• Tidak ada hasil yang ditemukan

Stabilitas Hasil Jagung Hibrida. Balai Penelitian Tanaman Serealia Jl. Ratulangi 279, Maros, Sulawesi Selatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Stabilitas Hasil Jagung Hibrida. Balai Penelitian Tanaman Serealia Jl. Ratulangi 279, Maros, Sulawesi Selatan"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 25 NO. 3 2006

ABSTRACT. Yield Stability of Hybrid Maize. Genotype x environ-ment interaction is of major concern to plant breeders in developing new varieties. The yield stability was studied using dry grain yield data of six promising hybrids and one check variety (A4) from multilocation yield trials. A randomized block design with four replications was arranged at each field experiment. The combined analyses of variance showed that genotype x location interaction was significant, but the genotype x seasons was not significant for grain yield. Hybrid ST14 gave the highest yields at all locations with the average of 10.98 t/ha, except at Janti in dry season, Saning Baka and Kalipang in rainy season. Yield stability analysis indicated that all genotypes showed good stability, except hybrids ST14 and ST24 as expressed by significancy between regression coefficients and deviation from regression. The genotype test ST14 gave higher stability and good adaption under less favorable environment, ST24 gave low stability and adapted under more favorable ecology. The other hybrids, ST34, ST44, STJ33, and STJ44 gave general stability and better adaptation at all environment. Keywords: Hybrid maize, yield, stability

ABSTRAK. Interaksi genotipe x lingkungan sangat penting diper-timbangkan dalam pemuliaan tanaman untuk pembentukan varietas baru. Penelitian stabilitas hasil jagung hibrida dilakukan dengan menggunakan data hasil biji kering dari uji multilokasi enam hibrida harapan dan satu varietas pembanding (A4). Tata letak percobaan di lapang berdasarkan rancangan acak kelompok, empat ulangan. Analisis ragam gabungan menunjukkan bahwa interaksi genotipe x lokasi adalah nyata, tetapi interaksi genotipe x musim tidak nyata terhadap hasil biji. Genotipe ST14 memperlihatkan hasil tertinggi untuk semua lokasi rata-rata 10,98 t/ha, kecuali di Janti pada musim kemarau serta Saning Baka dan Kalipang pada musim hujan. Analisis stabilitas hasil mengindikasikan bahwa semua genotipe uji dinilai stabil, kecuali ST14 dan ST24. Genotipe ST14 memiliki stabilitas hasil di atas rata, ST24 memiliki stabilitas hasil di bawah rata-rata, sedangkan STJ33, STJ44, ST24, dan ST44 memiliki stabilitas umum yang baik dan beradaptasi pada semua lingkungan pengujian. Kata kunci: Jagung hibrida, hasil, stabilitas

D

iperolehnya varietas berdaya hasil tinggi merupa-kan salah satu tujuan utama pemuliaan jagung. Hasil merupakan karakter kompleks yang di-kendalikan oleh beberapa gen bersifat kuantitatif yang sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Salah satu upaya untuk mendapatkan jagung berdaya hasil tinggi adalah dengan memanfaatkan sifat heterosis mem-bentuk varietas hibrida.

Keragaman agroekosistem usahatani jagung, seperti jenis lahan, jumlah dan penyebaran curah hujan, fluktuasi suhu, ketinggian tempat, sebaran hama dan penyakit, tingkat kesuburan tanah dan tingkat

pe-makaian pupuk, mengakibatkan keragaman hasil biji (Subandi et al. 1988). Suatu genotipe yang memberikan hasil tertinggi di suatu lokasi sering tidak konsisten di lokasi yang lain sehingga menyulitkan pemulia tanaman untuk memilih genotipe yang superior (Sumantri et al. 1991; Suwarno et al. 1984; Tirtowirjono 1988).

