LAPORAN PENDAHULUAN ASCITES
OLEH: KELOMPOK I
MEGA WIJAYA 150070300011007
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
ASCITES
1. LATAR BELAKANG
Asites merupakan komplikasi utama dari sirosis, terjadi pada 50% pasien yang di ikuti selama lebih dari 10 tahun. Perkembangan asites penting dalam perjalanan alamiah sirosis karena dikaitkan dengan mortalitas 50% lebih dari dua tahun dan menandakan kebutuhan untuk mempertimbangkan transplantasi hati sebagai terapi pilihan. Sebagian besar (75%) dari pasien yang hadir dengan asites yang mendasarinya adalah sirosis, dengan sisanya karena keganasan (10%), gagal jantung (3%), Tuberkulosis (2%), pankreatitis (1%), dan penyebab langka lainnya. Di United Kingdom kematian karena sirosis telah meningkat dari 6 per 100.000 penduduk di tahun 1993 menjadi 12,7 per 100.000 penduduk di tahun 2000. Sekitar 4% dari populasi memiliki fungsi hati yang abnormal atau penyakit hati, dan sekitar 10-20% dari mereka dengan salah satu dari tiga penyakit hati kronis yang paling umum ( perlemakan hati non-alkoholik, penyakit hati alkoholik, dan hepatitis C kronis). Dengan meningkatnya frekuensi penyakit perlemakan hati alkoholik dan non-alkoholik, akan terjadi peningkatan besar dalam beban penyakit hati yang diperkirakan selama beberapa tahun mendatang dengan peningkatan komplikasi sirosis.
2. PENGERTIAN
Asites adalah penimbunan cairan secara abnormal di rongga peritoneum. Asites dalam jumlah yang kecil kemungkinan menunjukkan gejala yang asimptomatik, pada peningkatan jumlah cairan dapat menyebabkan distensi abdominal dan rasa tidak nyaman, anoreksia, mual, dan gangguan pernapasan.
Asites adalah penimbunan cairan secara abnormal di rongga peritoneum. Asites dapat disebabkan oleh banyak penyakit. Antara lain sirrosis hepatis, juga merupakan gejala yang sering terjadi pada penderita kanker ovarium, gejala ini juga sering digunakan sebagai tanda diagnostik adanya kemungkinan keganasan pada tumor ovarium (Brahmana Askandar). Pada dasarnya penimbunan cairan di rongga peritoneum dapat terjadi melalui dua mekanisme dasar, yakni transudasi dan eksudasi. Asites yang ada hubungannya dengan sirosis hati dan hipertensi portal adalah salah satu contoh penurunan cairan di rongga peritoneum yang terjadi melalui mekanisme transudasi. Asites jenis ini paling sering dijumpai di Indonesia.
Asites merupakan tanda prognosis yang rawan pada beberapa penyakit. Contohnnya asites pada kanker ovarium merupakan prognosis yang buruk, ditandai dengan perut yang makin membesar karena rongga berisi cairan, yang lama kelamaan akan menyebabkan penekanan pada rongga traktus gastrointestinal sehingga akan timbul keluhan anoreksia. Bahkan jika cairan makin bertambah akanmenekan daerah diafragma sehingga akan timbul gangguan pernapasan. (BrahmanaAskandar). Asites juga menyebabkan pengelolaan penyakit dasarnya menjadi semakin kompleks. Seperti Infeksi pada cairan asites akan lebih memperberat perjalanan penyakit dasarnya. Oleh karena itu asites harus dikelola dengan baik.
3. KLASIFIKASI
Asites Tanpa Komplikasi
Asites yang tidak terinfeksi dan yang tidak terkait dengan pengembangan sindrom hepatorenal. Asites dapat dikelompokkan sebagai berikut :
Grade 2 ( moderate ), asites menyebabkan simetrikal moderate distensi abdomen
Grade 3 ( large ), asites yang ditandai dengan adanya distensi abdomen.
