• Tidak ada hasil yang ditemukan

RUU PEMBERANTASAN PERUSAKAN HUTAN (RUU P2H) DALAM PERSPEKTIF HAM KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA (KOMNAS HAM)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "RUU PEMBERANTASAN PERUSAKAN HUTAN (RUU P2H) DALAM PERSPEKTIF HAM KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA (KOMNAS HAM)"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

Pokok-Pokok Pikiran tentang

RUU PEMBERANTASAN PERUSAKAN HUTAN

(RUU P2H)

DALAM PERSPEKTIF HAM

KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA (KOMNAS HAM)

Jakarta, 1 April 2013

(2)

BAB I PENDAHULUAN

Pengantar

1. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mencermati kerja Dewan Perwakilan Rakyat RI (DPR RI) dalam pembahasan RUU Pemberantasan Perusakan Hutan (RUU P2H). Komnas HAM berpandangan bahwa pengaturan tentang kehutanan dan sumber daya alam lainnya telah dan berpotensi berdampak pada kondisi hak asasi dari masyarakat yang hidup dari dan di dalam kawasan hutan maupun sumber daya alam lainnya.

2. Permasalahan hutan di Indonesia telah diatur melalui Undang-Undangan (UU) Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999. UU Kehutanan merupakan aturan yang mengatur secara umum tentang kebijakan tata kelola hutan di seluruh Indonesia. Ruang lingkup tata kelola hutan yang diatur didalam UU Kehutanan masih terbatas tentang macam-macam status hutan yang ada di Indonesia dan kebijakan konservasinya. Sehingga dari pihak pemerintah masih memerlukan perangkat aturan lain yang mengatur lebih khusus tentang penanganan masalah hutan, terutama pembalakan liar yang belum tuntas ditangani. Dengan perumusan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pencegahan Perusakan Hutan (P2H), nampaknya pemerintah hendak mengatur permasalahan perusakan hutan secara lebih luas, tidak terbatas pada permasalahan pembalakan liar saja.

3. Komnas HAM memahami bahwa puluhan juta warga Indonesia hidup tergantung dari sumber daya hutan. Data Kementerian Kehutanan dan BPS (2007, 2009) menunjukkan terdapat 31.957 desa berada di dalam dan sekitar kawasan hutan dan 71,06% dari desa-desa tersebut menggantungkan hidupnya dari sumber daya hutan1. Masyarakat yang tinggal dan hidup di desa-desa tersebut yang selama ini

menerima dampak langsung dari kerusakan hutan2. Sebagian besar masyarakat

tersebut adalah masyarakat hukum adat yang keberadaannya dan hak-haknya diakui dalam UUD 1945, Tap No. IX/MPR-RI/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, UU No. 5/1960 tentang Pokok-pokok Agraria, UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 41/1999 tentang

1 Departemen Kehutanan dan Badan Pusat Statistik, 2007, Identifikasi Desa Dalam Kawasan Hutan 2007, Jakarta:

Departemen Kehutanan dan Badan Pusat Statistik.

2 Lampiran 3 Nota Kesepakatan Rencana Aksi Bersama antara 12 Kementerian/Lembaga Negara tentang

(3)

Kehutanan dan UU No. 32/2004 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

4. Komnas HAM memahami kerumitan masalah pengelolaan hutan di Indonesia. Kalangan akademisi mengidentifikasi enam faktor utama penyebab deforestasi dan degradasi hutan, yaitu: (1) lemahnya tata kelola lahan, termasuk masalah koordinasi perizinan antar sektor dan pusat-daerah yang minim, (2) lemahnya dasar dan penegakan hukum, (3) tata ruang yang lemah, (4) unit managemen hutan tidak efektif, (5) korupsi, dan (6) masalah tenurial.3 Satuan Tugas Persiapan

Kelembagaan REDD+ di Indonesia (Satgas REDD+)4 menetapkan lima pilar

program utama untuk sebagai upaya untuk pembenahan sistem tata kelola hutan dan lahan untuk dapat mengatasi perusakan hutan dan pengurangan hutan. Kelima pilar tersebut adalah: (i) Perangkat Kelembagaan dan Proses; (ii) Perangkat Hukum dan Peraturan ; (iii) Program Strategis; (iv) Paradigma dan Budaya Kerja; dan (v) Partisipasi Masyarakat.5

5. Sehubungan dengan itu, Komnas HAM memandang perlu untuk melakukan kajian guna mencermati RUU P2H dari perspektif hak asasi manusia. Komnas HAM selanjutnya memandang penting untuk membuat kertas posisi atas RUU P2H. Hal ini sesuai dengan wewenang dan mandat Komnas HAM untuk melakukan kajian sebagaimana diamanatkan Pasal 89 ayat 1 butir b UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia bahwa untuk melaksanakan fungsi Komnas HAM dalam pengkajian dan penelitian, sebagaimana dimaksud dalam pasal 76 UU, Komnas HAM bertugas dan berwenang melakukan “pengkajian dan

penelitian berbagai peraturan perundang-undangan untuk memberikan rekomendasi mengenai pembentukan, perubahan, dan pencabutan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hak asasi manusia”

6. Pokok-pokok pikiran ini merupakan cerminan posisi Komnas HAM atas RUU P2H yaitu terhadap naskah yang telah disetujui dalam Rapat Timus 21 Februari 2013. Komnas HAM memberi pandangan dari sudut pandang hak asasi manusia dalam hal ini hak-hak masyarakat hukum adat dan masyarakat lokal lainnya. Hak-hak Asasi Masyarakat Hukum Adat terkait dengan pengelolaan sumber daya alam

7. Pasal 1 ayat 1 UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU 39/1999 ttg HAM) menetapkan: “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat

3 Kartodihardjo, Hariadi, Prof. Dr. MS., “Manajemen Perencanaan Lahan”, materi presentasi dalam

Pelatihan Penegakan Hukum Terpadu dengan Pendekatan Multi-Door dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana Sumber Daya Alam-Lingkungan Hidup di atas Hutan dan Lahan Gambut, Satuan Tugas Persiapan Kelembagaan REDD+ di Indonesia, Jakarta, Nopember 2012, hal. 10.

