• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Penelitian ini memusatkan perhatian pada kajian Antropologi Hukum

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Penelitian ini memusatkan perhatian pada kajian Antropologi Hukum"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Penelitian ini memusatkan perhatian pada kajian Antropologi Hukum tentang hubungan-hubungan hukum dalam lapangan pekerjaan bangunan di Pematangsiantar. Berbicara mengenai hukum dalam Antropologi, berarti juga berbicara mengenai kebudayaan. Hukum tidak ditinjau secara tersendiri, tetapi dihubungkan dengan kebudayaan sebagai keseluruhan (Ihromi,2000:2). Karena pada konsep nya, hukum memberi pedoman bagi warga masyarakat mengenai apa yang boleh dan apa yang tidak (normatif)1, dan dalam hal apa (kognitif)2 (F.Benda-Beckmann, dalam Irianto, 2005:65). Antropologi hukum juga melahirkan pluralisme hukum dalam kajiannya. Di luar Peraturan Perundang-Undangan Negara yang merupakan hukum formal di Indonesia, ada aturan-aturan atau hukum-hukum lain yang mengatur dan hidup di sosial masyarakat, dan itu disebut dengan pluralisme hukum. Sama seperti yang disampaikan oleh Griffith (Irianto, 2005:56) bahwa pluralisme hukum adalah adanya lebih dari satu tatanan hukum dalam suatu arena sosial. Kehadiran aturan-aturan informal diluar aturan formal yang mengontrol kehidupan masyarakat menjadi daya tarik oleh

1

Hukum mengandung konsepsi normatif diartikan sebagai hukum berisi norma-norma aturan yang hidup di masyarakat. Sebagai contoh, dalam konsepsi normatif, tindakan korupsi, perdagangan manusia, pelanggaran hak asasi manusia, dilarang oleh semua sistem hukum, baik negara, agama, adat maupun kebiasaan lain (dalam Irianto, 2012 :166)

2 Hukum mengandung konsepsi kognitif diartikan tentang apa yang disebut sebagai „korupsi‟ atau

(2)

antropolog hukum melakukan sebuah kajian. Sehingga dapat di simpulkan bahwa hubungan antara antropologi hukum dan pluralisme hukum adalah sejalan.

Ada 4 gagasan awal mengenai latar belakang permasalahan fokus penelitian yang peneliti bahas disini.Yang pertama, hubungan antara lapangan pekerjaan bangunan dengan pembangunan perekonomian Indonesia saat ini. Seperti yang kita ketahui, Indonesia adalah salah satu negara berkembang di dunia yang ikut berpartisipasi pada MEA3( Masyarakat Ekonomi ASEAN). Sebagai negara berkembang, Indonesia juga ikut dalam proses memajukan negara dan bersaing di kancah Internasional, baik itu dalam memajukan perekonomian, politik, maupun sosial. Proses perubahan, berarti ditandai dengan pembangunan. Praktek kerja bangunan, didefinisikan sebagai kegiatan yang bertujuan untuk membangun yang bersifat fisik, atau dalam bahasa lainnya disebut dengan praktek “konstruksi”. Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), konstruksi diartikan sebagai susunan (model, tata letak) suatu bangunan (jembatan, rumah, dan sebagainya). Sehingga dapat diartikan bahwa praktek kerja bangunan/ praktek konstruksi adalah sebuah pekerjaan yang bertujuan untuk membangun atau mendirikan suatu bangunan. Salah satu jenis pembangunan fisik itu adalah

3

Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015 (bahasa Inggris: ASEAN Economic Community (AEC)) adalah sebuah integrasi ekonomi ASEAN dalam menghadapi perdagangan bebas antarnegara-negara ASEAN. Seluruh negara anggota ASEAN telah menyepakati perjanjian ini. MEA dirancang untuk mewujudkan Wawasan ASEAN 2020. Dalam menghadapi persaingan yang teramat ketat selama MEA ini, negara-negara ASEAN haruslah mempersiapkan sumber daya manusia (SDM) yang trampil, cerdas, dan kompetitif. Negara anggota yaitu, Brunei,Filipina,Indonesia,Kamboja,· Laos, Malaysia,Myanmar,Singapura,Thailand, Vietnam. Peluasan negara anggota Papua Nugini, · Timor Leste,Kepulauan Solomon, dan Bangladesh

(3)

infrastruktur. Menurut Juan Jose Daboub, Managing Director Bank Dunia4, saat berkunjung ke Indonesia pada April 2010, ia mengatakan bahwa :

Indonesia telah berhasil mengatasi krisis keuangan global dengan sangat baik. Dan kini, seperti halnya kebanyakan negara berpendapatan menengah, infrastruktur menjadi salah satu kendala terbesar dalam mendorong pertumbuhan dan memperbaiki iklim investasi di Indonesia. Karena itu menjadi sangat penting bagi Indonesia untuk menyiapkan dan menggalakkan proyek-proyek infrastruktur dengan skema kemitraan publik-swasta, serta menunjukkan tata kelola pemerintahan yang lebih baik dan pengendalian korupsi yang efektif.”

Selanjutnya mengenai pembangunan jalan tol, beberapa wilayah yang menjadi fokus pembangunan yaitu, Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Pemerintahan Jokowi, melalui Basuki Hadimuljono, Menteri PUPR mengatakan bahwa “target pembangunan jalan tol sepanjang 1.000 km akan menjadi tulang punggung pergerakan ekonomi Indonesia, memperlancar sistem distribusi logistik, serta mempermudah mobilitas barang, jasa dan masyarakat5”. Presiden Joko Widodo juga menambahkan bahwa bangunan infrastruktur yang masif bakal menopang pertumbuhan ekonomi ke depan6.

Dari hasil penuturan di atas dapat kita katakan bahwa sektor konstruksi menjadi motor penggerak pembangunan (Arif Budimanta, Direktur Eksekutif Megawati Institute)7. Pembangunan yang secara masif di bidang konstruksi juga sangat jelas terlihat di Indonesia saat ini. Salah satu penyebab nya adalah karena Indonesia saat ini ikut dalam persaingan global pasar ekonomi ASEAN.

4

Sumber oleh www.worldbank.org/.../infrastructure-development-key-rapid-growth-mi. (diakses pada 23 Februari 2016).

5 Sumber berita dari (http://economy.okezone.com) pada kolom bisnis pada 01 Juni 2015. Diakses

pada 24 Februari 2016.

6

Ibid

(4)

Tidak hanya persoalan infrastruktur yang menjadi motor penggerak ekonomi suatu negara. Munculnya globalisasi di Indonesia juga membuat pergerakan yang begitu cepat, salah satu nya mengenai wilayah pemukiman. Di Pematangsiantar tempat lokasi penelitian saya, mengalami pelebaran wilayah sejak tahun 2007 sehingga memunculkan daerah-daerah baru yang berada di pinggiran kota Pematangsiantar. Daerah pinggiran kota ini disebut dengan wilayah sub urban. Dengan semakin padatnya penduduk di kota, ini membuat pilihan masyarakat untuk berpindah ke wilayah-wilayah sub urban, sehingga ini juga menimbulkan perkembangan suatu kota ditandai dengan pelebaran jalan dan perkembangan di suatu wilayah.

Dengan semakin maraknya pembangunan di bidang konstruksi, semakin bertambah juga lapangan pekerjaan, terutama di bidang kerja bangunan. Terbukti dengan jumlah pekerja bangunan yang bekerja pada sektor konstruksi mengalami peningkatan. Data dari BPS Indonesia menunjukkan bahwa jumlah para pekerja di bidang konstruksi meningkat setiap tahunnya. Di tahun 2013, pekerja bangunan berjumlah 6.349.387 orang. Mengalami peningkatan pada tahun 2014, menjadi 7.280.086 orang. Data di Pematangsiantar didapatkan bahwa jumlah pekerja yang bergerak dibidang konstruksi sebesar 67898 orang dibandingkan dengan tahun 2013 yang berjumlah lebih sedikit yaitu 5900 orang. Data ini merupakan data BPS yang terkini. Mengingat data terakhir yang terakumulasi di tahun 2014, dan sekarang sudah tahun 2016, perubahan-perubahan pada pembangunan fisik di Pematangsiantar terus berkembang. Dengan semakin banyaknya pertumbuhan

(5)

bangunan-bangunan baru seperti perumahan, komplek, pembangunan ruko, sekolah, jalan, tempat-tempat hiburan, tidak menutup kemungkinan bahwa lapangan pekerjaan pada bidang konstruksi di Pematangsiantar juga bertambah.

