VOLUME XIV NOMOR 3
2019
TeaTer YogYa
MeNoLaK SeNJaKaLa
SENI BUDAYA YOGYAKARTA
SENI BUDAYA YOGYAKARTA
MATAJENDELA, majalah seni budaya terbit selama tiga bulan sekali. Redaksi menerima tulisan dari penulis, kritikus, dan pemerhati seni budaya. Doku-Mime “Dunia Anak”. Dokumentasi Taman Budaya Yogyakarta, 2018.
TIM MATAJENDELA
VOLUME XIV
NOMOR 3
2019
Diterbitkan oleh Taman Budaya Yogyakarta Jl. Sriwedani No. 1 Yogyakarta 55123
Telp. (0274) 523512, 561914 Fax. (0274) 580771
Diproduksi di Yogyakarta
Kertas Sampul: Aster, Kertas Isi: Matte Paper Huruf: Avara, Alte Haas Grotesk, Helvetica Neue, Teen Teater Yogya Menolak Senjakala
Latief S. Nugraha
Seni Pertunjukan Sebagai Jaringan Gagasan Shohifur Ridho’i
Teater Yogya Menggeliat Wahyana Giri MC
Pusaran Teater Kampus Anes Prabu Sadjarwo
Naskah Teater Made In Yogyakarta Indra Tranggono
Temu Isu Daerah
di Panggung Teater Mahasiswa Habiburrachman
Memoar Pak Bina
Nunung Deni Puspitasari EDITORIAL JENDELA LINTAS SKETSA 4 8 14 22 30 34 40
Penanggung Jawab Umum
Aris Eko Nugroho, S.P., M.Si.
Penanggung Jawab Teknis
Drs. Diah Tutuko Suryandaru
Editor
Dra. Siswati
Lawung Panji Sadewa
Layouter
Maria Inarita Uthe
Sekretariat
Trimuryani Wagiyanto Suprayitno Rudi S. Beja
Bayu Adi Wijaya Joko Purwanto
Redaktur
Satmoko Budi Santoso Stanislaus Yangni Latief S. Nugraha Lisistrata Lusandiana An Ismanto www.tby.jogjaprov.go.id [email protected]
5
matajendela
4
SENI BUDAYA YOGYAKARTA
Teater Yogya
Menolak Senjakala
P
anggung gedung Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta telah disulap dengan tata artistik yang megah dan cantik. Salah satu kelompok teater legendaris Yogyakarta tampil dengan satu naskah drama klasik. Tak tanggung-tanggung, para aktor kawakan yang usianya tak lagi muda tampil memukau di atas panggung. Seperti kembali ke rumah sendiri, mereka seakan tengah bernostalgia mengenang masa muda yang bergelora, mengenang semangat 47 tahun silam ketika mengucap janji setia, mengenang satu demi satu pentas yang barangkali telah lebih dari 50 kali digelar, juga mengenang lebih dari 30 teman sejawatnya yang sudah tiada. Mereka yang tersisa masih mencoba bergerak dan berkarya di sela-sela kesibukan kerja dan mengasuh anak cucu sebagai pencuri waktu dan penipu usia.***
Tidak banyak yang tersisa dari ingatan orang-orang panggung itu selain cerita kejayaan pada masa lalu. Bagi kita yang lahir jauh di kemudian hari, jika ingin belajar, kemungkinan besar hanya bisa mendapat petunjuk dan rujukan dengan membaca berita-berita pementasan di surat kabar yang tidak banyak dan tersebar. Jangan berharap ada rekaman video. Dokumentasi arsip kita
lemah. Barangkali kita hanya bisa melihat berlembar foto hitam putih dari masa silam, gambaran peristiwa demi peristiwa yang melintas dan membekas. Misalnya, gambar perempuan cantik berambut panjang tergerai duduk dengan kaki tumpang tali sambil merokok bersama para lelaki yang tampak sedang menonton suatu pertunjukan; barisan lelaki gondrong berwajah kusam mengenakan baju ketat dengan celana cutbray dan selingkar sarung menyelempang berdiri sedekap mengerenyitkan dahi menerima arahan dari seorang lelaki berkumis dan berwibawa yang menuding ke arahnya; seseorang bertelanjang dada merangkak di halaman tanah berpasir dikelilingi anak-anak dengan tatapan mengamati dan menilai; sejumlah lelaki (lagi-lagi) gondrong nongkrong di teras sebuah rumah ditimpa terik matahari ketika mencapai titik kulminasi; satu pementasan yang memperlihatkan ekspresi wajah para pelakon dengan mengenakan busana dari kebudayaan entah tengah menampilkan adegan tragedi. Demikianlah sepotong kisah hadir kembali sebagai arsip yang lestari. Kondisi yang diceritakan, yang terbaca, dan yang tergambar itu merupakan salah satu bukti bahwa jagat teater di Yogyakarta telah berusia tua. Bahkan jika kita mau menelusuri bagaimana teater tradisi muncul dan berkembang di Yogyakarta, catatan yang dihasilkan pasti
akan jadi sangat panjang. Namun, apakah kita punya cukup waktu untuk mencakup semua itu?
