• Tidak ada hasil yang ditemukan

TRADISI NGEDEBLAG DI DESA KEMENUH: REFLEKSI KOMUNIKASI KOMUNAL DALAM KEHIDUPAN MODERN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TRADISI NGEDEBLAG DI DESA KEMENUH: REFLEKSI KOMUNIKASI KOMUNAL DALAM KEHIDUPAN MODERN"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

TRADISI NGEDEBLAG DI DESA KEMENUH:

REFLEKSI KOMUNIKASI KOMUNAL DALAM KEHIDUPAN MODERN

A.A. Putra Dwipayana1; I Gede Sutana2 Universitas Hindu Indonesia Denpasar1

Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri Mpu Kuturan Singaraja2 Email: gungtra3@gmail.com; sutanagde@gmail.com

ABSTRACT

This paper describes comprehensive the communication that is communal in the form of community interaction in the ngedeblag tradition carried out by the people of Kemenuh Village as part of respect for tradition and maintaining the balance of the energy of the universe. The presence of modern life, does not necessarily only affect the life of urban communities which tend to be heterogeneous. However, through cultural and market expansion, massive economic growth, and social mobility, a civilization that can generalize all aspects of life can even form the individualistic and materialistic side of each individual. Uniquely, the presence of a tradition in the life of people in Bali can become a fortress for this form of generalization. As seen in Kemenuh society, it is related to the ngedeblag tradition which is believed to be part of a ritual to drive out evil spirits or negative forces, and to restore the balance of the great bhuwana. In ongoing observations, the tradition of ngedeblag is actually a reflection of the life of the communal community. This is indicated by the process of interaction through community communication patterns that occur from the beginning of preparation for the implementation of the ngedeblag tradition to the end of the tradition. Not only in the aspect of social interaction, the communication of this tradition also has implications for the next generations of the existence of the ngedeblag tradition as part of cultural heritage and understanding the expression or intent to be conveyed through the ngedebalag tradition.

Keywords: Ngedeblag Tradition, Communal Communication, Modern Life

I. PENDAHULUAN

Ruang tradisi memiliki suatu panorama tentang spirit kebudayaan yang tampil atas suatu skema genius sistesis dan telah menjadi konvensi terkait dengan eksistensi masyarakat pendukungnya. Kehadiran tradisi tersebut menunjukkan identitas wilayah dan masyarakatnya baik sebagai wujud nyata atas perilaku dan praktik sosial, religius, maupun lainnya sehingga membentuk pola

yang konseptual untuk kepentingan masyarakat pada saat munculnya tradisi tersebut dalam ruang publik sehingga membentuk suatu dimensi kebudayaan yang dihayati dalam

kehidupan masyarakat

pendukungnya. Hal ini (kebudayaan) menjadi sebuah realitas yang tampil pada ekspresi simbolik dari individu maupun kolektif. Seperti ungkapan Clifford Geertz kebudayaan merupakan pola dari

(2)

pengertian-pengertian atau makna-makna yang terjalin secara menyeluruh dalam simbol-simbol dan di transmisikan secara historis. Berikutnya dijelaskan oleh Geertz bahwa kebudayaan tersebut merupakan sistem konsepsi yang diwariskan dalam bentuk simbolik, melalui cara ini manusia dapat berkomunikasi, melestarikan, dan mengembangkan pengetahuan dan sikapnya terhadap kehidupan. Seiring dengan transimisi kebudayaan secara historis tersebut menjadikan banyak muncul pendefinisian atau tafsir-tafsir atas keberadaan tradisi dalam kehidupan masyarakat yang kian cukup untuk dikatakan maju sebagaimana (Abdullah, 2015) menyatakan bahwa, berbagai desa (wilayah) tidak terkecuali, menjadi bagian dari apa yang disebut banyak ahli sebagai global village yang memperlihatkan betapa nilai-nilai yang dipelajari dan diyakini kemudian bukan hanya berasal dari lokalitas di mana seseorang berada, tetapi juga nilai-nilai dari suatu pusat dunia (global) atau bahkan suatu daerah entah di mana ikut berintegrasi di dalamnya.

Dalam pandangan tersebut, menunjukkan bagaimana proses dioalog antara budaya internal dengan budaya eksternal yang pesat

mempengaruhi kehidupan

masyarakat. secara serius, kehadiran pola generalisasi kebudayaan tengah dan dapat dirasakan sebagai bagian yang diterima atas kesadaran modern setiap individu. Tidak terlepas daripada itu, praktik diaspora yang tampak sebagai kesatuan dimensi mindset individu yang lebih memandang identitas tengah berlangsung tanpa ada batasan-batasan tertentu dalam tindakan perpindahan wilayah kehidupan masyarakat. mempertegas dari gejala

tersebut, (Abdullah, 2015) menunjukkan bahwa modernitas yang secara garis besarnya membawa bentuk perubahan masyarakat, baik dari karakteristik tradisional menuju dan bahkan menjadi masyarakat yang dipengaruhi oleh produksi-produksi modern. Hal ini ditandai dengan beberapa hal seperti (1) pertumbuhan ekonomi yang masif; (2) mobilitas sosial; dan (3) ekspansi budaya. mengenai perluasan budaya tersebut hal ini tidak terlepas dari peranan teknologi dan informasi yang sangat masif berpengaruh tehadap kebiasaan masyarakat komunal. Sehingga dalam bentukan yang lebih baru, masyarakat komunal yang diilhami sebagai masyarakat yang mengedepankan prinsip solidaritas mekanis, cenderung membangun prinsip-prinsip baru sebagai solidaritas organis, yang terkenal dengan bentuk integrasi yang didasarkan pada kepentingan kerja.