4 REDD+ singkatan dari Reducing Emission from Deforestation and forest Degradation+ atau

Pengurangan emisi gas rumah kaca akibat perusakan dan pengurangan hutan adalah mekanisme global dalam Konvensi Perubahan Iklim yang dapat diikuti oleh negara berkembang seperti Indonesia.

5 “Strategi Nasional REDD+”, Satuan Tugas Persiapan Kelembagaan REDD+ di Indonesia (Satgas

REDD+), Nopember 2012, Jakarta. Satgas REDD+ adalah suatu satuan tugas yang dibentuk berdasarkan KeppresKeputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2010 jo. Perpres Nomor 25, Tahun 2011

(4)

pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.”

8. UUD 1945 merupakan produk hukum tertinggi di dalam hirarki perundang-undangan di Indonesia. Dalam UUD 1945, terdapat pasal-pasal yang berlaku untuk semua warga negara dan yang mempunyai relevansi terhadap masyarakat hukum adat, di samping adanya dua pasal yang secara khusus berbicara mengenai masyarakat hukum adat dan masyarakat tradisional. Contoh jenis pertama adalah pasal 33 (3), sebagai bagian dari Bab tentang Ekonomi Nasional dan Kesejahteraan Sosial, yang menyatakan: “Bumi, air dan sumber kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Selain itu, terdapat dua pasal yang relevan di dalam Bab tentang Hak-hak Asasi Manusia. Pasal 28G(1) berbunyi: “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang ada di bawah kekuasaannya serta berhak atas rasa aman dan perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi manusia”, dan pasal 28H(4): “Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi, dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun”. Pasal-pasal khusus tentang masyarakat

hukum adat adalah pasal 18B(2) yang menyatakan: “Negara mengakui dan

menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-undang,” dan pasal 28I(3): “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras perkembangan zaman dan peradaban.”

9. UU 39/1999 tentang HAM mengatur secara menyeluruh hak-hak asasi dari setiap warga negara Indonesia. Beberapa hak-hak yang berlaku umum yang relevan dengan tata kehidupan masyarakat di dalam dan sekitar hutan adalah sebagai berikut:

- Hak untuk hidup (Pasal 9)

- Hak untuk mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya

- Hak hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin - Hak atas Lingkungan Hidup yang bersih dan sehat

- Hak atas kesejahteraan (Pasal 36 dan Pasal 38)

- Setiap orang berhak mempunyai milik, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain demi pengembangan dirinya, keluarga, bangsa, dan masyarakat dengan cara yang tidak melanggar hukum.

- Tidak seorangpun boleh dirampas miliknya dengan sewenang-wenang dan secara melawan hukum.

- Hak milik mempunyai fungsi sosial.

- Setiap warga negara, sesuai dengan bakat, kecakapan, dan kemampuan, berhak atas pekerjaan yang layak.

(5)

- Hak Memperoleh Keadilan (Pasal 17)

- Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang objektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar.

- Hak atas Rasa Aman (Pasal 29, Pasal 33)

- Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan hak miliknya.

- Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya.

Kewajiban dan Tanggung Jawab Negara dan Pemerintah

10. Pasal 2 UU No. 39/1999 tentang HAM menetapkan: “Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan.”.

11. Terkait dengan kewajiban Pemerintah dirumuskan dalam pasal 71 UU No. 39/1999 yang menyatakan: “Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam Undang-undang ini, peraturan perundang-undangan lain, dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang diterima oleh negara Republik Indonesia.” Dan pasal 72 yang menyatakan: “Kewajiban dan tanggung jawab Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, meliputi langkah implementasi yang efektif dalam bidang hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan negara, dan bidang lain.

Realitas Hukum dan Hak-hak Masyarakat Hukum Adat dan lokal lainnya6

12. Tanah dan sumber daya alam di Indonesia merupakan sumber kehidupan bagi sebagian besar anggota-anggota masyarakat hukum adat dan masyarakat lokal lainnya. Kelompok masyarakat hukum adat mempunyai beranekaragam jenis penguasaan tanah dan pengelolaan sumber daya alam. Mereka juga menggunakan berbagai istilah untuk berbagai jenis kegiatan penggunaan dan pengolahan tanah. UUD 1945 dan beberapa peraturan perundang-undangan mengakui keberadaan mereka dan hak-haknya. Namun, beberapa pasal tentang hak-hak masyarakat hukum adat dalam beberapa Undang-undang cenderung mengatur hak-hak masyarakat hukum adat dan sumber daya alam secara umum tanpa memberikan

6 Disarikan dari Moniaga, Sandra (2010). “Antara hukum Negara dan realitas sosial politik di

tataran kabupaten: Perjuangan mempertahankan hak atas tanah adat di pedesaan Banten”, dalam Myrna A. Safitri dan Tristam Moeliono, eds. Hukum Agraria dan Masyarakat di Indonesia. HuMA, KITLV Jakarta dan VVI. Jakarta. Hal. 143-182.

(6)

ruang hukum bagi keberagaman penguasaan tanah dan pengelolaan sumber daya alam tersebut.