Yogyakarta menjadi satu ruang kontemplatif bagi setiap masyarakatnya, tak terkecuali bagi mereka yang menempuh jalan seni. Kehidupan seni di Yogyakarta tumbuh subur bagai kembang maskumambang di musim hujan. Kehadirannya melampaui dunia yang terus beranjak dari kehidupan tradisi, ke kehidupan modern, hingga kehidupan posmodern saat ini. Beragam fenomena hadir mengiringi perubahan demi perubahan yang terjadi. Berada di tengah kenyataan yang demikian itu, terbitlah suatu kesadaran untuk mempertanyakan kembali batas-batas relasi proses realisasi dan implikasi kehidupan teater demi memperluas cakrawala estetika sebuah kebudayaan agar tidak berhenti sebagai wacana. Jika kita kembali menoleh ke belakang, akan terlihat fenomena tumbuh-kembangnya kelompok-kelompok teater modern di Yogyakarta pada tahun 1959 hingga tahun 1965. Baru setelah lebih dari sepuluh tahun Indonesia merdeka kehidupan teater modern beranjak, meski tidak pernah bisa meninggalkan, dari seni tradisi yang ada sebelumnya. Yang menonjol terjadi pada kelompok-kelompok teater kala itu ialah menguatnya ideologi pada masing-masing kelompok sebagai suatu
identitas. Semangat ideologis menjiwai masing-masing kelompok yang tumbuh di Yogyakarta. Pada masa-masa itu, keberadaan kelompok teater tidak bisa lepas dari pengaruh situasi politik nasional yang tengah terjadi. Lembaga-lembaga kebudayaan dibentuk dan berafiliasi untuk mendukung ideologi politik yang dianut oleh kelompok atau partai politik.
Pada masa-masa itu, kisaran tahun 1961, Rendra sepulang dari Amerika Serikat mendirikan sebuah grup teater di Yogyakarta yang kemudian terhenti ketika ia mesti pergi lagi ke Amerika Serikat untuk kedua kalinya. Kisaran tahun 1968, Rendra kembali ke Indonesia dan kembali mendirikan grup teater yang lantas kita kenal hingga kini dengan nama Bengkel Teater. Bengkel Teater adalah wajah baru teater modern Indonesia. Rendra melalui Bengkel Teater telah mengubah paradigma mengenai teater di Indonesia khususnya di Yogyakarta. Yang dikedepankan ialah pencarian dan pembentukan karakter aktor, bukan sekadar menghadirkan pementasan drama, apalagi menjadi alat politik.
Kehidupan teater di Indonesia, terutama di Yogyakarta, yang lesu oleh karena peristiwa ‘65 kembali bersemangat. Satu demi satu para tokoh teater dari masing-masing kelompok yang sudah ada sebelumnya memilih
OLEH LATIEF S. NUGRAHA
EDITORIAL
Teater Yogya di Hadapan Peradaban Masyarakat KontemporerYang menonjol terjadi pada kelompok-kelompok teater
kala itu ialah menguatnya ideologi pada masing-masing
kelompok sebagai suatu identitas. Semangat ideologis
menjiwai masing-masing kelompok yang tumbuh di
Yogyakarta. Pada masa-masa itu, keberadaan kelompok
teater tidak bisa lepas dari pengaruh situasi politik nasional
yang tengah terjadi. Lembaga-lembaga kebudayaan
dibentuk dan berafiliasi untuk mendukung ideologi politik
yang dianut oleh kelompok atau partai politik.
