• Tidak ada hasil yang ditemukan

Oleh : ACHMAD SYAUQI 2

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Oleh : ACHMAD SYAUQI 2"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

eksistensi hukum negara di tengah kemajemukan budaya , hal. 1 EKSISTENSI HUKUM NEGARA DI TENGAH KEMAJEMUKAN BUDAYA

MENURUT PERSPEKTIF ANTROPOLOGI HUKUM1

(The Existance Of State Law In The Middle Of Multicultural According To A Legal Anthropology 's Perspective)

Oleh : ACHMAD SYAUQI2

ABSTRACT

In the legal anthropology’s perspective, the state law is not a highest law that life in the society. But rather the unwritten law, which transformed in the culture of the society among generations, that is the living law. This fact must be recognized by the state, and to change the paradigm from legal centralism to legal pluralism, which recognizes the existence of other laws besides the state law in the national legal system.

A. PENDAHULUAN

Sejak hukum mengalami kodifikasi hingga menjadi suatu sistem tertulis, kajian ilmu hukum terbagi pada bentuk-bentuk hukum yang dibuat berdasarkan kewenangan (otoritas) dan hukum yang hidup di dalam ingatan kolektif masyarakat. Hukum yang dibentuk berdasarkan otoritas dikenal sebagai peraturan perundang-undangan atau hukum negara. Sedangkan hukum yang hidup dalam masyarakat adalah hukum-hukum tidak tertulis yang diturunkan secara lisan dari satu generasi ke generasi berikutnya, dikenal sebagai hukum lokal atau adat. Sulistyowati Irianto sebagaimana dikutip Masinambow dalam Hukum dan Kemajemukan Budaya (2003:2) membagi sistem hukum dalam tiga komponen sebagaimana diteorikan Lawrence Friedman (1975:49), yaitu:

1) Legal substance, yaitu norma-norma dan aturan-aturan yang digunakan secara institusional, beserta pola perilaku para pelaku dalam sistem hukum;

2) Legal structure,yaitu lembaga-lembaga yang bertugas untuk menegakkan hukum, seperti kepolisian, dan peradilan (hakim, jaksa, dan pengacara);

3) Legal culture atau “budaya hukum”, yaitu kebiasaan, pandangan, cara bertindak dan berpikir dalam masyarakat umum yang dapat mempengaruhi kekuatan-kekuatan sosial menurut arah perkembangan tertentu.

1

Esai merupakan pemenuhan tugas mata kuliah Antropologi Hukum Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Mataram Tahun Program 2012.

2

(2)

eksistensi hukum negara di tengah kemajemukan budaya , hal. 2 Berbeda dengan substansi hukum yang merekam aturan dan norma dalam susunan teks sehingga menjadi hukum tertulis, pada budaya hukum rekaman norma dan aturan tersimpan dalam ingatan yang diturunkan temurun. Sehingga pada budaya hukum penyelesaian perkara-perkara masyarakat dilakukan oleh tetua-tetua adat melalui tuturan yang dilakukan dalam pertemuan-pertemuan khusus dalam perkara itu. Pada konteks operasional ini lah struktur hukum menampakkan perbedaan hukum yang hidup dalam bentuk teks dan dalam bentuk tuturan, terutama ketika dalam suatu negara terdapat beragam budaya yang berbeda (multikultural).

Mengulas hukum yang hidup dalam kemajemukan budaya, maka muncul dua sudut pandang berbeda. Pada satu sisi kemajemukan bisa diartikan sebagai kemajemukan hukum, yaitu memandang secara pragmatis bahwa dalam suatu interaksi sosial sedikitnya ada dua sistem aturan / norma yang berwujud. Sedangkan pada sisi yang lain kemajemukan budaya diartikan sebagaimana adanya dan mengkaji bagaimana hukum berperan dan menyesuaikan diri dalam ragam perbedaan tersebut. Jika dua sudut pandang ini dipertentangkan, maka akan ditemukan sebuah aturan-aturan berwujud yang sifat keberlakuannya menyeluruh menggeser norma-norma yang hidup dalam masing-masing budaya masyarakat di wilayah tersebut. Dapat diartikan bahwa, hukum negara mengesampingkan hukum lokal yang dianut oleh budaya masing-masing masyarakat dalam negara tersebut.

