• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PEMBAHASAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI DAN SEJARAHNYA. (corruption = penyuapan; corruptore = merusak) gejala dimana para pejabat,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II PEMBAHASAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI DAN SEJARAHNYA. (corruption = penyuapan; corruptore = merusak) gejala dimana para pejabat,"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PEMBAHASAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI DAN SEJARAHNYA.

A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi.

Dalam ensiklopedia Indonesia istilah “korupsi” berasal dari bahasa Latin: (corruption = penyuapan; corruptore = merusak) gejala dimana para pejabat, badan-badan negara menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan, pemalsuan serta ketidak beresan lainnya. Adapun arti harfia dari korupsi dapat berupa :

a. Kejahatan kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan, dan ketidakjujuran.

b. Perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan sogok dan sebagainya.

c. Korup (busuk; suka menerima uang suap, uang sogok; memakai kekuasaan untuk kepentingan sendiri dan sebagainya.

d. Korupsi (perbuatan busuk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya);

e. Koruptor (orang yang korupsi).

Baharuddin Lopa sebagai seorang penegak Hukum yang disegani mengutip pendapat dari David M. Chalmers, yang menguraikan istilah korupsi dalam berbagai bidang, yakni yang menyangkut masalah penyuapan, yang berhubungan

(2)

dengan manipulasi di bidang ekonomi, dan yang menyangkut bidang kepentingan umum14

a) Barang siapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung merugikan keuangan Negara dan atau perekonomian Negara dan atau perekonomian Negara atau diketahui patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan Negara (Pasal 2);

.

Berdasarkan undang-undang bahwa korupsi diartikan:

b) Barang siapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan menyalah gunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan secara langsung dapat merugikan Negara atau perekonomian Negara (Pasal 3).

c) Barang siapa melakukan kejahatan yang tercantum dalam pasal 209, 210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 425, 435 KUHP.

Memperkaya diri sendiri pada prinsipnya adalah merupakan suatu perbuatan yang halal dan dapat dibenarkan, namun apabila cara memperkaya diri itu dilakukan dengan cara melawan Hukum, atau menyalah gunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan maka perbuatan tersebut menjadi tidak halal dan melanggar Undang-undang dalam hal ini Undang-undang tentang tindak pidana korupsi. Konsepsi mengenai korupsi itu sendiri baru timbul setelah adanya pemisahan antara kepentingan keuangan pribadi dari seorang pejabat negara dan keuangan jabatannya. Prinsip ini muncul

14

(3)

di Eropa setelah adanya Revolusi Perancis, sedang di Barat terutama di negara-negara Anglo-Sakson, seperti Inggris dan Amerika Serikat, baru timbul pada permulaan abad ke-19. Dan sejak itu penyalahgunaan wewenang demi kepentingan pribadi, khususnya dalam soal keuangan, dianggap sebagai tindakan korupsi15

Konsep politik semacam itu sudah barang tentu berbeda dengan apa yang ada dalam konsep kekuasaan tradisional. Dalam konsep kekuasaan traditional, raja atau pemimpin indentik dengan negara . Ia tidak mengenal pemisahan antara raja dengan negara yang dipimpinnya. Seorang raja sebagai pemimpin dapat saja menerima upeti dari bawahannya dan raja dapat menggunakan kekuasaan atau kekayaan negara guna kepentingan dirinya pribadi atau keluarganya. Perbuatan tersebut tidak dianggap sebagai korupsi, sebab kekuasaan politik yang ada di tangan raja bukan berasal dari rakyat dan rakyat sendiri menerima dan menganggap wajar jika seorang raja memperoleh manfaat pribadi dari kekuasaannya tersebut.

.

Demokrasi yang muncul di akhir abad ke-18 di Barat telah telah mengubah pandangan dan melihat pejabat sebagai orang yang diberi wewenang atau otoritas (kekuasaan), karena dipercaya oleh umum. Penyalahgunaan dari kepercayaan tersebut diartikan sebagai penghianatan terhadap kepercayaan yang diberikan oleh rakyat. Karena konsep demokrasi itu sendiri mensyaratkan adanya suatu sistem yang dibentuk oleh rakyat, dikelola oleh rakyat dan diperuntukkan bagi rakyat.