7
matajendela
6
SENI BUDAYA YOGYAKARTA
untuk bergabung dengan Rendra. Muncullah kesan bahwa hanya ada satu kelompok teater di Yogyakarta, yakni Bengkel Teater. Tentu saja hal tersebut merupakan suatu peristiwa yang tidak sehat dalam tumbuh kembang teater di Yogyakarta. Meskipun demikian, dari hal tersebut di kemudian hari tercatat bahwa gairah pertumbuhan teater di Yogyakarta justru semakin berkembang setelah sejumlah anggota, termasuk salah satunya adalah pendiri Bengkel Teater membentuk grup teater baru, puncaknya ketika Bengkel Teater, hijrah ke ibukota. Maka, bertumbuhkembanglah Teater Alam oleh Azwar A.N., Teater Mandiri
oleh Putu Wijaya, Teater Dipo (yang kemudian berganti nama jadi Teater Dinasti) oleh Tertib Suratmo-Fajar Suharno. Kelompok-kelompok teater yang muncul di Yogyakarta setelah Bengkel Teater itu hadir ke tengah medan laga dengan mengibarkan panji-panji identitas masing-masing. Di dalam catatan sejarah, tahun 1970-an hingga 1980-an adalah masa-masa kejayaan teater di Yogyakarta. Berbagai pementasan teater dihadirkan oleh beragam kelompok teater. Ajang kompetisi pertunjukan teater pun kemudian melahirkan kelompok-kelompok baru. Pada tahun 1980-an bahkan berdiri Himpunan Teater Yogyakarta (HTY) yang menggelar kegiatan
Arisan Teater di kampung-kampung sebagai wahana alternatif bagi para seniman di kelompok-kelompok teater untuk berproses kreatif. Sayangnya, semaraknya panggung pentas tersebut tidak diimbangi dengan kritik teater yang sehat. Respons mengenai pementasan teater berhenti sebagai wacana dan tidak menjadi bahan diskusi untuk memperbaiki keadaan. Kritik diterjemahkan mentah-mentah sebagai kecaman yang tidak membangun dan cenderung mendorong tembok dhoyong konsep teknis dan esensial yang didirikan. Kritik dianggap hanya menyentuh kulit gejala dan ditanggapi dengan ketidakdewasaan dalam bersikap
Latief S. Nugraha
Redaksi Mata Jendela
EDITORIAL
LATIEF S. NUGRAHA Teater Yogya di Hadapan Peradaban Masyarakat Kontemporersehingga membuat dinamika teater di Yogyakarta terbelah-belah, tidak berkembang ke arah yang baik. Persoalan lain yang terjadi adalah tidak sedikit para teaterawan yang kemudian merambah ke dunia pertelevisian dan perfilman. Dari yang tidak sedikit itu pula, ada yang memilih hijrah ke Jakarta dan kota-kota besar lainnya. Di satu sisi, kondisi politik kembali memberikan pengaruhnya dengan sejumlah kontrol, sensor, bahkan larangan pentas teater. Gedung Senisono yang berdiri sejak tahun 1915 dan telah dijadikan sebagai pusat kebudayaan insan seni di Yogyakarta sejak tahun 1968, pada tahun 1995 dibongkar. Gedung bersejarah yang telah melahirkan berbagai dinamika seni budaya serta menjadi saksi dari berbagai peristiwa bernilai itu pun runtuh. Laboratorium seni budaya Yogyakarta di Purna Budaya yang terletak di kawasan Universitas Gadjah Mada pada tahun yang sama juga diminta oleh pihak kampus untuk menjadi sarana kegiatan mahasiswa. Walhasil, sejak tahun 1990-an sampai tahun 2000-an awal, aktivitas teater maupun pertunjukan teater di Yogyakarta terpuruk. Angin segar bagi dunia seni, khususnya teater di Yogyakarta, berembus sejak dibangunnya Taman Budaya Yogyakarta pada tahun 2002. Babak baru dinamika seni budaya di Yogyakarta telah dibuka. Dengan adanya fasilitas berkesenian, roda kehidupan teater di Yogyakarta pun perlahan mulai bergerak. Teater Yogyakarta membutuhkan panggung. Pada tahun 2000-an, satu sejarah baru telah hadir dengan mencoba memisahkan diri dari sejarah sebelumnya. Kehadirannya didahului dengan mengusung kehendak sesuatu yang baru dan beda. Kehidupan teater pun tumbuh di tengah realitas masyarakat kontemporer sebagai masyaratak pasca-industri, masyarakat komputer, masyarakat konsumen, masyarakat media, masyarakat tontonan, masyarakat nilai-tanda, dan masyarakat nilai simbol.
