• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Konsumsi Ransum dan Pertumbuhan Tikus Wistar selama Percobaan Konsumsi ransum merupakan banyaknya zat makanan atau pakan yang dimasukkan (food intake) dan kemudian terjadi proses metabolisme dalam tubuh dan diserap dalam tubuh untuk dijadikan sebagai keperluan biologis dan cadangan energi tubuh. Peubah statistik tentang tikus percoban dijelaskan dalam Tabel 9 berikut.

Tabel 9. Bobot, Kenaikan Bobot Badan dan Tingkat Konsumsi Nutrisi Tikus Percobaan

Peubah Ransum Kontrol Ransum Perlakuan

Bobot Awal (g) 41 ± 3,6 61 ± 3,3

Bobot Akhir (g) 85A ± 10,3 147B ± 16,6

Kenaikan Bobot Badan (%) 107 143

Konsumsi Ransum BK (g/hari) 11,6 ± 3,9 15,8 ± 4,1

Konsumsi Lemak (g/hari) 0,56 0,79

Konsumsi Protein (g/hari) 1,17 1,58

Keterangan: Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P < 0,01)

Kenaikan bobot badan tikus yang diberi ransum kontrol (107%) lebih rendah dibandingkan kelompok tikus yang diberi ransum perlakuan mengandung gulai daging sapi ditambah jeroan (143%) sebagai sumber protein. Nilai kenaikan bobot badan akhir antara tikus yang diberi ransum mengandung protein kasein (sebesar 85 ± 10,3 g) dan tikus yang diberi ransum mengandung gulai daging sapi dan jeroan (sebesar 147 ± 16,6 g) menunjukkan perbedaan yang nyata. Hal ini dapat dipicu oleh faktor perbedaan bobot badan awal tikus yang diberi ransum protein kasein dan tikus yang diberi ransum mengandung gulai daging sapi dan jeroan memiliki selisih sebesar 20 g. Kisaran bobot badan tikus tersebut diperkirakan masih berada dalam masa pertumbuhan. Sebagaimana yang diterangkan oleh Smith dan Mangkoewidjojo (1988), bahwa umumnya bobot badan tikus pada umur empat minggu adalah 35–40 g, dan bobot dewasa rata-rata 200-250 g. Umur dewasa tikus adalah 40–60 hari, sehingga umur tikus percobaan yang dipakai pada penelitian ini hingga berakhirnya masa percobaan (± 60 hari), masih dalam fase menuju dewasa. Tingginya bobot akhir yang diperoleh dalam penelian ini mengindikasikan bahwa

(2)

tikus masih berada dalam fase produksi ekonomis, yaitu umur 1 tahun (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Pertambahan berat badan sangat dipengaruhi oleh jumlah dan kandungan nutrisi pakan yang dikonsumsi sebagian besar akan digunakan untuk pertumbuhan otot tikus pada masa pertumbuhan. Pertambahan berat badan ini sangat stabil karena didukung oleh faktor lingkungan dan manajemen pemeliharaan yang baik.

Gulai daging sapi yang ditambah jeroan merupakan produk olahan yang memiliki gizi dan aroma tinggi karena kandungan asam lemak yang dapat meningkatkan selera konsumsi hewan percobaan. Aroma merupakan faktor penting dalam hal penerimaan konsumen terhadap bahan makanan (Meissinger et al., 2006). Aroma merupakan faktor sensoris penting yang berpengaruh terhadap palatabilitas daging. Bumbu- bumbu siap saji yang terdapat di dalam bumbu siap saji memiliki bahan bawang putih, rempah-rempah dan bawang merah serta santan kara yang ditambahkan berperan serta meningkatkan nilai palatabilitas produk tersebut. Penambahan bawang putih, bawang merah dan garam turut meningkatkan palatabilitas produk. Menurut Krysztofiak (2005), penambahan bumbu selain meningkatkan pengaruh sensoris, juga dapat meningkatkan nutrisi dan daya simpan produk. Konsumsi lemak dan protein lebih tinggi dibandingkan dengan tikus kontrol. Hal ini dipicu oleh palatabilitas tinggi terhadap daging sapi ditambah jeroan karena gulai merupakan produk olahan yang memiliki rasa yang khas. Gulai memiliki keunikan karena berwarna kuning yang disebabkan oleh filtrat dari kunyit dan campuran rempah-rempah (seasonings). Pembuatan gulai dilakukan dengan melakukan penambahan bahan-bahan bumbu (seasonings) serta penambahan santan (Bahar, 2002).