Hukum dipandang sangat memainkan peranan penting dalam globalisasi, karena hukum bersentuhan dengan domain sosial, politik, ekonomi. Dapat dipelajari bagaimana hukum menjadi kekuatan yang sangat besar dalam mendefinisikan kepentingan politik dan ekonomi dalam pergaulan antarkelompok dan bahkan antarbangsa (Irianto, 2012 :167). Dengan munculnya globalisasi dan persaingan MEA yang di tandai dengan pertumbuhan ekonomi maupun politik suatu negara ini memunculkan adanya hukum yang mengatur dalam interaksi tersebut.

Setelah membahas mengenai maraknya beragam proyek-proyek pekerjaan bangunan di Indonesia saat dan kaitannya dengan pembangunan Indonesia, gagasan yang kedua peneliti melihat adanya hubungan antara pekerja bangunan dengan kesempatan. Banyak penyebutan nama mengenai pekerjaan sektor informal ini. Baik itu buruh bangunan, pekerja bangunan, maupun tukang bangunan. Tetapi kata yang lebih familiar dan lebih luas pendefinisiannya adalah tukang bangunan. Karena baik itu pekerjaan konstruksi seperti pembuatan irigasi, pembangunan jalan, pembangunan gedung-gedung, orang-orang lebih sering menyebutnya dengan sebutan “tukang”. Maka disini peneliti akan menyatukan penyebutannya dengan “tukang bangunan”. Siapakah tukang bangunan ini? Mereka adalah orang-orang yang berjasa terhadap pembangunan-pembangunan fisik yang dapat kita lihat saat ini. Mereka adalah orang-orang pekerja keras, yang

(6)

rajin, terampil, dan memiliki semangat hidup yang tinggi. Mengerjakan pekerjaan yang berat (dengan tenaga) demi mencari nafkah bagi keluarga, bukanlah masalah bagi mereka. Mereka sama seperti kebanyakan masyarakat lain, tetapi kesempatan lah yang membedakan antara tukang bangunan dengan dosen, (contohnya). Dosen merupakan orang-orang intelektual, orang-orang terpilih, yang untuk mendapatkan posisi tersebut, kita harus sekolah yang tinggi, berbeda dengan tukang bangunan. Tidak memiliki modal pendidikan sekolah pun, kita bisa menjadi tukang bangunan. Kesempatan akan pendidikan, peluang untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, kesempatan untuk keluar dari zona kehidupan tersebut, tidak mereka dapatkan. Sehingga dengan bekal tenaga, kecekatan, pengalaman, mereka bisa mendapatkan penghasilan untuk keluarga.

Tukang bangunan banyak kita temui di daerah perkotaan. Perkotaan identik dengan banyaknya pembangunan dan disana lah jasa tukang bangunan terpakai. Seperti dalam buku Kartini Sjahrir yang membahas mengenai migrasi para tukang bangunan ke Jakarta. Migrasi ini disebabkan karena kota, dalam hal ini (Jakarta) sebagai pusat ibukota Indonesia dan juga sebagai pusat dari pertumbuhan ekonomi dan pembangunan fisik di Indonesia menawarkan begitu banyak lapangan pekerjaan yang tidak ditemui di daerah pedesaan. Dan karena alasan perekonomian menjadi satu tujuan masyarakat desa untuk migrasi ke kota. Begitu banyaknya jenis lapangan kerja yang ditawarkan oleh kota, dan kerja pada sektor konstruksi adalah salah satunya. Tidak hanya Jakarta, Pematangsiantar yang merupakan salah satu kota yang ada di Provinsi Sumatera Utara juga mempunyai

(7)

para pekerja bangunan yang menciptakan lapangan pekerjaan sendiri untuk kebutuhan mereka, seperti pembangunan rumah pribadi.

Lokasi penelitian saya berada di wilayah sub urban Pematangsiantar. Sub urban memiliki pengertian sebagai daerah perumahan di pinggiran kota dan tidak jauh dari pusat kota. Munculnya daerah ini salah satunya karena pemekeran kota, yang di cirkan dengan munculnya jalan-jalan baru dan perluasan lahan. Tanah di daerah kota yang mahal, membuat penduduk berlomba-lomba untuk membangun pemukiman di wilayah sub urban yang harga tanahnya masih relatif murah. Dengan semakin banyaknya penduduk yang memutuskan untuk bermukim di wilayah sub urban, semakin bertambah juga lapangan pekerjaan untuk pekerja bangunan di wilayah sub urban.

Selanjutnya yang ketiga, aturan-aturan formal yang mengatur dalam pekerjaan bangunan/sektor konstruksi dan aturan informal yang hidup dalam pekerjaan bangunan. Hukum-hukum formal tersebut diantaranya: Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 (diperbaharui menjadi PP No. 59/2010) mengenai Penyelenggaraan Jasa Konstruksi, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 mengenai Ketenagakerjaan dan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 09/Per/M/ 2000 mengenai Pedoman Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Konstruksi Bidang Pekerjaan Umum. Melihat adanya hukum formal yang mengatur sistem kontruksi dan pekerja bangunan, ini mengindikasikan bahwasannya pemerintah memiliki salah satu fokus perhatian pada sektor ini. Tetapi dalam pegimplementasian aturan-aturan formal di atas, ada aturan-aturan lain yang bermain di dalam lingkungan tersebut. Seperti dikatakan

(8)

Kartini Sjahrir(Pasar Tenaga Kerja Indonesia) bahwa pada tahun 1977 berdirilah Serikat Pekerja Buruh Pekerjaan Umum(SPBU) yang bertujuan untuk mendukung pekerja konstruksi dari setiap tingkat untuk memperbaiki nasib, termasuk memperjuangkan hak-hak setiap pekerja. Langkah-langkah yang diusung pemerintah, seperti pelatihan, pemeliharaan kesehatan pekerja, keselamatan kerja dan promosi bagi pekerja. Namun SPBPU ini kurang berperan besar, terbukti pada saat pemerintah mengeluarkan kebijakan mengenai Asuransi Sosial Tenaga Kerja (Astek)9 yang mencakup perlindungan asuransi untuk kecelakaan kerja dan meninggal dunia akibat kecelakaan kerja. Banyak tukang bangunan yang tidak tahu mengenai informasi ini, dan sosialisasi dari SPBPU pun tidak terlihat. Sehingga pada dua kasus, yaitu 2 pekerja yang meninggal pada saat bekerja di lapangan, jenazahnya langsung di bawa ke kampung halaman. Para pekerja, mandor, dan kontraktor mereka lah yang mengumpulkan duit untuk memberikan sumbangan kepada keluarga korban. Di satu kasus mereka sama sekali tidak tahu mengenai asuransi Astek, tetapi di kasus kedua, mereka sudah mengajukan claim dan Astek tidak berbuat apa-apa.

9

. Sejarah terbentuknya PT Jamsostek (Persero) mengalami proses yang panjang, dimulai dari UU No.33/1947 jo UU No.2/1951 tentang kecelakaan kerja, Peraturan Menteri Perburuhan (PMP) No.48/1952 jo PMP No.8/1956 tentang pengaturan bantuan untuk usaha penyelenggaraan kesehatan buruh, PMP No.15/1957 tentang pembentukan Yayasan Sosial Buruh, PMP No.5/1964 tentang pembentukan Yayasan Dana Jaminan Sosial (YDJS), diberlakukannya UU No.14/1969 tentang Pokok-pokok Tenaga Kerja. Selanjutnya pada tahun 1977 Peraturan Pemerintah (PP) No.33 tahun 1977 tentang pelaksanaan program asuransi sosial tenaga kerja (ASTEK), yang mewajibkan setiap pemberi kerja/pengusaha swasta dan BUMN untuk mengikuti program ASTEK. Tonggak penting berikutnya adalah lahirnya UU No.3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK). Dan melalui PP No.36/1995 ditetapkannya PT Jamsostek sebagai badan penyelenggara Jaminan Sosial. Tahun 2011, ditetapkanlah UU No 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Sesuai dengan amanat undang-undang, tanggal 1 Januri 2014 PT Jamsostek akan berubah menjadi Badan Hukum Publik. PT Jamsostek (Persero) yang

(9)

Fakta di lapangan yang saya temukan berbeda. Regulasi yang dibuat pemerintah yang menunjukkan perhatiaan pada pekerjaan bangunan ternyata memiliki batasan. Perundang-undangan pemerintah yang hanya memfokuskan peraturan bagi jasa konstruksi yang sudah memiliki izin usaha atau lembaga, tidak berlaku bagi jasa konstruksi yang tidak memiliki lembaga, seperti pemborong bangunan(perorangan)kajian fokus penelitian saya. Pekerjaan bangunan di wilayah sub urban yang fokusnya adalah membangun pemukiman-pemukiman baru, ternyata mereka memiliki aturan-aturan sendiri di luar aturan yang sudah di tetapkan oleh pemerintah dalam berinteraksi dengan pekerja ataupun dengan klien. Seperti tulisan Jan Michiel Otto( dalam Irianto, 2012:119) yang mengungkapkan bahwa hukum di negara-negara berkembang secara histroris terbentuk oleh 4 lapisan. Lapisan terdalam terdiri dari aturan-aturan kebiasaan yang diakui (sebagai hukum oleh masyarakat yang bersangkutan), di atasnya ialah lapisan aturan-aturan keagamaan yang diakui, kemudian aturan-aturan hukum dari negara kolonial dan lapisan paling atas ialah hukum nasional modern yang terus berkembang.