Bertemu dengan realitas tersebut, kehidupan teater di Yogyakarta pun gagap dengan persoalan manajemen. Hal tersebut seperti sebuah pekerjaan rumah yang tidak pernah usai dikerjakan. Hingga saat ini hanya sedikit kelompok teater yang selesai dengan persoalan manajemen produksi, sisanya terus berusaha berjalan dengan terseok-seok dihajar keadaan. Sebut saja
Teater Gandrik, Teater Garasi, Kalanari Theatre Movement, dan Papermoon Puppet Theatre sebagai sebagian kecil kelompok teater yang berhasil mengelola persoalan dapur sehingga dapat survive bahkan
menjangkau dunia lain yang beyond imagination. Yogyakarta telah melahirkan cerita-cerita besar dalam sejarah teater di Indonesia. Namun, di balik itu semua masih banyak persoalan di belakang megahnya panggung pentas yang hingga tahun 2019 ini tak kunjung terselesaikan. Bukan hanya persoalan teknis yang melingkupi nasib kelompok teater; profesionalitas, produktivitas produksi pentas, penciptaan naskah baru, tetapi juga nasib para pelaku teater yang penuh dengan keprihatinan, sama memrihatinkannya dengan kondisi kehidupan teater menghadapi masyarakat yang kian keranjingan mesin virtual dan media audio visual yang bersifat digital. Regenerasi tak kalah penting dalam isu di seputar dunia teater hari ini. Dalam hal ini, agaknya kemunculan Dewan Teater Yogyakarta (DTY) menjadi penting adanya. Dinas Kebudayaan DIY dan Taman Budaya Yogyakarta (TBY) selaku pemangku kebijakan dengan Dana Keistimewaan pun telah mendukung, memfasilitasi, dan memajukan kehidupan seni pertunjukan baik tradisi maupun modern di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Kini, menjadi tantangan bagi kelompok-kelompok teater dan para pelakunya untuk mengemas seni pertunjukan yang kekinian di era digital seperti sekarang. Jika tidak, maka apresiasi generasi milenial terhadap teater akan memudar. Inovasi menjadi kata kunci.
Demikianlah sekilas-lintas persoalan dunia teater di Yogyakarta dewasa ini. Yogyakarta sebagai salah satu poros dinamika teater di Indonesia tak lepas dari keterikatan persoalan wacana-wacana tersebut. Kehidupan teater Yogyakarta di hadapan peradaban masyarakat kontemporer menjadi penting untuk dikupas dan digagas. Untuk itulah Mata Jendela edisi kali ini hadir.
Yogyakarta telah melahirkan cerita-cerita besar dalam
sejarah teater di Indonesia. Namun, di balik itu semua masih
banyak persoalan di belakang megahnya panggung pentas
yang hingga tahun 2019 ini tak kunjung terselesaikan. Bukan
hanya persoalan teknis yang melingkupi nasib kelompok
teater; profesionalitas, produktivitas produksi pentas,
penciptaan naskah baru, tetapi juga nasib para pelaku teater
yang penuh dengan keprihatinan, sama memrihatinkannya
dengan kondisi kehidupan teater menghadapi masyarakat
yang kian keranjingan mesin virtual dan media audio visual
yang bersifat digital. Regenerasi tak kalah penting dalam isu
di seputar dunia teater hari ini.