15

Baharuddin Lopa & Moh.Yamin, Masalah Korupsi dan Pemecahannya,( Kipas Putih Aksaa – Jakarta ), hal.37

(4)

Pengertian korupsi dalam sistem pemerintahan modern baru terjadi kalau ada konsepsi dan pengaturan pemisahan antara pengelolaan terhadap keuangan pribadi dan pengelolaan keuangan sehubungan kedudukannya sebagai pejabat, hal itu menjadi sangat penting, sebab dalam sistem pemerintahan yang tradisional seorang raja tidak dianggap sebagai koruptor jika menggunakan uang kerajaan (negara), karena raja adalah negara itu sendiri, sedang pejabat dalam sistem pemerintahan Modern tidaklah demikian16

16

Ibid

.

Namun secara tidak sadar sebenarnya konsepsi tentang anti korupsi sudah ada sejak lama, bahkan sebelum pemisahan kekuasaan politik secara modern dikenal. Dimana tidak adanya pemisahan antara keuangan dari raja sebagai pejabat negara dengan negara itulah yang memunculkan konsepsi anti korupsi.

Dari uraian tersebut diatas, korupsi dapat didefinisikan sebagai suatu tindakan penyalahgunaan kekayaan negara (dalam konsep modern), dimana kekayaan Negara yang seyogianya dipergunakan untuk melayani kepentingan umum, kemudian ternyata dipergunakan untuk kepentingan pribadi atau perorangan. Akan tetapi praktek korupsi sendiri, seperti suap atau sogok, kerap ditemui di tengah masyarakat tanpa harus melibatkan hubungan antara jabatan yang melekat pada diri seorang pejabat Negara dengan Negara, dan kenyataan yang demikian inilah yang mungkin dipergunakan oleh pembuat undang-undang dalam merumuskan unsur delik dalam Pasal 2 ayat 1.

(5)

Istilah korupsi dapat pula mengacu pada pemakaian dana pemerintah untuk tujuan pribadi. Definisi ini tidak hanya menyangkut korupsi moneter yang konvensional, akan tetapi menyangkut pula korupsi politik dan administratif. Seorang administrator yang memanfaatkan kedudukannya untuk menguras pembayaran tidak resmi ( pungli ), dari para investor (domestik maupun asing), memakai sumber pemerintah, kedudukan, martabat, status, atau kewenangannnya yang resmi, untuk keuntungan pribadi dapat pula dikategorikan melakukan tindak pidana korupsi.17

B. Sejarah Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Alasan di bentuknya Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dan Hakim Tindak Pidana Korupsi di Indonesia.

1. Sejarah Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dan Alasan dibentuknya Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

Penegakan supremasi hukum saat ini sedang ramai dibicarakan. Membicarakan masalah ini memang penting mengingat Indonesia adalah negara yang berlandaskan hukum dan konstitusi. Dengan supremasi hukum insan-insan peradilan diharapkan tidak akan terjebak dalam retorika tentang adanya mafia peradilan. Karena dalam mewujudkan supremasi hukum perlu adanya lembaga peradilan yang bersih, jujur, adil dan berwibawa, dan adalah mustahil hukum dapat berdiri tegak tanpa ditopang keadilan dari pengadilan yang bersih, jujur, adil, dan berwibawa. Karena Pengadilan sebagai lembaga Negara, diberi

17

R.Wiryono, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Catakan III ( Alumni – Bandung ), hal.25

(6)

kewenangan untuk menerima, memeriksa, dan memutuskan, suatu perkara yang diajukan kepadanya baik dalam perkara – perkara Pidana Umum, Perdata maupun Pidana khusus, yang diatur diluar KUHP