Respon Fisiologis Tikus Wistar

(Laju Pernafasan, Denyut Jantung dan Suhu Tubuh)

Respon fisiologis merupakan suatu fungsi fisiologis dari hewan yang menjadi satu kesatuan untuk mempertahankan kondisi dari pengaruh lingkungan luar yang masuk. Hasil analisis ragam respon fisiologis yang meliputi laju pernafasan, denyut jantung dan suhu tubuh tikus yang diberi konsumsi ransum yang mengandung gulai daging sapi dan jeroan tidak berbeda nyata ( P > 0,05 ) dibandingkan tikus kontrol berdasarkan pada Tabel 10.

(3)

Tabel 10. Hasil Pengukuran Respon Fisiologis Tikus Percobaan Peubah Respon

Fisiologis Kelompok Tikus Kontrol

Kelompok Tikus Perlakuan Laju Pernafasan ( /menit) 148,9 ± 20,60 144,1 ± 18,31

Denyut Jantung ( /menit) 211,5 ± 27,99 220,3 ± 19,34

Suhu Tubuh (oC) 35,7 ± 0,82 35,9 ± 0,70

Laju Pernafasan

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa tikus perlakuan yang

memperoleh ransum mengandung gulai daging sapi dan jeroan sebagai sumber protein memiliki laju pernafasan sebesar 144,1 ± 18,31 kali per menit. Hal ini tidak berbeda nyata dengan laju pernafasan tikus kontrol sebagaimana yang ditunjukkan pada Tabel 10. Laju pernafasan normal pada tikus adalah sebesar 71-146 kali/menit (Margi, 2005), sehingga nilai rata-rata laju pernafasan kontrol (148,9 ± 20,60 per menit) dan tikus perlakuan (144,1 ± 18,31 per menit) yang diberi ransum mengandung gulai daging sapi dan jeroan masih berada pada kisaran normal. Menurut Frandson (1992) bahwa laju pernafasan yang normal berhubungan dengan konsumsi oksigen basal yang normal dari miokardium jantung.

Respirasi sangat dipengaruhi oleh suhu lingkungan. Kedua kelompok tikus perlakuan yang ditempatkan pada posisi ruangan dan suhu lingkungan yang sama mengalami perubahan respirasi yang relatif sama apabila suhu lingkungan sekitar juga stabil. Data biologis tikus terhadap frekuensi laju pernafasan tikus normal, yaitu 65-115/menit (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Suhu lingkungan yang berubah akan berpengaruh terhadap frekuensi pernafasan. Konsumsi ransum juga dapat memberikan mekanisme umpan balik dalam proses pelepasan karbondioksida sebagai pelepas kalor yang diproduksi oleh tubuh. Ransum perlakuan dapat memberikan hasil metabolisme tubuh berupa energi dalam bentuk kalor, karbondioksida, dan uap air yang terbuang sebagian melalui sistem respirasi. Jumlah energi yang rendah dalam ransum perlakuan, menyebabkan tikus perlakuan tidak membutuhkan lebih banyak respirasi untuk membuang kelebihan energi berupa kalor.

(4)

Konsumsi daging sapi dan jeroan dalam hal ini tidak menyebabkan laju pernafasan menjadi lebih tinggi. Hasil ini dapat diasumsikan bahwa, asupan makanan harus selalu cukup dan terpenuhi untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh dan juga tidak boleh berlebihan sehingga tidak menyebabkan obesitas (Guyton dan Hall, 1997). Konsumsi makanan yang berlebihan dapat menyebabkan metabolisme oksigen dan berbagai nutrien yang bercampur dengan oksigen untuk melepaskan energi, sehingga dalam kondisi ini akan menyebabkan seluruh organ tubuh akan bekerja lebih besar untuk menstabilkan keadaan normal tubuh. Sistem pernafasan terutama berfungsi untuk mengangkut O2 dan CO2 antara lingkungan dan jaringan,

dan konsumsi O2 dan produksi CO2 tergantung tingkat metabolismenya dan aktivitas

hewan percobaan tersebut (Cunningham, 1997).