7
6
9
matajendela
Seni Pertunjukan Sebagai Jaringan Gagasan8
SENI BUDAYA YOGYAKARTA
JENDELA
SHOHIFUR RIDHO’IFoto 1
Un(fitting), sebuah pementasan dari Kalanari Theatre Movement dalam acara Parade Teater Yogyakarta, Selasa, 4 September 2018 di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta.
Seni Pertunjukan
Sebagai Jaringan gagasan
Awalan
P
ada tahun 2010, ketika belum lama tinggal di Yogyakarta, dalam situasi keterbatasan pergaulan dan tontonan, saya melihat teater hanya sebagai “teater” di dalam kawasan dan wacana sejarah Teater Indonesia dengan seluruh stereotip yang melekat padanya: tidak hanya berpikir dalam logika kategoris seperti apa yang disebut teater realis, teater tubuh, dan lain-lain, tetapi juga dalam struktur yang hierarkis bahwa sebelum menjelajahi “teater eksperimental” (terlepas dari betapa bermasalahnya istilah tersebut) mesti lebih dulu melewati fase “teater realis”.Di dalam situasi keterbatasan pergaulan dan tontonan itulah saya sikapi pernyataan saya di atas sebagai sebuah asumsi, ia bisa benar dan juga bisa keliru. Ketimbang menyusur pernyataan di atas dan bagaimana teater didefinisikan dengan menunjukkan kategori-kategori yang dikotomis, saya lebih tertarik untuk menyisir bagaimana “seni pertunjukan” sesungguhnya
bukan soal bentuk artistik semata melainkan juga kerja jaringan
gagasan. Dan bagaimana perbedaan-perbedaan seperti pilihan tema, pilihan bentuk, strategi kerja dan lain-lain, saya sikapi sebagai logika yang lebih dialektis.
Ya, saya akan memakai istilah “seni pertunjukan” ketimbang “teater”. Dengan istilah itu, saya bisa menjangkau praktik artistik secara lebih luas lagi namun dalam batas seni yang juga memakai “pertunjukan” sebagai mediumnya. Pilihan istilah ini juga didasari oleh kenyataan bahwa karya-karya seni pertunjukan tidak serta merta dapat digolongkan sebagai teater, tari, atau performance art. Selain itu, juga didasari oleh kenyataan bahwa tak terbatasnya praktik lintas disiplin yang memakai pertunjukan sebagai metodologi dan bentuk artistiknya. Oleh karena itu, perlu ada perluasan pemaknaan sehingga distribusi pengetahuan menyentuh ke batas-batas yang lebih luas. Dengan
kerangka itu, kita bisa melihat jaringan
OLEH SHOHIFUR RIDHO’I
benda-benda lampau dan tubuh dan benda-benda kini. Soalnya adalah bagaimana melihat hal itu sebagai kerangka dramaturgis yang kemudian dibaca sebagai strategi, metodologi, konsepsi penciptaan, dan bentuk.
Arsip kemudian memperlihatkan kemungkinannya untuk hidup, bukan lagi data mati yang mendekam dalam lemari kaca dan berkarib dengan debu di sudut museum. Melalui seni pertunjukan, arsip memperpanjang riwayatnya sebagai hikayat masa lalu yang relevan. Akhirnya, seni pertunjukan bukan lagi hanya sebagai medium, melainkan metodologi mendekati dan membaca arsip. Dua bahasan di bawah ini adalah upaya melihat potensi arsip sebagai sesuatu yang performatif.
Arsip Bergerak
dan Repertoar Sosial
Pada penghujung bulan Oktober dan awal November 2015, di Gedung Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta, saya memperoleh kesempatan menonton arsip sebagai kenyataan performatif dalam pertunjukan berjudul 100% Yogyakarta karya Rimini Protokoll, sebuah kolektif asal Jerman. Arsip di pertunjukan ini mesti saya definisikan ulang sebagai sesuatu yang memiliki kontak dengan sejarah sosial. Seratus orang warga yang berasal dari beragam etnis, usia, status sosial, kelas, pandangan politik, ideologi, yang mendiami Yogyakarta sebagai ruang sosial dapat dilihat sebagai arsip hidup. Malam itu mereka adalah performer yang menyimpan memori tentang kota ini. Mereka adalah subjek yang merekam banyak pengalaman di dalam kenyataan masing-masing orang.