Negara Indonesia sekarang ini merupakan salah satu negara yang mempunyai citra buruk di dunia internasional, dalam bidang korupsi, hal ini disebabkan karena menurut mereka negara Indonesia merupakan negaranya koruptor. Dua lembaga Internasional yakni Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) lewat STAR (STeall Asset Recovery) dan Bank Dunia mempunyai daftar 10 besar kekayaan yang diperoleh dari hasil curian, ( korupsi ), yang disusun Transparency Internasional tahun 2004 lalu. Pakar ekonomi dan mantan Menko Perekonomian, Kwik Kian Gie menyatakan bahwa per tahun kekayaan negara yang dikorupsi jumlahnya sangat besar bahkan melebihi APBN18. Pada masa orde baru kebocoran uang negara masih 30 %, setelah reformasi bergulir tahun 1998 indikasi tindak pidana korupsi yang merusak perekonomian dan moral bangsa justru semakin besar. Menurut laporan BPK, penyimpangan uang negara sudah mencapai Rp 166,53 triliun atau sekitar 50 % pada periode Januari-Juni 200419. Ada sumber dari PERC (Political and Economic Consultancy) yang menyatakan tentang korupsi di Indonesia menempati urutan nomor tiga dengan jumlah kekayaan sebesar 8,03 miliar dolar AS20

Berhubungan dengan fakta tersebut di atas maka Negara Indonesia memandang perlu untuk membentuk pengadilan yang khusus untuk menangani

.

18

Yuli sulistiawan, Korupsi melebihi APBN, Kompas, 25 Oktober 2003.,h.3

19

Bee/tri, Kebocoran pada masa orde baru, Kompas, 2 Oktober 2004, h.6

20

(7)

kasus-kasus korupsi yang diwujudkan dengan membentuk pengadilan tipikor untuk mengadili dan memvonis berat para koruptor agar tindak pidana korupsi yang telah merugikan negara itu dapat segera terselesaikan. Pada tanggal 19 Desember 2006 Mahkamah Konstitusi melalui putusan nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 telah membatalkan ketentuan pasal 53 Undang-Undang No.30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang mengatur keberadaan pengadilan khusus tindak pidana korupsi. Putusan itu merupakan putusan perkara pengujian undang-undang (constitusional review). Mahkamah Konstitusi dalam putusan menilai bahwa ketentuan pasal 53 Undang-Undang No.30 tahun 2002 bertentangan dengan UUD 1945, karena telah terjadi dualisme penegakan hukum dalam sistem peradilan tindak pidana korupsi. Dualisme yang telah menimbulkan ketidak pastian hukum dan merugikan hak-hak konstitusional para pemohon. Adanya keputusan tersebut berimplikasi dengan keharusan dari pihak Komisi Pemberantasan Korupsi untuk segera merevisi undang-undang tipikor agar tidak bertentangan dengan UUD 1945. Waktu yang telah diberikan oleh Mahkamah Konstitusi adalah dalam waktu tiga tahun. Jika dalam waktu tiga tahun itu tidak dapat terpenuhi maka semua perkara dan kasus yang berkaitan dengan korupsi akan diserahkan pada peradilan umum. Undang-undang pengadilan tipikor ini merupakan salah satu terobosan untuk mereformasi dan merekonstruksi sistem hukum yang ada di Indonesia. Hukum yang progresif merupakan jalan dan arahan untuk terus memberikan perubahan hukum walaupun paradigma yang substansial adalah pembalikan dari ajaran legisme tapi dalam aplikasinya tetap dibutuhkan aturan demi proses berjalannya sistem hukum di Indonesia.

(8)

2. Alasan dan Urgensitas dibentuknya Pengadilan Tipikor :

1) Adanya legitimasi secara yuridis formal dalam sistem hukum di Indonesia, a) Dalam arahan politik hukum nasional disebutkan dalam Tap MPR RI

No. IX / MPR / 1998 tentang penyelenggaraan Negara yang bersih dari KKN dan Tap. MPR RI No. VIII / MPR / 2001 yang dalam diktumnya menyebutkan ”Bahwa permasalahan KKN yang melanda bangsa Indonesia sudah serius, dan merupakan kejahatan yang luar biasa dan menggoyahkan sendi-sendi kehidupan bangsa dan bernegara”

b) Dalam pasal 15 ayat (1) undang-undang No.4 tahun 2004 tentang kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan bahwa ”pengadilan khusus hanya dapat di bentuk dalam salah satu lingkup peradilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 yang di atur dengan undang-undang”. Yang dimaksud dalam Pasal ini dengan pengadilan khusus salah satunya adalah Pengadilan Tipikor.