Setiap wilayah di berbagai belahan dunia masing-masing memiliki kebudayaannya sendiri dengan disokong oleh spirit tempat budaya itu muncul. Tidak terkecuali di Bali yang memiliki khususnya wujud kebudayaan yang dapat diamati dan dinikmaiti melalui persepsi manusia. Kebudayaan yang secara umum diamati melalui wujudnya justru memiliki nilai tambah dalam kepentingan masyarakat pendukung kebudayaan tersebut. Secara normatif, kebudayaan dalam kehidupan masyarakat di Bali juga mengikuti bagaimana representasi kolektifnya, tentu hal ini membangun suatu polarisasi tentang kebudayaan yang menjadi ruang bagi bergaulnya masayarakat secara komunal. Tidak hanya itu, kebudayaan yang lebih

(3)

pada diwujudkan dalam suatu identifikasi tradisi mempunyai banyak peranan, yaitu sebagai sarana dan media komunikasi masyarakat setempat seturut habitus yang berkembang dalam kehidupan sosial. Sebagaimana orientasi topik yang muncul dalam tulisan ini sesungguhnya mengamati perihal bentuk komunikasi dalam solidaritas komunal dalam ruang tradisi. Justru untuk melihat bahasannya dalam ruang tradisi sesungguhnya dapat diasumsikan bahwa, banyak hal-hal yang kompleks untuk dijelaskan, mengingat dalam suatu kaca mata yang digunakan peneliti untuk mengamatinya memberikan batasan untuk memberikan deskripsi tentang objek kajian tersebut (Sutana, 2020).

Tradisi yang diungkap merupakan tradisi yang eksis di desa Kemenuh Kecamatan Sukawati Kabupaten Gianyar. Walaupun beberapa penelitian tentang tradisi ini telah dilakukan, tetapi terkait perspektif terkait dengan pengamatan mengenai komunikasi tersebut sepengetahuan peneliti melalui berbagai macam sumber dan pustaka belum sepenuhnya ada. Dengan demikian, dalam uraian hasil penelitian ini dimaksudkan untuk membahas terkait refleksi komunikasi bersifat komunal yang terjadi dalam ruang tradisi ngedablag tersebut menjadi perhatian tersendiri mengingat kehidupan modern biasanya banyak dipengaruhi oleh kehidupan atau life style perkotaan, yang secara eksplisit, hal ini terbentuk atas ekspansi (perluasan) budaya, dalam bentuk penerimaaan yang didasarkan pada tindakan rasional. sebagaimana ungkapan (Dwipayana & Utama, 2020) masyarakat model tersebut memiliki karakteristik individualis dan

materialistik dan hal ini menjadi habid bagi masyarakat modern. Untuk lebih jelasnya, mengutip penjelasan (Elly M & Kolip, 2011) tentang ciri yang menonjol dari masyarakat kota adalah: a) kehidupan keagamaan berkurang apabila dibandingkan dengan kehidupan keagamaan di desa; b) orang kota pada umumnya dapat mengurus dirinya sendiri tanpa harus bergantung pada orang lain. Demikian disebut sebagai manusia perseorangan atau individu; c) pembagian kerja diantara warga kota mempunyai batas yang nyata; d) kemungkinan untuk mendapatkan pekerjaan juga lebih banyak diperoleh warga kota daripada warga desa; e) interaksi yang terjadi lebih banyak terjadi berdasarkan pada faktor kepentingan daripada faktor pribadi; f) pembagian waktu yang lebih teliti dan sangat penting, untuk dapat mengejar kebutuhan individu; g) perubahan sosial tampak dengan nyata.

Pelaksanaan tradisi ngedeblag yang menjadi icon masyarakat desa adat Kemenuh menunjukkan suatu ikatan solidaritas yang dilandasi dengan spirit adat Bali yang tertuang dalam konsep Tri Hita Karana. Konsep ini menggambarkan perihal tentang menjaga hubungan harmonis kepada

Tuhan sebagai pencipta

(parhyangan), menjaga hubungan harmonis sesama manusia dalam kehidupan sosial (pawongan), dan menjaga keharmonisan dengan alam atau lingkungan sekitar (palemahan). Hal inilah yang menjadi value dalam pelaksanaan tradisi ngedeblag. Khususnya mengenai prinsip pawongan, kehidupan masyarakat menjadi haromonis dengan dilandaskan pada suatu tindakan