Denyut Jantung

Rataan frekuensi denyut jantung antara tikus kontrol (ransum kasein) dan tikus perlakuan (daging sapi ditambah jeroan) tidak berbeda nyata. Frekuensi denyut jantung tikus kontrol (211,5 ± 27,99 per menit) dan tikus perlakuan (220,3 ± 19,34 per menit) seperti yang terdapat dalam Tabel 10, lebih lambat dibandingkan normal, yaitu berkisar antara 250-450 denyut per menit (Malole dan Pramono, 1989) atau 313-493 denyut per menit (Sirois, 2005). Hal ini sejalan juga menurut Alemany et al. (2006), bahwa tikus yang berumur ± 17 minggu dengan bobot badan berkisar antara 250-3000 g adalah sebanyak 250-350 denyut per menit.

Jumlah frekuensi denyut jantung yang berbeda ini diasumsikan bisa disebabkan oleh adanya perbedaan umur, suhu lingkungan, dan bobot badan tikus percobaan. Frekuensi denyut jantung diperkirakan dipengaruhi juga oleh kecernaan energi dari ransum yang dikonsumsi. Peningkatan denyut jantung merupakan respon dari tubuh hewan untuk menyebarkan panas yang diterima ke dalam organ-organ yang lebih dingin (Siagian, 2005), sehingga makin panas lingkungan maka makin cepat pula denyut jantung untuk menyebarkan panas ke bagian tubuh yang lebih dingin.

Denyut jantung juga dipengaruhi oleh ada tidaknya hambatan pada pembuluh darah berupa penumpukan flak atau metabolisme yang terganggu yang dapat menghambat jalannya darah keseluruh tubuh. Frekuensi denyut jantung tikus yang diberikan ransum mengandung gulai daging sapi dan jeroan tidak berbeda nyata

(5)

dengan denyut jantung tikus kontrol, sehingga dapat dikatakan bahwa pada pembuluh darah kedua kelompok tikus perlakuan tidak terdapat adanya penumpukan flak dan kandungan lipida yang terkandung dalam darah atau salauran darah sehingga kondisi frekuensi denyut jantung dalam batas ini masih dalam batas yang aman. Hal ini berdampak terhadap hasil kerja jantung yang memberikan hasil negatif terhadap timbulnya frekuensi denyut jantung tikus yang diberikan ransum mengandung gulai daging sapi dan jeroan yang melebihi batas ambang normal. Hal ini mengindikasikan bahwa frekuensi denyut jantung tikus tersebut masih normal.

Darah berperan dalam pengangkutan komposisi kimia metabolisme seperti oksigen, glukosa, asam amino, asam lemak dan berbagai jenis lipida, yang dibutuhkan oleh setiap sel dalam tubuh (Cunningham, 1997). Kesimpulan dari hasil pengamatan terhadap denyut jantung bahwa, jika darah yang dipompakan semakin banyak maka frekuensi denyut jantung akan semakin tinggi pula.

Suhu Tubuh

Hasil uji statistika terhadap suhu tubuh menunjukkan bahwa tikus perlakuan yang memperoleh ransum mengandung gulai daging sapi dan jeroan memberikan hasil tidak berbeda nyata dengan laju pernafasan tikus kontrol. Hasil pengukuran suhu tubuh yang tersaji dalam Tabel 10, menunjukkan suhu tubuh tikus kontrol (35,7

± 0,82 oC) dan perlakuan (35,9 ± 0,70 oC) lebih rendah dibandingkan dengan suhu tubuh tikus normal (37,7oC) (Sirois, 2005). Hasil Pengukuran yang didapat menandakan bahwa suhu tubuh tikus percobaan tersebut masih berada dalam kisaran suhu tubuh normal yaitu 35,9-39 oC (rata-rata 37,5oC) (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988; Malole dan Pramono, 1989).