c) Dalam pasal 53 Undang-Undang No.30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi diatur secara khusus mengenai keharusan pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi untuk mengadili perkara-perkara korupsi yang berada di bawah pengadilan umum dan untuk pertama kali akan di bentuk di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan pengesahan yang akan dilakukan oleh presiden.

d) Mahkamah Konstitusi melalui putusan nomor 012-016-019 / PUU-IV / 2006 telah membatalkan ketentuan pasal 53 UU No.30 tahun 2002

(9)

tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang mengatur keberadaan pengadilan khusus tindak pidana korupsi, tapi dari keputusannya itu secara tidak langsung telah memberikan izin secara yuridis dalam waktu tiga tahun untuk pembentukan pengadilan tipikor

2) Adanya keinginan terhadap pembaharuan dan rekonstruksi hukum ke arah yang lebih baik,

Masyarakat luas sekarang sudah kritis dan tanggap terhadap permasalahan hukum yang ada, pembaharuan sistem hukum melalui konsepsi hukum progersif sangat diperlukan demi perubahan birokrasi yang bersih dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Adapun mengenai pendapat dari warga tentang rasa keadilan dan kepastian hukum serta fenomena yang mendasar dan urgensi tentang pengadilan tipikor, kebanyakan masyarakat luas juga beranggapan adanya pengadilan tipikor juga merupakan tuntutan rasa keadilan yang kurang dirasakan oleh warga masyarakat. Jaminan kepastian hukum juga kurang mengena pada masyarakat luas. Adanya korupsi yang telah merajalela membuat kerugian yang sangat luas bagi perekonomian rakyat dan dari sinilah maka perlindungan hak ekonomi dan sosial pun juga akan terganggu yang berdampak pada rendahnnya perekonomian rakyat.

Banyak pihak dan lembaga-lembaga masyarakat yang menginginkan segera disahkan undang-undang pengadilan tipikor ini. Bappenas yang bekerjasama dengan Mahkamah Agung dalam Rencana Aksi Pengadilan tindak pidana korupsi, menyatakan bahwa pembentukan pengadilan khusus tersebut harus dapat

(10)

dilakukan untuk menangani perkara-perkara korupsi melalui suatu mekanisme yang berbeda dari mekanisme peradilan konvensional. Pembentukan pengadilan tipikor ini juga dimaksudkan untuk menjawab kelemahan dari mekanisme di pengadilan biasa. Kelemahan tersebut meliputi hakim yang kurang berkualitas dan atau juga karena proses persidangan yang dijalankan berlangsung secara tidak transparansi.

3) Menghindari percampuran perkara kasus korupsi di Pengadilan Umum, Pernyataan Wakil Ketua KPK M Jasin dalam pertemuannya dengan Ketua MACC, menyatakan jika bulan oktober tahun 2009 pemerintah tidak segera mengesahkan undang-undang tipikor dan bahkan akan bubar maka kasus-kasus yang ada akan bercampur dengan kasus yang ada di pengadilan umum21

21

Bunga Manggiasih, Pengadilan TIPIKOR harus segera dibentuk, Koran Tempo, rabu 4 februari 2008, h.6

. Dari pernyataan tersebut jelas bahwa semua berkas dan kasus akan dilimpahkan keperadilan umum sehingga berkas-berkas tersebut bercampur dengan perkara yang ada di peradilan umum dan inilah yang dikhawatirkan akan menyebabkan mandeknya pengusutan kasus korupsi sehingga tidak tuntas dalam penyelesainnya. Adapun permasalahan yang lain adalah adanya jumlah perkara di peradilan umum lebih banyak dari jumlah hakim yang ada. Dan dengan ditambahnya berkas perkara yang sudah ada di Pengadilan selama ini dengan perkara korupsi yang akan masuk kepengadilan maka akan semakin sulit terealisasinya penyelesaian perkara korupsi. Hal itu disebabkan karena jumlah hakim yang sedikit dihadapkan pada perkara-perkara korupsi yang jumlahnya jauh

(11)

lebih besar. Fenomena tersebut akan mempersulit tahap pemeriksaan dipersidangan karena terlalu banyak berkas-berkas atau pun dokumen yang harus diperiksa untuk mengusut satu persatu kasus yang akan ditangani. Selain itu juga belum tentu hakim yang ada akan mempunyai kapabilitas yang cukup memadai untuk menyelesaikan perkara yang sedang dihadapinya.

