• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab III Geologi Daerah Penelitian

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bab III Geologi Daerah Penelitian"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

47

Bab III Geologi Daerah Penelitian

III.1 Kerangka Tektonik

Daratan Sunda adalah inti kontinen Asia Tenggara (Gambar III.1), saat ini pada sisi barat, selatan dan timurnya dibatasi oleh subduksi dan zona kolisi, sisi utara bergabung dengan region terdeformasi pada umur Kenozoikum oleh kolisi India-Asia (Hall dan Morley, 2004). Secara geologi daratan Sunda dapat dipisahkan dari daratan Asia (Gambar III.2) pada bagian timurlaut dibatasi oleh zona shear Red River yang mengikuti sutur Song Ma berumur Karbon dan ke arah baratlaut blok Burma sepanjang sutur Hpakan-Tawmaw Jade Tract berumur Kapur dan zona ofiolit (Hutchison, 1975, dalam Hall dan Morley, 2004). Bagian barat dan selatan dibatasi oleh palung Sunda dan Jawa. Batas timur iregular, biasanya digambarkan melalui Jawa Barat bergerak ke arah timurlaut hingga Kalimantan dan kearah utara menuju laut Cina Selatan untuk mengikut sertakan ofiolit berumur Kapur. Namun Hal dan morley, 2004 mengikut sertakan Jawa Timur, barat Sulawesi dan timurlaut Kalimantan sebagai daratan Sunda, karena daerah ini terbentuk akibat aktif margin bagian timur pada umur Kenozoikum (Gambar III.2).

Gambar III.1. Lokasi daratan Sunda dan cekungan Sedimen didalamnya (Hall dan Morley, 2004)

(2)

Gambar III.2. Pola geografi dan geologi utama dari daratan Sunda dan sekitarnya. Area berwarna abu-abu muda adalah paparan sunda dan paparan kontinen Asia tenggara lainnya dengan kedalaman batimetri maksimum 200m (Hall dan Morley, 2004)

Pembentukan cekungan pada daratan sunda dimulai pada umur Eosen hingga Oligosen (Gambar III.3), sedimen diendapkan diatas batuan dasar yang memiliki variasi litologi mulai dari granit hingga ofiolit. Hall dan Morley, 2004 membagi tiga area cekungan yang terbentuk berdasarkan area dan provinsi tektoniknya sebagai berikut:

(3)

49

1. cekungan aktif margin yang terletak pada area palung Andaman-Sumatra dan Jawa (cekungan Mergui, Sumatra Utara, Tengah dan Selatan,

cekungan Jawa Barat dan Timur)

2. cekungan paparan Sunda yang berarah NW-SE dan N-S di interior daratan sunda (Thailand, teluk Thailand, dan Malaysia, Penyu dan cekungan Natuna Barat) terbentuk dalam waktu yang sama dengan cekungan-cekungan lebih ke arah timur yaitu cekungan-cekungan lepas pantai Vietnam (Cekungan Nam Con Son)

3. cekungan marginal kalimantan (cekungan provinsi delta Baram, Sandakan, Tarakan, Kutai) yang terbentuk dengan kondisi aktif margin pada bagian utara Kalimantan dan pasif margin pada bagian timurnya.

Gambar III.3. Umur awal pembentukan Cekungan di daratan Sunda. Umumnya terbentuk pada umur Eosen atau Oligosen, akan tetapi karena pada awal diisi oleh endapan darat dan data dari pemboran tidak sampai pada bagian terdalam cekungan maka penentuan umur detail tidak didapatkan (Hall dan Morley, 2004)

(4)