Pendekatan pemuliaan untuk memilih genotipe yang hasilnya tinggi ditentukan oleh tujuan perakitan varietas, yaitu varietas spesifik lingkungan (Kang and Miller 1984) atau varietas yang stabil dan beradaptasi pada lingkungan yang luas (Subandi 1982). Melalui uji multilokasi dapat dilakukan estimasi besaran nilai interaksi genotipe x lingkungan yang beragam. Pe-mahaman interaksi genotipe x lingkungan sangat diperlukan untuk mengidentifikasi genotipe yang hasil-nya tinggi untuk lingkungan spesifik atau stabil pada lingkungan yang luas. Pemilihan genotipe untuk ling-kungan spesifik didasarkan pada nilai duga interaksi suatu genotipe x lingkungan yang nyata, menggambar-kan kemampuan suatu genotipe mengekspresimenggambar-kan gen-gen yang menguntungkan pada lingkungan tertentu sehingga diperoleh hasil yang tinggi. Sebaliknya, pe-milihan genotipe yang beradaptasi pada lingkungan yang luas didasarkan pada nilai duga interaksi suatu genotipe x lingkungan yang tidak nyata, yang meng-gambarkan kemampuan suatu genotipe ber-penampilan sama pada kondisi lingkungan berbeda (Soemartono et al. 1992). Untuk mendapatkan genotipe yang beradaptasi luas tersebut perlu diperhatikan stabilitas hasil secara sistematis dan kontinu mulai dari pembentukan populasi dasar sampai tahap evaluasi (Subandi et al. 1979).

Metode pragmatis untuk menjelaskan dan meng-interpretasikan tanggap genotipe terhadap variasi lingkungan telah banyak dikembangkan. Metode-metode tersebut melibatkan analisis statistik untuk mengukur stabilitas genotipe atau tanggapnya terhadap variasi lingkungan menurut beberapa model yang berbeda. Model yang paling banyak digunakan oleh pemulia jagung di Indonesia adalah model Finlay dan Wilkinson (1963) serta model Eberhart dan Russel (1966) (Subandi et al. 1979; Sujitno et al. 1981; Samaullah 1986; Sudjana dan Setiyono 1986; Sudjana 1992; Soewito 2003; dan Dahlan 2004).

Stabilitas Hasil Jagung Hibrida

Muhammad Azrai1,Firdaus Kasim2, dan Jan Rachman Hidajat2

1Balai Penelitian Tanaman Serealia Jl. Ratulangi 279, Maros, Sulawesi Selatan 2Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan

(2)

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui daya hasil dan stabilitas hasil tujuh genotipe jagung hibrida.

BAHAN DAN METODE

Genotigenotipe jagung yang digunakan dalam pe-nelitian ini terdiri atas dua hibrida silang tiga jalur yaitu STJ33, dan STJ35, empat hibrida silang tunggal yaitu ST14, ST34, ST24 dan ST44, serta varietas hibrida A4 sebagai pembanding. Uji daya hasil multilokasi dilakukan di delapan lokasi pada musim kemarau (MK) 2003 dan musim hujan (MH) 2003/2004 (Tabel 1), menggunakan rancangan acak kelompok, empat ulangan.

Jarak tanam adalah 70 cm antarbaris dan 20 cm dalam baris atau setara dengan populasi 71.428 tanaman/ha. Tiap lubang ditanam dua biji, kemudian diperjarang menjadi satu tanaman per lubang saat ta-naman berumur tiga minggu setelah tanam. Pemupukan tahap pertama dilakukan pada saat tanam dengan dosis 100 kg urea, 100 kg SP36, dan 100 kg KCl/ha. Pemupukan tahap kedua dilakukan pada saat tanaman berumur 30 hari setelah tanam dengan dosis 250 kg urea/ha. Insek-tisida dan fungisida diaplikasikan sesuai dengan ke-biasaan petani setempat. Aplikasi insektisida dan fungisida disesuaikan dengan dosis yang tercantum pada kemasannya.

Pengujian ketahanan terhadap penyakit bulai dan hawar daun dilakukan dengan teknik baris penyebar (Azrai et al. 2000) pada petak percobaan menggunakan rancangan acak kelompok, empat ulangan. Pengujian dilaksanakan di Desa Doulu, Kecamatan Berastagi, Kabupaten Tanah Karo pada MK 2003 dan MH 2003/ 2004. Inokulum masing-masing penyakit berasal dari tanaman yang sangat peka terhadap penyakit utama tersebut (jagung manis). Penanaman jagung penular ini dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan di dalam plot khusus yang terpisah.