Dengan demikian DPR sebagai perancang Undang – undang bersama Presiden telah mengesah kan undang – undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi No.46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Korupsi, yang didalam undang – udang tersebut telah tersusun rumusan tentang pengadilan tindak pidana korupsi, yang disetiap bab nya telah di atur mengenai hakim, dan pengadilan tindak pidana korupsi.

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi memiliki kedudukan, dan kewenangan sebagaimana yang telah dirumuskan dalam Bab II dan Bab III undang – undang Pengadilan Tindak Pidana korupsi sebagai berikut22

Dalam Bab II, diatur tentang kedudukan dan tempat kedudukan, dan menurut ketentuan dalam Pasal. 2 Undang – undang No.46 tahun 2009 Pengadilan Tindak Pidana Korupsi merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan Peradilan Umum. Ini berarti Pengadilan Tindak Pidana Korupsi akan berada dilingkungan Peradilan Umum, sebagai pengadilan khusus, sehingga kedudukannya akan sama dengan Pengadilan khusus lainnya yang sudah ada lebih dahulu seperti Pengadilan PHI, Pengadilan HAM, Pengadilan Perikanan. Namun kedudukannya lebih luas jika dibandingkan dengan Pengadilan-pengadilan

:

22

(12)

lainnya seperti tersebut diatas, karena Pengadilan Tindak Pidana Korupsi akan ada disetiap Pengadilan Negeri, sebagaimana disebutkan dalam Pasal. 3, bahkan untuk daerah Jakarta akan terbagi menjadi empat tempat sesuai dengan keberadaan Pengadilan di Jakarta saat ini. Dan wilayah hukumnya melekat pada wilayah hukum Pengadilan Negeri tempat pengadilan tindak pidana korupsi berada. Hal ini juga akan menimbulkan konsekwensi bagi Komisi Pemberantasan Korupsi untuk membentuk perwakilannya didaerah, sebab jika hal tersebut tidak dilakukan akan menghambat proses baik penyidikan, penuntutan dan persidangan di Pengadilan yang ada didaerah. Pembentukan pengadilan Tindak Pidana Koupsi ditiap-tiap daerah adalah merupakan realisasi dari Pasal. 54, ayat 3, Undang-undang No.30 Tahun 2002, Lembaran Negara 2002-137, dan Tambahan Lembaran Negara 4250, Pasal. 54 ayat. 2, menyebutkan untuk pertama kali Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dibentuk pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang wilayah Hukumnya meliputi seluruh wilayah Negara Republik Indonesia, sedang dalam Pasal 3 menyebutkan pula bahwa pembentukan pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana disebut dalam ayat 2 dilakukan secara bertahap dengan keputusan Presiden. Sebenarnya jika Pemerintah mempunyai komitmen yang tinggi terhadap pemberantasan korupsi, pengadilan Tindak Pidana Korupsi sudah dapat dilakukan tanpa menunggu lahirnya undang-undang No.46 tahun 2009, karena menurut Undang-undang-undang No.30 Tahun 2002, pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi cukup dilakukan dengan Keputusan Presiden (KEPPRES).

(13)

Dalam Bab III, diatur tentang kewenangan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang dalam Pasal. 5 disebutkan bahwa Pengadilan Tindak Pidana Korupsi merupakan satu-satunya pengadilan yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi, artinya Peradilan Umum sudah tidak mempunyai wewenang lagi untuk menyidangkan perkara-perkara korupsi, selanjutnya dalam Pasal.6 diatur tentang ruang lingkup kewenangan Pengadilan Tindak Pidana korupsi sebagai berikut :

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara:

1. tindak pidana korupsi;

2. tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya adalah tindak pidana korupsi; dan/atau

3. tindak pidana yang secara tegas dalam undang-undang lain ditentukan sebagai tindak pidana korupsi.

