• Tidak ada hasil yang ditemukan

Surrogate Mother (Ibu Titipan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Surrogate Mother (Ibu Titipan)"

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)

Surrogate Mother

(Ibu Titipan)

Memiliki anak adalah dambaan bagi setiap pasangan suami isteri, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa ada keadaan dimana seorang isteri tidak dapat mengandung karena adanya kelainan pada rahim sang isteri. Teknologi kedokteran telah menemukan program bayi tabung yang dalam perkembangannya dapat dilakukan dengan

menggunakan surrogate mother.Surrogate mother adalah seorang wanita yang mengadakan perjanjian (gestational agreement) dengan pasangan suami isteri yang mana dalam

perjanjian tersebut si wanita bersedia mengandung benih dari pasangan suami isteri infertil tersebut dengan suatu imbalan tertentu.

Di Indonesia, peraturan mengenai bayi tabung diatur secara umum dalam pasal 16 UU No. 23 Tahun 1992 Tentang kesehatan dan Keputusan Menteri Kesehatan No. 72 / Menkes / Per / II / 1999 tentang Penyelenggaraan teknologi Reproduksi Buatan. Dari kedua peraturan tersebut dengan jelas dikatakan bahwa praktek surrogacy dilarang pelaksanaannya di Indonesia, hal ini dipertegas dengan

adanya sangsi pidana yang dapat dikenakan bagi yang melakukan (pasal 82 UU No.23 Tahun 1992 tentang Kesehatan). Akan tetapi jika si pasangan suami isteri melakukan praktek surrogacy di luar negeri yang mengizinkan praktek tersebut dan kemudian anak yang lahir dari praktek surrogacy itu dibawa ke Indonesia maka akan

menimbulkan permasalahan hokum mengenai status anak tersebut. UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak mengatur mengenai status anak yang lahir dari praktek surrogacy, dan tidak ada peraturan yang dapat

mengakomodasi apabila terjadi konflik, hal ini memang belum terjadi di Indonesia tetapi bukan berarti Indonesia dapat menutup mata atas permasalahan ini, karena permasalahan praktek surrogacy dilarang di Indonesia.

1. SURROGATE MOTHER DITINJAU DARI SEGI FILOSOFI Menurut Ensiklopedia

Surrogate mother : a woman who agrees, usually by contract and for a fee, to bear a child for a couple who are childless because the wife is infertile or physically incapable of carrying a developing fetus. Often the surrogate mother is the biological mother of the child, conceiving it by means of artificial insemination with sperm from the husband. In gestational surrogacy, the wife is fertile but incapable of carrying a growing fetus; the child is conceived by in vitro fertilization using the wife’s eggs and her husband’s sperm, and the resulting embryo is implanted in the surrogate mother’suterus.

Pelayanan terhadap bayi tabung dalam dunia kedokteran dikenal dengan istilah fertilisasi-in-vitro yang memiliki pengertian pembuahan sel telur oleh sel sperma di dalam tabung petri yang dilakukan oleh petugas medis.

(2)

vagina wanita, pertama kali berhasil dipraktekkan pada tahun 1970.

Pembuahan in-vitro (In-Vitro Fertilization) pertama kali dilakukan oleh 2 dokter asal Inggris Patrick C. Steptoe dan Robert G. Edwards pada sekitar tahun 1970-an. Dan bayi tabung pertama yang lahir di dunia adalah Louise Brown pada tahun 1978. Pada awalnya teknologi ini ditentang oleh kalangan kedokteran dan agama. Kedua dokter itu dianggap mengambil alih peran Tuhan dalam menciptakan manusia (playing God). Tapi sekarang, teknologi ini telah banyak menolong pasangan suami istri yang ingin mempunyai anak.

Tingkat keberhasilan teknologi pembuahan in-vitro ini memang tidak terlalu besar, biasanya hanya berkisar 20%. Itulah yang membuat sel telur yang diambil tidak hanya satu (biasanya sekitar 6-10), dan yang dikembalikan ke rahim setelah dibuahi juga lebih dari satu (biasanya sekitar 2-4).

2. SURROGATE MOTHER DITINJAU DARI SEGI FILOSOFI KEBIDANAN

Awal berkembangnya inseminasi buatan bermula dari ditemukannya teknik pengawetan sperma. Sperma bisa bertahan hidup lama bila dibungkus dalam gliserol yang dibenamkan dalam cairan nitrogen pada temperatur -321 derajat Fahrenheit.

Pada mulanya program pelayanan ini bertujuan untuk menolong pasangan suami istri yang tidak mungkin memiliki keturunan secara alamiah disebabkan tuba falopii istrinya mengalami kerusakan yang permanen. Namun kemudian mulai ada perkembangan yang mana kemudian program ini diterapkan pula pada pasutri yang memiliki penyakit atau kelainan lainnya yang menyebabkan tidak dimungkin untuk memperoleh keturunan.

Dalam melakukan fertilisasi-in-virto transfer embrio dilakukan dalam tujuh tingkatan dasar yang dilakukan oleh petugas medis, yaitu :

a. Istri diberi obat pemicu ovulasi yang berfungsi untuk merangsang indung telur mengeluarkan sel telur yang diberikan setiap hari sejak permulaan haid dan baru dihentikan setelah sel-sel telurnya matang.

b. Pematangan sel-sel telur dipantau setiap hari melalui pemeriksaan darah Istri dan pemeriksaan ultrasonografi. c. Pengambilan sel telur dilakukan dengan penusukan jarum (pungsi) melalui vagina dengan tuntunan ultrasonografi. d. Setelah dikeluarkan beberapa sel telur, kemudian sel telur tersebut dibuahi dengan sel sperma suaminya yang telah diproses sebelumnya dan dipilih yang terbaik.

e. Sel telur dan sperma yang sudah dipertemukan di dalam tabung petri kemudian dibiakkan di dalam lemari pengeram. Pemantauan dilakukan 18-20 jam kemudian dan keesokan harinya diharapkan sudah terjadi pembuahan

(3)

sel.

f. Embrio yang berada dalam tingkat pembelahan sel ini. Kemudian diimplantasikan ke dalam rahim istri. Pada periode ini tinggal menunggu terjadinya kehamilan.

g. Jika dalam waktu 14 hari setelah embrio diimplantasikan tidak terjadi menstruasi, dilakukan pemeriksaan air kemih untuk kehamilan, dan seminggu kemudian dipastikan dengan pemeriksaan ultrasonografi.

3. SURROGATE MOTHER DITINJAU DARI SEGI ETIKA

Perkembangan ilmu dan teknologi merupakan proses yang seakan-akan berlangsung secara otomatis, tak tergantung dari kemauan manusia. Fungsinya pada dasarnya bersifat instrumental, artinya menyediakan alat-alat bagi manusia. Teknik mula-mula dianggap memperpanjang fungsi-fungsi tubuh manusia, dari kaki sampai otak.Tapi apa yang dirancang sebagai sarana yang memungkinkan manusia untuk memperluas penguasaannya terhadap dunia ternyata menjadi sukar untuk dikuasai sendiri, malah kadang-kadang tidak bisa dikuasai.

Gambaran tentang situasi ilmu dan teknologi ini bagi banyak orang barangkali terlalu pesimistis.Tapi bagi orang lain setidak-tidaknya ada inti kebenaran didalamnya. Kesulitan yang dialami etika untuk memasuki kawasan ilmiah dan teknologis bisa memperkuat lagi kesan itu. Peneliti Amerika, Thomas Grissom pada awal abad 20, hati nuraninya mendesak untuk berhenti bekerja pada proyek pengembangan senjata nuklir, tapi insaf juga bahwa tempatnya akan diisi oleh orang lain karena bagaimanapun juga proyek itu berjalan terus. Banyak orang mendapat kesan bahwa proses perkembangan ilmu dan teknologi seolah-olah kebal terhadap tuntutan etis. Dan memang benar,

memperhatikan segi-segi etis tidak menjadi tugas ilmu pengetahuan sendiri, melainkan tugas manusia dibalik ilmu dan teknologi. Jika kemampuan manusia bertambah besar berkat kemajuan ilmiah dan teknologis, maka

kebijaksanaanya dalam menjalankan kemampuan itu harus bertambah pula.”Apakah semua yang bisa dikerjakan ilmu dan teknologi, pada kenyataannya boleh dikerjakan juga? Tidak merupakan pertanyaan yang dapat dijawab oleh ilmu dan teknologi itu sendiri.

Batas bagi yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan ilmu dan teknologi harus ditentukan berdasarkan kesadaran moral manusia. Akan tetapi secara konkret siapa yang akan mengambil keputusan? Organisasi profesi ilmuwan teknisi yang harus menentukan batas-batas moral itu, atau negara, atau masyarakat internasional?

Dalam praktek kita lihat bahwa masalah-masalah etik yang ditimbulkan oleh ilmu dan teknologi ditangani dengan cara yang berbeda-beda. Masalah-masalah dibidang ilmu-ilmu biomedis biasanya ditangani oleh setiap negara, setelah diminta advis dari suatu komisi ahli (fertilisasi in vitro dan reproduksi artifisial pada umumnya, transplantasi organ tubuh, eksperimen dengan manusia dan lain-lain). Biarpun perhatian untuk segi etis perkembangan ilmu dan

(4)

teknologi memang ada, namun usaha pemikiran etis jauh dari usaha untuk memacu dan teknologi. Jika kita lihat betapa banyak dana, tenaga dan perhatian dikerahkan untuk menguasai daya-daya alam melalui ilmu dan teknologi, perlu kita akui bahwa hanya sedikit sekali dilakukan untuk merefleksikan serta mengembangkan kualitas etis dari usaha-usaha raksasa itu. Situasi di universitas-universitas dan institut-institut penelitian lainnya mencerminkan keadaan ini : ilmu dan teknologi digalakkan dengan cara mengagumkan, tapi sedikit sekali perhatian diberikan kepada studi mengenai masalah-masalah etisnya.