Foto 1
gagasan yang kemudian menavigasi ekosistem seni pertunjukan di Yogyakarta ke ruang-ruang diskusi yang lebih kaya.
Namun, perlu saya tegaskan,
“Yogyakarta” dalam konteks ini saya lihat sebagai simpul ruang sosial yang tidak kedap dari jaringan gagasan dari kota-kota lain di Indonesia, atau bahkan dari negara lain. Oleh karena itu, untuk memperkaya spektrum tulisan ini, saya perlu menyebut beberapa karya seni pertunjukan yang pernah dipentaskan di Yogyakarta meski tidak dibuat oleh seniman Yogyakarta. Dalam empat tahun terakhir, saya mendapati satu
proyeksi penciptaan seni pertunjukan yang bersumber pada arsip. Proyeksi ini menarik karena tidak hanya melihat arsip sebagai sesuatu yang lampau dalam lintasan ruang sejarah yang penting dimaknai dan dibaca ulang dengan sudut pandang yang segar, melainkan juga melihat pergeseran dan reposisi seni pertunjukan untuk memantik percakapan di sekitar ide tentang temporalitas tubuh dan
11
matajendela
Seni Pertunjukan Sebagai Jaringan Gagasan10
SENI BUDAYA YOGYAKARTA
JENDELA
SHOHIFUR RIDHO’IKeseratus orang itu bukan aktor dan mereka sama sekali tak berkarib dengan panggung. Mereka dipilih dari warga biasa atas kriteria spesifik tertentu sebagai representasi 1% populasi. Pertunjukan ini menjadi menarik justru karena mereka bukan aktor, dan oleh sebab itulah mereka memainkan peran sebagai dirinya sendiri. Melalui subjek-subjek itulah kenyataan tentang Yogyakarta hadir secara nyata.
Nama “Protokoll” berarti jurnal atau laporan. Kelompok yang hanya terdiri dari trio sutradara bernama Helgard Haug, Stephan Kaegi, dan Daniel Wetzel ini dikenal dengan karya-karya yang membawa
pengalaman nyata ke atas panggung. Penghadiran yang “nyata” ke atas panggung itu dilakukan dengan strategi menampilkan subjek terkait yang mengalami langsung peristiwa. Sungguh mustahak gaya pertunjukan mereka bak reportase terhadap isu-isu sosial tertentu yang berlangsung di tengah masyarakat. Oleh sebab itu, di tangan Rimini Protokoll, pengertian tentang aktor pun bergeser, kaitannya dengan apa yang disebut “nyata” di atas. Dalam 100% Yogyakarta, fungsi aktor atau pemain bukan lagi sebagai “pemeran” yang membawa semangat mimetik naif dari tokoh yang diangkat dalam naskah, tetapi aktor benar-benar mempresentasikan dirinya sebagaimana yang dialami dalam kenyataan sehari-hari.
Seratus orang itu adalah seratus isu, arsip sosial, data statistik, dan sudut pandang yang hadir bersamaan di atas panggung. Oleh karenanya saya tak meragu jika menarik simpul bahwa selain sebagai salah satu bentuk teater dengan ide yang segar, 100% Yogyakarta juga dokumentasi sosial
berharga yang memapar masyarakat kita.
Subjek terkait yang mengalami peristiwa sebagai arsip sosial pernah saya tonton dalam pertunjukan Selamatan Anak Cucu Sumilah (2018). Bertempat di selasar kampus FISIPOL Universitas Gajah Mada, pertunjukan yang disutradarai oleh Irfanuddin Ghozali ini menempatkan acara perjamuan makan daging kambing sebagai aspek material untuk menuju ke lokasi isu yang sesungguhnya: tragedi kemanusiaan 1965.
Pertunjukan ini dimainkan langsung oleh ibu-ibu penyintas tragedi 1965 yang tergabung dalam Kiprah Perempuan (KIPPER) dan Teater Tamara (Tidak Mudah Menyerah) serta melibatkan anak-anak muda yang tergabung dalam Teater Selasar (FISIPOL UGM), Teater Gadjah Mada, Studio Malya, dan pengunjung/ penonton. Pertunjukan partisipatif ini tidak saja membincangkan isu tentang momen traumatik di dalam sejarah gelap masa lalu, melainkan juga sebagai momen “bertemu” antargenerasi untuk melihat kembali bagaimana politik kekuasaan bekerja dan bagaimana anak muda memaknai serta mengambil posisi atas narasi sejarah.