Peubah yang diamati adalah tinggi tanaman, umur berbunga, umur masak fisiologis, dan ketahanan

terhadap penyakit bulai dan hawar daun. Pengamatan uji ketahanan genotipe terhadap penyakit bulai dilaku-kan dengan mencabut dan menghitung jumlah tanam-an ytanam-ang tumbuh dtanam-an terinfeksi bulai pada tiap genotipe. Jadwal pengamatan dilakukan mulai dari umur 14, 21, 28, dan 35 HST. Data dari pengamatan pertama hingga keempat dijumlahkan kemudian dikonversi ke dalam persentase infeksi (PI) penyakit bulai dengan mengguna-kan rumus:

Ti

PI = —— X 100% T

di mana :

PI = Persentase infeksi penyakit

Ti = Jumlah tanaman terinfeksi per petak T = Jumlah tanaman per petak

Penyakit hawar daun diamati secara visual dengan menggunakan sekor 1-5 yang dilakukan pada akhir stadia pembungaan (CIMMYT 1994) sebagai berikut: Sekor 1 : daun tidak terinfeksi penyakit

Sekor 2 : dua-tiga daun yang berada di bawah tongkol tertular penyakit

Sekor 3 : infeksi penyakit mencapai dua-tiga daun di atas tongkol

Sekor 4: infeksi mencapai hampir semua daun, kecuali dua-tiga daun bagian atas

Sekor 5 : hampir semua daun tanaman terinfeksi. Hasil tongkol panen (dalam kg) di setiap lokasi di-konversi ke dalam pipilan kering simpan (kadar air 14%) dengan menggunakan persamaan sebagai berikut (CIMMYT 1994):

10000 100-KA

Hasil (t/ha) = ———— x — — — x B x SP L.P 100-14

KA =Kadar air biji waktu panen L.P = Luas panen (m2).

B = Bobot tongkol kupasan (kg)

SP = Rata-rata shelling percentage/rendemen Tabel 1. Deskripsi lokasi pengujian hibrida jagung pada MK 2003 dan MH 2003/2004.

Tanaman sebelumnya

Nama lokasi Ketinggian Jenis

(m dpl) lahan MK MH

Samura, Sumatera Utara 1,000 Tegalan Kacang tanah Jagung

Doulu, Sumatera Utara 1,050 Sawah Tomat Jagung

Sei Semayang, Sumatera Utara 60 Tegalan Jagung Jagung

Saniang Baka, Sumatera Barat 450 Sawah Padi Jagung

Bukit Tandang, Sumatera Barat 250 Sawah Padi Jagung

Janti, Jawa Timur 360 Tegalan Kacang tanah Jagung

Tempursari, Jawa Timur 80 Sawah Padi Jagung

(3)

Analisis data karakter hasil dilakukan secara individu (per lokasi, per musim) dengan menggunakan model matematik sebagai berikut (Villena 1990):

Yi =  + i + j + ij di mana:

Yi = hasil pengamatan setiap peubah  = nilai tengah umum

i = pengaruh genotipe j = pengaruh blok ij = pengaruh galat

Untuk membandingkan hibrida-hibrida baru dengan varietas pembanding, dilakukan uji LSI (Least Significant Increase) pada t= 0,05 (Petersen 1994).

Analisis gabungan menggunakan model linear sebagai berikut (Villena 1990):

Yi =  + i + j + ()ij +k + ()ik +()jk+ ()ijk +ijk di mana:

Yi = hasil pengamatan

 = nilai tengah umum

i = pengaruh lokasi ke-i j = pengaruh genotipe ke-j ()ij = interaksi genotipe x lokasi ke-i k = pengaruh musim ke-k

()ik = interaksi lokasi x musim ()jk = interaksi genotipe x musim

()ijk= interaksi genotipe x lokasi x musim ijk = pengaruh galat

Interaksi hasil x lingkungan apabila nyata akan diuji lanjut dengan menggunakan uji stabilitas hasil metode Eberhart dan Russel (1966), dengan model linear sebagai berikut:

Yij = Ui + BiIj + dij di mana:

Yij = hasil genotipe ke-i pada lingkungan ke-j

Ui = rata-rata hasil varietas ke-i pada semua lingkungan

Bi = koefisien regresi varietas ke-i pada indeks

ling-kungan

Ij = indeks lingkungan ke-j yang dikurangi rata-rata

umum

dij = simpangan regresi varietas ke-i pada lingkungan

ke-j

Nilai Bi juga digunakan untuk menilai daya adap-tibilitas suatu genotipe uji (Finlay and Wilkinson 1963) sebagai berikut:

Bi < 1,0: memiliki stabilitas di atas rata-rata, tidak sensitif terhadap perubahan lingkungan, beradaptasi baik pada lingkungan kurang subur.