Bukan saja sedikit sekali perhatian untuk etika dalam masyarakat, melainkan juga perhatian itu hampir selalu terlambat datang. Pemikiran etis hanya menyusul perkembangan ilmiah-teknologis. Baru setelah problem-problem etis timbul, etika sebagai ilmu mulai diikutsertakan. Refleksi etis tentang persenjataan nuklir baru dimulai, setelah bom atom pertama diledakkan. Refleksi etis tentang reproduksi artifisial baru dikembangkan, sesudah bayi tabung pertama telah lahir dan eksperimen-eksperimen sudah lama diadakan. Perkembangan ilmiah teknologis selalu mendahului pemikiran etis. Yang ideal adalah bahwa pemikiran etis mendahului dan mengarahkan perkembangan ilmiah teknologis, tapi cita-cita itu rasanya masih mustahil untuk diwujudkan. Namun demikian, perlu dicatat bahwa disini ada beberapa perkembangan yang menggembirakan dan membesarkan hati. Salah satu diantaranya adalah munculnya komisi-komisi etika. Banyak negara modern sudah menjadi kebiasaan luas bahwa rumah sakit-rumah sakit dan proyek-proyek penelitian biomedis mempunyai komisi etika yang mendampingi dan mengawasi rumah sakit atau proyek penelitian itu dari sudut etis. Komisi etika seperti itu bisa menjadi semacam “hati nurani”, agar rumah sakit memberi pelayanan yang sungguh-sungguh manusiawi. Komisi dapat dikonsultasi jika direksi dan staf etis mengalami keraguan etis dalam menjalankan tugasnya, dan komisi sendiri dapat mengambil inisiatif juga, jika menurut pendapatnya telah terjadi pristiwa yang dari segi moral menimbulkan tanda tanya. Komisi etika untuk setiap penelitian ilmiah yang elibatkan manusia sudah menjadi rutin di banyak negara.

Komisi itu harus menyetujui rancangan penelitian dan akan mendampingi seluruh penelitian selama proyek berlangsung. Perhatian untuk segi etis penelitian menjadi suatu sektor penting diantara masalah-masalah etis yang disebabkan ilmu dan teknologi. Setelah lebih dulu dibuat eksperimen dengan binatang percobaan atau ditempuh cara eksperimentasi lain lagi, mau tidak mau timbul saatnya bahwa tidak bisa dihindari lagi mengadakan percobaan langsung kepada manusia untuk mencobai obat, prosedur medis baru, atau sebagainya.

Percobaan-percobaan ini selalu harus dilaksanakan demikian rupa sehingga martabat manusia tetap dihormati. Dalam hal ini kekejaman-kekejaman yang dilakukan dokter-dokter nasional-sosialis di Jerman waktu rezim Hitler merupakan peringatan tetap bagi seluruh umat manusia. Tidak pernah bisa diterima kemajuan ilmiah yang diperoleh dengan memperkosa martabat manusia.

(5)

Suatu gejala lain yang menggembirakan adalah keikutsertaan etika dalam penelitian genetika tentang gen-gen manusia. Di Amerika Serikat pada tanggal 1 Oktober 1990 secara resmi dimulai proyek penelitian raksasa yang bertujuan mempelajari bentuk dan isi gen-gen manusia. Proyek yang diberi nama resmi The Human Genom Project. Project ini akan memetakan dan menentukan runtunan seluruh DNA genom manusia. Melalui proyek besar ini lokasi yang tepat dan runtunan nukleotida yang menyusun sekitar 3 biliyun DNA genom manusia akan diketahui dan dikataligkan. Telah didirikan suatu institut khusus, yaitu National Center for Human Genome Research, yang akan melaksanakan penelitian ini dalam kerjasama dengan organisasi-organisasi lain dalam dan luar negeri. Diperkirakan penelitian ini dapat diselesaikan dalam jangka waktu 15 tahun. The Human Genome Project ini telah dinilai proyek ilmiah yang tidak kalah ambisiusnya dengan proyek Apollo dalam tahun 1960-an yang bertujuan membawa manusia ke bulan.Tidak mustahil, informasi yang diperoleh dari penelitian ini menyebabkan revolusi baru dibidang ilmu-ilmu biomedis dimasa datang. Akan tetapi, penelitian genetis yang kompleks ini mempunyai banyak implikasi medis yang berat. Bagaimana informasi yang diperoleh disini akan dimanfaatkan? Penelitian seperti ini selalu dibayangi

kekhawatiran bahwa manusia tergoda untuk memanipulasi gen-gennya sendiri dan akhirnya berusaha menciptakan keturunan yang serba super. Tapi masih ada banyak penyalahgunaan lain lagi yang dimungkinkan dengan penelitian canggih ini. Tidak mudah disangkal, dengan memulai penelitian genetis seperti itu manusia memikul tanggungjawab moral itu diakui sepenuhnya. Dari permulaannya seluruh proyek ini didampingi oleh Ethical, Legal and Social Implications Program, suatu program yang menyoroti implikasi moral, yuridis dan sosial dari proyek penelitian ini (yang konon diberi jatah 3 % dari seluruh budgetnya). Dengan demikian mungkin untuk pertama kali dalam sejarah suatu proyek ilmiah besar menyoroti juga aspek-aspek non ilmiah, khususnya aspek-aspek etis. Hal itu merupakan tanda yang menggembirakan. Kita hanya dapat mengharapkan bahwa dengan itu kesulitan-kesulitan etis dalam wilayah penelitian yang rawan ini dapat diatasi dengan memuaskan.

4. SURROGATE MOTHER DITINJAU DARI SEGI AGAMA 4.1. Islam

Ada Qadha, ada Qodar, diantaranya ada ihktiar. Qodha adalah ketetapan Allah yang masih menjadi rahasiaNya, sementara Qodar adalah ketetapan Allah yang telah menjadi fakta kejadian. Ini bagian dari rukun iman.

Salah satu yang sering menjadi kegundahan manusia terkait dengan qodha dan qodar adalah seputar jodoh, anak dan rejeki. Khususnya seputar anak. Siapa yang tidak berkehendak dirinya diberi keturunan anak-anak yang insya allah akan menjadi penerus generasinya.Namun apa daya ada qadha dan qodar yang harus diterimanya dengan keihklasan, yaitu tidak dikaruniai keturunan. Adakah sebuah ikhtiar untuk itu, maka sebagaimana nasehat seorang ulama kepada diri saya terkait dengan masalah keyakinan, beliau berkata: ‘ kalau kita sakit, yakin kepada obat

(6)

adalah syirik, meninggalkan obat adalah haram, maka wajib kita berobat namun harus dilakukan dengan cara sunnah.

Maka bagi yang belum dikarunai keturunan, ikhtiar perlu juga dilakukan, namun bila berhasil janganlah yakin kepada hasil ikhtiar, ini bisa berakibat syirik, jangan pula sampai tidak berikhtiar karena selama masih ada usaha terletak harapan, dan seandainyapun melakukan berbagai macam ikhtiar, maka tetap gunakan prinsip-prinsip syariat dan sunnah agar kita tetap dalam jalan yang diridhoiNya.

Salah satu bentuk ikhtiar adalah upaya lewat bantuan teknologi yang kemudian dikenal dengan bayi tabung. Masalah ini termasuk ke dalam bab fiqih kontemporer, sebuah kajian fiqih yang sedikit rumit, lantaran belum pernah terjadi di masa lampau. Sehingga para ulama di masa lalu tidak pernah menulisannya. Untuk itu diperlukan ijtihad yang bersifat komprehensif, aktual serta tingkat kefaqihan yang mumpuni untuk menjawabnya.Berikut ini adalah petikan sejumlah pendapat seputar bayi tabung.

Menurut Fatwa MUI (hasil komisi fatwa tanggal 13 Juni 1979), Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia memfatwakan sebagai berikut :

a. Bayi tabung dengan sperma clan ovum dari pasangan suami isteri yang sah hukumnya mubah (boleh), sebab hak ini termasuk ikhiar berdasarkan kaidahkaidah agama.

b. Bayi tabung dari pasangan suami-isteri dengan titipan rahim isteri yang lain (misalnya dari isteri kedua dititipkan pada isteri pertama) hukumnya haram berdasarkan kaidah Sadd az-zari’ah, sebab hal ini akan menimbulkan masalah yang rumit dalam kaitannya dengan masalah warisan (khususnya antara anak yang dilahirkan dengan ibu yang mempunyai ovum dan ibu yang mengandung kemudian melahirkannya, dan sebaliknya).

c. Bayi tabung dari sperma yang dibekukan dari suami yang telah meninggal dunia hukumnya haram berdasarkan kaidah Sadd a z-zari’ah, sebab hal ini akan menimbulkan masala~ yang pelik, baik dalam kaitannya dengan penentuan nasab maupun dalam kaitannya dengan hal kewarisan.

d. Bayi tabung yang sperma dan ovumnya diambil dari selain pasangna suami isteri yang sah hukumnya haram, karena itu statusnya sama dengan hubungan kelamin antar lawan jenis di luar pernikahan yang sah (zina), dan berdasarkan kaidah Sadd az-zari’ah, yaitu untuk menghindarkan terjadinya perbuatan zina sesungguhnya.

Menurut salah satu putusan Fatwa Ulama Saudi Arabia, disebutkan bahwa Alim ulama di lembaga riset pembahasan ilmiyah, fatwa, dakwah dan bimbingan Islam di Kerajaan Saudi Arabia telah mengeluarkan fatwa pelarangan praktek bayi tabung. Karena praktek tersebut akan menyebabkan terbukanya aurat, tersentuhnya kemaluan dan terjamahnya rahim. Kendatipun mani yang disuntikkan ke rahim wanita tersebut adalah mani suaminya.

(7)

Dia menjadikan mandul siapa yang Dia dikehendaki. (QS. 42:50)

Namun demikian ada fatwa lain yang dikeluarkan oleh Majelis Mujamma’ Fiqih Islami. Majelis ini menetapkan sebagai berikut:

Pertama: Lima perkara berikut ini diharamkan dan terlarang sama sekali, karena dapat mengakibatkan percampuran nasab dan hilangnya hak orang tua serta perkara-perkara lain yang dikecam oleh syariat.

a. Sperma yang diambil dari pihak lelaki disemaikan kepada indung telur pihak wanita yang bukan istrinya kemudian dicangkokkan ke dalam rahim istrinya.

b. Indung telur yang diambil dari pihak wanita disemaikan kepada sperma yang diambil dari pihak lelaki yang bukan suaminya kemudian dicangkokkan ke dalam rahim si wanita.

c. Sperma dan indung telur yang disemaikan tersebut diambil dari sepasang suami istri, kemudian dicangkokkan ke dalam rahim wanita lain yang bersedia mengandung persemaian benih mereka tersebut.

d. Sperma dan indung telur yang disemaikan berasal dari lelaki dan wanita lain kemudian dicangkokkan ke dalam rahim si istri.

e. Sperma dan indung telur yang disemaikan tersebut diambil dari seorang suami dan istrinya, kemudian dicangkokkan ke dalam rahim istrinya yang lain.