13. Sidang Umum MPR di tahun 2001 mengesahkan Ketetapan MPR yang relevan terhadap masyarakat hukum adat dan tanah, sumber daya alam dan urusan agraria, yaitu Tap No.XI/MPR-RI/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang didasari prinsip-prinsip sbb.:

a. Memelihara dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;

b. Menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia ;

c. Menghormati supremasi hukum dengan mengakomodasi keanekaragaman dalam unifikasi hukum;

d. Mensejahterakan rakyat, terutama melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia;

e. Mengembangkan demokrasi, kepatuhan hukum, transparansi dan optimalisasi partisipasi rakyat;

f. Mewujudkan keadilan termasuk kesetaraan gender dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan, pemanfaatan, dan pemeliharaan sumber daya agraria/sumber daya alam;

g. Memelihara keberlanjutan yang dapat memberi manfaat yang optimal, baik untuk generasi sekarang maupun generasi mendatang, dengan tetap memperhatikan daya tampung dan daya dukung lingkungan;

h. Melaksanakan fungsi sosial, kelestarian, dan fungsi ekologis sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat;

i. Meningkatkan keterpaduan dan koordinasi antarsektor pembangunan dan antar daerah dalam pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam;

j. Mengakui, menghormati, dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria/sumber daya alam;

k. Mengupayakan keseimbangan hak dan kewajiban negara, pemerintah (pusat, daerah provinsi, kabupaten/kota, dan desa atau yang setingkat), masyarakat dan individu;

l. Melaksanakan desentralisasi berupa pembagian kewenangan di tingkat nasional, daerah provinsi, kabupaten/kota, dan desa atau yang setingkat, berkaitan dengan alokasi dan pengelolaan sumber daya agraria/sumber daya alam.

14. Pengakuan hak-hak atas tanah adat pada masa pasca-kolonial ditetapkan pertama kali di dalam UU No. 5/1960 tentang Pokok-pokok Agraria (UUPA), UUPA terutama dirancang untuk mengakhiri dualisme sistem penguasaan tanah yang bermula pada masa rezim kolonial, ketika Belanda memberlakukan sistem sentralisasi kekuasaan pada pemerintah pusat terhadap sistem kepemilikan adat yang sudah ada. Tujuan UUPA adalah untuk memberikan kepastian hukum kepada semua warga negara Indonesia. Karena itu, mengacu pada pasal 19 UUPA tentang proses pendaftaran tanah, hak-hak adat ini harus didaftarkan. Maksud pendaftaran tanah ini adalah menyediakan suatu sistem penguasaan tanah yang

(7)

jelas, tidak mendua-arti bagi rakyat dan bangsa. Bagaimanapun juga, di wilayah-wilayah luar Jawa di mana masyarakat pedesaan biasanya masih mengalami keadaan terisolasi dari segi informasi, sebagian besar masyarakat hukum adat kurang mendapatkan informasi mengenai kebutuhan atau kewajiban mendaftarkan hak kepemilikan tanah mereka pada Kantor-kantor Badan Pertanahan.7

15. UUPA memuat istilah masyarakat hukum adat, hak ulayat, dan hukum adat, namun tidak secara jelas mendefinisikan pengertian dari masing-masing istilah tersebut. Demikian juga, jenis-jenis hak atas tanah dan sumber daya alam lainnya menurut pasal 16 (1) dan (2) dalam UUPA tidak meliputi hak ulayat maupun jenis hak atas tanah dan sumber daya alam lainnya yang dimiliki masyarakat hukum adat. Pengakuan keberadaan hak-hak masyarakat hukum adat pada tanah dan sumber daya alam juga menghadapi persoalan ketika akan dilakukan di kawasan yang dikenal sebagai kawasan hutan. Banyak kelompok masyarakat hukum adat selama ini bermukim di kawasan hutan, jauh sebelum penunjukan dan/atau pengukuhan wilayah tersebut sebagai kawasan hutan pada masa pemerintahan kolonial Belanda dan berlanjut selama ditetapkannya rezim pengaturan kehutanan nasional setelah disahkannya Undang-undang Pokok Kehutanan No.5/1967.8 Beberapa dari kelompok masyarakat itu mempraktikkan usaha

pertanian seperti budidaya sawah pengairan dan sawah tadah hujan, juga tanaman karet; kelompok lain mengutamakan pertanian tradisional dan melakukan kegiatan berburu atau meramu hasil hutan. Selama itu, hukum adat berkenaan dengan penggunaan sumber daya alam berkembang di tengah masyarakat tersebut. Fenomena ini diakui di dalam Pasal 5 UUPA yang menyatakan:

Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.

7 Moniaga, Sandra (1993). “Toward Community-based Forestry and the Recognition of the Adat

Property Rights in the Outer Islands of Indonesia”, dalam Jefferson Fox (penyunting), Legal Framework for Forest Management in Asia: Case Studies of Community-State Relations, hal. 131-150. Honolulu: East-West Center [Occasional Paper of Program on Environment]; Purwiyati, Dias Budi (2007). “Persepsi Masyarakat terhadap Pensertifikatan Tanah di Kelurahan Keparakan, Kecamatan Mergangsan, Kota Yogyakarta”. Skripsi. Hal. i. Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional. Yogyakarta; Moniaga, Sandra (2010) “Antara hukum Negara dan realitas sosial politik di tataran kabupaten: Perjuangan mempertahankan hak atas tanah adat di pedesaan Banten”, dalam Myrna A. Safitri dan Tristam Moeliono, eds. Hukum Agraria dan Masyarakat di Indonesia. HuMA, KITLV Jakarta dan VVI. Jakarta. Hal. 143-182.

8 Sebagian besar Kawasan Hutan Negara di Jawa dan Sumatra dikukuhkan dan/atau ditunjuk

selama masa pemerintahan kolonial Belanda, dan wilayah-wilayah di bagian lain di Indonesia ditunjuk sebagai Kawasan Hutan Negara selama tahun 1970-an hingga tahun 1980-an.