Sedang untuk Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan oleh Warga Negara Indonesia yang berada diluar wilayah Negara Republik Indonesia, ditetapkan dalam Pasal 7 yaitu menjadi kewenangan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, penerapan ketentuan ini adalah sesuai dengan azas Nasionaliteit Aktief atau azas Personaliteit, sebagaimana yang disebut dalam Pasal 5 (1) KUH.Pidana.

(14)

3. Hakim Tindak Pidana Korupsi.

Salah satu unsur yang sangat substantif dari Pengadilan Tindak Pidana Korupsi adalah Hakim. Karena Hakim adalah salah satu unsur aparat penegak Hukum yang mempunyai posisi yang sangat strategis, sehingga dalam Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dibutuhkan personal-personal Hakim yang mempunyai integritas tinggi, dan komitmen yang tinggi dalam memberantas korupsi di Indonesia, sebab tanpa itu akan mustahil korupsi bisa diberantas.

Undang-undang secara tegas telah mengatur sistem rekruitmen Hakim Tindak Pidana Korupsi baik dari Hakim karir maupun untuk Hakim Ad Hoc sebagai berikut :

1) HAKIM KARIER

Untuk dapat diangkat sebagai Hakim Tindak Pidana Korupsi seorang Hakim Karier harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

a. berpengalaman menjadi Hakim sekurang-kurangnya selama 10 (sepuluh) tahun;

b. berpengalaman menangani perkara pidana;

c. jujur, adil, cakap, dan memiliki integritas moral yang tinggi serta reputasi yang baik selama menjalankan tugas;

d. tidak pernah dijatuhi hukuman disiplin dan/atau terlibat dalam perkara pidana;

e. memiliki sertifikasi khusus sebagai Hakim tindak pidana korupsi yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung; dan

(15)

f. telah melaporkan harta kekayaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

2) HAKIM AD HOC

Sedang untuk menjadi Hakim Ad Hoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi seseorang harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

a) warga negara Republik Indonesia; b) bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; c) sehat jasmani dan rohani;

d) berpendidikan sarjana hukum atau sarjana lain dan berpengalaman di bidang hukum sekurang-kurangnya selama 15 (lima belas) tahun untuk Hakim ad hoc pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dan pengadilan tinggi, dan 20 (dua puluh) tahun untuk Hakim ad hoc pada Mahkamah Agung;

e) berumur sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun pada saat proses pemilihan untuk Hakim ad hoc pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dan pengadilan tinggi, dan 50 (lima puluh) tahun untuk Hakim ad hoc pada Mahkamah Agung;

f) tidak pernah dipidana karena melakukan kejahatan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;

g) jujur, adil, cakap, dan memiliki integritas moral yang tinggi serta reputasi yang baik;

h) tidak menjadi pengurus dan anggota partai politik; i) melaporkan harta kekayaannya;

(16)

j) bersedia mengikuti pelatihan sebagai Hakim tindak pidana korupsi; dan k) bersedia melepaskan jabatan struktural dan / atau jabatan lain selama

menjadi Hakim ad hoc tindak pidana korupsi.

Undang – undang No.46 tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi juga mengatur jelas tentang komposisi dan status Hakim Tindak Pidana Korupsi yang akan menyidangkan perkara-perkara korupsi dimana dalam Bab IV bagian ke tiga disebutkan sebagai berikut23

a) Dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, pengadilan tinggi, dan Mahkamah Agung terdiri atas Hakim Karier dan Hakim ad hoc.

:

b) Hakim Karier sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan keputusan Ketua Mahkamah Agung

c) Hakim Karier yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selama menangani perkara tindak pidana korupsi dibebaskan dari tugasnya untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara lain.

d) Hakim ad hoc pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, pengadilan tinggi, dan pada Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung.

e) Hakim ad hoc sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diangkat untuk masa jabatan selama 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.