Kesenjangan atas pengetahuan sejarah gelap masa lalu antara ibu-ibu penyintas yang berhadapan langsung dengan kekuasaan dengan anak muda yang berada dalam situasi di mana narasi hadir dalam banyak bentuk dan versi coba dijembatani dalam pertunjukan Selamatan Anak Cucu Sumilah ini. “Perjumpaan” ini tidak hanya memperlihatkan kompleksitas tragedi 1965 melainkan juga bagaimana anak muda tampil
pertunjukan A Brief History of Dance (2018). Pertunjukan karya Ari Dwianto ini hadir sebagai ingatan personal Ari, namun juga tampil sebagai sejarah kecil (sebagian) masyarakat Indonesia. Naskah yang ditulis, dimainkan, dan sekaligus disutradarai oleh Ari sendiri ini mengusung strategi teks autobiografis yang intim. Teks itu disusun dari perca ingatan yang sekilas berlintasan dan tak linier. Ingatan yang beroperasi sebagai wilayah internal. Ketika ingatan itu coba ditulis (dan kemudian ditubuhkan), teks itu kemudian menjadi (terasa) eksternal dan beroperasi di dalam ingatan banyak orang sebagai sejarah kolektif. Setelah teks berubah menjadi eksternal, maka tubuh Ari dengan teks (kisahnya sendiri) berjarak. Ari menggali “ke dalam” dan dibawa “ke luar” untuk kemudian “dimasuki” kembali sejarahnya. Kualitas
keberjarakan tersebut memungkinkan untuk dilihat dalam satuan rentang spasial-temporal yang kompleks: rentang posisi pengalaman ketika peristiwa (yang ditulis di dalam teks) terjadi dan posisi ketika sejumlah peristiwa dan pengalaman itu diingat dan dituliskan. Maka “menyusun” perca-perca ingatan tak linear itu menjadi semacam tindakan koreografis.
Sepanjang pertunjukan, kita menghadapi sikap tubuh Ari yang tegang, diam, berdiri tegap (mengingatkan saya pada sikap seorang anggota militer), dan hanya memperlihatkan gerakan-gerakan kecil—sementara itu beberapa bagian kisah adalah hal besar dalam sejarah politik Indonesia: Soeharto, Garuda Pancasila, dan seterusnya— memperlihatkan satu represi yang
keras dan brengsek: satu kualitas tubuh yang berasal dari sejumlah akumulasi “ketakutan”. Kita dapat menikmati tuturan Ari yang malu-malu mengisahkan kekonyolannya sendiri, namun tak dapat menyangkal “keganjilaan” sikap tubuhnya. Teks dan tubuh punya titik tolak yang berlainan namun terikat dalam satu kondisi tertentu.
Empat pertunjukan yang saya
percakapkan di atas adalah sebagian kecil pertunjukan yang menempatkan subjek-yang-mengalami-langsung-peristiwa sebagai “aktor utama”. Kualitas representasi bukan lagi sesuatu yang mesti diperdebatkan, melainkan bagaimana mereka hadir dan membicarakan langsung isu yang sedang dan telah mereka hadapi dan alami, yaitu isu tentang kemanusiaan.
Materialitas dan
Strategi Menubuhkan
Arsip
Jika subjek-yang-mengalami-langsung-peristiwa memerankan dan berkisah sebagai dirinya sendiri sebagaimana yang telah dibahas, kali ini saya akan mencoba melihat bagaimana arsip berupa benda, suara, dan kata ditubuhkan dalam beberapa nomor pertunjukan di bawah ini. Pada tahun 2018, Kalanari Theatre Movement membuka pintu lemari mereka yang berisi artefak tinggalan pertunjukannya terdahulu. Karya berjudul (Un)Fitting ini coba melihat ulang kostum sebagai narasi pengisahan dalam tegangan kostum sebagai bagian dari sejarah pertunjukan Kalanari dan kostum sebagai proyeksi pemaknaan ketika sebagai subjek yang mengemban
tanggung jawab dalam upaya-upaya menuju rekonsiliasi.