(4)

komunikatif. Sebagaimana Habermas (Sukarma, 2012) menyerukan

pemikirannya mengenai

communicative action, yang ia simpulkan bahwa kedewasaan rasional sudah tertanam dalam tindakan bicara antara yang satu dengan yang lain. Praksis adalah tindakan dasar manusia dalam dunia di luar dirinya, dalam alam atau masyarakat. habermas membedakan dua dimensi dalam praksis kehidupan manusia, yaitu “kerja” dan “interaksi” atau “komunikasi”. Kedua dimensi ini dijelaskan sebagai tindakan sosial. Pertama, “tindakan rasional-bertujuan” (tercakup dalam dimensi kerja) dan kedua, “tindakan komunikatif” (tercakup dalam dimensi komunikasi). Dengan kata lain, Habermas merumuskan dua macam rasionalitas, yaitu rasionalitas sasaran dan rasionalitas komunikatif. Lebih lanjut Habermas memandang sejarah dan masyarakat tidak hanya dari sisi proses-proses produksi (kerja), tetapi juga dari sisi proses-proses sosialisasi (komunikasi). Melalui ini, masyarakat dapat dianalisis dari dua segi yang berlainan, yaitu (1) pranata-pranata sosial yang tidak lain dari interaksi sosial yang terjalin dari tindakan-tindakan komunikatif dan/atau “kerangka institusional” (praksis-komunikasi); (2) kegiatan-kegiatan produktif yang terdapat di dalamnya yang terjalin dari tindakan-tindakan instrumental dan strategis atau “subsistem-subsistem tindakan rasional bertujuan (praksis-kerja). Dengan demikian, penjelasan terkait dengan tradisi ngedeblag dalam uraian hasil pengamatan melihat aspek tindakan komunikasi dalam kehidupan sosial melalui ruang tradisi yang tersedia dalam kehidupan yang didominasi oleh

kehadiran produk dan produksi modern.

Tulisan ini berangkat dari penelitian dengan menggunakan

metode kualitatif yang

mengedepankan pola deskripsi-interpretatif. Dalam penelitian kualitatif, (Sudarto, 1997) meminjam penegasan dari Kir dan Miller bahwa penelitian kualitatif berdasarkan pada tradisi tertentu dalam ilmu sosial, yang secara fundamental bergantung kepada pengamatan manusia dalam

wawasannya sendiri dan

berhubungan dengan orang-orang yang diamati dalam bahasanya dan peristilahan. Data yang dikemukakan bersifat data-data yang tidak tertaut dengan angka-angka. Secara objek penelitian yang dibagi dalam dua kategori, yakni objek formal dan objek material. Objek formal penelitian ini adalah refleksi komunikasi komunal dalam kehidupan modern, sedangkan objek material penelitian adalah tradisi ngedeblag yang hingga saat ini masih diselenggarakan oleh masyarakat Desa Adat Kemenuh Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar. Dengan data yang diperoleh disajikan dalam bentuk deskripsi, interpretasi dan naratif.

II. PEMBAHASAN

Kebudayaan secara

konvensional, sebagai bagian dari aktivitas perilaku manusia yang hidup dalam suatu ruang tertentu yang membentuk dimensi kehidupan praktik sosial, norma, dan moral serta tidak terlepas dari bagimana nilai-nilai dalam suatu ruang kebudayaan yang membentuk manusia untuk patuh terhadap nilai-nilai tersebut. Dalam wujud yang lebih konkrit, kebudayaan tersebut membangun suatu peradaban yang

(5)

kadang sampai saat ini diwarisi dan dilestarikan oleh generasi-generasi yang hidup dalam ruang kebudayaan tersebut.

Padangan masyarakat umum menunjukkan dimensi kebudayaan lebih pada suatu bentukan tradisi. Hal ini lebih menukik pada pembacaan akan definisi Kebudayaan yang dinyatakan (Williams, 1983) bahwa dipahami sebagai produk dan praktik intelektual dan khususnya kegiatan artistik. Dalam pengertian ini, dapat dipahami kebudayaan merupakan suatu bentuk produksi atas pemikiran masyarakat setempat seperti, musik, kesusastraan, lukisan, patung, pentas teater. Sedangkan secara tradisional hal tersebut terkonstruksi atas nilai-nilai dan spirit yang hayati untuk dikemukakan dalam kehidupan komunal. Keterkaitan kebudayaan yang sangat bersifat luas tersebut bagi Koetjaraningrat yang mengamati bentuk kebudayaan dalam tujuh unsur yang selalu melekat diantara satu dengan lainnya. Sebagaimana dalam hal tulisan ini dalam tradisi ngedeblag di Desa Adat Kemenuh, menunjukkan tentang bagaimana wujud kebudayaan (dalam hal ini lebih spesifik dibicakaran tentang suatu tradisi) tidak hanya berbicara persoalan satu dimensi, tetapi lebih pada menunjukkan dualitas dimensi yang menyatu dalam wujudnya.