Lapisan pertama inilah yang menjadi dasar saya melihat gejala-gejala pluralisme hukum di lapangan penelitian saya. Hukum hidup di masyarakat, karena masyarakat tersebut membutuhkannya. Hukum bergerak secara dinamis sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat.

Salah satu alasan ini lah, yang membuat saya tertarik untuk mengkaji lebih dalam mengenai temuan-temuan baru di lapangan mengenai aturan-aturan informal yang hidup dalam dunia pertukangan.

(10)

Kemudian persoalan keempat adalah pola hubungan antara pekerja bangunan dengan ruang lingkupnya yang tanpa disadari menciptakan aturan-aturan yang tak tertulis di dalam keeksissannya. Adanya hubungan antara pemborong, pekerja, klien atau mitra pemborong dan yang lainnya ternyata tanpa disadari menciptakan aturan-aturan informal dalam kehidupan komunikasi mereka. Hubungan antara berbagai aktor tersebut secara tidak langsung membuat mereka di dalam satu kondisi yang dinamakan dengan persaingan seleksi alam. Karena kita harus dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan dimana kita berada (dalam hal ini kebiasaan, aturan-aturan informal) kalau kita ingin bertahan. Kalau tidak, kita akan dianggap menyimpang atau terkena seleksi alam. Karena nasib kita dalam kehidupan, akan dikondisikan terutama sekali oleh pelbagai posisi yang dapat kita capai dalam asosiasi-asosiasi tersebut (lingkungan kita berada). Mesti ada resiprositas pelayanan yang diberikan di sini. Mustahil asosiasi memberi sesuatu kecuali kalau anggota nya juga memberi. Jadi asosiasi sosial tersebut adalah sumber dari kekuasaan memaksa, sanksi, semua aturan norma sosial, dan hukum (Ehrlich dalam Zuska, 2016). Sehingga dapat di katakan bahwa orang bertindak menurut hukum, karena dipersyaratkan oleh relasi-relasi sosialnya. Hukum juga sangat berkuasa dalam mengkonstruksi kehidupan kita, menentukan siapa kita dalam interaksi dengan orang lain maupun kelompok lain (Irianto, 2012:167). Kasus yang sama juga terlihat pada penelitian Sally Falk Moore pada Bidang Industri Pakaian Gaun Mahal (dalam Ihromi, 1993:154-161). Pentingnya menjaga hubungan baik bagi ruang lingkup penyedia jasa adalah faktor yang sangat penting.

(11)

Penelitian saya mengenai hukum di masyarakat sub urban yang fokus pada hubungan-hubungan hukum dalam ruang lingkup pertukangan perlu untuk dikaji. Karena ruang lingkup pertukangan yang termasuk dalam sektor informal jarang mendapatkan perhatian dari pemerintah. Untuk menciptakan lapangan pekerjaan, untuk mengatur sistem, keorganisasian, dan keberlangsungan pekerjaan, mereka menciptakan aturan-aturan tersendiri di lapangan. Kajian antropologi yang sekarang tidak hanya fokus pada permasalahan pedesaan, tetapi juga sudah merambah pada permasalahan perkotaan, membuat para Antropolog semakin peka tentang berbagai permasalahan di kota, salah satunya adalah mengenai pekerjaan bangunan di pinggiran kota Pematangsiantar. Untuk alasan itu lah saya tertarik untuk mengkaji lebih dalam mengenai fenomena hubungan-hubungan hukum dalam dunia pertukangan di Pematangsiantar.

I.2. Tinjauan Pustaka

I.2.1. Hukum Dalam Antropologi

Di dalam Antropologi, kita belajar sesuatu yang holistik dalam melihat kebudayaan. Artinya, dengan penglihatan holistik dimaksudkan dapat meninjau kebudayaan sebagai suatu kesatuan yang bagian-bagiannya mewujudkan hubungan yang kait mengkait/terintegrasi. Dan hukum disini, tidak ditinjau secara tersendiri, tetapi dihubungan dengan kebudayaan sebagai keseluruhan. Hubungan antara kebudayaan dan hukum, antara lain :

(12)

- Norma bersifat universal. Artinya dipakai untuk berinteraksi sosial dengan masyarakat luas. Sehingga hukum difungsikan untuk sarana untuk melesatrikan kebudayaan yang terwujud di dalam norma social (Ihromi, 2000:1).

Pada tahap awal perkembangannya, hukum di artikan oleh Malinowski sebagai sarana pengendalian sosial yang terdapat dalam setiap lapisan sosial masyarakat yang ketaatannya didasarkan atas hubungan timbal balik antar masyarakat yang saling berinteraksi. “Hukum tidak semata-mata terdapat dalam masyarakat yang terorganisasi dalam Negara, tetapi hukum sebagai sarana pengendalian sosial

(legal order) terdapat dalam setiap bentuk masyarakat. Hukum dalam masyarakat

bukan ditaati karena adanya tradisi ketaatan yang bersifat otomatis-spontan, tetapi karena adanya prinsip timbal-balik (principle of reciprocity) dan prinsip publisitas (principle of publicity) misalnya sistem pertukaran sosial yang berkembang dalam masyarakat Trobiand menjadi pengikat sosial dan daya dinamis yang menggerakkan kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat melalui prinsip resiprositas atau timbal-balik dalam bentuk pertukaran benda dan tenaga, menggerakkan kehidupan kekerabatan, sistem pertukaran mas kawin dan juga menggerakkan hubungan antar kelompok dalam bentuk upacara-upacara yang berlangsung dalam kehidupan bersama. (Suryatni, 2013:31).”

Dari definisi Malinowski tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa masyarakat mana pun, baik itu masyarakat yang masih sederhana atau sudah kompleks memiliki aturan-aturan hukum yang secara informal terlihat sebagai sarana pengendalian sosial di dalam interaksinya. Dan hukum disini masih dianggap

(13)

sebagai sesuatu yang dapat memberikan perlakukan adil dalam hubungan timbal balik antar sesama individu maupun antar kelompok.

Pada prinsipnya hukum (dalam rule centered paradigm) dipandang sebagai cara untuk meningkatkan integrasi sosial, dan merupakan akumulasi atau abstraksi dari norma-norma dan kebiasaan-kebiasaan yang dianut sebagai pedoman berperilaku. (Irianto, 2005: 64). Ciri ini juga bisa disebut sebagai hukum substantif, dimana hukum didasarkan atas hak-hak individu, moralitas, keadilan, dan kesejahteraan bagi individu tersebut (Bedner, 2012 :52).

Hukum dalam pendekatan kritik dipandang sebagai cara untuk mendefinisikan dan menegakkan tata tertib yang menguntungkan kelompok tertentu diatas pengorbanan kelompok lain. Hukum tidak dipandang sebagai norma yang berasal dari konsensus sosial, tetapi ditentukan dan dijalankan oleh kekuasaan, dan substansi hukum dijelaskan dari kacamata kepentingan mereka yang sangat berkuasa, dengan cara membangun false consciousness (Wallace dan Wolf, dalam Irianto,2005:65). Dalam pendefinisian ini, hukum dicirkan seperti hukum formal, dimana hukum bersifat up-bottom, hukum berasal dari regulasi pemerintah (Bedner, 2012 : 64). Dan dalam pemikiran prosesual, hukum dipandang sebagai gejala sosial atau proses sosial, artinya hukum selalu berada dalam pergerakan (dinamika), karena dipersepsikan, diberi makna dan kategori secara beragam dan berubah sepanjang waktu (Irianto, 2005:66).

Aturan-aturan hukum berbeda dengan aturan-aturan lainnya, dimana didukung oleh sanksi-sanksi dalam pengendalian sosialnya. Karena hukum berada dalam interaksi sosial masyarakat. Untuk mengendalikan interaksi tersebut, di

(14)

ciptakan lah hukum. Dan hukum ini terdapat di dalam hubungan timbal balik maupun hubungan yang didasarkan atas pemenuhan hak-hak nya (Soekanto, 1984:1). Beckmann beranggapan bahwa hukum dianggap sebagai aturan-aturan yang diberi sanksi dalam prosedur terorganisasi (dalam Ihromi, 1993:6).