Indonesia yang dikenal sebagai negara dengan ribuan budaya, terbagi dalam etnis, agama, ras, dan golongan, merupakan contoh di mana hukum hidup secara kompleks di sana. Sesanti Bhinneka Tunggal Ika adalah cerminan nyata kemajemukan budaya bangsa yang dilindungi dalam satu naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kemajemukan budaya yang hidup di Indonesia secara teoritis merupakan konfigurasi budaya dan jatidiri bangsa. Secara empirik keragaman ini lah yang justru membentuk Indonesia sebagai negara kesatuan yang menggerakkan dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun dalam keragaman selalu ada perbedaan-perbedaan yang menyimpan potensi konflik. Jika tidak terkelola baik, maka potensi ini akan berwujud pertikaian antar etnik, agama, ras, ataupun antar golongan yang mengancam disintegrasi bangsa. Secara antropologis, konflik merupakan fenomena sosial yang tak terpisahkan (inheren) dari kehidupan manusia. Dalam sebuah kehidupan bersama konflik adalah sesuatu yang tidak mungkin dihindari. Yang bisa dilakukan adalah mengelola, mengendalikan, dan

(3)

eksistensi hukum negara di tengah kemajemukan budaya , hal. 3 mengakomodasinya secara santun, damai, dan bijak sehingga semakin mempererat hubungan antar budaya yang ada.

Fenomena konflik selain muncul karena adanya konflik nilai, konflik norma, dan konflik kepentingan dari kelompok-kelompok dalam masyarakat, terkadang bisa juga bersumber dari persoalan diskriminasi pengaturan dan perlakuan pemerintah pusat terhadap masyarakat di daerah. Diskriminasi ini pernah dilakukan pemerintah Indonesia pada era pemerintahan Orde Baru dengan mengabaikan, menggusur, bahkan mematisurikan nilai-nilai dan norma-norma hukum rakyat (adat law), termasuk kehidupan beragama melalui dominasi dan penegakan hukum negara (state law).

Merujuk pada Teori Pragmatic Legal Realism Oliver Holmes, bahwa hukum harus berperan sebagai alat pembaharuan masyarakat (tools of social engineering), maka apakah praktek penegakan hukum negara sudah dapat diterima oleh masyarakat yang memiliki keragaman budaya? Kajian hukum empirik dalam esai ini akan menggunakan pendekatan Antropologi Hukum dalam pembahasannya.

B. HUKUM NEGARA DALAM PERSPEKTIF ANTROPOLOGI

Pada awal pemerintahan era Orde Baru hingga akhir tahun 1980an, kedudukan state law sangat dominan dan super power karena ditegakkan oleh kekuasaan dan pengaruh politik. Seakan tidak ada hukum lain selain hukum negara. Hingga pada awal 1990an ketika beberapa permasalahan dalam negeri Indonesia semakin kompleks, beberapa hukum lain mulai menggejala dan “menggugat” pemberlakuan hukum negara, terutama untuk bidang-bidang tertentu. Beberapa gejala mendasari hal tersebut, diantaranya:

a) Kebutuhan Indonesia terhadap lembaga-lembaga donor dan badan-badan internsaional, semisal IMF dan PBB, memaksa Indonesia untuk memenuhi keinginan mereka agar lebih mengedepankan upaya pemberdayaan dan peningkatan partisipasi masyarakat,

b) Ketakutan masyarakat-masyarakat lokal terhadap ancaman kepunahan sistem hukum dan sistem budaya mereka telah mencapai titik kulminasi,

c) Tuntutan model pembangunan yang tersebar melalui gerakan-gerakan “akar rumput” oleh infrastruktur politik negara, seperti LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), dan ancaman disintegrasi semakin menguat, di saat dukungan terhadap kekuasaan pemerintah justru semakin melemah,

(4)

eksistensi hukum negara di tengah kemajemukan budaya , hal. 4 d) Arus informasi akibat perkembangan teknologi semakin pesat tak terbentung institusi negara. Pengambilan dan pengolahan data oleh masyarakat justru jauh melebihi jangkauan aparatur pemerintahan. Akibatnya kesadaran masyarakat akan eksistensi diri dan aturan yang melandasi atau menekan mereka semakin meningkat.

Beberapa kelemahan hukum negara sebagai satu-satunya hukum yang harus dipatuhi, satu per satu mulai dipersoalkan. Pertama, meski State law lebih mudah diterapkan karena disusun secara terintegrasi dan hubungan antar produk hukumnya teratur, pada kenyataannya penerapan state law seringkali inkonsisten, dan terkadang mengalami konflik norma atau konflik asas norma akibat keinginan untuk mampu mengatur semua justru menjadikan kabur cakupan materi di dalamnya, serta wewenangnya pun saling tumpang-tindih.