Tikus merupakan salah satu hewan mamalia berdarah panas (homeotermik) sehingga mempunyai sistem pertahanan suhu tubuhnya atau disebut juga dengan homeostatis. Sistem homeostasis berfungsi untuk mengendalikan diri (panas) tubuh sehingga tercapai keseimbangan dalam tubuh. Sistem homeostasis menurut Siagian (2005), menjelaskan bahwa dipertahankan oleh berbagai proses pengaturan yang melibatkan semua organ tubuh melalui pengaturan keseimbangan yang sangat halus namun bersifat dinamis. Hewan dalam mempertahankan dan menyeimbangkan regulasi suhu tubuh berprinsif pada pengaturan produksi dan pembuangan panas. Sistem homeostatis ini akan menstabilkan suhu tubuh, sehingga tubuh berada dalam

(6)

kondisi normal. Suhu tubuh tikus yang tertera pada Tabel 10 di atas menunjukkan kondisi suhu tubuh yang masih stabil karena adanya sistem kendali internal tikus tersebut yang disebut juga dengan sistem homeostatis.

Konsumsi ransum sebagai bahan makanan yang mengandung gulai daging sapi berlemak yang ditambah jeroan menunjukkan tidak terdapat adanya pengaruh yang nyata terhadap suhu tubuh tikus percobaan. Pengukuran suhu tubuh dilakukan pada bagian rektum tikus percobaan. Tikus percobaan dikondisikan seragam, yaitu dalam ruangan yang sama, galur yang sama, umur yang sama, bobot yang sama (maksimal perbedaan yaitu 15 g) serta pemberian ransum antara kontrol dan perlakuan dengan komposisi kebutuhan nutrisi yang terpenuhi. Mekanisme ini dilakukan untuk mengurangi pengaruh bias faktor eksternal terhadap respon

fisiologis. Kondisi suhu lingkungan percobaan tidak mempengaruhi respon terhadap

suhu tubuh tikus percobaan. Suhu lingkungan percobaan berkisar antara 26-30 oC,

dan masih berada dalam kondisi suhu kandang yang ideal yaitu berkisar antara 18-27

°C (Malole dan Pramono, 1989), sehingga bias suhu lingkungan terhadap respon

suhu tubuh dapat ditekan. Hal ini disesuaikan dengan pendapat Cunningham (1997)

yang menyatakan bahwa, hewan memperoleh panas dari lingkungan ketika suhu lingkungan melebihi tubuhnya.

Panas yang diproduksi oleh adanya faktor proses metabolisme tikus percobaan tidak berdampak terhadap perubahan suhu tubuh secara signifikan. Hal ini diasumsikan bahwa pengaruh metabolisme lemak dalam gulai daging sapi ditambah jeroan menghasilkan laju pembentukan panas dan laju kehilangan panas dari dalam tubuh. Seluruh energi makanan dapat dikonversi ke dalam panas dan diradiasi ke dalam udara (Cunningham, 1997). Konversi energi dari makanan untuk menghasilkan panas terjadi, baik selama proses metabolisme maupun selama beraktivitas. Panas yang dihasilkan ini harus selalu dikeluarkan dari tubuh ke lingkungan jika suhu tubuh tetap atau konstan.

Profil Lemak dan Kolesterol Darah

(Trigliserida, Kolesterol Total, Kolesterol HDL dan Kolesterol LDL) Hasil analisis statistik profil lemak dan kolesterol darah terhadap kadar kolesterol total darah, kolesterol LDL, kolesterol HDL, kadar trigliserida dan indeks atherogenik seperti yang digambarkan Tabel 11. Hasil analisis ragam dari kelima

(7)

peubah profil lemak dan kolesterol darah tersebut menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata antara grup tikus perlakuan yang diberi ransum mengandung gulai daging sapi dan jeroan, dengan kelompok tikus percobaan yang diberi ransum kontrol berupa protein kasein.

Tabel 11. Profil Lemak dan Kolesterol Darah Tikus Percobaan Peubah Profil Lemak Darah Kelompok Ransum

Kontrol

Kelompok Ransum Perlakuan Kadar Kolesterol Total (mg/dl) 107 ± 8 90,7 ± 19,14 Trigliserida (mg/dl) 70,7a ± 29,9 117,3b ± 9,1 Kadar Kolesterol HDL (mg/dl) 38,3 ± 4,9 37,3 ± 1,53 Kadar Kolesterol LDL (mg/dl) 54,5 ± 7,5 29,9 ± 18,79