(8)

16. Pengakuan hukum negara terhadap hak ulayat selanjutnya untuk sebagian dikonfirmasikan setelah 39 tahun pengesahan UUPA. Lazimnya, penjabaran lebih lanjut UUPA akan terlaksana dalam bentuk Peraturan Pemerintah, namun dalam konteks ini, pengakuan tersebut hanya dikonfirmasikan melalui dikeluarkannya PMA/KBPN No.5/1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah-masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.9 Bagian “Mempertimbangkan” dari Peraturan

tersebut terdiri atas lima butir, dua di antaranya menyatakan:

‘bahwa dalam kenyataannya pada waktu ini di banyak daerah masih terdapat tanah-tanah dalam lingkungan masyarakat hukum adat yang pengurusan, penguasaan dan penggunaannya didasarkan pada ketentuan hukum adat setempat dan diakui pleh para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan sebagai tanah ulayatnya’

dan

‘bahwa akhir-akhir ini di berbagai daerah timbul berbagai masalah mengenai hak ulayat tersebut, baik mengenai eksistensinya maupun penguasaan tanahnya.’

Peraturan Menteri ini menegaskan tentang realitas sosial bahwa banyak pengelolaan, penguasaan dan penggunaan tanah dilakukan berdasarkan pada hukum adat setempat, namun masih ada masalah-masalah berkaitan dengan hak ulayat atas tanah-tanah tersebut. Peraturan Menteri itu juga menegaskan otoritas pemerintah daerah kabupaten di dalam mengelola masalah pertanahan, mengacu pada UU No.22/1999. Di pihak lain, Peraturan Menteri itu membatasi pengakuan terhadap hak ulayat atas tanah-tanah yang: (a) telah dimiliki oleh perorangan atau badan hukum yang memegang hak penguasaan tanah berdasarkan UUPA, dan (b) dimiliki atau diserahkan oleh suatu dinas pemerintah, badan hukum atau perorangan yang mengacu pada dan sesuai dengan perundang-undangan dan peraturan yang ada (pasal 3).

17. Ketidakjelasan dan ketiadakpastian hukum terhadap keberadaan masyarakat hukum adat serta hak-haknya atas tanah, semakin bertambah dengan disahkannya UU No.41/1999 tentang Kehutanan sebagai pengganti UU Pokok Kehutanan No.5/1967. Salah satu klausul yang bermasalah dalam Undang-undang Kehutanan 1999 ini adalah ketentuan yang yang mengatakan bahwa kawasan hutan adalah wilayah yang ditunjuk dan/atau ditetapkan oleh pemerintah dengan tujuan melestarikan keberadaannya sebagai hutan tetap (Pasal 1 ayat 3), dan hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat (Pasal 1 ayat 6). UU Kehutanan ini juga menetapkan bahwa pemerintah berwewenang menunjuk kawasan hutan [Pasal 1(1), 1(2) dan 1(3)]. Penunjukan hutan adat dapat

9 Peraturan Menteri itu dirumuskan dan diterbitkan pada tahun pertama ‘Reformasi’ –masa

setelah berakhirnya kekusaan Pemerintahan Suharto-, segera setelah Hasan Basri Durin, Kepala Badan Pertanahan Nasional saat itu, menghadiri Kongres Pertama Masyarakat Adat Nusantara (Indonesia) bulan Maret 1999. Saat itu, ia dikritik dan disodori pertanyaan secara langsung berkenaan dengan kebijakan-kebijakan agraria yang mengabaikan keberadaan masyarakat hukum adat dan hak-hak mereka atas tanah.

(9)

dilaksanakan sepanjang menurut kenyataan masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya [Pasal 5(3)], dan pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud ditetapkan dengan Peraturan Daerah [Pasal 67(2)] 10.

18. UUPA dan PMA/KBPN No.5/1999 mengakui hak-hak ulayat masyarakat hukum adat, sedangkan UU No.41/1999 mengakui juga tetapi dengan konsep dan prosedur yang berbeda. PMA/KBPN No.5/1999 mengakui keberadaan hak-hak ulayat dan mengatur prosedur pengakuan untuk klaim hak ulayat diluar kawasan hutan, tetapi peraturan ini dibatasi pemberlakuannya atas tanah yang sudah dikuasai oleh instansi pemerintah, badan hukum atau perseorangan sesuai dengan ketentuan yang berlaku11. Di wilayah-wilayah yang diklasifikasikan

sebagai kawasan hutan negara, hasil penelitian Pemerintah Daerah Kabupaten atau Provinsi dapat mengarah atau berujung pada pengakuan terhadap eksistensi masyarakat hukum adat dan tanah ulayat mereka12. Keputusan Pemerintah

Daerah Kabupaten atau Provinsi dapat mengubah status tanah atau bisa juga tanah tersebut tetap dianggap sebagai kawasan hutan negara tergantung pada keputusan Menteri Kehutanan. Bagaimanapun juga, hak-hak ulayat masyarakat hukum adat atas tanah serupa, bisa saja mendapatkan status berbeda apabila kita mengacu pada pasal-pasal di dalam UUPA kecuali kalau kita terbelenggu oleh materi pasal 3 di dalam PMA/KBPN No. 5/1999 yang sejalan dengan UU Kehutanan.

19. Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, salah satu masalah berkenaan dengan hak ulayat masyarakat hukum adat di sektor kehutanan, terletak pada klaim-klaim yang tumpang tindih antara masyarakat hukum adat dan Departemen Kehutanan. Di penghujung tahun 2004, Departemen Kehutanan mengklaim bahwa luasan seluruh kawasan hutan adalah 126,8 juta hektar. Wilayah ini diklasifikasikan menurut fungsi, yaitu: hutan konservasi (23,2 juta hektar), hutan lindung (32,4 juta), hutan produksi terbatas (21,6 juta), hutan produksi (35,6 juta) dan hutan produksi konversi (14 juta) [Departemen Kehutanan, 2006:32-3]. Setiap fungsi mempunyai tujuan, definisi dan pembatasannya masing-masing, yang dapat berpengaruh terhadap sumber penghidupan masyarakat hukum adat. Bagi masyarakat hukum adat yang tanah ulayatnya terletak di kawasan hutan produksi, mungkin saja menghadapi keterpaksaan untuk terlibat di dalam usaha

10 Lihat juga Penjelasan atas Pasal 5 (3) yang menyatakan bahwa hutan yang telah dikelola oleh

masyarakat hukum adat dimasukkan di dalam pengertian hutan Negara sebagai konsekuensi adanya hak menguasai oleh Negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat pada tingkatan yang tertinggi dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.