Table 1. Tingkatan asites dan pilihan terapi Tingkatan
asites
Definisi Terapi
Tingkat 1 Asites yang ringan hanya dapat dideteksi dengan USG
Tanpa terapi
Tingkat 2 Asites yang sedang terbukti dengan distensi abdomen yang simetrikal
Restriksi masukan sodium dan diuretic
Tingkat 3 Asites dalam jumlah besasr ditandai dengan distensi abdomen
Dilakukan parasentesis diikuti dengan restriksi masukan sodium dan diuretik
Journal of Hepatology 2010 vol. 53
Asites Refrakter
Asites yang tidak dapat dimobilisasi atau yang kambuh lebih awal (yaitu, setelah terapi parasentesis) yang tidak dapat dicegah dengan terapi medis. Asites refrakter terdiri dari dua subkelompok yang berbeda, yaitu :
Tabel 2. Definisi dan criteria diagnostic untuk asites refrakter pada sirosis Diuretic-resistant ascites Asites yang tidak dapat dimobilisasi atau
kekambuhan yang terjadi lebih awal yang tidak dapat dicegah karena kurang nya respon terhadap retriksi sodium dan terapi diuretic Diuretic-intactable ascites Asites yang tidak dapat dimobilisasi atau
kekambuhan yang terjadi lebih awal yang tidak dapat dicegah karena komplikasi dari
diuretics-induced yang mana menghindari penggunaan dosis diuretic yang efektif
Requisites
1. Durasi terapi Pasien harus menjalani terapi diuretic yang intensif (spironolacton 400 mg/hari dan furosemide 160 mg/hari) selama paling kurang 1 minggu dan diet rendah garam 90 mmol/hari 2. Respon yang kurang Kehilangan berat badan <0,8 kg lebih dari 4
hari dan output urin kurang dari intake
3. Kekambuhan yang lebih cepat Kekambuhan berulang dari tingkat 2 dan 3 asites tak lebih dari 4 minggu mobilisasi yang pertama
4. Diuretic-induced complication 1. Diuretic-induced ensefalopathy hepatic mmerupakan perkembangan ensefalopathy tanpa factor yang mempengaruhi.
2. Diuretic-induced kerusakan ginjal merupakan peningkatan dari creatinine serum > 100% menjadi >2 mg/dl pada pasien dengan asites yang berespon terhadap pengobatan
3. Diuretic-induced hiponatremia digambarkan dengan penurunan serum sodium > 10 mmol/L menjadi <125 mmol/L
4. Diuretic-induced hipo-hiperkalemia digambarkan sebagai perubahan serum potassium menjadi <3 mmol/L atau >6 mmol/L
Modified with permission from Moore KP, Wong F, Gines P, et. Al. The Management of ascites in cirrhosis : report on consensus conference of the International Ascites Club.
Gradien albumin serum-asites berkolerasi secara langsung dengan tekanan portal, dimana pasien dengan gradien lebih besar dari atau sama dengan 1,1 g/dL dapat memiliki suatu hipertensi portal (asites transudatif) dan pasien dengan gradien kurang dari 1,1 g/dL (asites eksudatif). Konsentrasi protein total dari cairan asites dan aktivitas LDH secara umum digunakan untuk mengklasifikasi cairan asites apakah eksudat atau transudat. Lihat tabel di atas dengan klasifikasi dari tipe asites bergantung pada kadar dari gradien albumin serum-asites.
Asites dapat dibedakan berdasar berbagai kondisi penyakit yang mendasarinya, hal tersebut dapat diperhatikan pada tabel di bawah ini :
4. ETIOLOGI
Secara morfologis, sirosis dibagi atas jenis mikronodular (poral), mikrodonolar (pascanekrotik) dan jenis campuran, sedang dalam klinik dikenal 3 jenis, yaitu portal, pascanokretik, dan biller. Penyakit penyakit yang diduga dapat menjadi penyebab sirosis hepatis antara lain mal nutrisi, alkoholesme, virus hepatis, kegagalan jantung yang menyebabkan bendungan vena hepatika, penyakit wilson, hemokromatosis, zat toksik, dan lain-lain.
5. PATOGENESIS PEMBENTUKAN ASCITES
Terdapat 2 ( dua ) faktor yang mempengaruhi terjadinya pembentukan asites, yaitu retensi sodium dan air serta hipertensi portal.
a.