Cekungan aktif margin pada bagian barat hingga selatan daratan Sunda adalah cekungan yang terbentuk dekat dengan zona subduksi Kenozoik. Secara umum geometri dari cekungan Mergui, Sumatra Utara, Tengah dan Selatan, cekungan Jawa Barat dan Timur terbentuk pada daerah back-arc, membentuk lengkungan mengikuti pola palung Andaman-Sumatra dan Jawa. Cekungan ini terbentuk pada umur Paleogen (Eubank and Makki, 1981; Matthews and Bransden, 1995; Pertamina BPPKA, 1996a; 1996b; 1996c; Petronas, 1999; Williams and Eubank, 1995; Williams et al., 1995: kesemuanya dalam Hall dan Morley, 2004). Awal endapan sedimen pada semua cekungan ini adalah endapan darat sehingga penentuan umur awal cekungan sulit untuk ditentukan (Gambar III.3). Cekungan di Sumatra masih mendapatkan suplai sedimen darat hingga umur Miosen, sedangkan yang lainnya berubah menjadi marin pada umur Eosen Akhir (Cole dan Crittenden, 1997; Mason dkk, 1993; Matthews dan Bransden, 1995: dalam Hall dan Morley, 2004).

III.2 Cekungan Rift Sumatera Selatan

Cekungan Sumatra Selatan adalah salah dari deretan cekungan belakang busur pada cekungan aktif margin daratan Sunda (Gambar III.1). Secara geografis terletak diantara koordinat 4ºLS - 1º30‘ dan 102º18‘ 27“ BT - 104º18’ 27” BT. Cekungan ini dipisahkan dari cekungan Sumatra Tengah dibagian utaranya oleh pegunungan Tigapuluh, dipisahkan dari Cekungan Sunda pada bagian selatan oleh tinggian Lampung dan paparan Palembang, dan pada arah baratdaya dibatasi oleh pegunungan Bukit Barisan berupa busur vulkanik/magmatik dan merupakan zona sesar mendatar regional Sumatra.

Cekungan ini terbentuk dalam sistim strike-slip sesar Sumatra, membentuk cekungan rift dan menjadi aktif segera setelah terbentuk (McCarthy dan Elsers, 1997 dalam Hall dan Morley, 2004). Disamping itu pembentukan cekungan ini adalah juga sebagai respon dari rollback subduksi (Morley, 2002a, dalam Hall dan Morley, 2004).

(5)

50

Cekungan aktif margin pada bagian barat hingga selatan daratan Sunda adalah cekungan yang terbentuk dekat dengan zona subduksi Kenozoik. Secara umum geometri dari cekungan Mergui, Sumatra Utara, Tengah dan Selatan, cekungan Jawa Barat dan Timur terbentuk pada daerah back-arc, membentuk lengkungan mengikuti pola palung Andaman-Sumatra dan Jawa. Cekungan ini terbentuk pada umur Paleogen (Eubank and Makki, 1981; Matthews and Bransden, 1995; Pertamina BPPKA, 1996a; 1996b; 1996c; Petronas, 1999; Williams and Eubank, 1995; Williams et al., 1995: kesemuanya dalam Hall dan Morley, 2004). Awal endapan sedimen pada semua cekungan ini adalah endapan darat sehingga penentuan umur awal cekungan sulit untuk ditentukan (Gambar III.3). Cekungan di Sumatra masih mendapatkan suplai sedimen darat hingga umur Miosen, sedangkan yang lainnya berubah menjadi marin pada umur Eosen Akhir (Cole dan Crittenden, 1997; Mason dkk, 1993; Matthews dan Bransden, 1995: dalam Hall dan Morley, 2004).

III.2 Cekungan Rift Sumatera Selatan

Cekungan Sumatra Selatan adalah salah dari deretan cekungan belakang busur pada cekungan aktif margin daratan Sunda (Gambar III.1). Secara geografis terletak diantara koordinat 4ºLS - 1º30‘ dan 102º18‘ 27“ BT - 104º18’ 27” BT. Cekungan ini dipisahkan dari cekungan Sumatra Tengah dibagian utaranya oleh pegunungan Tigapuluh, dipisahkan dari Cekungan Sunda pada bagian selatan oleh tinggian Lampung dan paparan Palembang, dan pada arah baratdaya dibatasi oleh pegunungan Bukit Barisan berupa busur vulkanik/magmatik dan merupakan zona sesar mendatar regional Sumatra.