Kedua: Dua perkara berikut ini boleh dilakukan jika memang sangat dibutuhkan dan setelah memastikan keamanan dan keselamatan yang harus dilakukan, sebagai berikut:

a. Sperma tersebut diambil dari si suami dan indung telurnya diambil dari istrinya kemudian disemaikan dan dicangkokkan ke dalam rahim istrinya.

b. Sperma si suami diambil kemudian di suntikkan ke dalam saluran rahim istrinya atau langsung ke dalam rahim istrinya untuk disemaikan.

Secara umum beberapa perkara yang sangat perlu diperhatikan dalam masalah ini adalah aurat vital si wanita harus tetap terjaga (tertutup) demikian juga kemungkinan kegagalan proses operasi persemaian sperma dan indung telur itu sangat perlu diperhitungkan. Demikian pula perlu diantisipasi kemungkinan terjadinya pelanggaran amanah dari orang-orang yang lemah iman di rumah-rumah sakit yang dengan sengaja mengganti sperma ataupun indung telur supaya operasi tersebut berhasil demi mendapatkan materi dunia. Oleh sebab itu dalam melakukannya perlu kewaspadaan yang ekstra ketat.

Sementara itu Syaikh Nashiruddin Al-Albani sebagai tokoh ahli sunnah wal jamaah berpendapat lain, beliau berpendapat sebagai berikut : “Tidak boleh, karena proses pengambilan mani (sel telur wanita) tersebut

(8)

berkonsekuensi minimalnya sang dokter (laki-laki) akan melihat aurat wanita lain. Dan melihat aurat wanita lain (bukan istri sendiri) hukumnya adalah haram menurut pandangan syariat, sehingga tidak boleh dilakukan kecuali dalam keadaan darurat.

Sementara tidak terbayangkan sama sekali keadaan darurat yang mengharuskan seorang lelaki memindahkan maninya ke istrinya dengan cara yang haram ini. Bahkan terkadang berkonsekuensi sang dokter melihat aurat suami wanita tersebut, dan ini pun tidak boleh.

Lebih dari itu, menempuh cara ini merupakan sikap taklid terhadap peradaban orang-orang Barat (kaum kuffar) dalam perkara yang mereka minati atau (sebaliknya) mereka hindari. Seseorang yang menempuh cara ini untuk mendapatkan keturunan dikarenakan tidak diberi rizki oleh Allah berupa anak dengan cara alami (yang dianjurkan syariat), berarti dia tidak ridha dengan takdir dan ketetapan Allah Subhanahu wa Ta’ala atasnya. Jikalau saja Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan dan membimbing kaum muslimin untuk mencari rizki berupa usaha dan harta dengan cara yang halal, maka lebih-lebih lagi tentunya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan dan membimbing mereka untuk menempuh cara yang sesuai dengan syariat (halal) dalam mendapatkan anak.” (Fatawa Al-Mar`ah Al-Muslimah hal. 288).

Ulama di Malaysia pun yang tergabung dalam Jabatan Kemajuan Islam Malaysia memberi fatwa tentang bayi tabung yang menghasilkan keputusan sebagai berikut:

Keputusan 1

a) Bayi Tabung Uji dari benih suami isteri yang dicantumkan secara “terhormat” adalah sah di sisi Islam. Sebaliknya benih yang diambil dari bukan suami isteri yang sah bayi tabung itu adalah tidak sah.

b) Bayi yang dilahirkan melalui tabung uji itu boleh menjadi wali dan berhak menerima harta pesaka dari keluarga yang berhak.

c) Sekiranya benih dari suami atau isteri yang dikeluarkan dengan cara yang tidak bertentangan dengan Islam, maka ianya dikira sebagai cara terhormat.

Keputusan 2

a) Bayi Tabung Uji dari benih suami isteri yang dicantumkan secara “terhormat” adalah sah di sisi Islam. Sebaliknya benih yang diambil dari bukan suami isteri yang sah bayi tabung itu adalah tidak sah.

b) Bayi yang dilahirkan melalui tabung uji itu boleh menjadi wali dan berhak menerima harta pesaka dari keluarga yang berhak.

(9)

ianya dikira sebagai cara terhormat.

Pendapat lain pertama mengatakan hukumnya boleh (ja’iz) menurut syara’. Sebab upaya tersebut adalah upaya untuk mewujudkan apa yang disunnahkan oleh Islam, yaitu kelahiran dan berba¬nyak anak, yang merupakan salah satu tujuan dasar dari suatu pernikahan. Diriwayatkan dari Anas RA bahwa Nabi SAW telah bersabda:

“Menikahlah kalian dengan perempuan yang penyayang dan subur (peranak), sebab sesungguhnya aku akan berbangga di hadapan para nabi dengan banyaknya jumlah kalian pada Hari Kiamat nanti.” (HR. Ahmad) Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar RA bahwa Rasulullah saw telah bersabda :

“Menikahlah kalian dengan wanita-wanita yang subur (peranak) karena sesungguhnya aku akan membanggakan (banyaknya) kalian pada Hari Kiamat nanti.”(HR. Ahmad)

Dengan demikian jika upaya pengobatan untuk mengusaha¬kan pembuahan dan kelahiran alami telah dilakukan dan ter¬nyata tidak berhasil, maka dimungkinkan untuk mengusahakan terjadinya pembuahan di luar tenpatnya yang alami. Kemudian sel telur yang telah terbuahi oleh sel sperma suami dikem¬balikan ke tempatnya yang alami di dalam rahim isteri agar terjadi kehamilan alami. Proses ini dibolehkan oleh Islam, sebab berobat hukumnya sunnah (mandub) dan di samping itu proses tersebut akan dapat mewujudkan apa yang disunnahkan oleh Islam, yaitu terjadinya kelahiran dan berbanyak anak.

Pada dasarnya, upaya untuk mengusahakan terjadinya pembuahan yang tidak alami tersebut hendaknya tidak ditem¬puh, kecuali setelah tidak mungkin lagi mengusahakan terja¬dinya pembuahan alami dalam rahim isteri, antara sel sperma suami dengan sel telur isterinya.

Dalam proses pembuahan buatan dalam cawan untuk mengha¬silkan kelahiran tersebut, disyaratkan sel sperma harus milik suami dan sel telur harus milik isteri. Dan sel telur isteri yang telah terbuahi oleh sel sperma suami dalam cawan, harus diletakkan pada rahim isteri.

Hukumnya haram bila sel telur isteri yang telah ter¬buahi diletakkan dalam rahim perempuan lain yang bukan isteri, atau apa yang disebut sebagai “ibu pengganti” (surrogate mother). Begitu pula haram hukumnya bila proses dalam pembuahan buatan tersebut terjadi antara sel sperma suami dengan sel telur bukan isteri, meskipun sel telur yang telah dibuahi nantinya diletakkan dalam rahim isteri. Demi¬kian pula haram hukumnya bila proses pembuahan tersebut terjadi antara sel sperma bukan suami dengan sel telur isteri, meskipun sel telur yang telah dibuahi nantinya diletakkan dalam rahim isteri.

(10)

penghilangan nasab, yang telah diharamkan oleh ajaran Islam.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA bahwa dia telah mendengar Rasulullah SAW bersabda ketika turun ayat li’an : “Siapa saja perempuan yang memasukkan kepada suatu kaum nasab (seseorang) yang bukan dari kalangan kaum itu, maka dia tidak akan mendapat apa pun dari Allah dan Allah tidak akan pernah memasukkannya ke dalam surga. Dan siapa saja laki-laki yang mengingkari anaknya sendiri padahal dia melihat (kemiripan)nya, maka Allah akan tertutup darinya dan Allah akan membeberkan perbuatannya itu di hadapan orang-orang yang terdahulu dan kemudian (pada Hari Kiamat nanti).” (HR. Ad Darimi)

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA, dia mengatakan bahwa Rasulullah SAW telah bersabda :

“Siapa saja yang menghubungkan nasab kepada orang yang bukan ayahnya, atau (seorang budak) bertuan (loyal/taat) kepada selain tuannya, maka dia akan mendapat laknat dari Allah, para malaikat, dan seluruh manusia.” (HR. Ibnu Majah)

Ketiga bentuk proses di atas mirip dengan kehamilan dan kelahiran melalui perzinaan, hanya saja di dalam prosesnya tidak terjadi penetrasi penis ke dalam vagina. Oleh karena itu laki-laki dan perempuan yang menjalani proses tersebut tidak dijatuhi sanksi bagi pezina (hadduz zina), akan tetapi dijatuhi sanksi berupa ta’zir*, yang besarnya diserahkan kepada kebijaksaan hakim (qadli).

5.2. Nasrani

Agama Kristen juga menganggap embrio, baik yang dihasilkan di dalam rahim maupun di luar, sebagai kehidupan baru yang harus dihargai dan dihormati.Pada dasarnya, hasil karya manusia selalu tidak sempurna, sehingga pasti ekses yang mesti diperhitungkan, tapi pihaknya masih mentoleransi penggunaan sel embrio sisa hasil proses bayi tabung.

Gereja melarang pengambilan sel embrio untuk keperluan apa pun, yang dihasilkan dari proses fertilisasi, adalah kehidupan baru yang harus dihormati. Gereja, juga tidak mentoleransi penggunaan sel embrio sisa proses bayi tabung karena apa pun bentuknya mereka adalah cikal bakal manusia yang mempunyai hak untuk hidup.

Beginning of life tidak hanya pada konsepsi saja, tapi meluas pada hal yang kedua yaitu reproductive techniques, dimulai dengan yang disebut artificial insemination from husband. Ini adalah proses pembuahan dengan sperma secara buatan, maksudnya tidak dilakukan dalam rahim tapi di luar rahim. Dari sini berkembang bayi tabung (baby tube) disebut IFV (infitro vertilization). Dari sini berkembang lagi menjadi surrogate mother atau rental womb. Isu di sini banyak sekali. Kemudian ada juga AID (artificial insemination donor), spermanya bukan dari husband, tapi orang

(11)

lain. Misalnya suaminya mandul, istrinya tidak, maka dengan adanya bank sperma, boleh memilih. Masih mending istrinya sendiri yang hamil. Ada yang dikandung oleh wanita lain ini yang disebut dengan surrogate mother. Makin lama berkembang makin aneh-aneh. Yang paling celaka lagi adalah pasangan suami istri yang tidak mau susah, lantas mengambil sperma orang lain, ditanam di orang lain, tapi waktu keluar bayi, karena sudah ada semacam perjanjian, bayi itu menjadi anak mereka.