Antropologi dalam melihat hukum sebagai suatu aspek dari kebudayaan, yaitu suatu aspek yang digunakan oleh kekuasaan masyarakat yang teratur dalam mengatur perilaku manusia dan masyarakat agar tidak terjadi penyimpangan dan agar penyimpangan yang terjadi dari norma-norma sosial yang telah ditentukan dapat diperbaiki. Dengan demikian, perilaku yang menjadi kebiasaan, dan selanjutnya menjadi adat masyarakat dan merupakan sistem kontrol sosial itu akan mempunyai kekuatan hukum, yang apabila digunakan oleh kekuasaan masyarakat untuk mengatur perilaku manusia dan masyarakat yang bersangkutan supaya teratur. Sepanjang masyarakat itu teratur, karena ada yang mengatur dan mempunyai kekuasaan, maka pada masyarakat itu terdapat hukum. (Hadikusuma, 2006:8). Dan ia menambahkan bahwa jika tidak ada petugas-petugas masyarakat atau perangkat penguasa dalam suatu masyarakat maka hukum itu tidak ada.

Nurjaya (2011 :1) dalam tulisannya mengenai perkembanguan pluralisme hukum ia merujuk dalam berbagai ahli dan menyimpulkan bahwa para ahli antropologi mempelajari hukum bukan semata-semata sebagai produk dari hasil abstraksi logika sekelompok orang yang diformulasikan dalam bentuk peraturan perundang-undangan semata, tetapi lebih mempelajari hukum sebagai perilaku dan proses sosial yang berlangsung dalam kehidupan masyarakat. Hoebel menambahkan bahwa hukum itu ada pada masyarakat yang sederhana, yang

(15)

dinamakan dengan „primitive law”, ada pada masyarakat purba “archeiv law” dan hukum itu ada pada masyarakat yang telah maju dengan hukumnya yang modern (Hoebel dalam Hadikusuma, 2006:8).

Hukum dalam perspektif antropologi dipelajari sebagai bagian yang integral dari kebudayaan secara keseluruhan, dan karena itu hukum dipelajari sebagai produk dari interaksi sosial yang dipengaruhi oleh aspek-aspek kebudayaan yang lain, seperti politik, ekonomi, ideologi, religi, struktur sosial, dll,atau hukum dipelajari sebagai proses sosial yang berlangsung dalam kehidupan masyarakat. Karena itu, hukum dalam perspektif antropologi bukan semata-mata berwujud peraturan perundang-undangan yang diciptakan oleh Negara (state law), tetapi juga hukum dalam wujudnya sebagai peraturan-peraturan lokal yang bersumber dari suatu kebiasaan masyarakat (customary law/folk law), termasuk pula di dalamnya mekanisme-mekansime pengaturan dalam masyarakat (self

regulation) yang juga berfungsi sebagai sarana pengendalian sosial (legal order).

(Pospisil dan Moore dalam Nurjaya,2011:1).

Secara antropologis bentuk mekanisme-mekanisme pengaturan sendiri

(inner order mechanism atau self-regulation) dalam komunitas-komunitas

masyarakat adalah merupakan hukum yang secara lokal berfungsi sebagai sarana untuk menjaga keteraturan sosial (F. von Benda-Beckmann dalam Suryatni, 2013:34). Seperti yang disampaikan juga oleh Hollemann (1978) mengatakan bahwa di wilayah urban di negara-negara berkembang, tumbuh bentuk-bentuk hukum baru yang tidak dapat di beri label sebagai hukum negara, hukum adat, atau hukum agama, sehingga disebut sebagai hybrid law, atau unnamed law

(16)

(dalam Irianto,2012). Teori-teori tersebut saya bawa ke lapangan, dan membuktikan bahwa ternyata benar bahwa ada kebiasaan-kebiasaan dalam dunia pertukangan yang tanpa sadar sudah di berlakukan sebagai hukum dalam dunia pertukangan.

Dilihat dari keeksisan hukum dalam masyarakat, Paul J. Bohannan mengatakan bahwa hukum itu mirip seperti bunglon bila diperhatikan bahwa dia terdapat diberbagai masyarakat dan dia mengambil bentuk dan isi menurut kebutuhan masyarakat dimana dia berlaku. Namun dibawah kulit bunglon yang berubah-ubah terdapat sesuatu yang merupakan inti yang tidak berubah. Sifatnya yang bisa berubah itu justru merupakan sifat yang paling penting dan merupakan kekuatannya(dalam Ihromi,2000:52-53). Dan Hoebel juga menambahkan bahwa untuk dapat menempatkan hukum di dalam struktur masyarakat sosial, maka kita lebih dahulu harus melihat kepada masyarakat dan kebudayaannya sebagai suatu keseluruhan (dalam Ihromi,1993:148). Sehingga dapat kita lihat bahwa hukum itu bergerak sangat dinamis, karena dapat berubah sepanjang waktu.

Dengan semakin berkembangnya pemikiran dan pengetahuan masyarakat, seorang antropolog bernama Klose menuliskan sebuah perbedaan pandangan antara masyarakat terbuka dan masyarakat tertutup dalam melihat hukum. Pada masyarakat terbuka cenderung memiliki sikap kritis terhadap kehidupan sosial mereka, yang mana mereka melihat bahwa norma/aturan yang mengatur kehidupan sehari-hari dan lembaga yang mengaturnya merupakan karya manusia itu sendiri. Sedangkan masyarakat tertutup menilai bahwa norma/aturan dan

(17)

488).

Dari berbagai macam pandangan dan pendefinisian diatas dapat disimpulkan bahwa hukum terdapat di mana-mana. Baik itu dalam bentuk-bentuk masyarakat, lapisan masyarakat, di periode kehidupan zaman dulu, masa kini, dan masa mendatang yang pergerakannya sangat dinamis dan keeksisannya hidup dalam interaksi masyarakat dan berfungsi sebagai kontrol sosial.

I.2.2. Pluralisme Hukum

Pluralisme hukum muncul disaat berkembangnya pemikiran para ahli antropolog bahwa sentralisme hukum (hukum negara) bukan satu-satu nya hukum yang mengatur kehidupan masyarakat. Karena pemberlakuan sentralisme hukum dalam suatu komunitas masyarakat yang memiliki kemajemukan sosial dan budaya hanya merupakan sebuah kemustahilan (Griffiths). Menurut Griffiths kemajemukan hukum itu ada dalam masyarakat. Dimana ia mengatakan bahwa “adanya lebih dari satu tatanan hukum dalam arena sosial (By ‘legal pluralism’ I

mean the presence in a social field more than one legal order”)

(dalam Irianto, 2005:56).

Pluralisme hukum juga muncul di Indonesia karena adanya kemajemukan budaya. Itu dibuktikan dengan adanya semboyan “Bhineka Tunggal Ika, yaitu berbeda-beda tapi tetap satu”. Hal “berbeda-beda” dalam cakupan ini meliputi, ras, etnik, suku, agama, budaya, dan sebagainya adalah yang menjadi bukti dari kemajemukan budaya. Keragaman ini lah yang menghimpun menjadi kesatuan bangsa Indonesia dan dilindungi dalam naungan Negara Kesatuan Republik

(18)

Indonesia. Dalam keberagaman ini, pasti memunculkan potensi konflik, atas pemikiran atau pandangan yang berbeda-beda dari masyarakat Indonesia, maka di munculkan lah suatu istilah bernama hukum untuk memberikan arahan perilaku masyarakat (Fusanti, 2014:15).

Secara umum pluralisme hukum didefinisikan sebagai suatu situasi di mana dua atau lebih sistem hukum bekerja secara berdampingan dalam suatu bidang kehidupan sosial yang sama , atau untuk menjelaskan keberadaan dua atau lebih sistem pengendalian sosial dalam satu bidang kehidupan sosial (Griffiths dalam Nurjaya, 2011:10), atau menerangkan suatu situasi di mana dua atau lebih sistem hukum berinteraksi dalam satu kehidupan sosial (Hooker dalam Nurjaya, 2011:10), atau suatu kondisi di mana lebih dari satu sistem hukum atau institusi bekerja secara berdampingan dalam aktivitas-aktivitas dan hubungan-hubungan dalam satu kelompok masyarakat (F.von Benda-Beckmann dalan Nurjaya, 2011:10).