Bi = 1,0: memiliki stabilitas rata-rata, beradaptasi baik di semua lingkungan.

Bi > 1,0: memiliki stabilitas di bawah rata-rata,

ber-adaptasi khusus di lingkungan subur.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis gabungan menunjukkan bahwa lokasi dan ge-notipe berpengaruh sangat nyata terhadap hasil biji dan terdapat interaksi genotipe x lokasi, namun interaksi yang nyata genotipe x musim tidak nyata (Tabel 2). Nilai kuadrat tengah genotipe uji yang lebih tinggi daripada kuadrat tengah interaksi genotipe x musim, genotipe x lokasi, dan genotipe x musim x lokasi mengindikasikan bahwa pengaruh genetik lebih dominan daripada lingkungan.

Interaksi genotipe x lokasi seperti yang terjadi pada penelitian ini memberikan petunjuk bahwa terdapat genotipe yang memiliki peringkat hasil yang tidak kon-sisten pada lokasi yang berbeda. Soemartono et al. (1992) mengemukakan terjadinya interaksi genotipe x lingkungan seperti musim, lokasi, dan menggambarkan penampilan genotipe tidak sama pada lingkungan yang berbeda dan sebaliknya.

Penampilan suatu karakter materi pemuliaan yang diseleksi ditentukan oleh tingkat kepekaannya terhadap lingkungan. Kebanyakan materi seleksi memberikan penampilan yang tinggi pada lingkungan yang baik, namun sebaliknya pada lingkungan yang jelek. Tingkat kepekaan genotipe terhadap lingkungan turut menentu-kan tingkat kestabilannya, yang dapat diukur melalui besaran nilai interaksi genotipe x lingkungan. Karena hasil biji merupakan karakter kuantitatif, pengulangan musim dan lokasi dapat menghilangkan pengaruh lingkungan yang berbeda di antara bahan uji apabila pengaruh interaksinya tidak besar (Petersen 1994). Tabel 2. Analisis gabungan untuk karakter hasil biji, MK 2003 dan

MH 2003/2004.

Sumber Derajat Jumlah Kuadrat

variasi bebas kuadrat tengah

Musim (M) 1 0,636 0,636 tn Lokasi (L) 7 19,871 2,839** M x L 7 10,214 1,459 tn Ulangan/M x L 48 26,414 0,550 Genotipe (G) 6 117,743 19,624** G x M 6 0,731 0,122 tn G x L 42 14,354 0,342* G x M x L 42 6,788 0,162 tn Galat 288 318,072 1,104 Total 447 514,824 KK 11.66%

(4)

Rata-rata hasil biji per lokasi dan per musim disajikan pada Tabel 3. Analisis statistik menunjukkan bahwa genotipe ST14 memberikan hasil yang nyata lebih tinggi pada hampir semua lokasi, kecuali di Janti pada musim kemarau serta di Saning Baka dan Kalipang pada musim hujan. Genotipe ST24 memberikan hasil tertinggi dan nyata lebih tinggi dari varietas A4, baik pada musim kemarau maupun musim hujan, sedangkan hasil ST14 nyata lebih tinggi dari varietas A4 pada MK 2003.

Oleh karena pengaruh interaksi genotipe x musim tidak nyata (Tabel 2), maka dilakukan analisis ragam gabungan musim untuk tiap-tiap lokasi pengujian (Tabel 4). Hasil analisis menunjukkan hampir semua genotipe uji pada delapan lokasi memberikan hasil yang berbeda nyata dengan varietas pembanding, kecuali hibrida STJ33 yang tidak nyata di Doulu, Sei Semayang, dan Saniang Baka.

Nilai koefisien keragaman di lokasi pengujian seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2, 3, dan 4 umumnya kecil, di bawah 20%. Hal ini berarti keragaman antarulangan akibat faktor lain yang tidak bisa dikendalikan adalah kecil.