Dalam sebuah artikel ada seorang bernama Adeley, ia membuat metode Roots untuk mengetahui silsilah pribadinya karena orang tuanya menyembunyikan identitasnya. Akhirnya ia bunuh diri karena menemukan dirinya adalah anak adopsi. Dari sini kita melihat isu yang lain, yaitu kloning, terutama pada manusia. Yang non-human sudah lama dilakukan, yang pertama pada tumbuh-tumbuhan yang dikenal dengan cara stek atau cangkok. Ini semua kloning, asal katanya clone.

Cabang atau ranting dikembangbiakkan atau dihidupkan kembali. Dari kloning kita kemudian masuk kepada genetic engineering. Ini menjadi suatu kesatuan, rekayasa genetika. Kita mengenal adanya DNA, bagian dari kromosom dan gen. Sekedar penambahan informasi saja, manusia, laki-laki atau perempuan ditentukan oleh kromosom. Kromosom manusia itu semuanya 46 buah. Wanita XX, pria XY. Kalau kromosom diumpamakan seperti buku, maka gen adalah informasi yang ada dalam buku tersebut, dengan sistem yang disebut double helix. Isi dari gen ini disebut dengan protein DNA (deoxyribonucleic acid). Ini yang membentuk susunan gen. Kloning bermain-main dengan kromosom atau sel khususnya yang disebut dengan kromosom seks. Maka di dalam pembentukan awal hidup ini bukan saja mereka mau mempunyai anak, menentukan jenis kelaminnya laki-laki atau perempuan, namun juga akhirnya mengembangkan yang di luar kromosom seks, mau membuat manusia fotokopi. Main-main dengan gen ini membuat satu proyek yang disebut dengan genome project. Ini suatu hal yang berkaitan dengan kloning dan genetic

engineering.

Kloning akhirnya mau membuat manusia fotokopi. Yang lebih celaka lagi selain kloning yang paling baru adalah genome project ini. Genome ini dari kata gen dan naming, menamakan gen, atau gene mapping. Tujuan pertamanya sebenarnya baik, untuk penyakit-penyakit tertentu, seperti kanker-kanker tertentu yang ada kaitan dengan genetik, penyakit genetik. Kalau penyakit influenza, muntaber, itu bukan genetik, itu disebabkan bakteri atau virus. Tapi ada penyakit tertentu dari gen. Jadi kalau bisa diketahui mana gen yang salah, bisa diobati dengan terapi secara genetik. Saya pribadi melihat ide ini baik dan setuju. Tapi kemudian yang menyimpang adalah bukan lagi main-main dengan genetik, tapi playing God. Kalau dalam kloning kita mengenal proyek Dolly dan Polly. Tapi yang paling baru adalah proyek yang disebut Andi. Yang terjadi adalah satu embrio kera yang gennya dimanipulasi dengan cara DNAnya dimasuki dengan DNA ubur-ubur. Maka lahirlah si Andi ini, monyet yang jarinya mempunyai sisik seperti bebek atau

(12)

katak. Dan mukanya licin berair, seperti kulit ubur-ubur, dan berwarna ungu. Hanya saja semua proses kloning mempunyai kelemahan yaitu aging process-nya sangat cepat. Sehingga life expectation. Tapi kemudian yang menyimpang adalah bukan lagi main-main dengan genetik, tapi playing God.

5.3. Hindu

Ketut Wilamurti, S.Ag dari Parisada Hindu Dharma Indonesia (PDHI) dan Bhikku Dhammasubho Mahathera dari Konferensi Sangha Agung Indonesia (KASI), menyatakan: "Embrio adalah mahluk hidup. Sejak bersatunya sel telur dan sperma, ruh Brahman sudah ada didalamnya, tanda-tanda kehidupan ini jelas terlihat. Karena itu, menggunakan sel punca dari embrio sama dengan aborsi, pembunuhan.

5.4. Budha

Secara umum, definisi cloning adalah proses memperbanyak materi biologi yang dapat mencakup DNA, sel, tissue, organ, maupun organisme, dimana materi yang diperbanyak tersebut (clone) memiliki DNA yang sama dengan induknya. Karena DNA (deoxyribonucleic acid) menyimpan informasi genetik, maka clone memiliki informasi genetik yang sama dengan induknya. Ada 3 jenis cloning:

a. DNA Cloning

DNA cloning juga dikenal dengan sebutan molecular cloning, recombinant DNA technology, dan gene cloning. Sesuai definisi yang diberikan di atas, maka materi biologi yang diclone dalam proses DNA cloning adalah DNA itu sendiri. Dengan demikian, boleh dikatakan DNA cloning adalah jenis cloning yang paling sederhana diantara ketiga jenis cloning. Ilmuwan menggunakan recombinant DNA technology untuk memproduksi protein (protein expression & purification) , mentransfeksi sel (transfection) untuk mempelajari fungsi protein tersebut di dalam sel, dan untuk berbagai aplikasi biologi lainnya. Karena proses DNA cloning sama sekali tidak merugikan makhluk hidup, maka DNA cloning tentunya tidak bertentangan dengan etika Buddhis. DNA cloning merupakan teknik biologi yang digunakan secara luas dan bebas di laboratori-laborato ri biologi di seluruh dunia.

b. Therapeutic Cloning

Therapeutic cloning adalah proses cloning tissue maupun organ, dimana hasil clone tissue/organ tersebut hanya akan digunakan untuk keperluan terapi medik. Therapeutic cloning diawali dengan proses somatic cell nuclear transfer (SCNT), dimana nucleus (inti sel) dari ovum (sel telur) diganti dengan nucleus dari sel somatik yang akan diclone (induk). Sel somatik mencakup sel-sel tubuh kecuali sel reproduktif (sperma dan ovum). Dengan kata lain, SCNT terdiri dari 3 tahap, yakni 1) melenyapkan/ membuang nucleus ovum, 2) mengambil nucleus somatik, 3) menaruh nucleus somatik tersebut ke dalam ovum yang telah tak bernucleus. Jadi proses mikroskopik SCNT ini akan

(13)

menghasilkan sel ovum yang nucleusnya berasal dari (telah diganti dengan) sel somatik. Sel ovum yang memiliki genetik yang sama dengan sel somatik (induk) ini kemudian akan berkembang menjadi blastocyst (tahap awal dalam pembuahan) yang mengandung stem cell, yakni sel yang mampu berkembang (differentiate) menjadi berbagai jenis sel tubuh. Stem cell inilah yang akan kemudian dibuat (induced) berkembang mejadi tissue maupun organ.

Singkatnya, bila anda ingin mendapat jantung baru karena jantung lama anda telah rusak, maka ilmuwan akan mengambil sel tubuh anda (misalnya sel kulit anda), kemudian mengambil inti sel kulit anda tersebut dan

memasukannya ke dalam sel ovum (dari pendonor wanita) yang telah dilenyapkan inti selnya terdahulu. Kemudian sel tersebut dibiarkan berkembang, dan stem cell yang dihasilkan akan diambil untuk dibuat tumbuh menjadi jantung baru anda.

Manfaatnya sangat besar! Pasien yang mengalami kegagalan jantung, ginjal, dan organ penting lainnya dapat memperoleh organ baru. Mengapa kita tidak cukup mengambil organ dari pendonor? Karena sangat sulit mencari donor yang cocok dengan kita (immunohistocompati bility). Organ yang tidak cocok akan menyebabkan immune system kita menyerang organ tersebut karena tubuh kita menganggap organ tersebut sebagai ‘asing.' Akibatnya organ tersebut akan mengalami kegagalan. Jadi manfaat therapeutic cloning itu jelas, yakni sebagai alternatif baru untuk terapi medik.

Walau belum terdapat kesepakatan antara para ilmuwan biologi dan kaum terpelajar Buddhis lainnya tentang therapeutic cloning ini, akan tetapi jelas bahwa dalam Buddhisme sel-sel tubuh kita tak dianggap sebagai makhluk hidup. Yakni, tidak dikenal bahwa masing-masing sel, tissue, maupun organ di tubuh kita itu memiliki unsur batiniah (Pali: nama). Jadi sel ovum dan sperma bukanlah termasuk makhluk hidup yang memiliki kesadaran. Tetapi setelah terjadinya pembuahan (bersatunya ovum dan sperma), maka terbentuklah secara perlahan-lahan sel-sel yang akan tumbuh menjadi fetus melalui proses yang dikenal sebagai embryogenesis. Bayi yang lahir tersebut memiliki unsur batiniah (nama) dan fisik (rupa). Jadi pertanyaannya adalah, “Di tahap mana dari embryogenesis ini mulai

terbentuknya kesadaran?”

Pertanyaan ini penting karena dalam pandangan Buddhis, makhluk hidup terdiri dari unsur batiniah (nama) dan fisik (rupa) (Ref: Samyutta Nikaya 12.2). Hubungan antara unsur batiniah dan fisik ini adalah sangat erat dan tak bisa dipisahkan. Tanpa telinga dan sistem syaraf pendengaran, kita tak akan mampu mendengar. Tanpa kesadaran yang cukup kuat, misalnya sewaktu lagi tertidur, kita juga tak akan mampu mendengar suara-suara halus yang mampu kita dengar sewaktu kita terjaga. Jadi hubungan antara unsur batiniah dan fisik ini sangatlah erat dan sulit dipisahkan. Mereka saling membutuhkan. Tapi kapankah terbentuknya unsur batiniah ini dalam proses embryogenesis?