Peran hipertensi portalHipertensi portal meningkatkan tekanan hidrostatik dalam sinusoid hati dan menyebabkan transudasi cairan ke dalam rongga peritoneum. Namun, pasien dengan hipertensi portal presinusoidal tanpa sirosis jarang berkembang menjadi asites. Dengan demikian pasien tidak berkembang menjadi asites pada oklusi vena portal ekstrahepatik kronis terisolasi atau non-penyebab sirosis hipertensi portal seperti fibrosis hepatik kongenital, kecuali bila diikuti kerusakan fungsi hati seperti pada perdarahan gastrointestinal. Sebaliknya, trombosis vena hepatik akut, menyebabkan
hipertensi portal postsinusoidal, biasanya berhubungan dengan asites. Hipertensi portal terjadi sebagai konsekuensi dari perubahan struktural dalam hati pada sirosis dan peningkatan aliran darah splanknikus. Deposisi kolagen progresif dan pembentukan nodul mengubah arsitektur normal vaskular hati dan meningkatkan resistensi terhadap aliran portal. Sinusoid mungkin menjadi kurang dapat berdistensi dengan pembentukan kolagen dalam ruang Disse. Meskipun hal ini mungkin memberikan impresi sistem statik portal, studi terbaru menunjukkan bahwa aktivasi sel stellata hepatik secara dinamis dapat mengatur nada sinusoidal hingga tekanan portal.
Sel endotel sinusoidal membentuk pori-pori membran ekstrim yang hampir sepenuhnya permeabel terhadap makromolekul, termasuk protein plasma. Sebaliknya, kapiler splanknikus memiliki ukuran pori 50-100 kali lebih rendah dari sinusoid hepatik. Akibatnya, gradien tekanan onkotik trans-sinusoidal dalam hati hampir nol ketika dalam sirkulasi splanknikus yaitu 0,8-0,9 (80% -90% dari maksimum). Gradien tekanan onkotik seperti ujung ekstrim pada efek spektrum minimal terhadap perubahan konsentrasi albumin plasma tersebut terhadap pertukaran cairan transmicrovascular. Oleh karena itu, konsep lama yang menyatakan asites dibentuk sekunder terhadap penurunan tekanan onkotik adalah palsu, dan konsentrasi albumin plasma memiliki pengaruh kecil pada laju pembentukan ascites. Hipertensi portal sangat penting terhadap perkembangan asites, dan asites jarang terjadi pada pasien dengan gradien vena portal hepatik <12 mmHg. Sebaliknya, insersi dari samping ke sisi portacaval shunt menurunkan tekanan portal sering menyebabkan resolusi dari asites.
b. Patofisiologi retensi natrium dan air
Penjelasan klasik retensi natrium dan air terjadi karena
‘underfill’ atau ‘overfill’ yang disederhanakan. Pasien
mungkin menunjukkan fitur baik ‘underfill’ atau’ overfill’
tergantung pada postur atau keparahan penyakit hati. Salah
satu peristiwa penting dalam patogenesis disfungsi ginjal
dan retensi natrium pada sirosis adalah berkembangnya
vasodilatasi sistemik, yang menyebabkan penurunan
volume darah arteri efektif dan hiperdinamik circulation.
Mekanisme yang bertanggung jawab atas perubahan fungsi
vaskular tidak diketahui tetapi mungkin melibatkan
peningkatan sintesis nitrit oksida vaskular, prostasiklin,
serta perubahan konsentrasi plasma glukagon, substansi
P, atau gen kalsitonin terkait peptide.
Namun, perubahan hemodinamik bervariasi dengan
postur, dan studi telah menunjukkan perubahan yang
nyata dalam sekresi peptida natriuretik atrium dengan
postur tubuh, serta perubahan sistemik hemodinamik.
Selain itu, data menunjukkan penurunan volume arterial
efektif pada sirosis telah diperdebatkan. Hal ini telah
disepakati bahwa bagaimanapun dalam kondisi terlentang
dan pada hewan percobaan, terdapat peningkatan curah
jantung dan vasodilatasi.
Perkembangan vasokonstriksi renal pada sirosis adalah
sebagian
respon
homeostatis
yang
melibatkan
peningkatan aktivitas simpatik ginjal dan aktivasi
sistem renin angiotensin untuk menjaga tekanan darah
selama vasodilatasi sistemik. Penurunan aliran darah ginjal
menurunkan laju filtrasi glomerulus sehingga pengiriman
dan ekskresi fraksional natrium. Sirosis dikaitkan dengan
peningkatan reabsorpsi natrium baik pada tubulus proksimal
dan tubulus distal. Peningkatan reabsorpsi natrium di
tubulus distal adalah karena peningkatan konsentrasi
aldosteron di sirkulasi. Namun, beberapa pasien dengan
asites memiliki konsentrasi aldosteron plasma normal, yang
mengarah ke saran bahwa reabsorpsi natrium di tubulus
distal mungkin berhubungan dengan sensitivitas ginjal
yang meningkat tehadap aldosteron atau mekanisme lain
yang tidak diketahui.