Ajaran mengenai pluralisme hukum (legal pluralism) menurut Griffiths dipertentangkan dengan ideologi sentralisme hukum (legal centralism). Ideologi sentralisme hukum diartikan sebagai suatu ideologi yang menghendaki pemberlakuan hukum negara (state law) sebagai satu - satunya hukum bagi semua warga masyarakat, dengan mengabaikan keberadaan sistem – sistem hukum yang lain, seperti hukum agama, hukum kebiasaan, dan juga semua bentuk mekanisme - mekanisme pengaturan lokal yang secara empiris berlangsung dalam kehidupan masyarakat. Dalam konteks ini, Griffiths, menegaskan sentralisme hukum cenderung mengabaikan kemajemukan sosial dan budaya dalam masyarakat,

(19)

termasuk di dalamnya norma – norma hukum lokal yang secara nyata dianut dan dipatuhi warga dalam kehidupan bermasyarakat, bahkan sering lebih ditaati dari pada hukum yang diciptakan dan diberlakukan oleh negara (state law). Karena itu, seperti yang disampaikan di atas tadi bahwa pemberlakuan sentralisme hukum dalam suatu komunitas masyarakat yang memiliki kemajemukan sosial dan budaya hanya merupakan sebuah kemustahilan. Legal pluralism is the fact. Legal

centralism is a myth, an ideal, a claim, an ilusion. “Pluralisme hukum adalah

fakta. Sentralisme hukum adalah mitos,ideal, klaim, ilusi” (dalam Nurjaya, 2011:11).

a. Fase Perkembangan Pluralisme Hukum

Sejarah awal munculnya pluralisme hukum adalah pada saat banyak nya negara-negara terjajah yang sudah merdeka masih menganut sistem hukum kolonial di dalam pengaturan hidup mereka maupun mengadopsi hukum kolonial dengan bungkusan yang baru dan disandingkan dengan hukum-hukum baru yang mereka ciptakan. Pada dekade tahun 1960-an tema studi-studi antropologi hukum lebih memberi perhatian pada fenomena kemajemukan hukum atau pluralisme hukum. Tema pluralisme hukum pertama-tama difokuskan pada kemajemukan cara-cara penyelesaian melalui mekanisme tradisional, tetapi kemudian diarahkan kepada mekanisme dan institusi penyelesaian sengketa menurut hukum pemerintah kolonial dan pemerintah negara-negara yang sudah merdeka (dalam Nurjaya 2011:11).

(20)

Sulistyowati Irianto (2011) membagi 3 fase perkembangan pluralisme hukum, yaitu :

 Pada masa awal (1960an-1970an) yang dilakukan oleh para ahli adalah melakukan identifikasi atau pemetaan terhadap keanekaragaman hukum dalam bidang sosial tertentu (mapping of legal universe). Pengertian pluralisme hukum dicirikan sebagai adanya hukum negara di satu sisi, dan hukum rakyat di sisi yang lain. Hukum rakyat dalam hal ini adalah hukum yang pada prinsipnya tidak berasal dari negara, yaitu hukum adat, hukum agama, kebiasaan-kebiasaan atau kesepakatan dan konvensi sosial lain yang dipandang mengikat sebagai hukum (Irianto, 2011).

Pada tahap awal perkembangan pluralisme hukum, pemikiran Griffiths membedakan adanya dua macam pluralisme hukum yaitu: weak legal pluralism dan strong legal pluralism yang terdapat dalam jurnal “what is legal pluralism?” Griffiths tahun 1986. Menurut Griffiths pluralisme hukum yang lemah itu adalah bentuk lain dari sentralisme hukum karena meskipun mengakui adanya pluralisme hukum, tetapi tetap berpegang pada hukum Negara, negara mengakui adanya hukum-hukum lain di luar hukum negara, tetapi statusnya tetap di subordinat hukum negara. Contoh dari pandangan pluralisme hukum yang lemah adalah konsep yang diajukan oleh Hooker : “The term legal pluralism refers to the

situation in which two or more laws interact”. “Pola pluralisme hukum mengarah

pada situasi dimana dua atau lebih hukum berinteraksi” (Hooker dalam Irianto, 2011). Meskipun mengakui adanya keanekaragaman sistem hukum, tetapi Hooker masih menekankan adanya pertentangan antara apa yang disebut sebagai

(21)

municipal law sebagai sistem yang dominan (hukum negara), dengan servient law

yang menurutnya inferior seperti kebiasaan dan hukum agama (Irianto, 2011) Sementara itu, konsep pluralisme hukum yang kuat, yang menurut Griffiths merupakan produk dari para ilmuwan sosial, adalah pengamatan ilmiah mengenai fakta adanya kemajemukan tatanan hukum yang terdapat di semua (kelompok) masyarakat. Semua sistem hukum yang ada dipandang sama kedudukannya dalam masyarakat, tidak terdapat hierarkhi yang menunjukkan sistem hukum yang satu lebih tinggi dari yang lain. Sehingga pada pluralisme hukum kuat ini, semua jenis hukum dipandang setara di dalam masyarakat. Dan John Griffiths juga memasukkan pandangan beberapa ahli mengenai konsep pluralisme hukum yang kuat, diantaranya :

1. Legal Level (Pospisil)

Hukum dalam masyarakat, menurut Pospisil adalah bertingkat-tingkat atau hierakis. Di dalam kelompok, ada individu-individu yang memiliki kesatuan berupa kelompok dan masuk ke dalam sistem. Tiap-tiap sub-kelompok itu sangat menggantungkan eksistensinya kepada sebuah sistem hukum milik kelompoknya sendiri yang mengatur perilaku anggota-anggotanya. Hukum disini bersifat hierakis. Sistem hukum dari kelompok yang lebih inklusif akan berlaku bagi anggota-anggota semua sub kelompok konstituennya. Eksistensi empirik dari hukum yang terdapat dalam kelompok, tidak bergantung pada penegakan hukum negara.. Jenis hukum yang seperti ini, dalam artian Griffiths dikategorikan sebagai “stong legal pluralism” (dalam Zuska,2016).

(22)

Semi-autonomous Social Field diartikan sebagai kapasitas kelompok

kelompok sosial (socialfield) dalam menciptakan mekanisme – mekanisme pengaturan sendiri (self-regulation) dengan disertai kekuatan-kekuatan pemaksa pentaatannya dalam lapangan sosial semi otonomi (Suryatni,2013 :35). Sementara itu pengertian hukum dari Moore yang juga dikutip Griffiths adalah: “ Law is the

self-regulation of a ‘semi-autonomous social field” (Griffiths dalam Irianto,

2011). Apa yang di katakan Moore mengenai hukum sebagai mekanisme-mekanisme pengaturan sendiri dalam sosial masyarakat yang bersifat semi otonom sama seperti lapangan penelitian saya mengenai hubungan-hubungan hukum dalam dunia pertukangan, dimana dunia pertukangan mempunyai aturan-aturannya sendiri dalam pengaturan kehidupan pertukangan mereka, tetapi tidak bisa juga lepas dari pengaruh pemerintah.

3. Living Law (Eugene Ehrlich)

Selanjutnya Griffith juga memasukkan pandangan dari Eugene Ehrlich tentang pluralisme hukum yang kuat dalam teori living law yaitu : “Dalam setiap masyarakat terdapat aturan-aturan hukum yang hidup dari tatanan normatif yang biasanya dikontraskan/dipertentangkan dengan sistem hukum negara termasuk dalam kategori pluralisme hukum yang kuat (strong legal pluralism)” (dalam Irianto 2011). Kunci dari teori living law adalah “rule for decision dan rule for

conduct”. Rule for decision diartikan sebagai konsepsi hukum postivis, yaitu

hukum didefinisikan dari sudut pandang petugas negara. Rule of conduct melihat bahwa konsep hukum sebagai sebuah pengaturan pada asosiasi-asosiasi manusia di manapun. Rule of conduct ini adalah memiliki beragam variasi dan memiliki

(23)

variasi nama, yaitu aturan hukum, moral, ethical customs, kebijaksanaan, kehormatan, etika, tata krama, dan fashion). Kita semua hidup dalam asosiasi-asosiasi yang teroganisir. Nasib kita dalam kehidupan, akan dikondisikan terutama sekali oleh pelbagai posisi yang dapat kita capai dalam asosiasi-asosiasi itu. Mesti ada resiprositas pelayanan yang diberikan di sini. Mustahil asosiasi memberi sesuatu kecuali kalau anggotanya juga memberi. Jadi asosiasi sosial itu adalah sumber dari coercive power, sanksi, semua norma sosial, dan hukum. Orang bertindak menurut hukum, adalah karena dipersyaratkan oleh relasi-relasi sosialnya. Griffiths mengatakan bahwa teori living law oleh Ehrlich telah membuka mata kita mengenai kemajemukan hukum di dalam masyarakat. Karena hukum diartikan sama dengan pengaturan. Maka begitu banyak asosiasi-asosiasi tempat manusia berada, maka begitu beragamnya pengaturan-pengaturan yang tercipta (Zuska, 2016).