11 Lihat Pasal 3 PMA/KBPN No.5/1999

12 Lihat Surat Edaran Menteri Kehutanan No. S.75/Menhut-II/2004 sebagai satu-satunya

instrumen hukum yang menguraikan prosedur pelaksanaan dari 67 UU Kehutanan yang ditujukan untuk penyelesaian tuntutan masyarakat hukum adat yang bersengketa dengan pemegang Hak Pengusahaan Hutan/Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK),

(10)

bisnis skala besar hutan produksi atau bahwa tanah-tanah mereka akan disewakan (jangka panjang) kepada perusahaan penebangan kayu. Konsekuensi-konsekuensi ini besar kemungkinan tidak sejalan dengan cara-cara yang diinginkan masyarakat-masyarakat tersebut mengelola tanah-tanah ulayat mereka.

20. Pengukuhan kawasan hutan Negara diatur di dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.44/2004 tentang Perencanaan Hutan, Peraturan Menteri Kehutanan No.44/Menhut-II/2012 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan, dan Peraturan Menteri Kehutanan No. 47/Menhut-II/2010 tentang Panitia Tata Batas Kawasan Hutan, yang mana menurut kedua peraturan menteri tersebut ditentukan bahwa Dirjen Planologi Kehutanan dapat menetapkan sepihak kawasan hutan, tanpa menunggu persetujuan masyarakat yang menguasai wilayah setempat. Sedangkan untuk penetapan dan perubahan status dan fungsi kawasan hutan sebagian besar tercantum dalam Keputusan Menteri Kehutanan No.70/Kpts-II/2001. Menurut Pasal 5 dan 16 PP No.44/2004, wewenang pengukuhan kawasan hutan Negara berada di tangan Menteri Kehutanan. Wewenang Pemerintah Daerah Kabupaten terbatas pada penentuan batas-batas kawasan hutan yaitu wewenang untuk membentuk Panitia Tata Batas yang berfungsi memberikan klarifikasi tentang status tanah dalam proses penyelenggaraan tata batas. Pemerintah daerah tidak mempunyai wewenang untuk mengukuhkan kawasan hutan. Wewenang demikian tetap berada di tangan Menteri Kehutanan. Namun, wewenang Menteri Kehutanan untuk mengubah status dan fungsi kawasan hutan hanya dapat diterapkan pada wilayah yang termasuk kategori hutan produksi konversi. Terhadap kategori hutan lainnya, perubahan status harus dikaji oleh suatu Panitia Terpadu yang pembentukannya diusulkan oleh DPRD Kabupaten. Keputusan akhir terhadap perubahan itu tetap berada pada Kementerian Kehutanan.13

21. Pengaturan tentang kawasan hutan yang ditunjuk sebagai kawasan hutan Negara tetapi yang tumpang tindih dengan klaim-klaim adat yang berawal dari zaman kolonial, tetap masih kabur. Siapa dan/atau institusi mana yang berkewajiban dan mempunyai wewenang untuk menyelesaikan masalah ini? Meskipun UU No 41/1999 mengatur tentang hutan adat, namun pada saat tulisan ini ditulis, belum ada suatu peraturan pemerintah yang berkaitan dengan penyelesaian tumpang tindih klaim antara hak ulayat dengan klaim-klaim Departemen Kehutanan kecuali Surat Edaran Menhut tersebut diatas.

22. Perkembangan hukum mengenai pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat dan hak-hak mereka mengarah pada perkembangan positif dengan disahkannya UU No.39/1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 6 (2) dari UU ini mencantumkan bahwa:

identitas kultural masyarakat hukum adat, termasuk hak-hak mereka atas tanah ulayat, diberi perlindungan hukum sesuai dengan perkembangan zaman.

Lebih lanjut,

13

(11)

dalam hubungan dengan penegakan hak asasi manusia, segala perbedaan dan kebutuhan spesifik dari masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat dan pemerintah [Pasal 6 (1)].

Melalui Undang-undang ini, Negara telah menerima prinsip-prinsip hak asasi manusia, dan pada waktu yang sama mengakui masyarakat hukum adat sebagai salah satu subyek hukum yang seyogianya mendapatkan hak-hak khusus.

23. Disisi lain, UU Kehutanan tahun 1999 mengatur tentang hutan adat sebagai hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. UU Kehutanan itu juga menetapkan bahwa kawasan hutan yang telah ditunjuk dan atau ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebelum berlakunya undang-undang ini dinyatakan tetap berlaku berdasarkan undang-undang ini14.

Dengan kata lain, hak ulayat yang diakui dalam UUD 1945, UUPA dan UU HAM tidak dijamin apabila wilayah yang diklaim dengan hak ulayat berada dalam kawasan hutan negara sebagaimana diatur dalam UU Kehutanan. UU Kehutanan tahun 1999 tidak memberi jaminan yang jelas bagi hak-hak masyarakat hukum adat, dan dengan demikian berbeda sekali dengan undang-undang lain yang ada di Indonesia.