Pada sirosis terkompensasi, retensi natrium
dapat terjadi pada tidak adanya vasodilatasi dan
hipovolemia efektif. Hipertensi portal sinusoidal dapat
mengurangi aliran darah ginjal bahkan tanpa adanya
perubahan hemodinamik dalam sirkulasi sistemik,
menunjukkan adanya hepatorenal reflex. Demikian pula,
selain vasodilatasi sistemik, keparahan penyakit hati dan
tekanan portal juga berkontribusi terhadap abnormalitas
penanganan natrium dalam sirosis.
6. PATOFISIOLOGI
Penimbunan asites ditentukan oleh 2 faktur yang penting yakni faktor lokal dan sistemik.
- Faktor lokal
Bertanggung jawab terhadap penimbunan cairan dirongga perut, faktor lokal yang penting adalah cairan sinusoid hati dan sistem kapiler pembuluh darah usus.
- Faktor sistemik
Bertanggung jawab terhadap perubahan-perubahan yang terjadi pada sistem cardiovaskuler dan ginjal yang menimbun retensi air dan garam. Faktor utama sebagai pencetus timbulnya retensi air dan garam oleh ginjal adalah vasodilatasi arteri perifer mula-mula akan terjadi peningkatan tahananan sistem porta dan diikuti terbentuknya pitas porta sistemik baik intra maupun ektra hati apabila struktur perubahan parenkim semakin berlanjut, pembentukan pintas juga semakin berlanjut, vasodilatasi juga akan menjadi berat, sehingga tidak hanya sirkulasi splankrik,tetapi ditempat lain misalnya : kulit otot dan paru.
Vasodilatasi arteri Perifer akan menyebabkan ketahanan tahanan ferifer menurun tubuh akan menafsirkan seolah-olah menjadi penurun volome efektif darah arteri reaksi yang dilakukan untuk melawan keadaan itu adalah meningkatkan tonos saraf simpatik adrenergik. Hasil akhirnya adalah aktivitas terhadap 3 sistem vasokonstriktor yakni sistem renin-angiostensin, aldesteron, arginin vasopresin dan saraf simpatik aktivasi sistem arginin vasopresin akan menyebabkan retensi air, sistem aldesteron akan menyebabkan penurunan kecepatan filtrasi glomerulus dan meningkatkan reapsorpsi garam pada tubulus progsimal, disamping itu sistem vaskuler juga akan terpengaruh oleh aktivitasi ketiga vaso kontriktor tersebut.
Apabila terjadi sirosis hatisemakin berlambat, vasodilatasi arteri ferifer akan menjadi semakin berat sehingga aktivitasi sistem neoru
homoral akan mampu menimbulkan asites. Disdamping itu, aktivasi sistem neurohumoral yang terumenerus tetapi akan menimbulkan perubahan fungsi ginjal yang semakin nyata sehingga terjadi sindrom heparorenal.
7. MANIFESTASI KLINIK
Asites sangat mudah dikenali pada inspeksi, akan tampak perut membuncit pada umumnya kurang gizi, otot atrofi dan pada bagian besar kasus dapat dijumpai, stigmata hati kronik. Pada saat pasien tidur terlentang, pembesaran perut akan nampak mencolok kesamping kanan dan kiri seperti perut kodok letak umbilikus tergeser kekaudal mendekati sismfisis pubis, sering dijumpai hernia umbilikalis kiri tekanan intara abdomen yang meninggi sedangkan otot-otot atrofi sehingga kekuatannya berkurang, tanda-tanda visis lain menunjukkan adanya akumulasi cairan dalam rongga perut. Auskultasi perut antara lain : pekak samping (Flank dullness) pekak alih (shiffing dulinees)
8. PEMERIKSAAN PENUNJANG - Pemeriksaan awal
Penyebab asites sering terlihat jelas dari anamnesis, riwayat dan pemeriksaan fisik. Namun, penting untuk mencari penyebab lain dari asites. Seharusnya tidak diasumsikan bahwa pasien alkoholik memiliki penyakit hati alkoholik. Oleh karena itu, pemeriksaan harus diarahkan pada diagnosa penyebab asites. Investigasi ini penting untuk menegakkan etiologi asites termasuk diagnostik parasentesis dengan pengukuran albumin cairan asites atau protein, jumlah neutrofil, kultur cairan asites, dan amilase cairan asites. Sitologi cairan asites harus diminta ketika ada kecurigaan klinis kearah keganasan. Investigasi lain harus mencakup USG abdomen untuk mengevaluasi penampakan dari pankreas, hati, dan kelenjar getah bening serta adanya splenomegali yang mungkin menandakan hipertensi portal. Tes darah harus diambil untuk pengukuran urea dan elektrolit, tes fungsi hati, waktu protrombin, dan hitung darah lengkap.