 Selanjutnya pada Fase 1990an terdapat variasi pandangan, dimana konsep pluralisme hukum tidak lagi ditujukan pada mapping yang kita buat sendiri, tetapi melihatnya pada tataran individu yang menjadi subjek dari pluralisme hukum tersebut. Gordon Woodman mengajukan konsepnya:

“Legal pluralism in general may be defined as the state of affairs in

which a category of social relations is within the fields of operation of two or more bodies of legal norms. Alternatively, if it is viewed not from above in the process of mapping the legal universe but rather from the perspective of the individual subject of law, legal pluralism may be said to exist whenever a person is subject to more than one body of law” (Woodman dalam Kleinhans dan

(24)

Eksistensi dari pluralisme hukum akan nampak jika kita melihatnya dari perspektif individual yang menjadi subjek hukum, atau pluralisme hukum baru dikatakan ada bila terdapat seorang yang menjadi subjek lebih dari satu sistem hukum (Irianto, 2005:60). Franz von Benda-Beckmann adalah salah satu ahli yang dapat digolongkan ke dalam tahap perkembangan ini. Ia mengatakan bahwa tidak cukup untuk sekedar menunjukkan bahwa di lapangan sosial tertentu terdapat keanekaragaman hukum, namun yang lebih penting adalah apakah yang terkandung dalam keanekaragaman hukum tersebut, bagaimanakah sistem-sistem hukum tersebut saling berinteraksi (mempengaruhi) satu sama lain, dan bagaimanakah keberadaan dari sistem-sistem hukum yang beragam itu secara bersama-sama dalam suatu lapangan kajian tertentu (F. Benda-Beckmann dalam Irianto, 1993 :244).

 Fase ketiga adalah pluralisme hukum dalam perspektif global. Sudah sangat jelas sekali terlihat bahwasanya dengan adanya globalisasi, dan semakin diperjelas dengan munculnya MEA saat ini, membuktikan bahwa masyarakat berada pada borderless society. Dimana batas-batas pergerakan itu sudah tidak ada lagi baik itu dari segi ekonomi, politik maupun sosial. Batas antara hukum yang satu dan yang lain menjadi kabur, dan hal ini merupakan proses yang dinamis (K.Benda-Beckmann,dalam Irianto, 2011).

Efek globalisasi juga dapat sangat terlihat dalam bidang hukum. Telah terjadi pertukaran yang luar biasa dalam bidang hukum, di mana suatu hukum dari wilayah tertentu dapat menembus ke wilayah-wilayah lain yang tanpa batas. Hukum internasional dan transnasional dapat menembus ke wilayah

(25)

negara-negara manapun, bahkan wilayah lokal yang manapun di akar rumput. Atau sebaliknya, bukan hal yang mustahil bila hukum lokal diadopsi sebagian atau seluruhnya menjadi hukum internasional. Terjadi interaksi, Inter.- relasi, saling pengaruh, saling adopsi, tumpang tindih yang sangat rumit di antara hukum internasional, nasional, dan lokal (Irianto, 2011).

Globalisasi hukum tidak saja memunculkan persoalan-persoalan global, tetapi juga menyebabkan hukum internasional tidak hanya mengatur soal-soal kenegaraan saja, tetapi juga mengatur kerjasama non-kenegaraan yang berkaitan dengan intervensi humanitarian, promosi nilai-nilai demokrasi, “rule of law”, dan “transntional accountability” (Benda-Beckmann, dalam Irianto, 2011). Dengan demikian, ciri pluralisme hukum dalam perspektif global adalah memberi perhatian kepada terjadinya saling ketergantungan, adopsi, atau saling pengaruh (interdependensi, interfaces) antara berbagai sistem hukum. Interdependensi yang dimaksud terutama adalah antara hukum internasional, nasional, dan hukum lokal (Irianto, 2011).

Hukum dipandang terdiri atas komponen-komponen, bagian-bagian atau

cluster (K.Benda-Beckmann). Hendaknya melihat bahwa cluster, komponen atau

bagian-bagian dari hukum inilah yang saling bersinggungan, dan berinteraksi membentuk konfigurasi pluralisme hukum (dalam Irianto, 2005 : 62).

Pada tahun 1950 –an atau 1960-an, menurut Keebet von Benda Beckmann, banyak usaha-usaha untuk menunjukkan bahwa kebiasaan-kebiasaan lokal juga dapat dipandang sebagai hukum. Meskipun dasar legitimasinya berbeda dari hukum negara, tetapi tidak ada perbedaan yang mendasar antara hukum negara

(26)

dan hukm rakyat. Pada tahun 1978 Holleman mengatakan bahwa di wilayah urban di negara-negara berkembang, berkembang bentuk-bentuk hukum baru yang tidak dapat diberi label sebagai hukum negara, hukum adat, atau hukum agama, sehingga disebut sebagai hybrid law, dan banyak pengarang lain menyebutnya

unnamed law (Irianto, 2005 :63). Dengan demikian argumen yang mengatakan

bahwa lapangan pluralisme hukum terdiri dari sitem-sistem hukum yang dapat dibedakan batasnya, tidak laku lagi. Terlalu banyak fragmentasi, overlap dan ketidakjelasan. Batas antara hukum yang satu dan yang lain menjadi kabur, dan hal ini merupakan proses yang dinamis (K.Benda-Beckmann, dalam Irianto, 2011).

Secara konseptual, Sulistyowati Irianto memaparkan ada beberapa a pokok bahasan penting dalam pemikiran pluralisme hukum “mutakhir”. Yang pertama, hukum dipandang sangat memainkan peranan penting dalam globalisasi, karena hukum bersentuhan dengan domain sosial, politik, ekonomi. Sehingga dapat dipelajari bagaimana hubungan antara relasi kekuasaan dan hukum, dan bagaimana hukum menjadi kekuatan yang sangat besar dalam mendefinisikan kepentingan politik dan ekonomi dalam pergaulan antar kelompok dan bahkan antar bangsa. Hukum sangat berkuasa, karena mengkonstruksi segala sesuatu dalam kehidupan kita, menentukan siapa kita dalam relasi dengan orang dan kelompok lain, dan mengkategorikan perbuatan kita dalam kategori salah dan benar. Dan dapat dikatakan, bahwa hukum memiliki peranan yang sangat penting di keberhidupan manusia.

(27)

Yang kedua, adanya mobilitas aktor dan organisasi yang menjadi agent bagi lalu lintas bergeraknya hukum. Contohnya adalah para (buruh) migrant yang “membawa “ hukumnya sendiri ke negara tujuan, orang-orang yang sering berada di berbagai negara (pedagang, ekspatriat), pegawai negeri (para diplomat) NGO Internasional, usaha dagang, dan mereka yang dapat berhubungan dengan dunia luar karena fasilitas alat komunikasi. Aktor-aktor inilah yang membuat hukum bergerak. Merekalah aktor yang penting dalam menciptakan glocalizing process10 (Benda-Beckmann,dalam Irianto, 2011).

Yang ketiga, pemahaman globalisasi11 dalam konteks sejarah sangatlah penting. Globalisasi hukum sudah terjadi sejak dahulu, seiring dengan penjajahan dan perdagangan pada masa silam. Perlu juga melihat bahwa globalisasi hukum tidak hanya dapat dijumpai dalam ekspansi hukum Eropa, tetapi juga tersebarnya hukum Islam ke kawasan-kawasan Asia dan Afika sebelum dan sesudah masa kekuasaan kolonial Eropa. Di samping itu, sepanjang sejarah dapat dilihat bagaimana hukum internasional dan traktat juga menyebabkan hukum “bergerak”. Yang keempat, studi pluralisme hukum “baru” memperhatikan mata rantai interaksi yang menghubungkan aktor transnational, nasional dan lokal yang melakukan negosiasi dalam arena multi-sited, dan didasarkan pada relasi-relasi kekuasaan. Sangat penting untuk melihat bagaimana relasi kekuasaan itu

10

Glokalisasi adalah penyesuaian produk global dengan karakter lokal atau dengan kata lain berfikir global bertindak lokal. www.scribd.com/mobile/doc/65461597 diakses pada 03 Maret 2016.

11

(28)

menstrukturkan interaksi, dan bagaimana interaksi diproduksi dan dirubah oleh aktor-aktor tersebut (Benda-Beckmann, Irianto, 2011).