Kedua, antara cita-cita penegakan hukum state law jauh panggang dari api. Hukum state law hanya tegak bila tidak bertentangan dengan keinginan tertentu. Tetapi menjadi tumpul dan mati bila yang terlibat pelanggaran di dalamnya adalah pihak-pihak pemilik kekuasaan dan pemodal kuat. Ketiga, tujuan keadilan yang ingin dicapai dalam state law pada kenyataannya justru bertolak belakang. Sebagian masyarakat menganggap penegakan norma-norma state law malah semakin memunculkan ketidakadilan. Kekuatan sosio-politik dan agama seringkali mewarnai “tarik-menarik” perebutan peran dalam usaha pencapaian keadilan tersebut. Keempat, dalam teorinya state law disusun secara supel dan luwes sehingga lebih bisa mengikuti perkembangan waktu (up to date). Namun, kenyataannya beberapa produk hukum negara menjadi cepat kedaluwarsa atau lamban dalam pelaksanaannya, seperti Undang-Undang Otonomi Daerah Nomor 22 Tahun 1999 yang baru bisa diterapkan pada Januari 2001.

Kelima, pengaturan dalam state law terkadang tidak netral dan memihak terutama kepentingan kekuasaan status quo dan pemodal. Sehingga sering mengalami protes dan inkonsistensi antara pengaturan dan penegakannya. Keenam, keputusan state law kadang dianggap tidak memenuhi rasa keadilan dan tidak konstekstual dengan ruang dan waktu pelaksanannya, sehingga menjadi sulit bahkan tidak dapat dieksekusi sesuai pengaturan dalam keputusan tersebut. Ketujuh, pola pertahanan state law oleh kekuasaan sentral yang dilakukan secara represif, seragam termobilisasi, dan membutuhkan biaya mahal sehingga menampilkan wajah state law yang lebih “garang” dibanding the other laws, ternyata ketika

(5)

eksistensi hukum negara di tengah kemajemukan budaya , hal. 5 dukungan terhadap kekuasaan itu mulai menyusut maka pertahanan state law pun menjadi rapuh.

Hukum dalam perspektif antropologi senyata bukan hanya berwujud peraturan perundang-undangan yang diciptakan oleh pemerintah dalam satu bangunan negara, atau state law dengan berbagai pranata-pranata hukum seperti; polisi, jaksa, pengadilan, penjara, dan lain sebagainya.

Hukum dalam wujudnya juga dimaknai sebagai peraturan-peraturan lokal yang bersumber dari suatu kebiasaan masyarakat (customary law), dan memiliki mekanisme pengaturan tersendiri yang juga berfungsi sebagai sarana pengendalian sosial (legal order) dalam masyarakat. Perspektif antropologi hukum, hukum adalah produk kebudayaan yang tidak hanya ada dalam suatu organisasi masyarakat berbentuk negara, tetapi juga hidup dalam setiap bentuk komunitas masyarakat. Karena itu hukum selain terwujud dalam bentuk peraturan perundang-undangan negara, juga terwujud sebagai mekanisme-mekanisme pengendalian sosial dalam bentuk norma-norma hukum rakyat.

Keberlakuan norma-norma hukum dalam masyarakat secara metodologis dapat dipahami dari keputusan-keputusan seseorang, atau kelompok orang yang secara sosial diberi otoritas untuk menjatuhkan sanksi kepada pelanggar hukum. Cara utama untuk dapat memahami hukum yang berlaku dalam masyarakat ini adalah mengkaji seksama sengketa-sengketa yang terjadi di masyarakat. Dari kajian-kajian tersebut akan terungkap latar belakang munculnya berbagai kasus di msayarakat, cara-cara yang ditempuh untuk penyelesaiannya, dan sanksi-sanksi yang dijatuhkan kepada pihak yang dipersalahkan.