Nilai koefisien regresi (bi) calon varietas hibrida yang diuji bervariasi antara 0,71-1,25 dan tidak berbeda nyata

dengan satu, sedangkan simpangan regresi ST14 dan ST24 berbeda nyata dengan nol (Tabel 5). Nilai bi tersebut memiliki makna bahwa hasil genotipe uji akan me-ningkat sebesar bi pada setiap penambahan satu unit indeks lingkungan (Petersen 1994). Suatu genotipe dikatakan stabil jika nilai koefisien regresinya tidak berbeda nyata dengan satu atau simpangan regresinya tidak berbeda nyata dengan nol (Eberhart and Russel 1966). Jika koefisien regresi tidak berbeda nyata dengan satu, maka penentuan kestabilan daya hasil genotipe adalah simpangan regresinya. Hal ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh Langer et al. (1979) serta Soegito dan Toxopeus (1989) yang menyatakan bahwa koefisien regresi dapat digunakan sebagai penilai tanggap genotipe terhadap lingkungan, sedangkan parameter simpangan regresi dapat bertindak sebagai pengukur kestabilan. Berdasarkan kriteria tersebut, semua genotipe uji dinilai stabil, kecuali ST14 dan ST24.

Finlay dan Wilkinson (1963) menyatakan bahwa genotipe yang memiliki nilai bi yang tidak berbeda nyata dengan satu dan hasilnya lebih tinggi dari rata-rata hasil seluruh galur yang diuji, berpeluang untuk beradaptasi baik pada semua lingkungan atau memiliki adaptasi umum. Berdasarkan kriteria tersebut maka STJ33, STJ45, Tabel 3. Hasil biji kering genotipe uji dan varietas pembanding pada kadar air 14% di delapan lokasi, MK 2003 dan MH 2003/2004.

Hasil (t/ha) Genotipe

Samura Doulu Sei Sanian Bukit Janti Tempur Kalipang Rata-rata

Semayang Baka Tandang Sari

MK 2003 STJ33 10,34 9,87 9,95 9,66 10,08 10,16 9,84 9,71 9,95 STJ45 10,24 10,14 10,08 10,14 10,26 10,25 10,02 9,83 10,12 ST14 11,25* 10,87* 10,91* 11,18* 11,06* 10,97 11,04* 10,48* 10,97* ST24 12,08* 11,17* 11,24* 11,11 10,98 10,96 11,22* 10,92* 11,21* ST34 10,90* 10,17 10,55 10,46 10,86 10,00 10,48 9,90 10,42 ST44 11,02* 10,66* 10,72* 10,61 10,75 10,81 10,92 10,65* 10,77 A 4 9,93 9,49 9,49 9,57 9,73 9,75 9,59 9,33 9,61 Rata-rata 10,82 10,34 10,42 10,39 10,50 10,41 10,44 10,12 10,43 LSI 5% 0,97 1,00 1,19 1,57 1,25 1,30 1,34 1,07 1,21 KK % 7,3 7,9 9,3 12,3 9,7 10,1 10,4 8,7 9,5 MH 2003/2004 STJ33 10,27 11,36 9,75 10,19 9,63 9,97 9,74 9,69 10,08 STJ45 10,32 11,72* 10,09 9,9 10,1 10,27 9,96 10,01 10,30 ST14 11,26* 11,33 11,17* 10,95 10,76* 10,91 10,75* 10,86 11,00* ST24 12,39* 11,28 11,00* 10,87 10,62 10,97* 11,06* 10,89 11,14* ST34 11,53* 10,65 10,77 10,72 10,08 10,27 10,40 10,02 10,59 ST44 11,01 11,17 10,69 10,89 10,78· 10,73 10,61 10,72 10,83 A 4 9,82 10,32 9,74 9,40 9,30 9,57 9,51 9,61 9,66 Rata-rata 10,94 11,12 10,46 10,45 10,18 10,38 10,29 10,26 10,51 LSI 5% 1,26 1,19 1,20 1,65 1,40 1,37 1,24 1,43 1,34 KK % 9,4 8,7 9,3 12,9 11,2 10,7 9,8 11,3 10,4

(5)

ST34, dan ST44 memiliki daya adaptasi umum yang baik, sehingga berpeluang dibudidayakan di lahan sawah dan tegalan, baik pada dataran rendah, menengah maupun dataran tinggi. Genotipe ST14, memiliki stabilitas di atas rata-rata dengan nilai bi < 1 sehingga tidak sensitif ter-hadap perubahan lingkungan, dan dapat beradaptasi baik pada lingkungan kurang subur. ST24 memiliki stabilitas di bawah rata-rata dengan nilai bi > 1, sehingga beradaptasi khusus di lingkungan subur dan hasilnya semakin meningkat dengan semakin suburnya lahan.