Dalam pengamatan tersebut, tardisi ngedebag tidak hanya pada pembicaraan masalah sosial, tetapi entitas lainnya perlu dipadukan sebagai bagian yang tak terpisahkan. Ketidak terpisahan tersebut, sebagaimana yang tampak dalam kehidupan masyarakat khususnya umat Hindu di Bali pada umumnya, memandang keberlangsungan suatu

tradisi tidak hanya dalam wujud integrasi sosial, tetapi dalam keterwujudan integrasi sosial tersebut menghilhami nilai-nilai religius yang melekat sebagai suatu ideologi keagamaan koletif dan didasarkan pada suatu konsensus tradisional, sehingga membudaya sebagai wujud prilaku masyarakat dalam ruang atau wilayah tertentu. Sebagaimana menurut Durkheim, sesungguhnya terkait dengan aktivitas yang mengedepankan prinsip religius penting untuk selalu dijaga dan dilestarikan, dan bahkan agama tersebut harus eksis, mengingat semua sistem sosial membutuhkan integrasi (Jones & dkk, 2016). Dengan pandangan tersebut dapat dipahami bahwa, ketertundukan masyarakat atas entitas transendental yang dalam dimensi kepercayaan diinstitusi oleh agama sehingga peranan ini harus terjaga sebagai bagian dari ketejagaannya sistem sosial.

Berikutnya, kehidupan sosial di Bali tidak dapat dilepaskan begitu saja dengan kehadiran pola religius yang melekat hingga saat ini. sehingga Bali dengan benteng desa adatnya membentuk pola kehidupan didasarkan pada sistem-sistem sosial-religius yang terbentuk sebagai praksis kebudayaan. Melihat lebih jauh tentang objek material tulisan ini, penting diawali sebagai bagian yang menjadi gambaran pembuka terkait dengan eksistensi tradisi ngedeblag yang dilaksanakan dan didukung oleh masyarakat Desa Adat Kemenuh, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar.

Desa kemenuh secara historis, tercatat dalam suatu manuskrip tradisional yang dinamai Babad Brahmana Kemenuh. Sebagaimana yang tertuang dalam

(6)

teks babad tersebut, Desa Kemenuh (yang sekarang) dahulunya disebut sebagai Desa Tegal Wanasari. Setelah kedatangan Ida Kemenuh di Desa Wanasari dengan mendirikan bangunan suci yang disebut Pura Dalem Kemenuh, maka Desa Wanasari berganti nama menjadi Desa Wanasari Kemenuh. Dalam kepercayaan sesuai yang disebutkan Babad Brahmana Kemenuh, Bhatari Adi Swari Sinungsung dibuatkan serta sthana pemulian Beliau berupa sebuah meru tumpang tiga (bangunan suci – meru, yang bersusun tiga) yang kedudukannya di Pura Dalem Kemenuh. Desa kemenuh secara ungkapan babad Brahmana Kemenuh, merupakan wilayah kekuasaan Blahbatuh. Bergantinya nama desa tersebut tidak terlepas kaitannya dengan perjalanan Dang Hyang Dwijendra menuju ke Puri Gelgel di daerah Klungkung untuk memenuhi undangan Dalem. 2.1 Gambaran Umum Tradisi Ngedeblag

Tradisi ngedeblag yang dilangsungkan hingga saat ini oleh masyarakat Hindu di Desa Kemenuh, sesungguhnya memiliki jalinan yang erat dengan Desa Adat Kemenuh. Keberadaan tradisi ngedeblag merupakan warisan budaya tradisional yang unik dan bahkan tak dapat ditemukan daerah lainnya khuusnya di Bali. Pelaksanaan tradisi ini bagi masyarakat Desa Kemenuh wajib untuk dilaksanakan, yang terselenggara pada peralihan sasih kalima (bulan kelima) sesuai dengan penanggalan kalender Bali. Dalam historis tradisi ngedeblag, sebagaimana yang telah disebutkan sebagai satu jalinan peristiwa sejarah yang disampaikan dalam Babad Brahmana Kamenuh.

Secara historis, tradisi ngedeblag muncul dengan diawali suatu peristiwa, yang mengisahkan bahwa, Pendeta Patni Yogi Sinungsung tengah diserang penyakit lumpuh, setelah beliau menginjakkan kakinya di Desa Tegal Wanasari hingga beliau wafat di rumah Ni Sengguhu (di Desa Tegal Sari). Hadirnya Mpu Romo Sinungsung di Desa Tegal Wanasari, beliau sangat sedih melihat kejadian tersebut, hingga akhirnya diselenggarakan upacara penyucian terhadap stula sarira (badan kasar) dari Pendeta Patni Yogi Singungsung. Kehadiran Mpu Romo Sinungsung, mendirikan Pura Dalem, Kuta Wesma, Gandha Mayu, dan Tunon untuk Desa Tegal Wanasari. Serta membangun Meru Tumpang Tiga sebagai sthana Bhatari Adi Swari Sinungsung sebagai wujud pemuliaan Beliau, yang didirikan di Pura Dalem Desa tersebut yang dikenal dengan Pura Dalem Kemenuh.