Dari hipotesa atas kajian tersebut akan diperoleh rumusan prinsip-prinsip hukum yang berlaku, prosedur yang memungkinkan untuk ditempuh, dan nilai-nilai budaya yang mendukung proses penyelesaian sengketa tersebut. Metode penelusuran hukum melalui pengamatan atas kasus-kasus sengketa sebagaimana dalam antropologi hukum, umum digunakan karena hukum pada dasarnya bukanlah semata produk individu atau sekelompok orang yang memiliki otoritas membuat peraturan perundang-undangan (pemerintah dalam negara), atau bukan pula suatu institusi yang terisolasi dari aspek-aspek kebudayaan yang lain. Tetapi karena hukum muncul sebagai fakta khas yang lebih menekankan empirik, ekspresi, atau perilaku sosial masyarakat. Salah satu ekspresi hukum yang secara nyata berlaku di masyarakat adalah proses penyelesaian sengketa.

(6)

eksistensi hukum negara di tengah kemajemukan budaya , hal. 6 Selain metode di atas, antropologi hukum juga memberi perhatian pada fenomena kemajemukan hukum dalam masyarakat. Hukum dijelaskan dalam berbagai wujud bentuk diantaranya, hukum negara (state law), hukum agama (religious law), hukum kebiasaan (customary law), dan mekanisme-mekanisme pengatura lokal yang secara nyata berlaku dan berungfi sebagai sarana pengendalian sosial dalam masyarakat.

Metode ini menyatakan bahwa, jika hukum diartikan sebagai instrumen kebudayaan yang berfungsi menjaga keteraturan sosial, maka selain hukum negara (state law) juga terdapat sistem-sistem hukum lain seperti hukum rakyat (adat law), hukum agama, dan mekanisme pengaturan tersendiri. Artinya, eksistensi state law bukan lah satu-satunya hukum yang berlaku dalam masyarakat. Inilah yang disebut fakta kemajemukan hukum dalam kajian antropologi hukum.

C. HUKUM NEGARA DI TENGAH KEMAJEMUKAN BUDAYA

Meski kemajemukan hukum adalah kenyataan yang hidup di tengah masyarakat, namun ajaran ini mendapat pertentangan ideologi sentralisme hukum (legal centralism) yang menghendaki pemberlakuan hukum negara (state law) sebagai hukum tertinggi satu-satunya yang berlaku bagi masyarakat. Ideologi ini tentu mengesampingkan sistem-sistem hukum lain yang nyata berkembang, seperti hukum agama dan hukum adat.

Basis hukum pada dasarnya berada dalam masyarakat itu sendiri. Karenanya paradigma pembangunan hukum bercorak sentralisme hukum sebagaimana dianut pemerintah dan lembaga legislatif melalui usaha-usaha unifikasi hukum, justru menjadi biang fenomena konflik yang banyak muncul selama dasawarsa terakhir. Pemerintah harusnya menyadari bahwa apa yang diterapkan tidak sesuai dengan empiri kehidupan hukum yang majemuk dalam masyarakat Indonesia yang multikultural. Karena itu agar tercapai suatu tatanan masyarakat yang terintegrasi secara kultural, maka paradigma yang dianut harus diganti dengan paradigma pluralisme hukum.

Dalam konteks inilah kajian ilmu-ilmu sosial empirik, seperti Antropologi Hukum memiliki peran penting, karena:

 Menjadi alat dan metode bagi pemerintah untuk mempelajari adanya sistem-sistem

hukum lain yang juga bekerja dalam masyarakat dan dirasakan kehadirannya oleh banyak pihak (law in action);

(7)

eksistensi hukum negara di tengah kemajemukan budaya , hal. 7

Memberi masukan terhadap kemungkinan terjadinya benturan antara state law dengan

hukum-hukum lain dalam masyarakat;

 Menelusuri dan memaparkan langkah-langkah penyelesaian sengketa (hukum) alternatif

yang terjadi pada masyarakat dengan kebudayaan tertentu, sehingga masalah terpecahkan secara tuntas dengan menghasilkan keputusan win-win solution (seperti jamak dilakukan masyarakat tradisional sejak lampau);

Menelaah kembali peran dan wewenang state law dalam masyarakat di pelbagai wilayah

sebagai suatu bentuk perubahan hukum yang harus diantisipasi sejak dini agar tidak menimbulkan gejolak antara masyarakat dan pemerintah;