Menurut Subandi et al. (1988), genotipe-genotipe yang dapat mengatasi keadaan yang tidak menguntung-kan cenderung memiliki stabilitas yang tinggi, sehingga dalam program pemuliaan perlu diperhatikan

karakter-karakter lain yang dapat mendukung stabilitas suatu genotipe. Beberapa karakter agronomis penting dan ketahanan genotipe uji terhadap penyakit utama jagung disajikan pada Tabel 6.

Pengamatan terhadap karakter agronomis me-nunjukkan bahwa ST14 dan ST24 memiliki tanaman yang nyata lebih pendek dan umur panen nyata lebih genjah dibandingkan varietas A4. Informasi tentang tinggi tanaman dan letak kedudukan tongkol sangat penting untuk budi daya jagung karena ada daerah-daerah tertentu yang cocok untuk tanaman yang lebih pendek, terutama pada daerah yang tinggi dengan tiupan angin kencang (Azrai et al. 2004). Selain itu, ST14 dan ST24 juga memiliki umur berbunga dan matang fisiologis yang nyata lebih cepat daripada varietas pembanding. Umur berbunga merupakan salah satu kriteria yang digunakan oleh para pemulia jagung sebagai salah satu indikator seleksi untuk menghasilkan varietas berdaya hasil tinggi dan dapat dipanen lebih awal.

Selain faktor agronomis, faktor ketahanan terhadap penyakit juga merupakan salah satu faktor yang sangat penting untuk mendukung stabilitas hasil suatu varietas. Penyakit yang paling berbahaya pada tanaman jagung di Indonesia adalah bulai dan hawar daun (Mikoshiba 1983; Sumartini dan Sri Hardiningsih 1995). Informasi ketahanan genotipe uji terhadap kedua penyakit utama tersebut disajikan pada Tabel 6. Hasil pengujian me-nunjukkan bahwa genotipe STJ33, STJ45, ST34, dan ST44 memiliki tingkat ketahanan yang nyata lebih tinggi terhadap penyakit bulai dan hawar daun, sedangkan genotipe ST14 dan ST24 nyata lebih rentan dibandingkan dengan varietas A4.

Tabel 4. Rata-rata hasil genotipe uji dan varietas pembanding pada delapan lokasi, berdasarkan analisis gabungan MK 2003 dan MH 2003/ 2004.

Hasil (t/ha) Genotipe

Samura Doulu Sei Sanian Bukit Janti Tempur Kalipang Rata-rata

Semayang Baka Tandang Sari

STJ33 10,31 10,61 9,85 9,92 9,86 10,07 9,79 9,70 10,01 STJ45 10,28 10,93 10,09 10,02 10,18 10,26 9,99 9,92 10,21 ST14 11,25 11,10 11,04 11,06 10,91 10,94 10,89 10,67 10,98 ST24 12,24 11,22 11,12 10,99 10,80 10,96 11,14 10,90 11,17 ST34 11,21 10,41 10,66 10,59 10,37 10,14 10,44 9,96 10,47 ST44 11,02 10,91 10,70 10,75 10,76 10,77 10,76 10,68 10,79 A 4 9,88 9,91 9,61 9,48 9,51 9,66 9,55 9,47 9,63 Rata-rata 10,88 10,73 10,44 10,40 10,34 10,40 10,37 10,19 10.46 LSI 5% 0,365 0,765 0,287 0,444 0,279 0,208 0,144 0,208 0.25 KK % 8,4 8,3 9,3 12,6 10,5 10,4 10,1 10,1 11.66

· = berbeda nyata dengan varietas hibrida pembanding (A4) pada taraf uji 0,05 LSI.

Tabel 5. Hasil, koefisien regresi, dan simpangan regresi tujuh genotipe uji dan varietas pembanding di delapan lokasi pada MK 2003 dan MH 2003/2004.

Rata-rata Koefisien Simpangan

Genotipe hasil biji regresi regresi

(t/ha) (bi) STJ33 10,01 1,11 tn 0,02 STJ45 10,21 1,01 tn 0.00 ST14 10,98 0,82 tn 0,15* ST24 11,17 1,25 tn 0,12* ST34 10,47 1,12 tn 0,03 ST44 10,79 0,89 tn 0,09 A 4 9,63 0,81 tn 0,03 Rata-rata 10,46 1,00

*=berbeda nyata dengan nol, tn= tidak berbeda nyata dengan b=1

(6)

KESIMPULAN

1. Semua genotipe uji memberi hasil yang nyata lebih tinggi dari varietas pembanding (A4).

2. Genotipe ST14 memperlihatkan hasil yang nyata lebih tinggi pada hampir semua lokasi, kecuali di Janti pada musim kemarau serta di Saning Baka dan Kalipang pada musim hujan. Genotipe ST24 mem-beri rata-rata hasil tertinggi.