Indeks Atherogenik 1,8 ± 0,23 1,4 ±0,42

Keterangan: Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P < 0,05)

Kadar Kolesterol Total Tikus Percobaan

Kolesterol yang terdapat di dalam serum darah berasal dari makanan (eksogen) dan dari hasil sintesis dalam tubuh (endogen). Total kolestrol yang terdapat pada kelompok ransum perlakuan dengan komposisi ransum mengandung gulai daging sapi ditambah jeroan (90,7 ± 19,14 mg/dl). Hasil ini menunjukkan bahwa kadar kolesterol ini masih berada dalam batas normal sebagaimana yang disebutkan oleh Malole dan Pramono (1989), bahwa kadar kolesterol tikus adalah sebesar 40-130 mg/dl. Malole dan Pramono (1989) menambahkan lagi, bahwa gulai daging sapi dan jeroan memberikan pengaruh terhadap peningkatan total kolesterol darah tikus percobaan, namun peningkatannya tidak signifikan dan masih bisa ditolerir sehingga kadar kolesterol ini tidak membahayakan tubuh dan tidak berindikasi terhadap pemicu penyakit jantung dan pembuluh darah (atherosklerosis). Menurut Nakai dan Modler (2000), bahwa fraksi protein yang terdapat dalam daging paralel dengan hidrofobisitasnya. Fraksi protein mempunyai kemampuan yang kuat untuk berikatan dengan sterol seperti asam empedu karena hidrofobisitasnya yang tinggi. Ikatan peptida dan asam empedu ini dibuang melalui feses tanpa direabsorbsi ke dalam usus halus sehingga kadar kolesterol menurun (Nakai dan Modler, 2000).

(8)

Menurut Russel (2007), bahwa kolesterol dalam darah dapat meningkat bila jumlah kolesterol yang berasal dari bahan pangan lebih besar daripada yang dihasilkan oleh tubuh. Perlakuan terhadap tikus dengan komposisi ransum mengandung gulai daging sapi dan jeroan didapatkan kolesterol lebih tinggi dibandingkan tikus kontrol karena tikus kontrol tidak mengandung kolesterol yang diberikan hanya protein kasein. Hal ini mengindikasikan bahwa tikus dengan komposisi ransum mengandung gulai daging sapi berlemak yang ditambah jeroan tersebut akan menurunkan sintesis kolesterol di dalam tubuh karena adanya aktivitas dan umur tikus yang masih dalam fase pertumbuhan. Aktivitas dan sifat agresivitas tikus percobaan ini dapat juga mempengaruhi kadar kolesterol total karena banyaknya gerakan dapat mereduksi dan membakar lemak yang terdapat dalam tikus tersebut. Perlakuan dengan gulai daging sapi dan jeroan yang digunakan merupakan suatu kesatuan olahan daging dan bumbu.

Bumbu yang digunakan antara lain bawang putih dan kunyit dan beberapa jenis rempah-rempah (lada). Bumbu dengan penambahan Allium sativum (bawang putih) dapat dimanfaatkan untuk mencegah atherosklerosis dengan menurunkan kadar kolesterol darah (Gunawan, 1988). Bawang putih mempunyai zat antioksidan yang dapat mengikat radikal bebas. Bawang putih juga mengandung senyawa allicin. Senyawa tersebut bereaksi dengan darah merah menghasilkan sulfida hidrogen yang meregangkan saluran darah dan membuat darah mudah mengalir. Pramadhia (1988) meyebutkan bahwa Curcuma domestica (kunyit) juga dapat menurunkan kadar kolesterol dalam darah. Konsumsi gulai daging sapi dan jeroan dengan penambahan bumbu-bumbu seperti bawang putih dan kunyit menghasilkan kadar kolesterol darah yang tidak berbeda dengan kelompok tikus kontrol.

Menurut Zhao et al. (2004), bahwa diet tinggi asam lemak tak jenuh ganda memberikan pengaruh kardioprotektif atau melindungi kesehatan jantung, dengan menurunkan kadar lipida dan tingkat lipoprotein. Bahan dasar lain yang berindikasi menghambat peningkatan kolesterol total adalah santan kelapa (coconut milk) yang ditambahkan dalam proses pengolahan daging sapi ditambah jeroan. Santan kelapa (coconut milk) yang dibuat dengan cara mengekstrak parutan kelapa sehingga kandungan air serta lemak nabati yang terkandung di dalamnya akan terekstrak

(9)

keluar. Lemak nabati mengandung fitosterol dan lebih banyak mengandung asam lemak tak jenuh sehingga umumnya berbentuk cair (Winarno, 1992).