23

(17)

Ketentuan penunjukan hakim adhoc sesuai dengan pasal 13 undang –undang no.46 tahun 2009 :

a) Untuk memilih dan mengusulkan calon Hakim ad hoc pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dan pengadilan tinggi, Ketua Mahkamah Agung membentuk panitia seleksi yang terdiri dari unsur Mahkamah Agung dan masyarakat yang dalam menjalankan tugasnya bersifat mandiri dan transparan.

b) Ketentuan mengenai tata cara pemilihan untuk diusulkan sebagai Hakim ad hoc sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4) diatur dengan Peraturan Mahkamah Agung.

Dalam memangku sebuah jabatan hakim ad hoc, seorang hakim akan dilantik terlebuh dahulu dan harus membacakan sumpah yang telah diatur dalam undang – undang nomor 46 tahun 2009, dalam pasal 14 dikatakan bahwa :

1. Sebelum memangku jabatan, Hakim ad hoc diambil sumpah atau janji menurut agamanya oleh:

1) Ketua Mahkamah Agung untuk Hakim ad hoc pada Mahkamah Agung;

2) Ketua pengadilan tinggi untuk Hakim ad hoc pada pengadilan tinggi;

3) Ketua pengadilan negeri untuk Hakim ad hoc pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

(18)

2. Sumpah atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai berikut:

Sumpah:

”Demi Allah saya bersumpah bahwa saya akan memenuhi kewajiban Hakim dengan sebaik-baiknya dan seadiladilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta berbakti kepada nusa dan bangsa.”

Janji:

“Saya berjanji bahwa saya dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban Hakim dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan seluruslurusnya menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta berbakti kepada nusa dan bangsa.”

Hakim adhoc pada dasarnya hampir sama dengan hakim biasa, hal ini jika dilihat dari fungsi serta larangan – larangan yang telah diatur dalam pasal 15 undang – undang nomor 46 tahun 2009 yang isinya adalah :

Hakim ad hoc dilarang merangkap menjadi: a. pelaksana putusan pengadilan;

b. wali, pengampu, dan pejabat yang berkaitan dengan suatu perkara yang diperiksa olehnya;

(19)

d. kepala daerah; e. advokat;

f. notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah;

g. jabatan lain yang dilarang dirangkap sesuai dengan peraturan perundang-undangan; atau

h. pengusaha.

Selain larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, Hakim ad hoc yang memangku jabatan struktural dan/atau fungsional harus melepaskan jabatannya.

Dengan telah dirumuskannya segala persyaratan, sumpah dan ketentuan hakim tindak pidana korupsi, menurut penulis maka hendaknya dalam memilih dan menyeleksi hakim tindak pidana korupsi harus dilakukan dengan cara yang sebenanrnya sesuai dengan undang – undang yang telah mengaturnya.

Referensi

Dokumen terkait

Este número está dedicado al Alfabetismo transmedia, propuesta que abarcaba tanto la formación crítica para el consumo mediático como la creación de un periódico o

harganya diperkirakan mencapai 20 Miliyar. Dengan besarnya biaya investasi yang dibutuhkan, cukup sulit untuk perusahaan pelayaran dalam negeri untuk melakukan

Teknik pengambilan sampel menggunakan kombinasi dari accidental sampling, hal ini dilakukan mengingat jumlah sampel yang sangat banyak artinya penentuan jumlah sampel dan

Ketentuan yang sama juga berlaku untuk huruf awal dari judul referensi yang didahului oleh kata sandang al-, baik ketika ia ditulis dalam teks maupun dalam

Penegakan hukum terhadap pidana di pasar modal yang dilakukan oleh badan otoritas di bidang pasar modal dan lembaga keuangan, Bapepam-LK sekarang ada pada Otoritas Jasa

Dari pengertian ini kita dapat mngetahui bahwa pembelajaran berbasis masalah ini difokuskan untuk perkembangan belajar siswa, bukan untuk membantu guru mengumpulkan informasi

Instrumen yang digunakan dalam penilitian ini adalah kuisioner berbasis daftar pertanyaan yang akan disebar terkait partisipasi dalam penyusunan anggaran terhadap

Jika dibandingkan dengan standar mutu biji kakao yang ditetapkan oleh SNI (2008) pada Tabel 2, maka diperoleh hasil bahwa kadar biji tak terfermentasi dari biji