3. Semua genotipe uji dinilai stabil, kecuali ST14 yang memiliki stabilitas hasil di atas rata-rata, sehingga dapat beradaptasi baik pada lahan kurang subur, ST24 yang memiliki stabilitas hasil di bawah rata-rata sehingga hasilnya semakin tinggi dengan semakin suburnya lahan.

4. ST14 dan ST24 memiliki tinggi tanaman yang nyata lebih pendek dan umur tanaman nyata lebih genjah daripada varietas A4, namun kedua genotipe rentan terhadap penyakit bulai dan hawar daun.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada PT Citra Nusantara Mandiri dan PT Pertani (Persero) yang telah membiayai penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Azrai, M., F. Kasim, dan M. Jabbar. 2000. Teknik penyaringan galur jagung terhadap penyakit bulai dengan menggunakan tanaman baris penyebar. Prosiding Simposium Nasional Pengelolaan Pemuliaan dan Plasmanutfah. PERIPI. Bogor, 2: 239-245.

Azrai, M., F. Kasim, M.B. Pabendon, J. Wargiono, J.R. Hidayat, dan Komaruddin. 2004. Penampilan beberapa genotipe jagung protein mutu tinggi (QPM) pada lahan kering dan lahan sawah. Penelitian Pertanian. 23 (3): 123-131.

CIMMYT. 1994. Managing Trials and Reporting Data for CIMMYT’s International Maize Testing Program. Mxico, DF.

Dahlan, M.M. 2004. Stabilitas jagung hibrida. Makalah Seminar Puslitbang Tanaman Pangan, Bogor, 15 Januari 2004. 10p. Eberhart, S.A. and W.A. Russel. 1966. Stability parameters for

comparing verieties. Crop Sci. 6: 36-40.

Finlay, K.W. and G.N. Wilkinson. 1963. The analysis of adaptation in plant breeding program. Aust. J. Agric. Res. 13: 742-754. Kang, M.S., and J.D. Miller. 1984. The genotype-environment for cane and sugar yield and their implications in sugarcane breeding. Crop. Sci. 24: 455-459.

Langer, I., K.J. Frey, and T. Bailey. 1979. Associations among productivity, production response, and stability indexes in oat varieties. Euphytica 28: 17-24.

Mikoshiba, H. 1983. Studies on the control of downy mildew disease of maize in tropical countries of Asia. Tech. Bull. Trop. Agric. Res. Cent. 16: 1-62.

Petersen, R. G. 1994. Agricultural Field Experiment, Design and Analysis. Marcel Dekker, Inc. New York.

Samaullah, M.Y. 1986. Adaptasi dan daya hasil populasi jagung umur sedang. Penelitian Pertanian 6 (2): 80-83.

Soegito dan H. Toxopeus. 1989. Pengaruh interaksi genotipe dengan lingkungan terhadap hasil kedelai. Dalam T. Adisarwanto et

al. (Eds). Risalah Seminar Hasil Penelitian Tanaman Pangan.

Balittan Malang, p.47-50.

Tabel 6. Nilai tengah beberapa karakter agronomis genotipe uji dan varietas pembanding di delapan lokasi pada MK 2003 dan MH 2003/2004.

Genotipe Tinggi 50% umur 50% umur Umur masak Bulai Hawar daun

tanaman berbunga betina berbunga jantan fisiologis (%) (skor 1-5)

(cm) (hari) (hari) (hari)

STJ33 201 a 58 a 56 tn 103 tn 5,4 b 1,5 b STJ45 202 a 58 a 56 tn 103 tn 4,5 b 1,4 b ST14 197 b 54 b 50 b 99 b 47,5 a 2,7 a ST24 196 b 54 b 53 b 99 b 50,4 a 2,8 a ST34 204 a 59 a 57 tn 103 tn 0,8 b 1,0 b ST44 203 a 59 a 56 tn 104 tn 0,5 b 1,0 b A 4 200 581 56 103 10,8 2,2 LSI 0,05 0,62 0,32 1,48 0,48 1,73 0,10 KK (%) 5,00 9,00 8,00 4,00 12,5 6,5 G x L ** ** tn ** tn tn

* = berbeda nyata pada uji t 0,05; ** = berbeda nyata pada uji t 0,01 a = nyata lebih tinggi dari varietas pembanding (A4);

b = nyata lebih rendah dari varietas pembanding (A4); tn = tidak berbeda nyata dengan varietas pembanding (A4). Nilai skor: 1 sangat tahan, 5 sangat peka.