Pemaparan diatas menjelaskan pemahaman Irianto terhadap hubungan globalisasi dengan hukum, dimana peranan globalisasi sangat besar terhadap perkembangan politik,ekonomi, maupun kehidupan sosial masyarakat. Selanjutnyaa, Frriedman, disini akan menjelaskan keterpautan hukum dengan aspek-aspek kebudayaan lainnya, dengan mengungkapkan teori hukum Friedman (dalam Suryatni, 2013 :36) seperti berikut:

1. Hukum sebagai suatu sistem pada pokoknya mempunyai 3 elemen, yaitu

(a) struktur sistem hukum, (structure of legal system) yang terdiri dari lembaga pembuat undang-undang (legislatif), institusi pengadilan dengan strukturnya, lembaga kejaksaan dengan strukturnya, badan kepolisian negara, yang berfungsi sebagai aparat penegak hukum;

(b) substansi sistem hukum, (substance of legal system) yang berupa norma norma hukum, peraturan – peraturan hukum, termasuk pola - pola perilaku masyarakat yang berada di balik sistem hukum; dan

(c) budaya hukum masyarakat, (legal culture) seperti nilai - nilai, ide - ide, harapan – harapan dan kepercayaan – kepercayaan yang terwujud dalam perilaku masyarakat dalam mempersepsikan hukum.

2. Setiap masyarakat memiliki struktur dan substansi hukum sendiri. Yang menentukan apakah substansi dan struktur hukum tersebut ditaati atau sebaliknya juga dilanggar adalah sikap dan perilaku sosial masyarakatnya, dan karena itu untuk memahami apakah hukum itu menjadi efektif atau tidak sangat tergantung

(29)

pada kebiasaan - kebiasaan (customs), kultur (culture), tradisi - tradisi (traditions), dan norma - norma informal (informal norms) yang diciptakan dan dioperasionalkan dalam masyarakat yang bersangkutan.

Dari penjelasan Friedman diatas, tidak menutup kemungkinan adanya kemajemukan hukum. Eksistensi kemajemukan hukum dilihat dari individu yang menjadi subjek hukum tersebut atau pluralisme hukum baru dikatakan ada bila terdapat seorang yang menjadi subjek lebih dari satu sistem hukum (Irianto, 2005: 60).

Pendekatan prosesual adalah salah satu pendekatan yang dipakai para ahli dalam mengkaji permasalahan pluralisme hukum. Pada prinsipnya, pendekatan prosesual atau yang disebut Vayda sebagai anti-esensialisme adalah sebuah pendekatan yang dalam mengkaji suatu kebudayaan sangat memperlihatkan variasi yang melekat dalam kebudayaan tersebut. Variasi ini dilihat sebagai kenyataan yang mendasar, tidak hanya sekedar norma-norma yang terjadi secara kebetulan. Munculnya anti-esensialisme, yaitu terhadap penolakan Karl Popper yang menganggap esensialisme adalah apapun yang dianut bersama dan bersifat universal (kebudayaan, hukum mempunyai realitasnya sendiri) (Masinambow,2000:73).

Dalam pendekatan tersebut, anti-esensialisme berpendapat bahwa dalam pandangan individu, realita itu sangat beragam. Individu, meskipun merupakan bagian dari kelompok, tetapi dapat berpikir dan berperilaku secara berbeda. Baik dalam melihat suatu peristiwa tertentu, pengaruhnya peristiwa tersebut ke berbagai individu, mempunyai pengetahuan, kategori-kategori dan

(30)

persepsi-persepsi mengenai peristiwa. Keberagaman tersebut bisa terjadi antara individu dengan kelompok, individu dengan individu dalam kelompok, dan juga individu maupun kelompok dengan peneliti. Untuk itu, masalah pluralisme hukum dalam pandangan prosesual adalah setiap orang menanggapi suatu aturan hukum tertentu dengan cara yang berbeda, karena mempunyai pengetahuan, harapan-harapan dan kepentingan/tepatnya budaya hukum yang berbeda (Masinambow,2000:75).

I.3. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas, maka permasalahan yang menjadi fokus penelitian ini adalah mengenai hubungan-hubungan hukum dalam lapangan pekerjaan bangunan di Pematangsiantar. Bagaimana aturan-aturan informal itu hidup dalam interaksi ruang lingkup kerja bangunan dan mempengaruhi kehidupan mereka.

1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan peneliti melihat fenomena hubungan-hubungan hukum dalam lapangan pekerjaan bangunan di Pematangsiantar adalah untuk melihat aturan-aturan informal yang hidup dalam interaksi masyarakat khususnya dalam kasus kerja bangunan. Karena terkadang, aturan-aturan formal tidak bisa menjelaskan berbagai macam fenomena sosial di masyarakat dan hukum tertulis yang merupakan produk dari badan pembuat undang-undang yang bukan “sendirian” memonopoli pengaturan kehidupan warga masyarakat,(dalam hal ini kasus kerja bangunan) (Ihromi, 1993:196).

(31)

Manfaat nya adalah untuk memberikan sumbangsih pengetahuan kepada kalangan akademisi ataupun masyarakat umum bahwasanya ada aturan-aturan lain yang hidup di masyarakat di luar aturan-aturan formal yang mungkin tidak disadari oleh masyarakat. Dan juga mudah-mudahan sebagai penambah wawasan bagi masyarakat bahwa konsepsi hukum itu luas. Hukum bukan saja didefinisikan sebagai peraturan-peraturan tertulis yang berlaku di Indonesia, tetapi kebiasaan-kebiasaan yang menjadi ukuran pengontrol di dalam masyarakat sehingga tanpa sadar memunculkan yang namanya aturan-aturan informal. Bagian ini juga di definisikan sebagai hukum dalam kalangan Antropologi.

1.5. Metode penelitian

Metode penelitian adalah salah satu syarat yang harus dipenuhi sebagai bahan acuan sebelum berangkat ke lapangan. Metode adalah cara, dan penelitian adalah kegiatan mengumpulkan data. Jadi Metode penelitian adalah cara yang digunakan dalam mengumpulkan data. Jenis penelitian yang peneliti pakai adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus . Studi kasus di sini adalah salah satu jenis dari metode penelitian kualitatif. Dalam melihat fenomena di lapangan, pastinya kita melihat kasus-kasus yang terjadi. Kasus itu bisa berupa anak, pekerja sosial, atau satu ruangan kelas. Dalam melihat kasusnya, tentunya kita akan fokus pada satu kasus yang akan kita teliti. Selama kita membahas kasus berarti selama itu pula kita telah melakukan studi kasus (Stake, 2000). Stake mengatakan bahwa kasus adalah sebuah sistem yang padu. Bagian-bagian tidak harus beroperasi dengan baik,tujuan bisa jadi irasional, namun itu tetaplah sebuah

(32)

sistem. Studi kasus bisa berarti “proses mengkaji kasus” sekaligus “hasil dari proses pengkajian” tersebut (Stake, 2000). Walaupun penelitian ini menggunakan pendekatan studi kasus, tetapi tetap memakai ciri khas metode etnografi sebagai kacamata peneliti di lapangan. Inti dari etnografi adalah upaya untuk memperhatikan makna-makna tindakan yang menimpa orang yang ingin kita pahami. Terkadang makna tersebut langsung tereskpresikan dalam bahasa, yang secara tidak langsung melalui kata-kata dan perbuatan (Spradley,2006 :5).

Studi kasus kualitatif memiliki ciri bahwa sang peneliti menghabiskan waktu secukupnya di lapangan, dan secara langsung terjun dan bersentuhan dengan berbagai aktivitas dan operasi kasus yang diteliti, sambil merefleksikan dan merevisi makna-makna yang bermunculan.

Dalam melihat fenomena kasus, baik itu kumpulan kasus atau kasus individual. Kita tak dapat memahami suatu kasus tanpa menyelami kasus-kasus lain. Kita dapat mengulas lebih dari satu studi kasus, namun, tetap terpusat pada penelitian terhadap sebuah kasus tunggal. Ini lah yang dinamakan dengan studi kasus kolektif, dimana peneli menentukan pilihan, kasus mana yang akan ia teliti. Sama seperti fokus penelitian saya, mengenai praktek kerja bangunan pada wilayah sub urban di Pematangsiantar. Kenapa saya memilih praktek kerja bangunan di Pematangsiantar bukan ditempat lain?.Karena peneliti melihat bahwa Pematangsiantar merupakan salah satu kota di Sumatera Utara. Wilayah ini mengalami pemekaran pada tahun 2007 yang memunculkan daerah-daerah baru yang termasuk dalam kota Pematangsiantar. Seiring berjalannya waktu, wilayah ini mulai berkembang dari yang dulunya pedesaan, kini berkembang dengan

(33)

bertambahnya pemukiman dan aktivitas penduduk, salah satu nya di Kelurahan Bah Kapul tempat saya penelitian. Dan fakta ini mendukung untuk para pekerja bangunan melancarkan rezekinya karena banyaknya bangunan-bangunan baru yang terkhususnya mengenai pembangunan rumah kelas menengah ke bawah yang didirkan di wilayah tersebut.