Cekungan ini terbentuk dalam sistim strike-slip sesar Sumatra, membentuk cekungan rift dan menjadi aktif segera setelah terbentuk (McCarthy dan Elsers, 1997 dalam Hall dan Morley, 2004). Disamping itu pembentukan cekungan ini adalah juga sebagai respon dari rollback subduksi (Morley, 2002a, dalam Hall dan Morley, 2004).

(6)

Terdapat tiga puluh tiga (33) buah cekungan rift di Cekungan Sumatera Selatan (Ryacudu, 2005), terdiri dari 31 graben serta 2 buah kompleks graben (Limau dan Kepayang), yang terbagi dalam tiga (3) buah pola umum cekungan yaitu:

1. Pola cekungan berarah timurlaut-baratdaya (arah umum U30ºT hingga U50ºT), disebut sebagai pola Jambi (Ryacudu, 2005). Pola Cekungan ini adalah pola dominan cekungan di cekungan Sumatra Selatan, sebanyak 20 buah cekungan/sub cekungan memiliki pola ini (Ryacudu, 2005). Pulunggono (1986) mengatakan bahwa pola Jambi terbentuk pada umur akhir Oligosen Akhir – awal Miosen Awal.

2. Pola cekungan berarah Utara-Selatan (arah umum U350ºT hingga U15ºT), disebut sebagai pola Sunda (Ryacudu, 2005). Pola cekungan ini memperlihatkan pola sesar-sesar tua pada basemen (Hall dan Morley, 2004; Pulunggono, 1986). Pada pola cekungan ini terdapat 9 buah cekungan/sub cekungan.

3. Pola cekungan berarah baratlaut-tenggara (arah umum U285ºT hingga U330ºT), disebut sebagai pola Sumatra (Ryacudu, 2005). Seperti halnya pola Sunda. Pola Sumatra juga memperlihatkan pola sesar-sesar tua pada basemen (Pulunggono, 1986). Terdapat 10 buah cekungan/sub cekungan mengikuti pola ini (Gambar III.4).

Identifikasi cekungan rift diidentifikasikan dari hasil perbandingan peta kontur struktur batuan dasar dengan peta kontur struktur batuan sedimen berumur Tersier Awal (puncak Formasi Talangakar). Dengan asumsi bahwa terjadinya penebalan akumulasi sedimen akibat dari aktifitas sesar normal yang membatasi cekungan tersebut (Ryacudu, 2005). Dari penelitian yang dilakukan oleh Ryacudu (2005) hanya sebagian kecil saja cekungan rift yang teridentifikasi secara utuh (Graben Tepus dan Saung Naga). Cekungan Rift yang terbentuk umumnya berupa cekungan separo graben.

Pola Jambi merupakan pola yang paling dominan di Cekungan Sumatera Selatan umumnya terdapat di daerah Jambi, Blok Koridor dan di sebelah timur daerah Beringin (berwarna ungu muda pada Gambar III.4 dan daftar cekungan pada

(7)
(8)

Tabel III.1 Dimensi graben-graben Pola Jambi (Ryacudu, 2005)

NO NAMA GRABEN PANJANG (Km) LEBAR (Km) KETEBALAN SEDIMEN (ms ) ORIENTASI HADAP 1 Tungkal A 21 10 500 NE SE 1.1 Tungkal B 15 5 600 NE SE 1.2 Tungkal C 37 12 800 NE SE 2 Betara 32 13 1700 NE SE 3 Geragai 58 20 2200 NE SE 8 Berembang 32 15 1000 NE SE 9 Bajubang 42 11 1600 NE SE 10 Tempino-Kenali Asam 67 22 2300 NE SE 11 Sungai Gelam 23 10 1200 NE SE 12 Sukajaya 9 6 600 NE NW 13 Ketaling 40 23 1900 NE SE 14 Gelam 40 23 700 NE SE 15 Merangin 70 25 2800 NE SE 20 Bingin 17 8 200 NE SE 23 Jemakmur 45 12 500 NE NW 25 Linggau 52 23 800 NE NW 28 Limau (Tepus) N-S NW 30 Lematang 60 22 ? NE 31 Tanjung Miring NE 32 Cintamani 45 13 ? NE