(7)

Soemartono, Nasrullah, dan H. Hartiko. 1992. Genetik kuantitatif dan bioteknologi tanaman. PAU–Bioteknologi, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Soewito, T. 2003. Stabilitas hasil beberapa genotipe padi sawah umur genjah. Penelitian Pertanian. 6 (2):77-80.

Subandi, M.R. Hakim, A. Sudjana, M.M. Dahlan, and A. Arifin. 1979. Mean and stability for yield of early and late varieties of corn in varying environments. Cont. 51:24 p.

Subandi. 1982. Yield stability of early to late corn varieties. Penelitian Pertanian. 1(1):6-10.

Subandi, I. Manwan, dan A. Blumenschein. 1988. Koordinasi program penelitian nasional jagung. Puslitbangtan, Bogor. 83p.

Sudjana, A. dan Setiyono. 1986. Stabilitas hasil dan kemajuan seleksi ”Gene Pool” jagung genjah. Penelitian Pertanian 6 (2):80-83.

Sudjana, A. 1992. Daya hasil dan stabilitas beberapa varietas jagung umur genjah di lahan sawah tadah hujan di Jawa Tengah.

Dalam Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Pangan

Balittan. Bogor. 2:389-396.

Sujitno, Subandi dan A. Sudjana. 1981. Stabilitas hasil jagung umur genjah di berbagai lokasi dan musim. Penelitian Pertanian. 1(1) : 12-15.

Sumantri, I.H., Sutjihno, dan Suharsono. 1991. Pengaruh koefisien keragaman pada analisis stabilitas hasil galur-galur padi sawah. Penelitian Pertanian. 11(1):38-41.

Sumartini dan Sri Hardiningsih. 1995. Penyakit jagung dan pengen-daliannya. Monografi Balittan Malang, p.19-40.

Suwarno, Z. Harahap, dan H. Siregar. 1984. Interaksi varietas dan lingkungan pada daya hasil padi. Penelitian Pertanian. 4 (2):86-90.

Tirtowirjono, S. 1988. Adaptasi dan stabilitas hasil galur-galur harapan padi sawah. Penelitian Pertanian. 8 (1):9-11. Villena, W.D. 1990. Analisis of data across environments and yield

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan apa yang telah diuraikan pada masing-masing bab sebelumnya, dapat diambil kesimpulan bahwa Kabupaten Lima Puluh Kota memiliki alam yang berpotensi

digunakan untuk configurable product ini, kita tidak usah menterjemahkannya ke bahasa Inggris karena simple product yang ini tidak tertampil pada halaman muka webstore kita..

Fenomena di atas menunjukkan bahwa penyelenggaraan pendidikan umum belum sepenuhnya mengacu kepada landasan sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 1 Undang-Undang Republik

ﺔﺳارد ﻦﻋ ﺔّﻳﻮﺤﻧ ﺔّﻴﻠﻴﻠﺤﺗ ﻰّﺘﺣ&#34; ﻰﻧﺎﻌﻣ آﺮﻘﻟا ﻲﻓ &#34; ن ﻢﻳﺮﻜﻟا ﺚﺣﺎﺒﻟا اﺮﺘﻔﺳ ﻰﻠﺳر ﻲﻛﺮﻧأ ﻮﻐﻳإ ﺪﻴﻘﻟا ﻢﻗر : 11012100609 ﺔﻴﺑﺮﻌﻟا ﺔﻐﻠﻟا ﺲﻳرﺪﺗ

Kombinasi factor dengan level yang memberikan peningkatan kekerasan yaitu dengan temperature 800 o C dengan media pendingin oli sebesar 111.8 HB.. Sedangkan yang

analisis ini berguna untuk melakukan pengujian terhadap dua sampel yang berhubungan atau berpasangan dengan desain &#34; pre post &#34;, dimana dilakukan dua

Kelompok yang baik adalah kelompok yang dapat mengatur sirkulasi tatap muka yang intensif diantara anggota kelompok, serta para anggota The Jakmania bisa menjalin kekompakkan,