- Parasentesis abdomen
Daerah yang paling umum untuk pungsi asites adalah sekitar 15 cm lateral umbilikus, untuk menghindari pembesaran hati atau limpa. Arteri epigastrium inferior dan superior berjalan dilateral umbilikus terhadap
titik tengah inguinalis dan harus dihindari. Untuk tujuan diagnostik, 10-20 ml cairan asites harus dipungsi untuk inokulasi asites menjadi dua botol kultur darah dan Tabung EDTA. Komplikasi pungsi asites terjadi pada sampai 1% dari pasien (hematoma abdomen) tapi jarang serius atau mengancam nyawa. Komplikasi lebih serius seperti haemoperitoneum atau perforasi usus jarang terjadi (<1/1000 prosedur). Kontraindikasi parasentesis pada pasien dengan profil koagulasi yang abnormal. Sebagian besar pasien dengan asites karena sirosis memiliki perpanjangan waktu protrombin dan beberapa tingkat trombositopenia. Tidak ada data yang mendukung penggunaan fresh frozen plasma sebelum parasentesis meskipun jika trombositopenia hebat (< 40.000) maka dokter akan memberikan trombosit untuk mengurangi risiko perdarahan
- Investigasi cairan asites
Jumlah neutrofil dan kultur cairan asites
Semua pasien harus diskrining untuk mengetahui spontaneous bacterial peritonitis (SBP), yang terdapat dalam sekitar 15% pasien dengan sirosis dan asites yang dirawat di rumah sakit. Jumlah neutrofil asites >250 sel/mm3 (0,25x109 / l) adalah diagnostik SBP dengan adanya diketahui perforasi viskus atau inflamasi organ intrabdominal. Konsentrasi sel darah merah dalam asites sirosis biasanya, 1.000 sel/mm3 dan cairan asites berdarah (>50.000 sel/mm3) terjadi pada sekitar 2% dari sirosis. Pada sekitar 30% sirosis dengan asites berdarah, terdapat karsinoma hepatoseluler yang mendasari. Namun, pada 50% pasien dengan asites berdarah, penyebabnya tidak dapat ditemukan. Pewarnaan gram cairan asites tidak diindikasikan, karena jarang membantu. Sensitivitas apusan untuk mikobakteri sangat buruk, sementara kultur cairan untuk mikobakteri memiliki sensitivitas 50%. Beberapa studi telah menunjukkan bahwa inokulasi cairan asites ke dalam botol kultur darah akan mengidentifikasi organisme pada sekitar 72-90% kasus sedangkan mengirim cairan asites dalam wadah steril ke laboratorium hanya akan mengidentifikasi organisme di sekitar 40% dari kasus SBP.
Protein cairan asites dan amilase cairan asites.
Secara konvensional, jenis asites dibagi menjadi eksudat dan transudat, di mana konsentrasi protein asites masing-masing >25 g/l atau <25 g / l.
Tujuan dari pembagian seperti ini adalah untuk membantu mengidentifikasi penyebab asites. Jadi, pada keganasan secara klasik menyebabkan asites eksudatif dan sirosis menyebabkan asites transudat. Namun, ada banyak kesalah pahaman di praktek klinis. Misalnya, sering dianggap bahwa asites jantung adalah transudat meskipun kasusnyajarang terjadi, protein asites >25 g/l pada 30% pasien dengan sirosis tanpa komplikasi, dan pasien dengan sirosis dan tuberkulosis asites mungkin memiliki asites rendah protein. Gradien serum asites-albumin (SA-AG) jauh unggul dalam kategorisasi asites dengan akurasi 97%. Hal ini dihitung sebagai berikut : SA-AG = konsentrasi albumin serum - konsentrasi albumin cairan asites
Tabel 3. Gradien serum asites-albumin
Amilase asites tinggi adalah diagnostik untuk asites pankreas, amilase cairan asites harus ditentukan dalam pasien dimana ada kecurigaan klinis penyakit pancreas.
Sitologi cairan asites
Hanya 7% dari sitologi cairan asites positif, pemeriksaan sitologi memiliki akurasi 60-90% dalam diagnosis asites keganasan, terutama ketika beberapa ratus mililiter cairan yang diuji dan teknik konsentrasi yang digunakan. Dokter harus bekerja sama dengan departemen sitologi lokal mereka untuk mendiskusikan kebutuhan cairan sebelum parasentesis. Tetapi investigasi sitologi cairan asites bukan merupakan pilihan untuk diagnosis karsinoma hepatoseluler primer.