(14)

adanya kesadaran. Karena kesadaran sangat erat hubungannya dengan sistem syaraf, yakni tanpa sistem syaraf kesadaran kita tak akan berfungsi, maka patut kita teliti kapan mulai terbentuknya sistem syaraf dalam proses embryogenesis ini. Proses terbentuknya sistem syaraf dalam embryogenesis dikenal sebagai neurulation, dan prosesnya dimulai sekitar minggu ketiga setelah pembuahan (Ref: Am J Med Genet C Semin Med Genet, 135C(1): 2-8). Ini adalah saat yang paling awal embryo tersebut dapat dikatakan memiliki sistem syaraf. Saat ini sistem

syarafnya masih baru saja mulai terbentuk, dan tentunya masih jauh dari selesai. Oleh karena alasan inilah, maka tahap embryogenesis di hari 4-5 post-fertilization itu masih belum dapat tergolong sebagai makhluk hidup. Dan pengambilan stem cell dari tahap embryogenesis ini seharusnya tak dianggap sebagai pembunuhan karena belum dapat tergolong sebagai makhluk hidup, yakni belum terdapat bukti telah terbentuknya kesadaran. Dari argumen ini, maka therapeutic cloning, andaikata saja dilakukan di minggu pertama pembuahan, tak dapat disebut sebagai pembunuhan. Dengan sendirinya, praktek therapeutic cloning seharusnya tak dianggap bertentangan dengan etika Buddhis.

c. Reproductive cloning

Reproductive cloning adalah proses membuat organisme baru (clone) dimana DNA clone tersebut memiliki identitas yang sama dengan DNA induknya. Proses yang digunakan dalam reproductive cloning adalah sama dengan proses therapeutic cloning, akan tetapi embryo yang terbentuk tersebut dibiarkan berkembang di dalam rahim (surrogate mother).

Berbagai manfaat reproductive cloning antara lain, teraihnya ras unggul di dalam industri peternakan yang akan menghasilkan hewan-hewan dan produk hewan yang unggul, membangkitkan kembali species yang telah punah, dst.

Buddhisme berpendapat bahwa munculnya/terbentuk nya makhluk hidup bukanlah berasal dari hasil ciptaan, akan tetapi berasal dari kegelapan batin (Ref: Samyutta Nikaya 12.2). Karena kegelapan batin inilah, makhluk bertumimba lahir. Dengan lenyapnya kegelapan batin ini, maka lenyap juga tumimba lahir ini. Di sini tak dikenal adanya ‘ego' (roh, inti, keabadian mutlak), dan makhluk hidup terus bertumimba lahir dikarenakan kegelapan batin ini. Ajaran ini dikenal juga sebagai hukum sebab akibat (Pali: paticcasamupada) , yakni terbentuknya segala sesuatu adalah karena adanya penyebab. Dengan berakhirnya penyebab tersebut, maka berakhir pula akibatnya. Oleh karena itu, konsep reproductive cloning tidak dapat dikatakan bertentangan dengan ajaran Buddha. Cloning sebenarnya bukanlah proses ilmiah yang aneh dalam pandangan Buddisme karena Buddhisme selalu memandang segala sesuatu sebagai rantaian sebab akibat. Proses cloning hanya dapat berhasil setelah ilmuwan mengerti sebab akibatnya, yakni embryo dapat terbentuk dari hasil pembelahan sel ovum yang bernucleus diploid (2 set kromosom). Dengan menyediakan kondisi yang cocok untuk perkembangan embryo, maka tak heran bayi akan terbentuk. Jadi bila

(15)

kondisi yang tepat ada, maka akan bersatulah unsur batiniah (nama) dan fisik (rupa) yang kemudian akan lahir menjadi seorang bayi.

Walau dalam aspek filsafat, reproductive cloning tak bertentangan dengan ajaran Buddha, akan tetapi dalam aspek pragmatic, reproductive cloning masih mengalami banyak permasalahan teknis. Banyak bukti-bukti yang menunjukan bahwa clone memiliki abnormalitas yang belum jelas penyebabnya. Ilmuwan berpendapat bahwa inti sel yang diambil dari induk tersebut mungkin tak optimal untuk dipakai dalam cloning karena semakin pendeknya telomere (ujung DNA akan menjadi semakin pendek setiap kali sel membelah diri). Banyak clone yang tak dapat hidup sepanjang usia induk mereka. Maka ilmuwan seharusnya memikul tanggung jawab yang berat ini, dan seharusnya reproductive cloning tidak dipraktekan, apalagi dalam skala besar, sampai setelah permasalahan teknis ini telah dapat ditanggani. Tetapi tentunya untuk menanggani permasalahan teknis ini diperlukan percobaan, eksperimen. Dan eksperimen-eksperimen ini tentunya memiliki kecenderungan- kecenderungan yang membentrok dengan etika Buddhis. Seandainya di masa depan proses cloning ini sudah tak mengalami permasalahan teknis, maka

reproductive cloning mungkin akan dijadikan praktek masyarakat umum.

"this Dhamma is compared to a raft, for the purpose of crossing over, not for holding onto. You should let go even of Dhammas, to say nothing of non-Dhammas. " (Majjhima Nikaya 22)

5. SURROGATE MOTHER DITINJAU DARI SEGI HUKUM

5.1. Permasalahan Hukum Perdata yang Timbul Dalam Inseminasi Buatan (Bayi Tabung)

Inseminasi buatan menjadi permasalahan hukum dan etis moral bila sperma/sel telur datang dari pasangan keluarga yang sah dalam hubungan pernikahan. Hal ini pun dapat menjadi masalah bila yang menjadi bahan pembuahan tersebut diambil dari orang yang telah meninggal dunia. Permasalahan yang timbul antara lain adalah :

a. Bagaimanakah status keperdataan dari bayi yang dilahirkan melalui proses inseminasi buatan?

b. Bagaimanakah hubungan perdata bayi tersebut dengan orang tua biologisnya? Apakah ia mempunyai hak mewaris?

c. Bagaimanakah hubungan perdata bayi tersebut dengan surogate mother-nya (dalam kasus terjadi penyewaan rahim) dan orang tua biologisnya? Darimanakah ia memiliki hak mewaris?

5.2. Tinjauan dari Segi Hukum Perdata Terhadap Inseminasi Buatan (Bayi Tabung)

a. Jika benihnya berasal dari Suami Istri• Jika benihnya berasal dari Suami Istri, dilakukan proses fertilisasi-in-vitro transfer embrio dan diimplantasikan ke dalam rahim Istri maka anak tersebut baik secara biologis ataupun yuridis mempunyai satus sebagai anak sah (keturunan genetik) dari pasangan tersebut. Akibatnya memiliki hubungan mewaris dan hubungan keperdataan lainnya.

(16)

anak itu lahir sebelum 300 hari perceraian mempunyai status sebagai anak sah dari pasangan tersebut. Namun jika dilahirkan setelah masa 300 hari, maka anak itu bukan anak sah bekas suami ibunya dan tidak memiliki hubungan keperdataan apapun dengan bekas suami ibunya. Dasar hukum ps. 255 KUHPer.

c. Jika embrio diimplantasikan ke dalam rahim wanita lain yang bersuami, maka secara yuridis status anak itu adalah anak sah dari pasangan penghamil, bukan pasangan yang mempunyai benih. Dasar hukum ps. 42 UU No. 1/1974 dan ps. 250 KUHPer. Dalam hal ini Suami dari Istri penghamil dapat menyangkal anak tersebut sebagai anak sah-nya melalui tes golongan darah atau dengan jalan tes DNA. (Biasasah-nya dilakukan perjanjian antara kedua pasangan tersebut dan perjanjian semacam itu dinilai sah secara perdata barat, sesuai dengan ps. 1320 dan 1338 KUHPer). 1) Jika salah satu benihnya berasal dari donor

a. Jika Suami mandul dan Istrinya subur, maka dapat dilakukan fertilisasi-in-vitro transfer embrio dengan persetujuan pasangan tersebut. Sel telur Istri akan dibuahi dengan Sperma dari donor di dalam tabung petri dan setelah terjadi pembuahan diimplantasikan ke dalam rahim Istri. Anak yang dilahirkan memiliki status anak sah dan memiliki hubungan mewaris dan hubungan keperdataan lainnya sepanjang si Suami tidak menyangkalnya dengan melakukan tes golongan darah atau tes DNA. Dasar hukum ps. 250 KUHPer.

b. Jika embrio diimplantasikan ke dalam rahim wanita lain yang bersuami maka anak yang dilahirkan merupakan anak sah dari pasangan penghamil tersebut. Dasar hukum ps. 42 UU No. 1/1974 dan ps. 250 KUHPer.

2) Jika semua benihnya dari donor

a. Jika sel sperma maupun sel telurnya berasal dari orang yang tidak terikat pada perkawinan, tapi embrio diimplantasikan ke dalam rahim seorang wanita yang terikat dalam perkawinan maka anak yang lahir mempunyai status anak sah dari pasangan Suami Istri tersebut karena dilahirkan oleh seorang perempuan yang terikat dalam perkawinan yang sah.

b. Jika diimplantasikan ke dalam rahim seorang gadis maka anak tersebut memiliki status sebagai anak luar kawin karena gadis tersebut tidak terikat perkawinan secara sah dan pada hakekatnya anak tersebut bukan pula anaknya secara biologis kecuali sel telur berasal darinya. Jika sel telur berasal darinya maka anak tersebut sah secara yuridis dan biologis sebagai anaknya.

Dari tinjauan yuridis menurut hukum perdata barat di Indonesia terhadap kemungkinan yang terjadi dalam program fertilisasi-in-vitro transfer embrio ditemukan beberapa kaidah hukum yang sudah tidak relevan dan tidak dapat mengcover kebutuhan yang ada serta sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan yang ada khususnya mengenai status sahnya anak yang lahir dan pemusnahan kelebihan embrio yang diimplantasikan ke dalam rahim ibunya. Secara khusus, permasalahan mengenai inseminasi buatan dengan bahan inseminasi berasal dari orang yang sudah meninggal dunia, hingga saat ini belum ada penyelesaiannya di Indonesia. Perlu segera dibentuk peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur penerapan teknologi fertilisasi-in-vitro transfer embrio ini pada manusia mengenai hal-hal apakah yang dapat dibenarkan dan hal-hal apakah yang dilarang.

(17)

5.3. Kasus Inseminasi Buatan di Amerika Serikat

Mary Beth Whitehead sebagai ibu pengganti (surrogate mother) yang berprofesi sebagai pekerja kehamilan dari pasangan William dan Elizabeth Stern pada akhir tugasnya memutuskan untuk mempertahankan anak yang dilahirkannya itu. Timbul sengketa diantara mereka yang kemudian oleh Pengadilan New Jersey, ditetapkan bahwa anak itu diserahkan dalam perlindungan ayah biologisnya, sementara Mrs. Mary Beth Whitehead (ibu pengganti) diberi hak untuk mengunjungi anak tersebut.