24. Tumpang tindih tanah ulayat masyarakat hukum adat dengan kawasan hutan Negara cenderung membawa kerugian terhadap kehidupan sehari-hari penduduk desa. Pasal 50 UU No.41/1999 melarang sejumlah kegiatan pertanian, misalnya secara melawan hukum mengerjakan/membudidayakan dan/atau menggunakan dan/atau menduduki kawasan hutan; melanggar batas-batas suatu kawasan hutan, di dalam radius atau jarak tertentu; membakar hutan, menebang pohon, memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau surat ijin yang diterbitkan oleh pejabat yang berwewenang. Pelanggaran terhadap salah satu ketentuan ini akan berakibat dikenakannya hukuman penjara, yang berkisar antara tiga bulan hingga maksimum 15 tahun dan hukuman denda yang berkisar antara Rp 10 juta hingga maksimum Rp 10 milyar.15

25. Perkembangan terbaru yang menggembirakan bagi masyarakat hukum adat dengan ditetapkannya UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH). Undang-undang ini mengakui keberadaan mereka dan mengatur tentang pengakuan keberadaan mereka, pengetahuan lokalnya serta hak-haknya dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Selain itu, UU ini juga mengatur tentang Perusakan Lingkungan Hidup sebagai: “tindakan orang yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup sehingga melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.”

14 Lihat Bab. Ketentuan Peralihan Pasal 81 UU Kehutanan

(12)

BAB II

Pandangan atas Materi RUU P2H (draft 21 Pebruari 2013)

26. Sebagaimana dikemukakan diawal narasi ini, Komnas HAM berpandangan bahwa pengaturan tentang kehutanan dan sumber daya alam lainnya telah dan berpotensi berdampak pada kondisi hak asasi dari masyarakat yang hidup dari dan di dalam kawasan hutan maupun sumber daya alam lainnya. Keberadaan masyarakat hukum adat, hak-hak asasinya secara umum dan hak-hak khususnya sebagai masyarakat diakui dalam UUD 1945, UUPA dan UU PPLH namun tidak sepenuhnya diakui dalam UU Kehutanan. Realitas hukum yang demikian telah berdampak pada terjadinya pelanggaran hak-hak asasi masyarakat hukum adat dan masyarakat lokal lainnya yang hidup di dalam dan sekitar kawasan hutan. Keberadaan 31.957 desa berada di dalam dan sekitar kawasan hutan dan 71,06% dari desa-desa tersebut menggantungkan hidupnya dari sumber daya hutan jelas-jelas berdampak pada terjadinya konflik klaim hak atas tanah di dalam kawasan-kawasan hutan. Konflik-konflik klaim hak atas tanah yang latent telah mengakibatkan pelanggaran hak hidup, hak atas rasa aman dan hak atas kesejahteraan. Sedangkan konflik-konflik yang telah manifest dan diwarnai kekerasan berdampak pada hak hidup dan hak untuk memperoleh keadilan.

27. Penetapan RUU P2H dapat menyumbang pada upaya pemajuan hak-hak asasi manusia tetapi dapat juga menambah rumit masalah bahkan menjadi dasar terjadinya pelanggaran hak-hak asasi masyarakat hukum adat dan lokal lainnya. Berikut ini adalah tabel yang memuat pasal-pasal ambigu yang kami nilai dapat menjadi dasar hukum terjadinya pelanggaran HAM ketika RUU PPH sah menjadi UU PPH dan diterapkan.

Perihal Pasal Materi

Menimbang c. bahwa telah terjadi perusakan hutan yang disebabkan oleh pemanfaatan hutan dan

penggunaan kawasan hutan yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan;

d. bahwa perusakan hutan, terutama berupa pembalakan liar, penambangan tanpa

izin, dan perkebunan tanpa izin telah menimbulkan kerugian negara, kerusakan kehidupan sosial budaya dan lingkungan hidup, serta meningkatkan pemanasan global yang telah menjadi isu nasional, regional, dan internasional;

e. bahwa perusakan hutan sudah menjadi kejahatan luar biasa, terorganisasi, dan

transnasional yang dilakukan dengan modus operandi yang canggih, telah mengancam kelangsungan kehidupan masyarakat sehingga dalam rangka pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan yang efektif dan pemberian efek jera diperlukan landasan hukum yang kuat dan yang mampu menjamin efektivitas penegakan hukum;

f. bahwa peraturan perundang-undangan yang ada sampai saat ini tidak memadai

dan belum mampu menangani pemberantasan secara efektif terhadap perusakan hutan yang terorganisasi; dan

Bab. I. Ketentuan Umum

Pasal 1 butir 3: Perusakan hutan adalah proses, cara, atau perbuatan merusak hutan melalui kegiatan pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah di dalam kawasan hutan yang telah ditetapkan, yang telah ditunjuk, ataupun yang

(13)

sedang diproses penetapannya oleh Pemerintah.

Pasal 1 Butir 4: Pembalakan liar adalah semua kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu secara tidak sah yang terorganisasi.

Pasal 1 butir 6: Penggunaan kawasan hutan secara tidak sah adalah kegiatan terorganisasi yang

dilakukan di dalam kawasan hutan untuk perkebunan dan/atau pertambangan tanpa izin Menteri

Pasal 1 butir 7: Terorganisasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh suatu kelompok yang terstruktur, yang terdiri atas 2 (dua) orang atau lebih, dan yang bertindak secara bersama-sama pada waktu tertentu dengan tujuan melakukan perusakan hutan,

tidak termasuk kelompok masyarakat yang melakukan perladangan tradisional.

BAB II Asas, Tujuan, dan Ruang Lingkup

Pasal 2 Upaya pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan dilakukan dengan

berasaskan:

a. keadilan dan kepastian hukum; b. keberlanjutan;

c. tanggung jawab Negara

d. partisipasi masyarakat e. tanggung gugat; f. prioritas; dan

g. keterpaduan dan koordinasi. Bagian Kedua Ketentuan Perbuatan Perusakan Hutan

Pasal 11 Setiap orang dilarang:

a. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan yang tidak sesuai dengan izin pemanfaatan hutan;

b. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan tanpa memiliki izin yang dikeluarkan oleh pejabat;

c. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan secara tidak sah; d. memuat, membongkar, mengeluar-kan, meng-angkut, menguasai, dan/atau

memiliki hasil penebangan di kawasan hutan tanpa izin;

e. mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan kayu yang tidak dilengkapi secara bersama surat keterangan sahnya hasil hutan;

f. membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang; h. memanfaatkan hasil hutan kayu yang diduga berasal dari hasil pembalakan liar;

Pasal 19 Setiap orang dilarang mencegah, merintangi, dan/atau menggagalkan secara

langsung maupun tidak langsung upaya pemberantasan pembalakan liar dan penggunaan kawasan hutan secara tidak sah.