Proses pengolahan daging dan bumbu-bumbu gulai menjadi produk olahan (gulai) dilakukan dengan api sedang, yang bertujuan menghindari kandungan asam lemak tak jenuh dalam produk olahan berubah menjadi asam lemak trans maupun asam lemak jenuh, yang apabila dikonsumsi akan berpotensi meningkatkan kadar kolesterol darah. Penelitian Dorfman et al. (2004) menyatakan, bahwa asam lemak trans memiliki pengaruh buruk terhadap profil lipoprotein manusia, yang ditunjukkan dalam penelitian pengaruh asam lemak jenuh dan tak jenuh yang diujikan menggunakan hamster. Keberadaan lemak terhidrogenasi (asam lemak trans) pada manusia, diperkirakan lebih bersifat merugikan dibandingkan lemak jenuh. Baghurst (2004) menyebutkan, bahwa asam lemak trans merupakan bentuk asam lemak tak jenuh yang memiliki bentuk lurus pada rantai ganda, serta terbentuk akibat proses pengolahan. Berbagai studi mengenai diet yang berhubungan dengan kolesterolemia, Purnamaningsih (2001) mengemukakan, bahwa lemak jenuh akan meningkatkan kolesterol sedangkan lemak tak jenuh akan menurunkannya.

Kadar Trigliserida

Hasil analisis kadar trigliserida darah tikus disajikan dalam Tabel 11. Kadar trigliserida darah tikus perlakuan (117,3 ± 9,1 mg/dl) lebih tinggi bila dibandingkan dengan tikus kontrol (70,7 mg/dl), berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Bahaudin (2008) terhadap daging domba ditambah jeroan memiliki kadar trigliserida sebesar (77,3 ± 5,03 mg/dl) dan penelitian Rimadianti (2008) terhadap profil lemak darah sate domba (100,0 ± 22,3 mg/dl). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan kadar trigliserida tikus kontrol yang diberi ransum protein kasein bila dibandingkan dengan ransum perlakuan. Kadar trigliserida darah ini masih normal walaupun lebih tinggi daripada tikus kontrol. Sebagaimana yang disebutkan oleh Malole dan Pramono (1989), bahwa kadar trigliserida darah tikus percobaan berada dalam kisaran antara 26-145 mg/dl. Tingginya selisih trigliserida antara kelompok ransum kontrol dengan ransum perlakuan dapat diasumsikan, bahwa saat melakukan penelitian awal perlakuan bobot awal rata-rata tikus perlakuan (61 ± 3,3 g) tersebut, lebih tinggi dibandingkan dengan bobot awal rata-rata tikus

(10)

kontrol (41 ± 3,6 g). Hal ini diindikasikan dapat memberikan efek terhadap laju pertumbuhan dan hasil analisis kadar trigliserida darah.

Tingkat pertumbuhan yang tinggi ini (143% ransum perlakuan dan 107% ransum kontrol) yang disajikan dalam Tabel 11, dapat dilihat dari bobot akhir tikus perlakuan (147 ± 16,6 g). Hasil ini lebih besar bila dibandingkan denganbobot akhir tikus kontrol (85 ± 10,3 g). Kondisi ini dapat mempengaruhi tingkat konsumsi ransum perlakuan menggunakan gulai daging sapi berlemak yang ditambah jeroan (15,8 ± 4,1 g/hari ) dan kelompok ransum kontrol menggunakan ransum protein kasein (11,6 ± 3,9 g/hari).