Pola Sunda, pada umumnya membentuk separo graben (half graben) dengan bagian yang turun terletak di sebelah barat bidang sesar, panjang dan lebar maksimum masing-masing 45 km dan 25 km terdapat di Graben Saung Naga, sedangkan ketebalan maksimum sebesar 1400 ms terdapat di Graben Tamiang dan Bungin (berwarna biru muda pada Gambar III.4 dan daftar cekungan pada tabel.III.2). Pola Sunda sebenarnya merupakan pola struktur Paleogen yang utama di Cekungan Sumatra Utara maupun Cekungan Sumatra Tengah, namun tampak kurang dominan di Cekungan Sumatra Selatan bila dibandingkan dengan Pola Jambi (Ryacudu, 2005).

(9)

54

Tabel III.2 Dimensi graben-graben Pola Sunda

NO NAMA GRABEN PANJANG (Km) LEBAR (Km) KETEBALAN SEDIMEN (ms ) ORIENTASI HADAP 5 Manismata 31 12 350 N-S W 6 Betung 28 12 1000 N-S E 17 Bungin 35 15 1400 N-S E 18 Tamiang 34 10 1400 N-S Full Graben 26 Saung Naga 45 25 ? N-S W 27.2 Limau-B N-S E 27.3 Limau-C N-S E 29 Benakat 65 20 ? N-S Full Graben

34 Kepayang South NNE WSW

Pola Sumatera, pada umumnya membentuk jalur sesar yang lurus dan panjang, dimana bagian yang turun terdapat di bagian utara sesar (berwarna merah muda pada Gambar III.4 dan daftar cekungan pada tabel.III.3). Dimensi cekungan rift Pola Sumatra memiliki panjang maksimum 160 km di Graben Tuba Obi dengan lebar maksimum 85 km di kompleks graben Kepayang dengan ketebalan maksimum sebesar 1900 ms di Graben Liam (Ryacudu, 2005).

Tabel III.3. Dimensi graben-graben Pola Sumatra

NO NAMA GRABEN PANJANG (Km) LEBAR (Km) KETEBALAN SEDIMEN (ms ) ORIENTASI HADAP ARAH SESAR ANJAK

4 Tuba Obi 160 6 700 WNW NNE NNE

7 Mengoepeh 55 15 500 WNW Full Graben WSW 16 Namai 55 17 1600 WNW Full Graben intersect with N-S 19 Ramba 40 28 1000 WNW 21 Keban 45 12 1400 WNW SSW SW 22 Kukui 40 10 200 WNW SSW SW 24 Liam 130 25 1900 WNW Full Graben SW 27 Limau Complex 85 50 ? WNW 27.1 Limau-A WNW NNE 33 Kepayang 135 85 ? WNW SW?

Terdapat dua puluh lima penampang lintasan seismik komposit pada daerah penelitian (Ryacudu,2005). Dari dua puluh lima penampang lintasan komposit yang ada hanya sebagian kecil saja yang memperlihatkan bentukan graben rift

(10)

yang utuh, sehingga untuk analisis sejarah pembentukan cekungan dan termal di cekungan Sumatra Selatan hanya digunakan lima buah lintasan seismik komposit saja. Ke lima lintasan seismik tersebut adalah lintasan seismik 3, 6, 14, S-17, dan S-23. Untuk lintasan seismik komposit S-3 dan S-6 digabungkan untuk mendapatkan gambaran cekungan rift lebih utuh pada kompleks Graben Jambi dengan pola umum graben mengikuti pola Jambi. Lintasan seismik komposit S-14 dan S-17 digabung untuk mendapatkan gambaran cekungan rift lebih utuh pada kompleks Graben Limau mewakili graben dengan pola Sumatra. Serta lintasan seismik komposit S-23 yaitu lintasan seismik komposit yang melalui Graben Saung naga untuk penggambaran graben pola Sunda (Gambar III.4 menunjukkan lokasi lintasan seismik tersebut).