Pasal 20 Setiap orang dilarang memanfaatkan kayu hasil pembalakan liar dan/atau

penggunaan kawasan hutan secara tidak sah yang berasal dari hutan konservasi. Bab VI

Peran Serta Masyarakat

Pasal 57 Masyarakat berhak atas:

a. Lingkungan hidup yang baik dan sehat termasuk kualitas lingkungan hidup yang dihasilkan dihasilkan oleh hutan;

b. pemanfaatan hutan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan; c. upaya pemberdayaan masyarakat; dan

d. penyuluhan tentang pentingnya kelestarian hutan dan dampak negatif perusakan hutan.

Selain hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam rangka pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan, masyarakat berhak:

a. mencari dan memperoleh informasi adanya dugaan telah terjadinya perusakan hutan;

b. mendapat pelayanan dalam mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi perusakan hutan dan penyalahgunaan izin kepada penegak hukum;

(14)

c. mencari dan memperoleh informasi terhadap izin pengelolaan hutan yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah setempat.

d. menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggungjawab kepada penegak hukum; dan

e. memperoleh pelindungan hukum dalam:

1. melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c; dan

2. proses penyelidikan, penyidikan, dan persidangan sebagai saksi pelapor, saksi, atau saksi ahli sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bab X Ketentuan Pidana

Pasal 82 ayat (1); Setiap orang yang:

a. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan yang tidak sesuai dengan izin pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf a; b. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan tanpa memiliki izin yang

dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf b;

c. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf c;

d. memuat, membongkar, mengeluar-kan, meng-angkut, menguasai, dan/atau memiliki hasil penebangan di kawasan hutan tanpa izin, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf d;

e. mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan kayu yang tidak dilengkapi secara bersama surat keterangan sahnya hasil hutan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf e;

f. membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan kayu di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf g;

g. memanfaatkan hasil hutan kayu yang diduga berasal dari hasil pembalakan liar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf h;

h. mengedarkan kayu hasil pembalakan liar melalui darat, perairan, atau udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf i;

dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah). Pasal 82 ayat 2; Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b,

huruf c, huruf j, huruf k, huruf l, huruf t, huruf u, dan huruf v dilakukan oleh orang perseorangan yang bertempat tinggal di sekitar atau di dalam kawasan hutan, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit 500.000,- (lima ratus ribu rupiah) paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Pasal 83 ayat 1 Setiap orang yang :

b. melakukan kegiatan pertambangan di dalam kawasan hutan tanpa izin dari Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf b; dan/atau

c. melakukan kegiatan perkebunan tanpa izin di dalam kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) huruf b;

dipidana dengan pidana penjara paling singkat 8 (delapan) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah)

Pasal 83 ayat 2 Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, dilakukan oleh orang perseorangan yang bertempat tinggal di sekitar atau di dalam kawasan

(15)

hutan dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Pasal 84 ayat 1; Setiap orang yang membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf f, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp7.500.000.000,00 (tujuh miliar lima ratus juta rupiah).

Pasal 84 ayat 2; Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang perseorangan yang bertempat tinggal di sekitar atau di dalam kawasan hutan dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

BAB III

ANALISA, KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Analisa dan Kesimpulan

28. Naskah RUU P2H per 21 Pebruari 2013 tidak mengacu pada prinsip-prinsip hak asasi manusia secara umum maupun pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat sebagaimana dapat dilihat pada rumusan bagian menimbang dan ketentuan umum dari RUU ini. Keberadaan masyarakat hukum adat tidak diakui dalam RUU P2H merupakan satu bentuk penegasian substansial terhadap UUD 1945. Asas-asas yang dijadikan acuan dalam RUU P2H mengabaikan prinsip-prinsip Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam sebagaimana ditetapkan dalam Tap No IX/MPR-RI/2001 yang semestinya dijadikan acuan.

29. Meskipun RUU ini dirumuskan sebagai “menitikberatkan pada pemberantasan perusakan hutan yang dilakukan secara terorganisasi, yaitu kegiatan yang dilakukan oleh suatu kelompok yang terstruktur, terdiri atas 3 (tiga) orang atau lebih yang bertindak secara bersama-sama, pada suatu waktu tertentu dengan tujuan melakukan perusakan hutan, tidak termasuk kelompok masyarakat yang melakukan perladangan tradisional. Pengecualian terhadap kegiatan perladangan tradisional dimaksudkan untuk melindungi masyarakat sekitar hutan yang secara turun termurun telah ada dan hidup di wilayah tersebut dengan melakukan kegiatan perladangan yang dilaksanakan mengikuti tradisi rotasi yang telah ditetapkan oleh kelompoknya.”16 Namun tidaklah berarti RUU ini mengakui dan

menghormati hak-hak masyarakat hukum adat sepenuhnya karena masyarakat hukum adat memiliki beragam pola pengelolaan sumber daya alam, bukan hanya perladangan tradisional.

16

(16)

30. Adalah satu langkah mundur bila RUU P2H ini disahkan menjadi undang-undang tanpa mengatur keberadaan masyarakat hukum adat. Apabila diperbandingkan antara UU Kehutanan dan RUU P2H, keberadaan aturan mengenai masyarakat hukum adat diatur dalam UU kehutanan sedangkan pada RUU PPH tidak mengaturnya. Istilah “masyarakat hukum adat” dalam RUU ini hanya terdapat dalam rumusan penjelasan pasal 7 yang mengatur tentang pencegahan perusakan hutan dimana masyarakat menjadi salah satu subyek yang diakui. Istilah “tradisional” digunakan lebih sering dalam RUU ini. Namun, tidak jelas apakah istilah ‘tradisional’ dapat diartikan sebagai masyarakat hukum adat atau masyarakat lain yang pola hidupnya tradisional (masyarakat setempat).