Salah satu putra beliau Ida Nyoman Kemenuh menolak untuk meninggalkan Desa Tegal Wanasari (Desa Wanasari Kemenuh), serta berikutnya menetap di Desa tersebut, sebagai wujud atas sikap amat baktinya kepada mendiang ibunya yang telah meninggal. Sehingga menurunkan keluarga Brahmana Wangsa golongan Kemenuh. Lamanya Ida Nyoman Kemenuh menetap di Desa Wanasari Kemenuh, wabah yang melanda desa tidak hilang, dan mengancam kehidupan masyarakat Desa pada saat itu. Atas kepedulian Ida Nyoman Kemenuh, akhirnya dengan kesadaran, beliau melaksanaan Samadhi dengan niat untuk memohon petunjuk dari para dewata terkait dengan musibah yang tengah melanda masyarakat Desa. Dalam

(7)

melakukan Samadhi, beliau mendapatkan pawisik untuk mengadakan upacara pesasihan di Pura Kahyangan Tiga Desa setempat, dengan pusat atau sentral pelaksanaan upacara tersebut berada

di Pura Dalem, dengan

menghaturkan upakara-bebantenan jangkep (sarana upacara yang lengkap), serta setalah itu dilanjutkan dengan upacara yang disebut dengan ngedeblag.

Ngedeblag tersebut merupakan wujud upacara dengan mengiringi Ida Sesuunan mengelilingi Desa Kemenuh atau dalam bahasa lokalnya macecingak (melihat) keadaan seluruh masyarakat. hal ini diyakini oleh masyarakat bahwa, saat Ida Sesuunan (dalam wujud pralingga) mempunyai vibrasi suci dan sakral untuk dapat menetralisasi kekuatan yang kurang baik (buruk). Pelaksanaan ritual ngedeblag ini sebagaimana masyarakat menghiasi wajahnya dengan berbagai warna. Selain itu, masyarakat yang lain ada yang menggunakan topeng, pakaian hingga tutup kepala yang unik dan aneh, disertakan juga membawa alat-alat yang mengeluarkan bunyi-bunyian seperti kentongan dan alat lainnya yang dapat mengeluarkan bunyi yang dapat menyebabkan suara bising. Perlu diketengahkan bahwa, upacara ini dapat diklasifikasi ke dalam bagian upacara Bhuta Yadnya, yang sesungguhnya menurut kepercayaan masyarakat setempat, alat-alat yang mengeluarkan bunyi-bunyian (bising) tersebut bertujuan untuk membuat bhuta kala menjadi takut.

Dalam ritual ngedeblag, beberapa krama laki-laki yang mengiringi, wajib untuk berdandan seperti menggunakan beberapa

pewarna untuk wajahnya atau layaknya seperti seorang komedian (lawak), disertakan juga kepada masyarakat yang berbaris paling depan dalam iringan tersebut membawa daun pohon jaka yang masih utuh menempel di tangkainya. Adapun penggunaan pohon jaka tersebut merupakan representasi dari hutan dan isi alam semesta yang memberikn kehidupan kepada masyarakat Desa Kemenuh. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa, sesungguhnya masyarakat Kemenuh melaksanakan tradisi ngedeblag memiliki tujuan sebagai tidak hanya sebuah bentuk penghormatan warisan tradisi, tetapi lebih melaksanakan dengan memahami makna untuk menjaga keseimbangan alam dalam menetralisir wilayah Desa Adat Kemenuh dari wabah penyakit.

Prosesi pelaksanaan ritual ngedeblag memiliki beberapa tahapan. Pertama, dalam tahapan persiapan yang dilakukan oleh masyarakat Desa Kemenuh, mengawalinya dengan melaksanakan paruman desa, yang tujuannya untuk melakukan pembahasan mengenai persiapan berlangsungnya ngedeblag. Setelah paruman yang menghasilkan suatu keputusan bersama secara mufakat, dengan demikian, masyarakat berikutnya melaksanakan perisapan-persiapan untuk menyambut perayaan ritual ngedeblag. Beberapa persiapan yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat mengawalinya dengan melangsungkan kegiatan gotong-royong di areal Pura Dalem secara bersama-sama, seperti melakukan bersih-bersih, memasang ider-ider, lamak, tedung, penjor, dan sebagainya sesuai dengan keperluan upacara. Hal ini menunjukkan

(8)

kesadaran masyarakat yang memiliki karakteristik religius-komunal. Pelaksanaan ini tentu menjadi cerminan bahwa akan berlangsung suatu ritual keagamaan yaitu tradisi ngedeblag. Bagi masyarakat perempuan, khususnya ibu-ibu

memiliki tugas untuk

mempersiapkan segala sarana upakara yang diperlukan nantinya sebagai perlengkapan pada saat berlangsungnya ritual ngedeblag. Upakara tersebut dibuat oleh ibu-ibu yang sudah dikelompokkan menjadi 12 (dua belas) tempekan, dan dibagi dalam dua kelompok tempekan diantaranya, enam tempek desa kaler dan enam tempek desa kelod. Terkait dengan keberadaan enam tempek desa kaler terdiri dari tempek griya, tempek pacek, tempek bale agung, tempek batan nyuh, tempek manyar tengah, tempek kaler kangin. Sedangkan enam tempek dari desa kelod terdiri dari tempek dangin margi, tempek uma anyar kelod, tempek uma anyar kaler, tempek uma anyar agung, tempek tengah, dan tempek kelod kauh. Tidak hanya itu, masyarakat Kemenuh juga mempersiapkan beberapa hal seperti bebantenan untuk di rumah masing-masing, mempersiapkan diri, dan mempersiapkan alat-alat yang akan dibawa pada saat berlangsungnya tradisi ngebeblag, seperti alat-alat yang mengeluarkan suara bising baik itu, kulkul (kentongan), gong, dan lain sebagainya, serta tidak terlupakan seperti pohon jaka.