9. PENATALAKSANAAN a. Bed rest 2,4
Gradien Serum Asites – Albumin ( SA-AG )
SA – AG ≥ 11 g/l
SA – AG < 11 g/l
Sirosis hepatis
Keganasan
Gagal Jantung
Pankreatitis
Istirahat pada pasien dengan sirosis dan asites, asumsi postur tegak dikaitkan dengan aktivasi renin-angiotensin-aldosteron dan sistem saraf simpatik, pengurangan di tingkat filtrasi glomerulus dan ekskresi natrium, serta respon menurun terhadap diuretik. Efek ini bahkan lebih mencolok dalam hubungan dengan latihan fisik moderat. Data ini sangat menyarankan bahwa pasien harus diobati dengan diuretik saat istirahat. Namun, belum ada studi klinis yang menunjukkan keberhasilan peningkatan diuresis dengan istirahat atau durasi penurunan rawat inap. Tirah baring dapat menyebabkan atrofi otot, dan komplikasi lainnya, serta memperpanjang lama tinggal di rumah sakit, tirah baring umumnya tidak direkomendasikan untuk manajemen pasien dengan asites tanpa komplikasi.
b. Retriksi diet garam 2,4
Retriksi diet garam saja dapat membuat balance natrium negatif pada 10% pasien. Pembatasan natrium telah terkait dengan persyaratan diuretik lebih rendah, resolusi asites lebih cepat, dan masa di Rumah Sakit lebih pendek. Di masa lalu, makan garam sering di batasi sampai 22 atau 50 mmol/hari, diet ini dapat menyebabkan malnutrisi protein dan hasil yang serupa, dan tidak lagi dianjurkan. Diet khas Inggris berisi sekitar 150 mmol natrium per hari, dimana 15% dari penambahan garam dan 70% dari makanan kemasan. Diet garam harus dibatasi, 90 mmol/hari (5,2 g) garam dengan menerapkan pola makan tidak tambah garam dan menghindari bahan makanan yang telah disiapkan (misalnya, kue). Bimbingan ahli diet dan informasi leaflet akan membantu dalam mendidik pasien dan kerabat tentang retriksi garam. Obat tertentu, terutama dalam bentuk tablet effervescent, memiliki kandungan natrium yang tinggi. Antibiotik intravena umumnya mengandung 2,1-3,6 mmol natrium per gram dengan pengecualian siprofloksasin yang berisi 30 mmol natrium dalam 200 ml (400 mg) untuk infus intravena. Meskipun secara umum lebih baik untuk menghindari infus cairan yang mengandung garam pada pasien dengan asites, ada peluang, seperti berkembang menjadi sindroma hepatorenal atau gangguan ginjal dengan hiponatremia berat, jika sesuai dan diindikasikan untuk memberikan ekspansi volume dengan kristaloid atau koloid. Untuk pasien sindrom hepatorenal, International Ascites club merekomendasikan infus garam normal.
c. Peran retriksi air 2,4
Tidak ada studi tentang manfaat atau bahaya pembatasan air pada resolusi asites. Kebanyakan ahli setuju bahwa tidak ada peran pembatasan air pada pasien dengan asites tampa komplikasi. Namun, pembatasan air untuk pasien dengan asites dan hiponatremia telah menjadi standar praktek klinis di banyak pusat-pusat.
d. Manajemen hiponatremia pada pasien dengan terapi diuretic 2,4 Natrium serum ≥126 mmo/l
Untuk pasien dengan asites yang memiliki natrium serum ≥126 mmol/l, seharusnya tidak ada pembatasan air, dan diuretik dapat dengan aman dilanjutkan, menunjukan bahwa fungsi ginjal ini tidak memburuk atau belum secara signifikan memburuk selama terapi diuretik.