III.2.1 Stratigrafi Cekungan Rift Sumatra Selatan

Nomenklatur stratigrafi di Cekungan Sumatra Selatan menggunakan nomenklatur stratigrafi yang bersesuaian dengan tektonostratigrafi yang dikaitkan dengan sistim rift Paleogen seperti yang diusulkan oleh Ryacudu (2005) sebagai berikut(Gambar III.5):

1. Sekuen Pre-rift : terdiri atas batuan pra-Tersier dan batuan vulkanik Formasi Kikim, berumur 54-30 Ma

Batuan pra-Tersier terdiri atas batuan beku dan batuan metamorf, yang merupakan batuan dasar cekungan Tersier Sumatra Selatan. Umur tertua dan kontak dengan batuan pra-tersier tidak diketahui, sedangkan hubungan dengan formasi diatasnya merupakan bidang ketidakselarasan.

Formasi Kikim merupakan batuan Tersier tertua di Cekungan Sumatra Selatan. Terdiri dari batuan vulkanik berupa breksi vulkanik, aglomerat, tufa dan batuan beku andesitik (sebagai intrusi dan aliran lava). Memiliki umur berdasarkan pentarikhan K-Ar adalah 54 – 30 Ma (Paleosen – Oligosen Bawah) (Ryacudu, 2005). Memiliki hubungan ketidakselarasan dengan endapan Tersier diatasnya.

(11)

56

2. Sekuen Syn-rift : terdiri atas batuan Kelompok Lahat. Pada kondisi tertentu Formasi Talangakar atau Gumai.

Kelompok Lahat memiliki hubungan tidakselaras dengan formasi batuan diatas maupun dibawahnya. Penentuan umur berdasarkan palinomorf meyeripollis naharkotensis (Ryacudu, 2005) pada serpih Formasi Benakat, menunjukkan umur Oligosen Atas – Miosen Awal bagian bawah.

Batuan Kelompok Lahat terdiri atas Formasi Lemat dan Formasi Benakat. Formasi Lemat terdiri atas batuan klastik kasar (batupasir) dengan Anggota Tufa dan Anggota Konglomerat. Batupasir Formasi Lemat diendapkan dalam lingkungan fluvial, sedangkan konglomerat ditafsirkan berupa endapan kipas aluvial.

Formasi Benakat didominasi oleh batuan klastik halus (serpih), yang ditafsirkan berupa endapan danau (lakustrin)

3. Sekuen Post-Rift : terdiri atas batuan Formasi Talangakar dan lebih muda, berdasarkan data biostratigrafi memiliki umur Miosen Awal (Ryacudu,2005).

Formasi Talangakar terdiri dari terdiri atas perselang-selingan batupasir dan serpih, dengan sisipan tipis batubara memiliki hubungan tidakselaras dengan batuan dibawahnya, diendapkan dalam lingkungan transisi dari sistem delta hingga laut marginal. Pada kondisi tertentu pada bagian bawah formasi ini berkembang GRM (Gritsand Member, anggota batupasir konglomeratan) yang diendapkan pada sistem sungai menganyam.

Pembahasan endapan sedimen cekungan rift Sumatra Selatan selanjutnya akan dibahas perbagian sesuai dengan graben yang diteliti.

(12)
(13)
(14)

memotong kompleks graben Jambi dalam arah yang relatif tegak lurus (Ryacudu, 2005). Penampang interpretasi seismik yang melalui Kompleks Graben Jambi ini adalah penampang S-6 –S-3 (Gambar III.7).

Korelasi stratigrafi A-1 berarah baratlaut-tenggara adalah korelasi stratigrafi yang melintasi komplek Graben Jambi, terdiri dari empat buah sumur yaitu yaitu Pematang Lantih-2, Batu Ampar-1, Tempino-176, dan Sukajaya-1, dan dilanjutkan pada korelasi stratigrafi A-2 ke arah timur hingga Paparan Paparan Palembang terdiri dari tiga buah sumur yaitu Bayung Lincir-1, Kuku Lambar-1 dan Gelam-1 (Gambar III.8 dan III.9. Korelasi ini diikat pada datum batas NN2-NN1/N5-N4, (bagian bawah Miosen Awal).