Dengan menggunakan pendekatan studi kasus, kita juga akan dapat mengetahui kenyataan-kenyataan hukum yang berlaku sebenarnya, akan diketahui apakah norma hukum ideal masih berlaku, sudah menyimpang, sudah berubah, atau sudah berganti dengan yang baru (Hadikusuma, 2006:36).

I.5.1. Teknik Penelitian

I.5.1.1. Teknik Observasi Partisipatif

Teknik observasi partisipatif adalah teknik penelitian lapangan yang khas dalam penelitian antropologi. Pada bagian ini pengetahuan dan praktek ilmu antropologi peneliti di uji karena antropologi adalah salah satu ilmu sosial yang fokusnya pada pemahaman akan individu atau masyarakat di lapangan sosial. Dari definisi tersebut, terggambarkan bahwa seorang Antropolog terbiasa untuk berinteraksi dengan masyarakat. Dalam teknik observasi partisipatif ini peneliti akan ikut berpartisipasi atau terjun langsung dalam aktivitas subjek penelitiannya. Bentuk interaksi dan komunikasi antara peneliti dengan subjek penelitian akan menentukan kesempurnaan data yang akan dikumpulkan oleh peneliti.

Dimana dalam teknik observasi partisipatif ini, hal penting yang perlu dilakukan oleh peneliti adalah dengan menjalin rapport yang baik dengan

(34)

informan, menggunakan sudut pandang emic view dalam melihat fenomena sosial yang terjadi, dan tidak lupa untuk membuat fieldnote mengenai kejadian-kejadian sehari-hari yang dialami ataupun dilakukan. Menjalin rapport adalah suatu cara dalam mendekatkan diri dengan masyarakat yang diteliti sehingga dapat diterima dan menyesuaikan diri, emic view adalah suatu sudut pandang yang dipakai oleh peneliti dengan menggunakan sudut pandang dari masyarakat yang diteliti. Dalam hal ini, peneliti tidak boleh egois dengan menggunakan sudut pandangnya sendiri. Dan fieldnote adalah catatan-catatan di lapangan yang beguna sebagai rujukan dalam pengumpulan data.

I.5.1.2. Teknik Wawancara

Metode wawancara digunakan guna mendapatkan informasi dari para informan. Informan-informan yang terkait dalam penelitian ini adalah lingkungan pada praktek lapangan kerja bangunan, baik itu para pekerja bangunan, pemborong/pemilik jasa konstruksi, dan penikmat jasa dan informan lainnya yang terkait dengan pembentukan hukum di lingkungan sektor konstruksi. Metode wawancara memberi keleluasaan pada peneliti untuk bertanya tentang apa yang belum dipahami terkait penelitian yang sedang dilakukan. Metode ini membantu untuk mendekatkan diri secara emosional dengan informan.

Teknik wawancara yang peneliti pakai adalah wawancara mendalam (depth interview). Teknik ini menjadi ciri khas dalam penelitian kualitatif. Karena dengan melangsungkan wawancara yang mendalam dengan informan, kita akan mendapatkan informasi dan pengetahuan yang sangat banyak mengenai sesuatu

(35)

hal yang belum kita pahami. Untuk itu lah dikatakan bahwa dalam antropologi, masyarakat itu adalah subjek dari penelitian, bukan objek dari penelitian. Karena dari masyarakatlah kita belajar untuk memahami apa maksud dibalik pemikiran dan tindakan mereka.

1.5.2. Analisi Data

Analisis data merupakan suatu proses pengaturan data yang diorganisasikan dalam suatu bentuk atau kategori (Moleong dalam Anita dkk, 2014). Dalam proses pengumpulan data, ada dua sumber data yang penulis gunakan sebagai bahan rujukan dalam proses pengerjaan skripsi ini.

1. Data Primer

Yaitu data yang penulis dapatkan dalam proses penelitian di lapangan, yang menjadi data penelitian.

2. Data Sekunder

Yaitu data-data yang penulis dapatkan melalui bantuan dari sumber lain yang dapat menjadi sumber informasi, penambah bacaan dan wawasan penulis, yaitu melalui referensi-referensi tertulis yang berhubungan dengan pemasalahan kajian yang penulis teliti. Baik itu melalui buku, jurnal, media elektronik, dokumen, lembaga-lembaga pendukung, dan sebagainya.

1.6. Pengalaman Penelitian

Selama penelitian di lapangan hampir 2 bulan penuh saya tinggal di rumah orangtua saya yang kebetulan berada di Pematangsiantar juga. Kedilemaan-kedilemaan selama di lapangan pasti saya dapatkan. Yang pertama adalah

(36)

informan kunci saya, dimana ia memberikan cukup banyak informasi mengenai pekerjaan bangunan, tetapi pada saat itu ia tidak ada proyek pengerjaan bangunan sehingga saya harus mencari informan-informan yang lainnya. Kedilemaan selanjutnya yaitu mengenai pengaturan waktu untuk bisa mewawancarai pekerja dengan intensif, mengingat pekerjaan mereka adaah pekerjaan buruh kasar yang tidak mungkin di ganggu pada saat mereka bekerja. Awalnya saya hanya datang di saat jam-jam istirahat mereka. Perjalanan waktu sudah saya lalui semuanya. Dari pagi, siang, sore hingga malam saya manfaatkan untuk bisa menjalin hubungan terus dengan informan.

Kedilemaan saya selanjutnya yaitu pembimbing mengharuskan saya untuk mengikuti tahapan proses pengerjaan bangunan atau paling tidak paham mengenai pekerjaan-pekerjaan yang mereka lakukan. Sejak saat itu saya minta izin kepada informan saya (pekerja bangunan) agar saya diizinkan untuk ikut bekerja. Karena untuk melihat aturan-aturan informal dalam hubungan-hubungan dalam dunia pertukangan, kita tidak cukup dengan melakukan wawancara yang mendalam saja. Ikut terjun dengan melakukan teknik observasi partisipasi dan melebur dengan mereka akhirnya sampai juga lah saya pada tahap penyelesaian pengerjaan skripsi saya ini.

Di lapangan selain saya meneliti tentang hubungan antar sesama pekerja, pemborong, dan klien, saya juga belajar tentang alat-alat yang mereka pakai bekerja, teknis pengerjaan sebuah bangunan, yang Alhamdulillah mereka membantu saya dengan sangat baik sekali sehingga saya paham. Belajar dari lapangan saya menyadari bahwa ilmu Antropologi sangat dalam dan sangat luas

(37)

kajiannya. Untuk melihat suatu hal saja, kita harus melihatnya secara holistik, yang membuat saya untuk terus mencari tahu dan tahu dan terus belajar.

Referensi

Dokumen terkait

Transformasi teritori hunian sekitar kawasan industri Pulogadung terwujud dalam perubahan luas teritori, jumlah ruangan penyusun teritori, dan jenis teritori

Namun dalam usaha pelesetariannya, sanggar Rengkak Katineung mendapat banyak cobaan sehingga menurutnya untuk melakukan pelestarian budaya kesenian ini

Instalasi Pengolahan Air Limbah Bojongsoang mulai beroperasi Pada tahun 1992, dengan Kolam Stabilisasi Instalasi ini mempunyai Luas Area 85 Ha , terletak

53 Khalifah sebagai pimpinan tertinggi suatu negara berhak menetapkan aturan hukum atau qanun yang tidak diatur secara tegas. dalam al-Qur’an

Pada Tahun 1953 sampai 1972 dukungan dari kelas pekerja dan orang- orang yang tidak terlalu religious stabil untuk partai sosial demokrasi di Jerman Barat.. Jadi pada saat

PENGARUH SCRAMBLE GAME TERHADAP KEMAMPUAN PENYUSUNAN STRUKTUR KALIMAT SEDERHANA ANAK TUNARUNGU KELAS VIII SMPLB DI SLBN B PEMBINA SUMEDAN.. Universitas Pendidikan Indonesia |

Judul Skripsi : Kajian Potensi Industri Kuliner Dalam Membentuk Lingkungan Kreatif (Studi Kasus : Kawasan Jalan Mojopahit Kecamatan Medan Petisah).. Nama Mahasiswa :

Berdasarkan ruang lingkup pekerjaan, asumsi-asumsi, data dan informasi yang diperoleh dari manajemen Perseroan yang digunakan dalam penyusunan laporan ini, penelaahan atas