Natrium serum ≤125 mmol/l
Untuk pasien dengan hiponatremia sedang (natrium serum 121-125 mmol/l), terdapat beberapa pendapat mengenai tindakan apa yang sebaiknya dilakukan. Pendapat internasional, di mana konsensus para ahli internasional dilaporkan bahwa diuretik harus dilanjutkan. Diuretik harus dihentikan jika natrium serum ≤125 mmol/l dan pasien diobservasi. Semua ahli dilapangan merekomendasikan diuretik dihentikan jika natrium serum ≤120 mmol/l. Jika ada peningkatan yang signifikan kreatinin serum atau kreatinin serum >150 µmol/ l, akan direkomendasikan ekspansi volume. Gelofusine, Haemaccel, dan Solusi albumin 4,5% mengandung konsentrasi natrium setara dengan salin normal (154 mmol/l). Hal ini akan memperburuk retensi garam tetapi kita mengambil pandangan bahwa lebih baik untuk memiliki asites dengan fungsi ginjal normal dari pada berkembang dan berpotensi menjadi gagal ginjal ireversibel. Pembatasan air harus disediakan untuk mereka yang secara klinis euvolaemic dengan hiponatremia parah, klirens air bebas menurun, dan yang tidak sedang terapi diuretik, dan di antaranya kreatinin serum normal.
e. Diuretik 1,2,4
Diuretik telah menjadi andalan pengobatan asites sejak tahun 1940 ketika pertama kali tersedia. Banyak agen diuretik telah dievaluasi selama bertahun-tahun tetapi dalam praktek klinis dalam hal ini Inggris telah membatasi terutama spironolactone, amilorid, furosemid, dan bumetanide. - Spironolactone
Spironolactone merupakan antagonis aldosteron, bekerja terutama pada tubulus distal untuk meningkatkan natriuresis dan mempertahankan kalium. Spironolactone adalah obat pilihan di awal pengobatan asites karena sirosis. Dosis harian inisial 100 mg bisa ditingkatkan sampai 400 mg untuk mencapai natriuresis adekuat. Berjalan lambat 3-5 hari antara awal pengobatan spironolactone dan terjadinya efek. studi kontrol natriuretik telah menemukan bahwa spironolactone mencapai natriuresis lebih baik dan diuresis dari loop diuretic seperti furosemide. Efek samping paling sering spironolakton pada sirosis adalah yang berkaitan dengan ativitas antiandrogenik nya, seperti penurunan libido, impotensi, dan ginekomastia pada pria dan ketidakteraturan menstruasi pada wanita (meskipun sebagian besar wanita dengan asites tidak menstruasi saja). Ginekomastia dapat secara signifikan berkurang ketika canrenoate kalium hidrofilik derivatif digunakan, tetapi ini tidak tersedia di Inggris. Tamoxifen pada dosis 20 mg dua kali sehari telah terbukti berguna dalam pengelolaan gynaecomastia. Hiperkalemia merupakan komplikasi signifikan yang sering membatasi penggunaan spironolactone dalam pengobatan asites.
- Furosemid
Furosemid adalah diuretik loop yang menyebabkan tanda natriuresis dan diuresis pada subyek normal. Hal ini umumnya digunakan sebagai tambahan untuk pengobatan spironolactone karena keberhasilan rendah bila digunakan sendirian pada sirosis. Dosis awal frusemid adalah 40 mg/hari dan umumnya meningkat setiap 2-3 hari sampai dosis tidak melebihi 160 mg/hari. Tinggi dosis frusemid berhubungan dengan gangguan elektrolit berat dan alkalosis metabolik, dan harus digunakan hati- hati. Furosemid dan spironolactone bekerja simultan meningkatkan efek natriuretik.
- Diuretik lain
Amiloride bekerja pada tubulus distal dan menginduksi diuresis pada 80% pasien dengan dosis 15-30 mg/hari. Hal ini kurang efektif dibandingkan dengan spironolakton atau kalium canrenoate. Bumetanide mirip dengan frusemid dalam kerja dan efikasi.