Selanjutnya dalam tahapan awal melangsungkan proses Matur Piuning. Pelaksanakaan ini biasanya dilaksanakan pada pagi hari bertepatan di Pura Dalem Kemenuh sebelum mulainya tradisi ngedeblag. Adapun beberapa sarana upakara atau banten yang diperlukan dalam

prosesi ini adalah banten pejati ajuman. Sedangkan upakara yang dihaturkan pada masing-masing pelinggih meliputi, sayut pengambean asoroh, tebasan perascita; peras ajengan santun nasi pangkonan, canang tadah woh duang tanding, segehan, tabuh, dupa, ulam kawisan; tipat bantal akelan, canang burat wangi lenga wangi batun salak; prani limang tanding, jaja giling-giling barak putih; jaja kukus barak putih, laklak tape; peras ajengan santun, tabuh, segehan dupa; sampian pusung, corot kuntir, dan peras ajegan santun, nasi pangkonan, tabuh, dupa, segehan, ulam kawisan. Kesemua banten tersebut masing-masing dihaturkan pada palinggih pemasaran, palinggih mrajapati, palinggih Ida Ratu Lingsir, palinggih Ida Ratu Ayu, palinggih Ida Ratu Agung, palinggih Meru, palinggih Pura Dalem, palinggih tengah setra, dan palinggih yang ada di Beji. Selain pada palinggih-palinggih yang ada di Pura, banten atau upakara tersebut juga dihaturkan masing-masing di rumah masyarakat Desa Kemenuh, dengan ikut serta matur piuning di tempat suci keluarga masing-masing.

Selesainya proses matur piuning, seluruh masyarakat Desa

Kemenuh melaksanakan

persembahyangan bersama sebagai wujud memohon kelancaran serta kesuksesan dalam pelaksanaan tradisi ngedeblag. Selesainya persembahyangan disertakan dengan matirta. Selanjutnya masyarakat Kemenuh nunas tirta caru yang akan digunakan pada saat pelaksanaan mecaru di rumah masing-masing. Adapun caru yang dihaturkan pada masing-masing rumah adalah caru olahan, sebagaimana isi dari caru

(9)

tersebut meliputi: nasi pujungan duang tanding, iwak bawi maolah, jatah lembat, asem sami akatih, raka sakwenang, canang duang tanding. Dengan mengucapkan sasambatan kepada Sang Kala Mangsa. Sesungguhnya, pelaksanaan macaru ini tidak terselenggara hanya sekali pada sasih kalima, tetapi untuk sasih (bulan) berikutnya seperti sasih kaenem, kapitu, kaulu, dan sasih kasanga memiliki masing-masing persembahan berupa caru dengan tetandingan yang berbeda. Untuk sasih kaenem, terdiri dari tumpeng danan selem, iwak jatah calon, urab barak putih, canang petang (4) tanding, raka jaja begina, pisang rateng, masanggah cucuk, pelawa kayu tulak, tuak, yeh mawadah cameng. Ring lebuh: segehan sia tanding, iwak jeroan, babi matah lebeng, getih mawadah takir. Dengan sesambatan: Bhuta Ngadang Semaya Pati. Berikutnya pada sasih kapitu, upakara yang dihaturkan berupa: tumpeng danan bang, iwak ayam biying mapanggang, raka sakawenang: ring sanggah cucuk. Ring lebuh nasi apunjung, iwak bawi maolah den agenep, segehan limang tanding medaging urab barak-urab putih, tuak yeh mewadah takir, sesambatan: Bhuta Ngadang semaya. Pada sasih kaulu, adapun upakara yang dihaturkan meliputi: tumpeng limang bungkul mawadah daun telunjung limang muncuk, iwak rumbe gile, kekomoh, lawar kekumbuh kacang, calon limang katih, raka geti-geti pisang batu, tuak arak mewadah bungbung, nasi takilan iwak taluh bekasem magantung ring sanggah cucuk. Sesambatan: Kala Dengen. Sedangkan pada sasih kasanga, adapun upakara yang menjadi haturan meliputi: nasi pujungan

matungtung ati magoreng, iwak taluh madadar, peras panyeneng, raka sakawenang, tuak yeh mawadah sujang ring lebuh. Sesambatan: Sang Kala Tiga Roga.

Selanjutnya pada tahapan puncak pelaksanaan tradisi ngedeblag. Tradisi ini sesungguhnya termasuk dalam kategori upacara Bhuta Yadnya yang bertujuan untuk menetralisir kekuatan negatif yang

dianggap mengganggu

keseimbangan bhuwana agung dan bhuwana alit. Khususnya warga masyarakat laki-laki menghias dirinya seperti layaknya bhuta kala hiasan tersebut terbuat dari cat, bedak, kapur sirih, dan sebagainya. Ada juga yang menggunakan topeng, pakaian, hingga penutup kepala yang dapat disebut aneh dengan membawa seperangkat alat-alat yang mengeluarkan bunyi-bunyian bising seperti kentongan yang dibuat dari bambu, gong, daun pohon jaka (aren) dan sejenisnya.