 Menelusuri partisipasi masyarakat di bidang hukum dalam upaya memberdayakan

mereka sehingga terintegrasi dan kontekstual, serta selaras cita-cita pembangunan. Pada akhirnya memang pemerintah mengakui keberadaan sistem hukum lain yang hidup di tengah masyarakat Indonesia. Melalui amandemen kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada pasal 18 B ayat (2), negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sayangnya kebijakan tersebut hanya memberi pengakuan, bukan perlindungan secara utuh terhadap sistem-sistem hukum lain selain hukum negara. Tampaknya negara melalui pemerintah masih setengah hati untuk membina dan memperkokoh integrasi bangsa yang multikultural melalui perwujudan hukum yang bercorak responsif. Apalagi untuk membuat kebijakan yang mengakomodasi dan mengintegrasi nilai-nilai, prinsip-prinsip hukum, institusi, dan tradisi hukum rakyat ke dalam sistem hukum nasional. Negara, tampaknya masih terbayangi stigma negatif bahwa, tradisi hukum rakyat yang menguat akan menimbulkan ethnocentrism, anggapan bahwa sukubangsa & kebudayaannya sendirilah yang terbaik dan sempurna. Sudah saatnya negara mengabaikan ketakutan pada stigma-stigma negatif tentang kemajemukan budaya, dan secara sungguh-sungguh mewujudkan sesanti Bhinneka Tunggal Ika dalam komplesitas sistem negara yang berdasar atas hukum.

(8)

eksistensi hukum negara di tengah kemajemukan budaya , hal. 8 D. PENUTUP

Hukum tidak hanya apa yang tertulis sebagai peraturan perundang-undangan atau Hukum Negara. Dalam konteks Antropologi Hukum, aktivitas budaya adalah hukum yang berfungsi sebagai instrumen menjaga ketaruran sosial, sarana pengendalian sosial, dan alat untuk melakukan rekayasa sosial.

Sehingga agar terhindar dari benturan antara pemerintah dan masyarakat dalam suatu masyarakat yang memiliki kemajemukan budaya, negara harus mengakui dan melindungi sistem hukum lain selain hukum negara sebagai bagian sistem hukum nasional.

E. DAFTAR PUSTAKA

Bohannan, Paul, 1984, “Hukum dan Pranata Hukum”, dalam T.O. Ihromi (ed.), Antropologi dan Hukum, A Blair Press Book, Jakarta.

Darmodiharjo, Darji dan Sidharta, 1996, Pokok-pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Hadikusuma, Hilman, 1986, Antropologi Hukum Indonesia, Penerbit Alumni, Bandung. Hartono, Sunaryati, 1993, “Kebijakan Pembangunan Hukum Menuju Sistem Hukum

Nasional” dalam Analisis CSIS, 1993-1, pp. 4-17.

Masinambow, E.K.M. (ed.), 2000, Hukum dan Kemajemukan Budaya, Sumbangan Karangan untuk Menyambut Hari Ulang Tahun ke-70 Prof.Dr. T.O. Ihromi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Nixon, 1998. “Legal Anthropology” taken from www.ameranthassn.org.

Pospisil, Leopold, 1971, Anthropology of Law, A Comparative Study, Harper & Row, Publisher, New York.

Soekanto, Soerjono et al, 1984, Antropologi Hukum, Proses Pengembangan Ilmu Hukum Adat, Rajawali Pers, Jakarta.

Referensi

Dokumen terkait

Dari tahapan-tahapan yang telah dilakukan untuk membuat membangun aplikasi Webgis lokasi tempat ibadah di Lampung di hasilkan aplikasi yang dapat digunakan oleh

Pulau Samosir merupakan salah satu objek wisata di Provinsi Sumatera Utara dengan kunjungan wisatawan tertinggi dan keseluruhan memiliki unsur daya tarik wisata

Besar pemecahan berkas berpengaruh terhadap proses dalam sistem, dimana semakin besar batas pecahan yang dipilih akan berpengaruh pengunggahan dan pengunduhan

Penelitian ini membahas dimensi consumer brand characteristic yang terdiri dari kemiripan antara konsep diri konsumen dan personalitas merek, kesukaan akan merek,

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa persepsi perawat tentang pelaksanaan asuhan keperawatan dalam

Berdasarkan penjelasan tersebut, puisi- puisi karya Sapardi Djoko Damono yang membahas konsep cinta ini merupakan bagian dari pembelajarana akan kesadaran manusia

kejadian pernikahan diusia muda terjadi sebagai solusi dalam menghadapi kehamilan yang terjadi diluar nikah. Pernikahan diusia muda banyak terjadi pada masa pubertas,

Sesuai dengan tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui interpretasi khalayak tentang pemberitaan kasus kekerasan seksual yang menimpa murid-murid di TK JIS yang