Fasies yang berada di bawah bidang datum pada umumnya berupa endapan transisi (delta maupun endapan dekat pantai/near shore), laut dangkal bahkan di sumur Tempino-176 menunjukkan endapan laut dalam (bathyal). Dengan urutan fasies seperti ini sukar untuk menentukan pembatas syn-rift dan post-rift. Interpretasi batas sekuen tektonostratigrafi pada korelasi ini ditarik berdasarkan bidang erosi yang diindikasikan oleh adanya rumpang fasies (facies break), dengan kemunculan endapan sungai di sumur Pematang Lantih-2 dan Batu Ampar-1, pada sumur Tempino-176 hanya ditentukan berdasarkan penafsiran dari kemenerusan sumur sebelumnya.

Fasies endapan transisi (delta maupun near shore), termasuk kedalam Formasi Talangakar, terdapat di sumur Batu Ampar-1 dan Sukajaya-1 yang ditunjukkan oleh perselingan batupasir dan batulempung dengan sisipan batubara. Indikasi adanya endapan marine (Formasi Gumai) sebagai pengisi cekungan rift pada penampang korelasi ini ditunjukkan di sumur Tempino-176 yang dibor hingga 3550 m. Sekuen laut dalam ini dicirikan dengan litologi dominan serpih, kadang-kadang lanauan, gampingan, kandungan foraminifera melimpah. Di sekuen ini tertembus lima buah sisipan batuan beku andesit berupa “sill” yang menunjukkan penebalan ke arah atas, di bagian bawah ketebalan sill tersebut hanya 4 m sedangkan di bagian atas mencapai 52 – 66 m di bagian atas.

(15)
(16)
(17)
(18)
(19)
(20)

fasies transisi (delta) dan akhirnya seluruh cekungan ditutupi oleh endapan laut. Perlapisan batupasir yang terdapat pada sekuen batulempung (Formasi Benakat)ditafsirkan sebagai sistem fluvial yang berkembang dalam lingkungan lakustrin. Sumur Gambir-1 tampaknya dibor terlalu dekat dengan bidang sesar utama. Hal ini dicirikan oleh tebalnya sekuen konglomerat yang diinterpretasikan sebagai endapan kipas aluvial akibat runtuhan dari tebing sesar tersebut ke dalam graben.

III.2.4 Graben Saung Naga (Penampang interpretasi Seismik Lintasan S-23)

Graben Saung Naga terletak di kaki pegunungan Gumai, berupa cekungan separo graben berarah timurlaut-baratdaya (Gambar III.13). Graben ini relatif tidak terlalu mengalami deformasi lanjut, sehingga mudah dikenali dalam penampang seismik (Gambar III.14).

Korelasi stratigrafi memotong Graben Saung Naga yang bearah relatif barat-timur melalui sumur Temelat-1, Sugihwaras-1, Saung Naga-1 dan Koneng-1, menunjukkan bahwa sumur Temelat-1 dan Sugihwaras-1 berada pada paparan Musi, sedangkan sumur Saung Naga-1 dan Koneng-1 berada pada dalaman dan tepi cekungan Graben Saung Naga (Gambar III.15).

Batuan dasar pra-Tersier yang mendasari cekungan ini terdiri dari batuan metamorfosa (Temelat-1), batuan beku (Sugihwaras-1 dan Koneng-1) langsung ditutupi oleh sekuen tebal batugamping Formasi Baturaja yang menerus hingga sumur Saung Naga-1 dan Koneng-1.