Pelaksanaan ini diikuti baik dari anak-anak hingga orang dewasa. Khususnya laki-laki pada saat itu berkumpul di Jaba Pura Dalem, untuk sembahyang dan nunas tirta sebelum dimulainya tradisi ngedeblag. Tidak hanya itu, alat-alat yang dibawa oleh masyarakat tersebut juga turut serta untuk disucikan melalui tirta yang sebelumnya telah melalui prosesi sakralisasi. Setelah selesai bersembahyang dan nunas tirta, ada warga yang naik ke bale kulkul dan membunyikan kulkul, seturut dengan itu, diantaranya lagi ada yang membunyikan gamelan dan yang lainnya lagi menyuarakan alat-alat yang telah mereka bawa dari rumah masing-masing. Setelah semua telah dipukul dan dibunyikan secara semarak dan meriah, Ida Sesuunan di

(10)

tedunkan dan di pendak dengan menghaturkan segehan, tuak, dan arak terlebih dahulu. Dengan demikian, baru dimulainya pelaksaaan tradisi ngedeblag dengan beriringan mengelilingi wilayah Desa Kemenuh.

Dalam prosesi mengelilingi desa ini berbentuk suatu barisan yang rapi. Barisan yang paling depan diikut-sertakan oleh anak-anak yang membawa pohon aren (jaka) tepatnya menggunakan pucuk pohon aren dengan disertakan berpenampilan wajah warnai. Berikutnya pada barisan kedua, terdiri dari masyarakat kalangan dewasa baik perempuan dan laki-laki, dengan membawa pasepan, canang, banten, tetabuhan, tirta, pralingga atau patapakan Ida bhatara, serta diiringi dengan gamelan gong. Pralingga yang menjadi sungsungan masyarakat Desa Kemenuh dan pada waktu pelaksanaan tradisi ngedeblag diiringi berwujud Barong Landung. Masyarakat setempat menyakini bahwa melalui perwujudan ini Beliau (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) senantiasa untuk memberikan perlindungan dari pengaruh yang tidak baik. Sedangkan bagian barisan yang terakhir adalah masyarakat yang berpakaian seperti layaknya bhuta kala, serta masyarakat lainnya yang turut mengiringi prosesi tersebut. Sebagian masyarakat lainnya telah bersiap-siap untuk menyambut disetiap persimpangan jalan untuk menghaturkan caru, buah-buahan, serta kue sesuai dengan kemampuan masing-masing secara tulus ikhlas.

Selesainya prosesi iringan mengelilingi desa, kembali menuju Pura Dalem dan dihaturkan penyineban berupa canang genten.

Setelah itu, masyarakat kembali melangsungkan persembahyangan sebagai ucapan syukur dan terimakasih atas suksesnya pelaksanaan tradisi ngedeblag pada hari itu. Berikutnya, di hari kelima belas, bertepatan dengan kajang keliwon sasih kaenem, kembali dilaksanakan, tetapi tidak seperti yang pertama. Artinya, masyarakat tidak berpakaian dan berpenampilan seperti layaknya bhuta kala, tetapi hanya ikut serta untuk mengiringi. Sebelum waktu atau hari kelima belas tersebut pamangku di Pura Dalem setiap harinya menghaturkan canang genten sampai dengan waktu pelaksanaan kembali tiba. Dengan demikian, menunjukkan bahwa, bagaimana masyarakat Kemenuh menunjukkan wujud sradha dan bhaktinya kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dengan melaksanakan tradisi ngedeblag. 2.2 Komunikasi Komunal dalam Tradisi Ngedeblag

Pesatnya perkembangan kehidupan modern yang sangat mempengaruhi segala aspek kehidupan. Apalagi pertumbungan ekonomi secara masif membentuk perilaku masyarakat untuk selalu dapat memenuhi kebutuhannya setiap hari. Persoalan yang dihadapi dalam transformasi masyarakat, konteks tidak dibentuk oleh agen tunggal tetapi lebih pada peranan

berbagai agen dengan

kepentingannya yang berbeda-beda (Abdullah, 2015). Ini artinya, perluasan integrasi pasar dalam kehidupan masyarakat tidak serta-merta hanya berpengaruh pada satu aspek bidang, melainkan berekspansi dalam waktu yang sangat cepat. Sebagaimana dapat diungkap bahwasannya, kehidupan masyarakat

(11)

desa yang terkenal homogen cenderung mengadopsi kehidupan perkotaan. Ini dikarenakan masyarakat desa yang tengah mencari penghasilan dan kebutuhan hidup di perkotaan mau tidak mau harus belajar menyesuaikan diri dengan lingkungannya yang baru.

Dalam orientasi kedepannya, hal ini membentuk habid masyarakat yang kadang dapat diprediksi menjadi masyarakat heterogen, walaupun tidak seutuhnya sedemikian. Tetapi tidak hanya habitus tersebut terbentuk atas kehidupan yang dipengaruhi oleh karakteristik perkotaan, justru dengan melesatnya gerak globalisasi melalui teknologi dan informasi, sekiranya dapat menunjukkan bagaimana karakteristik masyarakat pedesaan dapat mengalami transformasi karakter. Sehingga pada gilirannya, muncul kecenderungan untuk berfikir secara rasional dan masuk akal. Kadang sesuatu yang dianggap mitos jika tidak sesuai dengan jalannya prinsip-prinsip rasional maka lambat-laun berusaha untuk ditinggalkan keberadaannya.