31. Naskah RUU P2H dirumuskan dengan mengabaikan realitas sosial tentang keberadaan 31.957 desa berada di dalam dan sekitar kawasan hutan dan 71,06% dari desa-desa tersebut menggantungkan hidupnya dari sumber daya hutan sebagaimana dimuat dalam dokumen Kementerian Kehutanan dan BPS (2007, 2009). Lebih jauh lagi, RUU ini jelas-jelas mengabaikan realitas tumpang tindih klaim hak atas tanah di kawasan hutan yang banyak ditemukan di Indonesia. 32. Naskah RUU P2H memuat pasal-pasal tentang pemberantasan perusakan hutan

lebih rinci dan lengkap dibanding UU Kehutanan No. 41/1999.

33. Pemberlakuan RUU P2H per 21 Pebruari 2013 yang secara normatif tidak sesuai dengan substansi UUD 1945, UUPA No. 5/1960, UU HAM No. 39/1999 dan UU PPLH No. 32/2009 serta mengabaian realitas sosial dapat mengancam hak asasi masyarakat hukum adat dan masyarakat lokal lainnya yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan hutan.

Rekomendasi

34. Komnas HAM menyadari perlunya instrumen hukum untuk memberantas perusakan hutan yang terjadi selama ini di Indonesia sesuai dengan pemenuhan hak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat, serta hak atas rasa aman sebagaimana dimandatkan melalui UUD 1945 pasal 28H (1) dan pasal 28G(1). 35. Komnas HAM merekomendasikan agar RUU P2H dapat benar-benar menjadi

instrumen pelaksanaan kewajiban Negara dalam menjamin hak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat serta hak atas rasa aman sebagaimana dinyatakan dalam Konstitusi. Komnas HAM juga merekomendasikan agar rumusan RUU P2H yang mengatur tentang kehutanan dan sumber daya alam lainnya memuat prinsip-prinsip pemajuan dan penegakan hak asasi dari masyarakat yang hidup dari dan di dalam kawasan hutan maupun sumber daya alam lainnya.

36. Komnas HAM berpendapat agar DPR-RI menunda pengesahan RUU P2H, sampai adanya perbaikan terhadap naskah RUU P2H secara menyeluruh agar menjamin hak asasi manusia dan justru tidak mengancamnya. Komnas HAM pun meminta agar DPR-RI dapat lebih terbuka dalam melakukan pembahasan dengan melibatkan para pelaku kepentingan untuk mendengarkan aspirasi mereka terkait masalah kehutanan dan masyarakat hukum adat. Perbaikan utamanya, namun tidak terbatas pada, dilakukan terhadap beberapa hal terkait: a). Pengakuan keberadaan dan hak-hak asasi masyarakat hukum adat dan/atau masyarakat lokal lainnya; b). Merumuskan ulang ketentuan-ketetuan tentang asas-asas, rumusan

(17)

perbuatan perusakan hutan yang bersifat membatasi dan larangan dengan mendasarkan pada ketentuan klausul pembatasan sebagaimana diatur dalam Konstitusi. Untuk itu, Komnas HAM meminta Ketua DPR RI c.q. Ketua Panja RUU Pemberantasan Perusakan Hutan DPR RI untuk menunda pembahasan.

37. Komnas HAM meminta DPR-RI untuk mempertimbangkan pembaruan tata kelola hutan di Indonesia secara menyeluruh dengan pendekatan yang komprehensif, termasuk pemberantasan perusakan hutan dan sumber daya alam lainnya, melalui penyempurnaan UU Kehutanan No. 41/1999 dan UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup No. 32/2009 dengan mengacu pada Tap No. IX/MPR-RI-2001, UUPA No. 5/1960 dan UU HAM No. 39/1999.

38. Komnas HAM meminta DPR-RI untuk mendukung upaya pemerintah dan lembaga negara untuk melakukan percepatan pengukuhan kawasan hutan di Indonesia yang berorientasi pada penyelesaian konflik pengelolaan dan penguasaan tenurial di kawasan hutan.

Referensi

Dokumen terkait

Kegiatan transportasi harian relatif menimbulkan pergerakan yang bersifat berulang, misalnya yang terjadi pada para pekerja dan mereka yang menempuh pendidikan di sekolah..

Selektivitas erosi terjadi terhadap fraksi liat pada pertanaman karet umur 25 tahun, erosi kualitatif yang terjadi pada pertanaman karet selama 25 tahun menyebabkan

Digunakan untuk bahan pelapis pada metal atau logam. Berupa lembaran yang dalam pembuatannya hanya ditarik dengan satu arah tetapi lebih lembut karena bersifat fleksibel.. -

Skrining sejauh ini masih mengandalkan wawancara dari dokter di Balai Pengobatan Umum (BPU) yang dengan banyaknya pasien yang ada menjadi sangat terbatas waktunya untuk

Luaran penelitian ini adalah : (1) Kondisi eksisting fasilitas penunjang bagi kaum disabilitas di Benteng Kuto Besak; (2) Mengetahui apakah elemen-elemen

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas Rahmat-Nya penelitian tindakan kelas yang berjudul “ PENINGKATAN KEMAMPUAN MENGENAL KENAMPAKAN

At the same time, Bank Indonesia shared that it may maintain the benchmark rate at 7.5%, this would trigger more selling activity as market will start to

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok uji ekstrak air kelopak bunga Rosella ( Hibiscus sabdariffa L.) dosis 500 mg/kgBB dan 750 mg/kgBB memiliki aktivitas antidiabetes yang