5.4. Negara Lain

Negara yang memberlakukan hukum Islam sebagai hukum negaranya, tidak diperbolehkan dilakukannya inseminasi buatan dengan donor dan dan sewa rahim. Negara Swiss melarang pula dilakukannya inseminasi buatan dengan donor. Sedangkan Lybia dalam perubahan hukum pidananya tanggal 7 Desember 1972 melarang semua bentuk inseminasi buatan. Larangan terhadap inseminasi buatan dengan sperma suami didasarkan pada premis bahwa hal itu sama dengan usaha untuk mengubah rancangan ciptaan Tuhan.

sumber

1. Barnett J. US Italian Experts Plan to Clone Humans”.E-mail: http://daily news. yahoo.com/h/nm/20010309/ts/italy-kloning-dc-2.html.

2. Wilmut I, Schnieke,AE.McWhirJ, Kind AJ,Campbell KHS.Viable offspring derived from fetal and adult mammalian cells,Nature,1999;385:810-3.

3. Stillman RJ. Human Kloning techniques.http://cac.psu.edu/~gsg 109/qs / em 01002.html.

4. Eibert, D.M. Human kloning, Myths. Medical Benefits and Constitutional Rights.U & I Magazine, Winter 1999 Edition.

5. Human Kloning Foundation. The benefits of human kloning. Internet: http: // www. humancloning.org/benefits.htm,1998.

(18)

act”.Internet://www.geneletter.org/0197/canadian.ht,1997.

7. Beardsley, T., March, 3 1997, A Clone in Sheep's Clothing, http://www.sciam.com /article. cfm?article ID=0009B07D-BD40-1C59- B882809EC588ED9F & page Number=1&catID=4.

8. Roslin Cloning Techniques, http://home.hawaii.rr.com/johns/art.htm

9. Honolulu Cloning Techniques, http://home.hawaii.rr.com/johns/aht.htm

10. Robinson BA. Ethical aspects of human cloning. http: //www. religioustolerance. org/kloning.htm.Last updated 1999,Feb-24.

11. Hanafiah MJ. Beberapa Isu Bioetika Dalam Obstetri Dan Ginekologi, Pidato Purnabakti Sebagai Guru Besar Tetap FK-USU,2003:3-7.

12. Shannon TA. An Introduction to Bioethics (Pengantar Bioetika), diterjemahkan oleh Bertens K. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta:1-6, 131-43.

13. Casartelli P Poll:Most Americans Say Kloningis Wrong.Internet: http: //princeton.edu/Poll.html,1997.

14. Samil RS. Masalah Bioetik dalam rekayasa Genetika Kedokteran, Pertemuan Nasional II Bioetika dan Humaniora. Bandung 31 Oktober – 2 Nopember 2002.

15. The American College of Obstetricians and Gynecologists. Ethics in Obstetrics and Gynecology, Washington DC, 2002.

16. Dixon, Patrick. Available from: http://www.human cloning latest news. htm.2003.

17. Subiyanto, Etika dalam Teknologi Reproduksi Buatan. Pertemuan Nasional II Bioetika dan Humaniora, Bandung, 31 Okt.-2 Nov.2002.

(19)

19. Sofyan Mustika., et all (ed), Bidan Menyongsong Masa Depan, PP IBI, Jakarta, 2003

Perkembangan teknologi di bidang kedokteran, telah menemukan metode baru yaitu

inseminasi buatan yang dikenal dengan sebutan in vitro fertilization (program bayi

tabung). Teknologi kedokteran ini ditemukan pada tahun 1970-an yang

dikembangkandengan tujuan untuk mengatasi masalah bagi pasangan suami istri yang

tidak bisa mendapatkan keturunan (mandul). Sejalan dengan pembuahan in virto

fertilization (IVF)yang semakin pesat, muncul ide surrogate mother (ibu

pengganti/sewa rahim/gestational agreement) yaitu wanita yang bersedia disewa

rahimnya, dengan suatu perjanjian untuk mengandung, melahirkan, dan menyerahkan

kembali bayinya dengan imbalan sejumlah materi kepada pasangan suami istri yang

tidak bisa mempunyai keturunan karena istri tersebut tidak bisa mengandung.

Ditinjau dari aspek teknologi dan ekonomi proses surrogate mother ini cukup

menjanjikan terhadap penanggulangan beberapa kasus infertilitas, tetapi ternyata

proses ini terkendala oleh aturan perundang-undangan yang berlaku serta

pertimbangan etika, norma-norma yang berlaku di Indonesia. Begitu juga dengan

perjanjian yang dibuat, apakah bisa berlaku berdasarkan hukum perikatan nasional,

terlebih-lebih objek yang diperjanjikan sangatlah tidak lazim, yaitu rahim, baik sebagai

benda maupun difungsikan sebagai jasa.

Praktek surrogate mother atau lazim diterjemahkan dalam Bahasa

Indonesia dengan ibu pengganti/sewa rahim tergolong metode atau upaya kehamilan di

luar cara yang alamiah. Dalam hukum Indonesia, praktek ibu pengganti secara implisit

tidak diperbolehkan. Dalam pasal 127 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (UU

Kesehatan) diatur bahwa upaya kehamilan di luar cara alamiah hanya dapat dilakukan

oleh pasangan suami istri yang sah dengan ketentuan:

a) hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang bersangkutan

ditanamkandalam rahim istri dari mana ovum berasal;

b) dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk

itu;

(20)

Hal ini berarti bahwa metode atau kehamilan di luar cara alamiah selain yang diatur

dalam pasal 127 UU Kesehatan, termasuk ibu pengganti (surrogate mother), secara

hukum tidak dapat dilakukan di Indonesia. Larangan ini juga termuat dalam pasal 16 UU

Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (lama), yang menegaskan bahwa kehamilan

di luar cara alami dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir untuk membantu suami

istri mendapat keturunan, dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor :

73/Menkes/Per/II/1999 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Teknologi Reproduksi

Buatan : Pasal 4, juga menegaskan bahwa pelayanan teknologi reproduksi buatan

hanya dapat diberikan kepada pasangan suami istri yang terikat perkawinan yang sah

dan sebagai upaya terakhir untuk memperoleh keturunan serta berdasarkan suatu

indikasi medik. Dari kedua peraturan perundang-undangan tersebut, terdapat

kesamaan yang menegaskan bahwa bayi tabung yang diperbolehkan hanya kepada

pasangan suami isteri yang sah, lalu menggunakan sel sperma dan sel telur dari

pasangan tersebut yang kemudian embrionya ditanam dalam rahim isteri bukan wanita

lain atau menyewa rahim. Bagi masyarakat yang hendak melakukannya

(surrogate mother), diancam sangsi pidana (pasal 82 UU No. 23 Tahun 1992). Hal ini

dilakukan untuk menjamin status anak tersebut sebagai anak sah dari pasangan suami

isteri tersebut.

Bentuk-bentuk Penyewaan Rahim

1. Benih isteri (ovum) disenyawakan dengan benih suami (sperma), kemudian

dimasukkan ke dalam rahim wanita lain. Kaedah ini digunakan dalam keadaan isteri

memiliki benih yang baik, tetapi rahimnya dibuang kerana pembedahan, kecacatan yang

terus, akibat penyakit yang kronik atau sebab-sebab yang lain.

2. Sama dengan bentuk yang pertama, kecuali benih yang telah disenyawakan

dibekukandan dimasukkan ke dalam rahim ibu tumpang selepas kematian pasangan

suami isteri itu.

3. Ovum isteri disenyawakan dengan sperma lelaki lain (bukan suaminya) dan

dimasukkan ke dalam rahim wanita lain. Keadaan ini apabila suami mandul dan isteri

ada halangan atau kecacatan pada rahimnya tetapi benih isteri dalam keadaan baik.

4. Sperma suami disenyawakan dengan ovum wanita lain, kemudian dimasukkan ke

dalam rahim wanita lain. Keadaan ini berlaku apabila isteri ditimpa penyakit pada ovari

dan rahimnya tidak mampu memikul tugas kehamilan, atau isteri telah mencapai tahap

putus haid (menopause).

(21)

isteri yang lain dari suami yang sama. Dalam keadaan ini isteri yang lain sanggup

mengandungkan anak suaminya dari isteri yang tidak boleh hamil.

Sewa Rahim dalam Tinjauan Hukum Perdata

Sewa menyewa rahim pada prakteknya sangat berhubungan dengan hukum perjanjian

atau perikatan. Menurut pasal 1313 KUH Perdata, perjanjian didefinisikan sebagai

sesuatu perbuatan dimana seseorang atau beberapa orang mengikatkan dirinya

kepada seorang atau beberapa orang lain. Dengan kata lain masing-masing orang yang

mengadakan perjanjian mempunyai keterikatan, mengikatkan diri pada sebuah

perjanjian. Kemudian pada pasal 1233 KUH Perdata, perikatan ditegaskan sebagai

sesuatu yang dilahirkan karena perjanjian maupun undang-undang. Karena itu,

berdasarkan kedua pasal tersebut semua yang tercantum atau diperjanjikan merupakan

undang-undang bagi mereka dan termasuk kepada unsur perjanjian.

Selain itu, untuk mengetahui sahnya suatu perjanjian maka persyaratan dari suatu

perjanjian harus dipenuhi oleh para pihak. Dalam pasal 1320 syarat sahnya suatu

perjanjian meliputi bebarapa hal antara lain :

1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya.

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.

3. Suatu pokok persoalan tertentu.

4. Suatu sebab yang tidak terlarang.

Menurut Desriza Ratman, perjanjian pada praktik surrogate mother dianggap tidak sah

jika tidak memenuhi salah satu persyaratan tersebut, antara lain persyaratan tentang

adanya sebab yang halal. Surrogate mother dinyatakan tidak sah dengan alasan

tersebut dengan dalil sebagai berikut :

1. Melanggar peraturan perundang-undangan yang ada (hukum positif):

a. UU RI Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 127 ayat (1) yang berbunyi:

upaya kehamilan di luar cara alamiah hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami-istri

yang sah dengan ketentuan:

1) Hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang bersangkutan ditanamkan

dalam rahim istri dari mana ovum berasal;

2) Dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk

itu;

3) Pada fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.

b. Permenkes RI No.73/Menkes/PER/II/1999 tentang Penyelenggaraan Pelayanan

Teknologi Reproduksi Buatan.

