifan obat bronchodilator, merencanakan/evaluasi program.
2.2 Konsep Dasar Asuhan Keperawatan 2.2.1 Pengkajian
a. Identitas
Kaji identitas pasien dengan meliputi nama, alamat, umur, jenis kelamin, suku bangsa, agama, bahasa yang dimengerti, tanggal MRS, No.Registrasi.
b. Riwayat Kesehatan a) Keluhan Utama
Keluhan utama merupakan faktor utama yang mendorong pasien mencari pertolongan atau berobat ke rumah sakit. Biasanya pada pasien dengan Penyakit Paru Obstriksi Kronik (PPOK) didapatkan keluhan berupa sesak nafas.
Pasien dengan PPOK biasanya akan diawali dengan adanya tanda-tanda seperti batuk, sesak nafas, nyeri pleuritik, rasa berat pada dada, berat badan menurun dan sebagainya. Perlu juga ditanyakan mulai kapan keluhan itu muncul. Apa tindakan yang telah dilakukan untuk menurunkan atau menghilangkan keluhan-keluhannya tersebut.
c) Riwayat Penyakit Dahulu
Perlu ditanyakan apakah sebelumnya pasien pernah masuk RS dengan keluhan yang sama.
d) Riwayat Penyakit Keluarga
Perlu ditanyakan apakah ada anggota keluarga yang menderita penyakit-penyakit yang sama.
c. Kebutuhan Bio-Psiko-Sosial-Spiritual a) Bernafas
Kaji pernafasan pasien. Keluhan yang dialami pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronik ialah batuk produktif/non produktif, dan sesak nafas.
b) Makan dan Minum
Perlu ditanyakan kebiasaan makan dan minum sebelum dan selama MRS pasien dengan PPOK akan mengalami penurunan nafsu makan akibat dari sesak nafas dan penekanan pada struktur abdomen.
c) Eliminasi
Dalam pengkajian pola eliminasi perlu ditanyakan mengenai kebiasaan defekasi sebelum dan sesudah MRS.
d) Gerak dan Aktivitas
Akibat sesak nafas, kebutuhan O2 jaringan akan kurang terpenuhi dan
Pasien akan cepat mengalami kelelahan pada aktivitas minimal. e) Istirahat dan tidur
Akibat sesak yang dialami dan peningkatan suhu tubuh akan berpengaruh terhadap pemenuhan kebutuhan tidur dan istitahat.
f) Kebersihan Diri
Kaji bagaimana toiletingnya apakah mampu dilakukan sendiri atau harus dibantu oleh orang lain.
g) Pengaturan suhu tubuh
Cek suhu tubuh pasien, normal(36°-37°C), pireksia/demam(38°-40°C), hiperpireksia=40°C< ataupun hipertermi <35,5°C.
Observasi adanya keluhan yang mengganggu kenyamanan pasien. Nyeri dada meningkat karena batuk berulang (skala 5)
i) Rasa Aman
Kaji pasien apakah merasa cemas atau gelisah dengan sakit yang dialaminya
j) Sosialisasi dan Komunikasi
Observasi apakan pasien dapat berkomunikasi dengan perawat dan keluarga atau temannya.
k) Bekerja
Tanyakan pada pasien, apakan sakit yang dialaminya menyebabkan terganggunya pekerjaan yang dijalaninya.
l) Ibadah
Ketahui agama apa yang dianut pasien, kaji berapa kali pasien sembahyang, dll.
m) Rekreasi
Observasi apakah sebelumnya pasien sering rekreasi dan sengaja meluangkan waktunya untuk rekreasi. Tujuannya untuk mengetahui teknik yang tepat saat depresi.
n) Pengetahuan atau belajar
Seberapa besar keingintahuan pasien untuk mengatasi sesak yang dirasakan. d. Pemeriksaan Fisik 1. Keadaan Umum 2. Kepala a. Bentuk Kepala b. Rambut c. Mata d. Hidung e. Telinga f. Mulut g. Leher h. Ektremitas 3. Dada a. Paru 1) Inspeksi
Bentuk dada simetris, tampak RR 28x/menit 2) Palpasi
Tidak ada pembengkakan pada paru, tidak ada nyeri tekan 3) Perkusi
Hipersonor 4) Auskultasi
Suara nafas wheezing dan kadang terdengar ronchi e. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
a. AGD (PH, PO2, HCO3) Suptum 2. Terapi
a. Terapi infus b. Terapi injeksi c. Terapi Oksigen d. Diet TKTP
2.2.2 Diagnosa Keperawatan Yang Mungkin Muncul 1. Ketidakefektifan pola nafas b.d hiperventilasi 2. Bersihan jalan nafas tidak efektif bd adanya mucus 3. Gangguan pertukaran gas b.d ventilasi perfusi
4. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dyspnea, fatique
2.2.3 Intervensi N
o.
Diagnosa Tujuan (NOC) Intervensi (NIC)
1 .