Ransum dengan komposisi gulai daging sapi dan jeroan merupakan ransum yang mempunyai kadar trigliserida yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan ransum dari produk hasil ternak lainnya (domba dan daging sapi lean). Hal ini dapat memberikan penjelasan, bahwa kadar trigliserida dalam darah dipengaruhi oleh kadar lemak yang dicerna dalam makanan. Konsumsi lemak dapat diduga menyebabkan kadar trigliserida darah antara tikus kontrol dan perlakuan tidak berbeda nyata. Mekanisme konsumsi lemak ransum ini antara lain yaitu, senyawa trigliserida dalam makanan dicerna oleh enzim lipase usus dan selanjutnya kembali diesterifikasi oleh cairan mukosa usus (Hawab et al., 1989). Azain (2004) menjelaskan, bahwa. selama absorbsi lemak, trigliserida yang ada dalam epitel usus akan diekskresikan ke organ limfa dalam bentuk kilomikron dan dalam bentuk inilah lemak ditransfer ke jaringan-jaringan di seluruh tubuh.

Kadar Kolesterol High Density Lipoprotein (k-HDL)

Hasil analisis darah terhadap profil kadar kolesterol lipoprotein densitas tinggi/high density lipoprotein (k-HDL) memberikan hasil yang tidak berbeda (P > 0,05) antara tikus yang diberi ransum mengandung gulai daging sapi dan jeroan sebagai sumber protein dan tikus kontrol yang diberi protein kasein. Kelompok tikus percobaan dengan komposisi ransum mengandung gulai daging sapi dan jeroan memiliki kadar k-HDL sebesar 37,3 ± 1,53 mg/dl dan tikus kontrol sebesar 38,3 ± 4,9 mg/dl yang diberi protein kasein. Kadar kolesterol HDL pada serum darah tikus yang normal adalah sebesar 35 mg/dl (Schaefer dan McNamara, 1997).

Hasil sidik ragam kelompok perlakuan daging sapi dan jeroan memberikan gambaran bahwa kadar kolesterol HDL lebih tinggi dari kadar kolesterol HDL

(11)

normal dan memberikan pengaruh positif terhadap kesehatan. Kadar kolesterol HDL serum darah yang tinggi sangat bermanfaat untuk menurunkan terjadinya resiko aterosklerosis karena kolesterol HDL berfungsi mengangkut kolesterol dari jaringan periferal menuju ke hati, sehingga mencegah terjadinya pengapuran dan plaque akibat kolesterol LDL. Fungsi kolesterol HDL berlawanan dengan kolesterol low density lipoprotein (LDL). Kolesterol LDL berfungsi mengirim kolesterol dari hati keseluruh jaringan tubuh atau jaringan periferal sehingga menimbun kolesterol pada jaringan tersebut dan dapat menyebabkan terjadinya pengapuran pada pembuluh koroner. Peningkatann kolesterol HDL sebesar satu poin dapat menurunkan resiko menderita penyakit jantung koroner sebesar 2-3 %.

Lipoprotein densitas tinggi (HDL, high density lipoprotein) penting untuk membersihkan trigliserida dan kolesterol, dan untuk transpor serta metabolisme ester kolesterol dalam plasma. Kolesterol HDL biasanya membawa 20-25 % kolesterol darah. Kadar tinggi HDL2 dan HDL3 dihubungkan dengan penurunan insiden

penyakit dan kematian karena aterosklerosis. Sehingga dalam hal ini, konsumsi terhadap daging berlemak ditambah jeroan tidak menimbulkan resiko terhadap terjadinya penyakit jantung dan pembuluh darah sebagaimana yang dikhawatirkan oleh masyarakat. High Density Lipoprotein (HDL) berfungsi mengangkut kolesterol dari jaringan perifer ke hati, sehingga penimbunan kolesterol di perifer berkurang. Kadar HDL berkurang pada penderita obesitas (kegemukan), perokok, penderita diabetes melitus yang tidak terkontrol dan pada pemakai estrogen-progesti. High density lipoprotein (HDL) secara normal terdapat pada plasma puasa (Suyatna dan Handoko, 2002).