(22)

1) Pasal 4 : Pelayanan teknologi reproduksi buatan hanya dapat diberikan kepada

pasangan suami isteri yang terikat perkawinan yang sah dan sebagai upaya akhir untuk

memperoleh keturunan serta berdasarkan pada suatu indikasi medik.

2) Pasal 10 :

(1) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini

dapat dikenakan tindakan administratif.

(2) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa

peringatan sampai dengan pencabutan izin penyelenggaraan pelayanan teknologi

reproduksi buatan.

c. SK Dirjen Yan Medik Depkes RI tahun 2000 tentang Pedoman Pelayanan Bayi

Tabung di RS, terdapat 10 pedoman:

1) Pelayanan teknologi buatan hanya dapat dilakukan dengan sel telur dan sperma

suami istri yang bersangkutan; (pedoman no.1)

2) Pelayanan reproduksi buatan merupakan bagian dari pelayanan infertilitas sehingga

kerangka pelayanan merupakan bagian dari pengelolaan pelayanan infertilitas secara

keseluruhan; (pedoman no.2)

3) Dilarang melakukan surrogacy dalam bentuk apapun; (pedoman no.4)

2. Bertentangan dengan kesusilaan:

a. Tidak sesuai dengan norma moral dan adat istiadat atau kebiasaan umumnya

masyarakat Indonesia atau di lingkungannya.

b. Bertentangan dengan kepercayaan yang dianut salah satu agama (Islam) karena

terdapat unsur pokok yang mengharamkan praktik surrogate mother, yaitu unsur zina.

3. Bertentangan dengan ketertiban umum:

a. Akan menjadi pergunjingan di dalam masyarakat sehingga wanita surrogate besar

kemungkinan akan dikucilkan dari pergaulan.

b. Terlebih lagi bila status dari wanita surrogate mother adalah gadis atau janda.

4. Point 1,2, dan 3 diperkuat dengan pasal 1339 KUH Perdata, yang berbunyi

“perjanjian-perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan sengaja tegas

dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian,

diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang” sehingga pasal ini

menyatakan bahwa dalam menentukan suatu perjanjian, para pihak tidak hanya terikat

terhadap apa yang secara tegas disetujui dalam perjanjian tersebut, tetapi juga terikat

oleh kepatutan, kebiasaan, dan undang-undang.

5. Bertentangan juga terhadap pokok-pokok perjanjian atau perikatannya itu sendiri, di

mana rahim itu bukanlah suatu benda (hukum kebendaan) dan tidak dapat disewakan

(23)

(hukum sewa-menyewa) yang terdapat pada Kitab Undang-undang Hukum Perdata

(KUH Perdata).

Sewa Rahim ditinjau dari Hak Asasi Anak

Anak adalah makhluk Tuhan yang memiliki hak sebagaimana hak yang dimiliki orang

dewasa. Hak anak setara dengan hak orang dewasa. Akan tetapi dalam kasus

penyewaan rahim anak diperlakukan sebagaimana barang atau benda yang dapat

berpindah dari ibu yang satu ke ibu yang lain. Hak anak untuk mendapatkan kasih

sayang dari ibu yang melahirkan hilang karena tergerus oleh perjanjian orang dewasa,

yang satu bermotif ekonomi dan yang lainya bermaksud memenuhi segala macam

keinginannya yang tidak mampu ia dapatkan. Akibat dari tarik menarik dua kehendak

ini, anak dijadikan sebagai obyek “perdagangan”.

Praktek sewa rahim atau ibu pengganti tidak disadari sudah menghancurkan masa

depan kehidupan manusia. Bagaimana mungkin seorang ibu tega memberikan bayi

yang dikandung dan dilahirkannya kepada orang lain, padahal ia sudah

mempertaruhkan nyawanya sendiri. Hanya ada satu jawaban jika itu terjadi yaitu motif

ekonomi. Latar belakang ekonomilah yang paling kuat melandasi praktek sewa rahim

tersebut, sehingga untuk mengadakan perjanjian tidak mempertimbangkan

akibat-akibat yang mungkin akan dialaminya kelak, baik bagi dirinya sediri maupun bagi bayi

yang akan dilahirkannya kelak.

Dalam kasus sewa rahim terdapat sederet pelanggaran terhadap hak asasi anak. Hak

tersebut dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa pelanggaran :

1. Penelantaran :

a. Anak kehilangan kasih sayang, anak yang dilahirkan oleh “si ibu sewa” tidak

mendapatkan kasih sayang dari ibu kandungnya sendiri.

b. Anak tidak mengetahui orang tuanya, dibesarkan dan diasuh oleh orang tuanya

sendiri.

c. Anak disuramkan asal usulnya.

d. Anak dipisahkan dari ibu kandungnya.

2. Perlakuan salah :

a. Anak berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum antara lain tidak dilahirkan di

luar pernikahan sah, baik menurut agama maupun negara.

b. Anak dieksploitasi secara ekonomi.

(24)

Dalam prakteknya, sewa rahim atau ibu pengganti membuka peluang lebar adanya

anak yang dilahirkan di luar nikah. Seorang gadis atau janda yang bersedia untuk

melahirkan tanpa nikah dan hanya disewa rahimnya saja, dapat membawa dampak

buruk serta penderitaan terhadap masa depan anak, di antaranya adalah :

1. Anak terlahir dengan status “anak di luar nikah”.

2. Anak kehilangan hak waris orang tua kandungnya.

3. Anak mendapat stigma buruk di masyarakat.

4. Anak tersebut dapat disangkal oleh orang tua kandungnya maupun oleh orang tua

titipan.

Mengenai point 4 di atas tadi, Penulis berpendapat bahwa dalam pelaksanaannya anak

yang dihasilkan dari proses sewa rahim, sangat memungkinkan adanya penolakan atau

sangkalan dari dua pihak sekaligus. Pertama dari orang tua kandung, kedua dari orang

tua biologis. Di bawah ini akan Penulis kemukakan beberapa kemungkinan terjadinya

penolakan anak :

1. Jika anak terlahir dari ibu kandung (yang disewa rahimnya) dan status ibu tersebut

tidak terikat oleh suatu perkawinan yang sah, maka anak yang dilahirkannya itu dapat

ditolak oleh ayah biologisnya (penitip sperma), apalagi jika anak tersebut terlahir dalam

keadaan cacat, dengan dalil bahwa anak tersebut bukan anaknya karena tidak terlahir

dalam ikatan perkawinan yang sah. Pasal 42 UU Perkawinan No. 1 tahun 1974

menyatakan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai

akibat perkawinan yang sah. Kemudian pasal 250 KUH Perdata menyatakan bahwa

anak yang dilahirkan atau dibesarkan selama perkawinan, memperoleh si suami

sebagai ayahnya.

2. Jika anak terlahir dari ibu kandung (yang disewa rahimnya) dan status ibu tersebut

terikat oleh suatu perkawinan yang sah, maka anak yang dilahirkannya itu dapat ditolak

oleh suami dari ibu tersebut. Dengan dalil pasal 44 UU Perkawinan No. 1 tahun 1974

yang berbunyi :

1) Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh istrinya bila ia

dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan anak itu akibat daripada

perzinaan.

2) Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak

yang berkepentingan.

Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwasanya begitu menderitanya anak yang

dilahirkan melalui praktek sewa rahim atau ibu pengganti. Anak dapat kehilangan

statusnya sesaat setelah dilahirkan sekaligus kehilangan hak-haknya sebagai manusia.

Perdebatan di seputar sewa menyewa rahim atau ibu pengganti menjadi perdebatan

(25)

panjang di kalangan masyarakat. Hal ini antara lain disebabkan karena hukum bayi

tabung, tidak ada pembahasannya dalam nash maupun kitab-kitab klasik. Ada dua

kelompok sehubungan dengan permasalahan ini, yaitu kelompok yang mendukung atau

membolehkan dan kelompok yang menolak atau mengharamkan. Di antara

pendapat-pendapat tersebut adalah :

a. Pendapat yang menolak atau mengharamkan yaitu :

1. Ibrahim Hosein, mantan Ketua Fatwa MUI mengatakan bahwa inseminasi buatan dan

bayi tabung dengan sperma dan sel telur berasal dari pasangan suami istri. Proses

kehamilan tidak dalam rahim wanita atau sel telur dari donor, atau benihnya dari

pasangan suami isteri, tetapi embrio itu diimplantasikan ke dalam rahim wanita lain,

maka pelaksanaan inseminasi buatan dan bayi tabung demikian itu tidak dapat

dibenarkan oleh hukum Islam.

2. Asy-Syaikh ‘Ali At-Thantawi menyatakan bahwa bayi tabung yang menggunakan

wanita pengganti itu jelas tidak dibenarkan, karena menurut beliau rahim wanita

bukanlah panci dapur yang isinya bisa dipindahkan sekehendak hati dari yang satu ke

yang lainnya, karena rahim wanita yang mengandung memiliki andil dalam proses

pembentukan dan penumbuhan janin yang mengkonsumsi zat makanan dari darah

ibunya.

b. Pendapat yang membolehkan penggunaan sewa rahim, yakni:

1. Ali Akbar menyatakan bahwa : menitipkan bayi tabung pada wanita yang bukan

ibunya boleh, karena si ibu tidak menghamilkannya, sebab rahimnya mengalami

gangguan, sedangkan menyusukan anak wanita lain dibolehkan dalam Islam, malah

boleh diupahkan. Maka boleh pulalah memberikan upah kepada wanita yang

meminjamkan rahimnya.

2. H. Salim Dimyati berpendapat : bayi tabung yang menggunakan sel telur dan sperma

dari suami istri yang sah, lalu embrionya dititipkan kepada ibu yang lain (ibu pengganti),

maka apa yang dilahirkannya tidak lebih hanya anak angkat belaka, tidak ada hak

mewarisi dan diwarisi, sebab anak angkat bukanlah anak sendiri, tidak boleh disamakan

dengan anak kandung. Pendapat di atas menyamakan status anak yang dilahirkan

melalui sewa rahim dengan anak angkat, yang tidak mempunyai hak untuk mewarisi

dan diwarisi.