Ketidakefektifan pola nafas b. d hiperventilasi
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama… jam masalah ketidakefektifan pola nafas teratasi. Dengan kriteria :
1. RR normal
2. Adanya kesimetrisan ekspansi dada
3. Tidak menggunakan otot nafas tambahan 4. Tidak ada pernafasan
cuping hidung saat beraktifitas 5. Tidak ada nafas pendek Airway Management 1. Posisikan pasienuntuk memak simalkan ventilasi 2. Lakukan fisioterapi
dada jika perlu 3. Keluarkan secret
dengan batuk atau suction
4. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan 5. Atur intake untuk
cairan mengoptimalkan keseimbangan. 6. Monitor respirasi dan status O2 7. Berikan bronkodilator bila perlu
2. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d adanya mukus
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama… jam masalah bersihan jalan naf as tidak efektif dapat teratasi
Dengan kriteria : 1. RR normal
2. Tidak ada kecemasan 3. Mampu membersihkan
secret
4. Tidak ada hambatan dalam jalan nafas 5. Tidak ada batuk
Airway Management 1. Posisikan pasien
untuk memaksima lkan ventilasi 2. Lakukan fisioterapi
dada jika perlu 3. Berikan minumhangat kepada pasien 4. Ajarkan batuk efektif 5. Auskultasi suara
nafas, catat adanya suara tambahan 3. Gangguan pertukaran gas b.d
ventilasi perfusi
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama … jam masalah gangguan per tukaran gas teratasi
Dengan kriteria : Status pernafasan: pertukaran gas
1. Kemudahan bernafas 2. Tidak ada sesak
nafasdalam istirahat 3. Tidak ada sesak
nafassaat beraktivitas 4. Tidak ada kelelahan 5. Tidak ada sianosis
Monitoring pernafasan : 1. Monitor rata-rata,ritme, kedalaman,dan usaha pernafasan 2. Monitor pola nafas: bradipnea,takipnea . 3. Palpasi kesimetrisan ekspansi paru 4. Perkusi dada anterior
dan posterior dari apeks sampai bawah 5. Auskultasi suara pernafasan, c atatarea yang mengalami penuru nan ventilasi dan adanya suara
tambahan 6. Monitor adanya dispnea dan kejadian yang meningkatkan dan memperburuk kea daan pasien 7. Tidur menyamping untuk mencegah aspirasi 4. Ketidakseimbangan nutrisi : Kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan Dyspnea, fatique
Status Nutrisi :
Intake cairan dan makanan dengan skala ……. (1 – 5) setelah diberikan perawatan selama… Status nutrisi terpenuhi
Dengan kriteria :
1. Asupan makanan skala (adekuat)
2. Intake cairan peroral (adekuat)
3. Intake cairan (adekuat) 4. Intake kalori (adekuat) 5. Intake protein,
karbohidrat dan lemak (adekuat)
6. Mampu memeliharan intake kalori secara optimal
7. Mampu memelihara keseimbangan cairan 8. Mampu mengontrol
asupan makanan secara adekuat 1. Manajemen cairan 2. Monitoring cairan 3. Status diet 4. Manajemen gangguan makan 5. Manajemen nutrisi 6. Terapi nutrisi 7. Konseling nutrisi 8. Kontroling nutrisi 9. Terapi menelan 10. Monitoring tanda vital 11. Bantuan untuk peningkatan BB 12. Manajemen berat badan 2.2.4 Implementasi
Implementasi sesuai dengan intervensi yang telah direncanakan. 2.2.5 Evaluasi
Pada tahap akhir proses keperawatan adalah mengevaluasi respon pasien terhadap perawatan yang diberikan untuk memastikan bahwa hasil yang diharapkan telah dicapai.
Evaluasi merupakan proses yang interaktif dan kontinyu, karena setiap tindakan keperawatan, respon pasien dicatat dan dievaluasi dalam hubungannya dengan hasil yang diharapkan kemudian berdasarkan respon pasien, revisi, intervensi keperawatan atau hasil pasien yang mungkin diperlukan. Pada tahap evaluasi mengacu pada tujuan yang telah ditetapkan yaitu : jalan nafas efektif, pertukaran gas adekuat, dan keseimbangan nutrisi.
BAB III PENUTUP
2.2 Kesimpulan
Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) atau juga dikenali sebagai Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) merupakan obstruksi saluran pernafasan yang progresif dan ireversibel; terjadi bersamaan bronkitis kronik, emfisema atau kedua-duanya (Snider, 2003).
Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) sering dikaitkan dengan gejala eksaserbasi akut dimana kondisi pasien mengalami perburukan dari kondisi sebelumnya dan bersifat akut. Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada asuhan keperawatan PPOK adalah :
1. Ketidakefektifan pola nafas b.d hiperventilasi 2. Bersihan jalan nafas tidak efektif bd adanya mucus 3. Gangguan pertukaran gas b.d ventilasi perfusi
4. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dyspnea, fatique
DAFTAR PUSTAKA
Herdman,T.Heather.2010.Diagnosa Keperawatan: definisi dan klasifikasi2009-2011 .Jakarta : EGC
https://www.scribd.com/doc/129660827/Asuhan-Keperawatan-Pada-Pasien-Ppok-Fixxxxx (Diakses pada tanggal 1 Desember 2016, pukul 20:00 WITA)
https://irmanweb.files.wordpress.com/2008/07/asuhan-keperawatan-pada-pasien-dengan-copd.pdf (Diakses pada tanggal 1 Desember 2016, pukul 20:00 WITA)