Ringkasan stratigrafi sumur Saung Naga-1 dianggap mewakili Graben Saung Naga. Pada Sumur ini endapan Syn-rift didominasi oleh serpih dan batulanau dengan perselingan batupasir dan sisipan tipis batubara (Formasi Benakat). Batuan klastika halus berwarna abu-abu hingga kecoklatan, tidak gampingan,

(21)
(22)

tufan, seringkali dijumpai fragmen karbon. Batupasir berwarna abu-abu terang hingga kecoklatan, berukuran halus hingga sedang, kadang-kadang sangat kasar hingga konglomeratan, tufan, menyudut tanggung, pemilahan buruk hingga sedang, tidak gampingan, kuarsa, fragmen batuan, jejak pirit. Kurva log GR batupasir tersebut menunjukkan pola tabung (blocky) atau menghalus ke atas (lonceng) dengan bidang kontak erosional di bagian bawahnya. Sekuen synrift tersebut ditafsirkan terdiri atas lingkungan danau dan sungai.

III.3 Kesimpulan Stratigrafi

Batas syn-rift dan post rift ditentukan berdasarkan awal kemunculan batupasir GRM (Formasi Talangakar) yang diikuti oleh sedimen transisi hingga marine, ditandai dengan berkembangnya sifat gampingan, sebelum kemudian muncul sekuen batugamping Baturaja. Pada penampang seismik komposit terdapat zona blur yangditafsirkan sebagai kipas aluvial yang berasal dari gawir sesar.

Secara umum endapan syn-rift didominasi oleh endapan lakustrin berupa batuan kasar (konglomerat) pada bagian tepi dari sesar hingga klastika halus dari Formasi Benakat yang menjemari dengan batupasir endapan fluvial formasi Lemat. Setempat endapan syn-rift didominasi oleh endapan serpih Formasi Gumai. Peralihan ke endapan synrift dicirikan oleh berubahnya lingkungan pengendapan menjadi endapan fluvial batupasir GRM (Formasi Talang akar) yang diikuti oleh endapan transisi hingga marin (Gambar III.5).

(23)

Gambar

Gambar III.1. Lokasi daratan Sunda dan cekungan Sedimen didalamnya (Hall dan  Morley, 2004)
Gambar III.2. Pola geografi dan geologi utama dari daratan Sunda dan sekitarnya.
Gambar III.3. Umur awal pembentukan Cekungan di daratan Sunda. Umumnya  terbentuk pada umur Eosen atau Oligosen, akan tetapi karena pada  awal diisi oleh endapan darat dan data dari pemboran tidak sampai  pada bagian terdalam cekungan maka penentuan umur d
Tabel III.1 Dimensi graben-graben Pola Jambi (Ryacudu, 2005)
+2

Referensi

Dokumen terkait

• jika search-key yang ditemukan adalah search-key yang terakhir dalam node, ikuti pointer yang terakhir (P n ) untuk menuju leaf node selanjutnya.  Bandingkan dengan proses

Pada fungsi getch() tombol yang kita tekan pada keyboard tidak akan ditampilkan pada console (kecuali kita panggil variabelnya dengan fungsi printf atau fungsi output lainnya),

• Sugesti memiliki kekuatan yang luar biasa, apalagi sugesti diri yang diyakini secara kuat. • Jika bersedia mempelajarinya, kata-kata kita memiliki kekuatan sugesti pada orang

Majas sindiran adalah majas atau gaya bahasa yang digunakan untuk menyindir seseorang atau sesuatu dengan maksud dan tujuan tertentu. Berikut adalah jenis-jenis majas sindiran.

Pola aliran trellis yang terbentuk pada daerah penelitian dikontrol oleh struktur geologi dan litologi berupa kemiringan lapisan batuan atau lipatan dan sesar yang mengontrol

Satuan ini ditandai dengan warna merah muda pada Peta Geomorfologi (Lampiran E-I) dan menempati sekitar 30 % dari luas daerah penelitian.. Satuan ini terletak pada daerah utara

Berdasarkan pengamatan singkapan batuan yang dilakukan di lapangan, maka dapat disusun suatu kolom stratigrafi tidak resmi daerah penelitian (Gambar 3.3) dan

Satuan yang membentuk Satuan Geomorfologi Punggungan Bergelombang ini terdiri dari perselingan batupasir tufan dan breksi dengan sisipan batupasir glaukonit, batulanau dan