Secara umum, pendekatan '' stepped care'' yang digunakan dalam pengelolaan asites dimulai dengan diet pembatasan garam sederhana, bersama dengan meningkatnya dosis spironolactone. Furosemid hanya ditambahkan bila 400 mg spironolakton sendiri telah terbukti inefektif. Pada pasien dengan edema berat tidak perlu untuk memperlambat laju harian penurunan berat badan. Sekali edema telah diselesaikan tetapi asites berlanjut, maka tingkat penurunan berat badan tidak melebihi 0,5 kg/hari. Selama diuresis dikaitkan dengan deplesi volume intravaskular (25%) yang mengarah ke gagal ginjal, ensefalopathy hepatik (26%), dan hiponatremia (28% . Sekitar 10% pasien dengan sirosis dan asites memiliki asites refrakter. Pada pasien yang gagal pengobatan, harus diperhatikan riwayat diet dan riwayat pengobatan. Penting untuk memastikan bahwa mereka tidak memakan obat yang kaya akan natrium, atau obat yang menghambat garam dan ekskresi air seperti obat - obatan anti- inflamasi non-steroid ( OAINS ). Kepatuhan retriksi natrium makanan harus dipantau dengan pengukuran ekskresi natrium urin. Jika natrium urin melebihi asupan sodium yang direkomendasikan, dan pasien tidak menanggapi pengobatan, maka dapat diasumsikan bahwa pasien non-compliant. f. Terapi paracentesis 1,2,4
Pasien dengan asites besar atau refrakter biasanya managemen inisial oleh parasentesi dengan volume besar. Beberapa studi klinis terkontrol telah menunjukkan bahwa besar volume parasentesis dengan penggantian koloid cepat, aman, dan efektif. Penelitian pertama menunjukkan bahwa seri volume besar parasentesis (4-6 l/hari) dengan infus albumin (8 g/liter asites yang hilang) lebih efektif dan berhubungan dengan komplikasi lebih sedikit dan durasi rawat inap yang lebih singkat dibandingkan dengan terapi diuretik. Penelitian ini diikuti oleh penelitian lain yang mengevaluasi efikasi, keamanan, kecepatan parasentesis, perubahan hemodinamik setelah parasentesis, dan kebutuhan terapi penggantian koloid. Parasentesis total umumnya lebih aman dari parasentesis berulang, jika ekspansi volume diberikan pasca-parasentesis. Jika ekspansi volume pasca- parasentesis gagal memberikan volume ekspansi dapat menyebabkan gangguan sirkulasi, gangguan fungsi ginjal dan elektrolit.
Setelah parasentesis, mayoritas asites berulang (93%) jika terapi diuretik tidak diteruskan kembali, tapi berulang pada hanya 18% pasien yang diobati dengan spironolactone. Memulai kembali diuretik setelah parasentesis (biasanya dalam 1-2 hari) tampaknya tidak meningkatkan risiko disfungsi sirkulasi post paracentesis.
Gambar 2. Paracentesis
g. Transjugular intrahepatic portosystemic shunt (TIPS) 1,2,3,4
Peningkatan tekanan portal adalah salah satu faktor utama yang berkontribusi terhadap patogenesis asites, tidak mengherankan bahwa TIPS adalah perawatan yang sangat efektif untuk asites refrakter. Ini berfungsi sebagai pada sisi portocaval shunt yang dipasang dengan anestesi lokal dan sedasi intravena, dan menggantikan penggunaan pembedahan yang ditempatkan di portocaval atau mesocaval shunts. Sejumlah studi uncontrolled telah diterbitkan menilai efektivitas TIPS pada pasien dengan asites refrakter. Dalam kebanyakan studi keberhasilan teknis dicapai pada 93 - 100% kasus, dengan kontrol dari asites dicapai dalam 27-92% dan resolusi lengkap sampai dengan 75% kasus. TIPS menghasilkan penurunan sekunder aktivasi system renin-angiotensin-aldosteron, dan meningkatkan ekskresi natrium. Percobaan acak prospektif telah menunjukkan TIPS lebih efektif dalam mengendalikan asites dibandingkan dengan paracentesis volume besar. Namun, tidak ada konsensus mengenai dampak TIPS pada kelangsungan hidup bebas transplantasi pada
pasien dengan asites refraktori. Dalam satu studi TIPS tidak berpengaruh pada survival sementara yang lain telah melaporkan peningkatan survival baik dibandingkan dengan terapeutik paracentesis.
Gambar 3. TIPS (Transjugular intrahepatic portosystemic shunt)
DAFTAR PUSTAKA
Mansjoer, Arif. 2010. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi ke III. Jilid Ke 2. FKUI : Media Aesculapius.
Sloane, Ethel. 2013. Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. Jakarta : EGC
Smeltzer, Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth.Jakarta : EGC.
Wong, Donna L. 2013. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Jakarta : EGC Rudolf. 2016. Buku Ajar Pediatrik. Jakarta : EGC
Pho, Kevin. Ascites. www.nlm.nih.gov. 2004 Shah, Rahil. Ascites. www.emedicine.com. 2006
Wong F. And Blendis L. Ascites, First Principles of Gastroenterology, Chapter 14. www.gastroresource.com. 2003
Price SA dan Wilson LM. Patofisiologi: Konsep-konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta. 2013
Kasper, et.al. Harrison’s: Principles of Internal Medicine, Edition 16, Volume 1. 2005.