Kadar Kolesterol Low Density Lipoprotein (k-LDL)

Hasil analisis ragam terhadap kadar kolesterol LDL tikus percobaan dengan komposisi ransum mengandung gulai daging sapi ditambah jeroan adalah sebesar 29,9 ± 18,79 mg/dl. Hal ini mengindikasikan, bahwa tidak terdapat perbedaan signifikan bila dibandingkan dengan tikus kontrol sebesar yang diberi berupa protein kasein. Kadar kolesterol LDL hasil percobaan ini masih normal, yaitu 130 mg/dl (Sihombing, 2003). Hal ini memberikan sebuah keterangan bahwa tikus dengan komposisi ransum mengandung gulai daging sapi berlemak yang ditambah jeroan tidak memberikan efek positif terhadap resiko terjadinya penyakit jantung dan

(12)

pembuluh darah dan bemanfaat bagi konsumen yang masih dalam fase pertumbuhan. Anggapan masyarakat terhadap resiko terjadinya penyakit jantung dan pembuluh darah yang selama ini dikhawatirkan tidak terlalu beralasan karena dalam penelitian ini dapat memberikan gambaran bahwa diet menggunakan ransum mengandung daging sapi berlemak yang ditambah jeroan tidak meningkatkan kadar kolesterol low density lipoprotein (k-LDL).

Indeks Atherogenik

Hasil perhitungan indeks atherogenik disajikan dalam Tabel 11. Indeks atherogenik daging sapi dan jeroan menggambarkan hasil yang tidak berbeda nyata terhadap kemungkinan terjadinya resiko penyakit jantung dan pembuluh darah. Hal ini berarti indeks atherogenik tersebut masíh dalam batas aman atau tidak berindikasi terhadap terjadinya resiko penyakit jantung dan pembuluh darah. Indeks atherogenik berkisar antara 1,8 ± 0,23 (untuk tikus kontrol) dan 1,4 ±0,42 (tikus dengan gulai daging sapi berlemak yang ditambah jeroan), sehingga makin kecil nilai indeks atherogenik, maka makin kecil resiko terkena penyakit jantung dan pembuluh darah. Sesuai dengan pernyataan (Sihombing, 2003) bahwa nilai indeks atherogenik ideal untuk laki-laki adalah di bawah 4,5 sedangkan untuk wanita di bawah 4,0. Indeks aterogenik dipengaruhi oleh kolsterol high density lipoprotein (HDL), semakin kecil nilai indeks atherogenik, maka resiko terjadinya penyakit jantung dan pembuluh darah akan semakin kecil. Indeks atherogenik yang rendah mengindikasikan nilai kolesterol HDL yang tinggi (Usoro et al., 2006). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian ini, bahwa nilai kolesterol HDL sebesar 37,3 ± 1,53 mg/dl lebih tinggi dari batas normal, yaitu 35 mg/dl (Schaefer et al., 1997).

Gambar

Tabel 9. Bobot, Kenaikan Bobot Badan dan Tingkat Konsumsi Nutrisi Tikus  Percobaan
Tabel 10.  Hasil Pengukuran Respon Fisiologis Tikus Percobaan  Peubah Respon
Tabel 11. Profil Lemak dan Kolesterol Darah Tikus Percobaan  Peubah Profil Lemak Darah  Kelompok Ransum

Referensi

Dokumen terkait

Terdapat pendapat yang beragam menyikapi hal tersebut yang dipengaruhi oleh latar belakang sosial, pengalaman dalam hidup serta budaya dapat berperan terhadap

Bahwa Termohon pada tanggal 28 Januari 2013 telah melakukan klarifikasi, diantaranya: kepada Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Hati Nurani Rakyat (HANURA) di

Jawaban yang diilhami dari para murid mengokohkan prinsip yang harus diikuti oleh semua orang ketika dihadapkan dengan hukum manusia yang dibuat bertentangan dengan hukum

Dalam pesantren salaf telah dikenal adanya pembelajaran dalam bentuk halaqah (pengelompokan dalam bentuk lingkaran) dan klasikal (penjenjangan), sedangkan dalam pesantren

Hasil kajian ini diharap dapat memberi maklumat terkini serta petunjuk kepada pihak penggubal dan perancang kurikulum terutama bagi mata pelajaran dalam bidang sains sama ada

merupakan sunah nabi dan adanya anggapan masyarakat bahwa (perkawinan) tetap di pandang sah walaupun tidak dicatatkan. Padahal hal itu menimbulkan banyak

Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan media pembelajaran interaktif untuk meningkatkan pemahaman belajar pada pembelajaran bahasa inggris untuk siswa kelas

Dalam menganalisis apakah klausul mengenai pembatasan dalam penjualan bersifat anti persaingan usaha atau tidak, setiap pihak hendaknya memandang bahwa pada