(26)

• Diskursus tentang Penentuan Orang yang Paling Berhak Atas Anak.

Selain perdebatan di masyarakat umum, ada pula perdebatan di kalangan ulama yang

yang mempersoalkan siapa sesungguhnya ibu yang paling berhak atas pengakuan

terhadap si anak. Mengenai masalah ini, menarik kiranya Penulis tampilkan tulisannya

Radin Seri Nabahah bt. Ahmad Zabidi dalam sebuah makalah yang berjudul

Penyewaan Rahim Menurut Hukum Islam, mengenai penentuan nasab anak terhadap

ibu yang sebenarnya :

Pendapat pertama :

Termasuk golongan ini antaranya, Dr. Muhammad Na’im Yasin, Dr. Abdul Hafiz Hilmi,

Dr. Mustafa Al-Zarqa, Dr. Zakaria Al-Bari, Dr. Muhammad As-Surtowi Dekan Fakultas

Syariah University Jordan dan lain-lain. Mereka berpendapat bahwa anak dinasabkan

kepada si ibu pemilik benih, manakala ibu yang mengandung dan melahirkan itu

seumpama ibu susuan yang tidak dinasabkan anak padanya, sekedar dikuatkan atas

hukum penyusuan. Pendapat ini dibina di atas asas bahwa perseyawaan benih di

antara benih suami istri yang diikat oleh ikatan perkawinan yang sah, maka janin itu

dinasabkan kepada mereka. Manakala ibu tumpang tersebut berfungsi sebagai ibu

susuan karena ibu susuan memberi minum susunya, lebih-lebih lagi ibu tumpang

dimana anak tersebut mendapat makanan dari darahnya sejak awal pembentukan

hingga sempurna kejadian sebagai seorang bayi dan lahir. Oleh karena itu, ibu tumpang

tersebut dihukumkan sebagai ibu susuan.

Di samping itu, ciri-ciri diri manusia dan sifat yang diwarisinya ditentukan oleh mani dan

benih ibu bapaknya, bukan ibu yang mengandung dan melahirkannya, kerena ibu

tumpang hanya tempat bergantung dan numpang membesar. Hujah ini juga merupakan

hujah kebanyakan doktor.

Pendapat kedua :

Menurut sebahagian besar para ulama’ dan pengkaji di antaranya Sheikh Abdullah bin

Zaid Ali Mahmud, Dr. Muhammad Yusuf Al-Muhammadi, Sheikh Muhammad Al-Khudri,

Qadi Mahkamah Agung di Riyadh dan lain-lain. Mereka berpendapat bahwa ibu

sebenarnya adalah seseorang yang mengandungkan bayi dan melahirkannya,

manakala ibu pemilik benih itu seumpama ibu susuan. Mereka berpendapat bahwa

anak dinasabkan kepada ibu yang melahirkannya karena nasab anak ditentukan

berdasarkan tiga perkara yaitu wanita yang melahirkannya, pengakuan suami, dan

(27)

saksi. Tiga hal itu, menjadikan seorang ibu yang melahirkan anak tersebut akan dapat

mewarisi harta, dan anak itu dinasabkan kepada suaminya, kerana

شارفلل دلولا (anak

adalah untuk suami) berdasarkan kaedah syara’ yang diambil dari hadis Rasulullah saw.

• Diskursus Mengenai Nasab dari Jalur Bapak.

Kemudian diskursus yang lainnya mengenai Nasab anak dari jalur Bapak, Bapak yang

mana yang berhak dinasabkan oleh anak tersebut. Di bawah ini kembali Penulis

tampilkan tulisannya Radin Seri Nabahah bt. Ahmad Zabidi dalam sebuah makalah

yang berjudul Penyewaan Rahim Menurut Hukum Islam mengenai masalah tersebut :

Dalam persoalan ini, para ulama terbagi kepada 2 pendapat besar yaitu :

Pendapat pertama :

Golongan ini berpendapat bahwa anak dinasabkan kepada suami ibu tumpang pemilik

rahim yang melahirkan anak tersebut, sekalipun beliau tidak memiliki hubungan

apa-apa dilihat dari sudut genetik. Mereka berhujah bersandarkan hadis Rasulullah saw :

:

رجحلا رهاعللو ش ارفلل دلولا لاق ملسو هيلع لا ىلص يبنلا نا ةشئ اع نع

Artinya : “Anak dinasabkan kepada bapaknya, dan bagi pezina terhalang.”

Hadis ini merupakan dalil nas yang digunakan untuk menentukan hukuman seorang

hakim dan merupakan kaedah umum syara’ dalam menetapkan haramnya pernikahan

dan cara untuk menentukan nasab bagi seseorang anak. Oleh karena itu, apabila ibu

tumpang mempunyai suami kemudian melahirkan anak dari rahimnya, ini berarti anak

tersebut dinasabkan kepada suami dari isteri yang melahirkan anak tersebut, sekalipun

tidak memiliki hubungan genetik.

Pendapat kedua :

Termasuk dalam golongan ini ialah Al-Mujamma’ Al-Fiqhi Al-Islami yang berpusat di

Makkatul Mukarramah, dan lain-lain antaranya Sheikh Mustafa Az-Zarqa, Dr.

Muhammad Na’im Yasin, Dr. Muhammad Al-hafiz Hilmi, dan Dr Hashim Jamil. Golongan

ini berpendapat bahwa anak yang dilahirkan dinasabkan kepada suami wanita pemilik

benih yang disewakan tadi, dan tidak dinasabkan kepada suami pemilik rahim. Ini

adalah kerana penyewaan rahim dilakukan di atas dasar persenyawaan benih di antara

kedua suami isteri, kemudian benih yang telah disenyawa tadi dimasukkan ke dalam

rahim wanita lain. Oleh karena itu, janin tersebut terbina dari benih keduanya yang

memiliki ikatan perkawinan yang sah. Justeru, anak itu dinasabkan kepada mereka

berdua selagi kedudukan mereka dalam keadaan ini. Walaupun penyewaan rahim ini

(28)

haram dari segi syara’, tapi tidak menjadi penghalang bagi dinasabkannya anak itu

kepada mereka, karena pengharaman ini adalah disebabkan mereka menggunakan

rahim wanita lain yang tidak benar secara shar’i. Hal ini dikarenakan dari segi saintifik,

janin yang telah disenyawakan tidak terkesan dari rahim selain tumpang dalam

memberikan makanan untuk tumbuh menjadi besar, sedangkan sifat-sifat genetik

berasal dari pemilik benih asal ovum dan sperma tadi. Hal tersebut diumpamakan

seperti kedua ibu bapak yang memberi makanan anaknya dengan makanan yang

haram sehingga dewasa, kedua-dua ibu bapaknya berdosa, tetapi hal ini tidak sampai

memutuskan hubungan antara mereka.

Pendapat ketiga :

Golongan ini berpendapat bahwa pemilik benih tidak memiliki hak apapun, dan

benihnya dianggap sia-sia. Mereka berhujah dengan kisah anak Zam’ah karena

Rasulullah saw telah meletakkan bahwa anak itu adalah anak Zam’ah sekalipun jelas

bahawa dia bukan anak Zam’ah dari segi zahirnya berdasarkan

شارفلل دلولا . Dalam hal

ini, hakikat penentuan hukum berdasarkan kepada zahir karena hakikat sebenarnya

hanya Allah–lah yang tahu. Pendapat ini mengatakan bahwa tidak ada nilai bagi pemilik

benih ataupun mani dalam beberapa keadaan karena penentuannya mestilah

berdasarkan kepada penentuan shar’i yang sah. Hujah ini dijawab bahwa keadaan

penyewaan rahim berbeda dengan kisah anak Zam’ah karena dalam kisah anak

Zam’ah tersebut, janin itu terhasil daripada percampuran air mani antara dua orang

lelaki dan perempuan tanpa ikatan yang sah, oleh sebab itu anak itu tidak dinasabkan

kepada lelaki itu (‘Atabah). Sedangkan dalam penyewaan rahim, persenyawaan benih

berlaku antara dua orang pasangan suami istri yang diikat oleh ikatan yang sah, maka

anak itu dinasabkan kepada mereka.

Syarat-syarat terjadinya Penyewaan Rahim

Dr. Yusuf Al-Qardhawi berpendapat bahwa syarat-syarat penyewaan rahim jika hukum

ini sampai diberlakukan dan demi untuk mengurangi kemudaratan serta meringankan

antara lain sebagai berikut :

1. Ibu tumpang itu mestilah wanita yang bersuami, bukan anak dara atau janda.

2. Wanita itu juga wajib mendapatkan keizinan suaminya, kerana kehamilan akan

menghalangnya daripada menyempurnakan beberapa hak suaminya sepanjang tempoh

kehamilan dan nifas seperti hubungan seks dan sebagainya.

Referensi

Dokumen terkait

Tanggapan antivirus adalah kompleks, karena beberapa faktor yang berperan seperti tempat virus masuk tubuh, tempat virus me- lekat pada sel, aspek patogenesis

terus menerus, karena kebutuhan ini akan kembali pada titik nol setelah dipenuhi. Misalnya orang lapar akan makan, kemudian lapar lagi lalu makan lagi dan

Berdasarkan paparan pada latar belakang terdapat tiga poin penting sebagai acuan dalam penelitian. Pentingnya mengusahakan keseimbangan dalam menstimulasi fungsi otak

Zaključuje se da je najbolja plus-hibrid kombinacija prvog ispitivanog hibrida ZP341st × 488, jer su joj vrednosti četiri od pet ispitivanih komponenti prinosa

cms effect: the difference between the average value of the fertile and isogenically pollinated sterile hybrid (pollinated by its fertile counterpart) for hybrids per

nosokomial yang terus menjadi ancaman bagi petugas kesehatan dan klien. Penerapan kewaspadaan umum merupakan bagian pengendalian infeksi yang tidak terlepas dari peran

cash flow para konsumen untuk hal-hal lain dengan lebih bijaksana. Dan biasanya marketing menjalankan strategi persuade nya dengan menjelaskan kepada para konsumen, ketika

Pada saat penghentian pengakuan atas aset keuangan secara keseluruhan, maka selisih antara nilai tercatat dan jumlah dari ( I ) pembayaran yang diterima, termasuk aset baru