Berbeda daripada tendensi-tendensi yang terjadi diakibatkan oleh modernisasi dan globalisasi, keterbentuk struktur dan sistem sosial masyarakat Desa Kemenuh justru tidak seutuhnya mengalami pergeseran. Mengingat kebertahan akan warisan berupa tradisi yang hingga saat ini masih dilestarikan sesungguhnya menjadi media pemersatu masyarakat. kehadiran suatu tradisi di tengah-tengah masyarakat sampai sekarang memberikan suatu jaminan yang

memungkinkan untuk

mempertahankan sikap-sikap komunal dari masyarakat. sebagaimana yang tampak bahwa

kepercayaan masyarakat Desa Kemenuh tentang tradisi ngedeblag sebagai suatu ritual yang dapat mengusir roh-roh jahat hingga saat ini masih menjadi habitus masyarakat setempat. Di sisi lain, dengan kehadiran tradisi ngedeblag, masyarakat yang notabene bekerja hingga ke luar desa bahkan luar kabupaten, tentunya memiliki waktu yang singkat untuk mengadakan interaksi dengan masyarakat lainnya di Desa Kemenuh, sehingga dengan pelaksanaan tradisi ngedeblag, masyarakat dapat berinteraksi dan menceritakan pengalamannya kepada masyarakat lainnya, dan begitu juga sebaliknya.

Proses interaksi antar warga ini sesungguhnya mencerminkan bagaimana tradisi dan bahkan

seluruh komponen yang

menyertainya membangun identitas masyarakat adat sebagai bagian dari

pelaku peristiwa yang

mengedepankan rasa persatuan dan keutuhan. Pengkomunikasian-pengkomunikasian tersebut tidak serta-merta dalam aspek interaksi sosial, yang terepresentasi baik pengkomunikasian pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki seseorang dengan berbagi kepada masyarakat lainnya, tetapi justru keberlanjutan tradisi ngedeblag ini menjadi bagian penting dari pengkomunikasian spirit dari wilayah setempat terkait dengan generasi-generasi berikutnya yang akan menjadi pewaris serta pendukung kebudayaan (tradisi) tersebut hingga seterusnya. Disamping itu, masyarakat dan generasi yang paling baru sekiranya dapat memetik pembelajaran dari apa yang telah diwariskan oleh leluhur mereka terdahulu, dan memahami secara kognitf jalan pemikiran daripada tetua-tetua mereka

(12)

melaksanakan perihal tradisi ngedeblag.

III. PENUTUP

Berdasarkan uraian tulisan di atas, beberapa hal yang perlu diamati sebagai bagian dari bentuk komunikasi dan interaksi sosial masyarakat, secara fundamental dipayungi oleh spirit religius yang telah terbentuk dari dahulu. Keberadaan tradisi ngedeblag sebagai salah satu identitas masyarakat Desa Kemenuh Kecamatan Sukawati Kabupaten Gianyar yang dapat disaksikan hingga saat ini. Kendati demikian, kehidupan masyarakat yang telah mengikuti pola zaman modern, menjadikan masyarakat dengan tradisi ngedeblag tetap intensio terhadap pola interaksi masyarakat komunal. Kesadaran tersebut tumbuh seiring pemahaman mereka akan tradisi yang dilaksanakan sebagai bagian dari penghormatan warisan budaya, serta memahami bahwa, keberadaan tradisi ngedeblag menjadi suatu hal yang penting bagi keseimbangan dan keharmonisan alam, melalui pelaksanaan-pelaksanaan ritual yang dijiwai religiusitas serta spririt desa setempat.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, I. (2015). Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Dwipayana, A. P., & Utama, I. W. B.

(2020). Sakralisasi Pralingga di Pura Dalem Pakerisan (Potret Kehidupan Sosial Religius Umat Hindu di Kota Denpasar). Dharmasmrti: Jurnal Ilmu Agama Dan Kebudayaan, 20(2), 1-13.

https://doi.org/10.32795/ds.v 20i2.1017

Elly M, S., & Kolip, U. (2011). Pengantar Sosiologi: Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori Aplikasi dan Pemecahannya. Jakarta: Kencana.

Jones, P., & dkk. (2016). Pengantar Teori-Teori Sosial. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Sudarto. (1997). Metodologi Penelitian Filsafat. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Sukarma, I. (2012). Hegemoni

Modernitas dalam Religiusitas Umat Hindu di Kota Denpasar. Disertasi . Denpasar: Program Doktor Kajian Budaya Pascasarjana Universitas Udayana.

Sutana, I. G. (2020). Aktualisasi VarnᾹsrama Dharma Dalam

Kesadaran Sosial Umat

Hindu Bali. Dharmasmrti:

Jurnal Ilmu Agama dan Kebudayaan, 20(1), 43-52. Williams, R. (1983). Culture and

Society. Colombia: Colombia University Press.

Referensi

Dokumen terkait