Pertunjukan lain yang tak kalah menarik dibahas dalam kaitannya subjek yang mengalami langsung peristiwa berlangsung adalah pertunjukan Margi Wuta (2013) karya Joned Suryatmoko, produksi Teater Gardanalla. Pertunjukan ini melibatkan difabel netra sebagai aktor. Karya ini sepintas menggarisbawahi ide tentang “mengalami pertunjukan” di mana penonton bukan lagi dilihat sebagai subjek yang berdiri di dalam jarak tertentu yang melihat pertunjukan sebagai proyeksi visual belaka. “Mengalami pertunjukan” artinya merasakan sensasi di mana menonton bukan hanya kegiatan “melihat”, tetapi juga mengaktivasi seluruh indra yang kita miliki. Dalam pertunjukan ini, penonton mengalami dua kali cara menonton. Pertama, penonton “dibutakan” dengan cara ditutup matanya. Dalam momen ini mereka menyerap dan mengalami pertunjukan tentang dunia difabel netra.
Kedua, penonton kemudian diberi kesempatan menonton pertunjukan yang sama dengan mata terbuka. Pelibatan difabel netra sebagai aktor adalah poin tersendiri yang bukan saja menarik untuk melihat bagaimana mereka berkisah tentang dunia “tanpa visual” yang juga dialami oleh penonton kategori pertama di atas, melainkan juga memunculkan kesan empatik dan bahkan melampaui cara pandang kita atas kategori-kategori kehidupan sosial yang menempatkan penyandang difabel sebagai subjek-subjek yang berada di pinggir. Sementara itu, karya yang lebih personal bisa kita rujuk pada
yang lampau coba dilepaskan dan bertemu dengan tubuh-tubuh baru serta repertoar baru.
Selain dalam kerangka proyeksi tatapan ke depan (“apakah kostum tersebut memiliki makna baru ketika bertemu dengan pelaku baru”, atau dalam kata lain, menguji sisi materialitas kostum di dalam konteks yang lain), karya ini sebetulnya juga sedang menegok “ke dalam”, ke sejarah ruang dan temporalitas dalam perjalanan Kalanari yang direkam oleh kostum.
Tentang perkara bagaimana
mendekati material arsip sebagai teks performa yang turut memunculkan pilihan-pilihan dramaturgis, bisa kita sebut nomor pertunjukan Tak Ada Mikrofon Untuk Takdir (2018) karya Teater Ghanta (Jakarta). Bertolak dari arsip audio ceramah Sutan Takdir Alisjahbana pada tahun 1970 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Teater Ghanta mencoba mempresentasikan ulang arsip tersebut tidak hanya untuk melihat kualitas percakapan di sekitar polemik kebudayaan pada periode di mana Indonesia sedang “mencari” identitas, tetapi juga bagaimana arsip tersebut ditubuhkan dengan cara memproduksi ulang suara melalui logika partitur dengan mendeteksi ucapan dan napas. Sementara itu, distorsi suara yang berasal dari cacat digital dinotasi melalui kategori kata, bunyi, diam, dan jeda.
Dua level percakapan berlangsung di pertunjukan yang disutradarai oleh Yustiansyah Lesmana ini. Level pertama berkisar di dalam percakapan tentang posisi Indonesia sebagai rumah suatu bangsa pasca-kolonial baru di dunia. Perbincangan berpusar pada identitas bangsa dan bagaimana
13
matajendela
Seni Pertunjukan Sebagai Jaringan Gagasan12
SENI BUDAYA YOGYAKARTA
JENDELA
SHOHIFUR RIDHO’Isemestinya Indonesia memikirkan strategi untuk melangkah ke depan sebagai upaya memaknai dan merefleksikan wacana kebudayaan nasional. Level kedua berkisar di aspek representasi ketika arsip mengalami penubuhan tidak hanya di suara, tapi juga gerak, benda properti, panggung, dan teks performatif lainnya. Di level ini Teater Ghanta bekerja dalam satu jarak tertentu untuk menatap percakapan di level pertama.
Perkara sejarah material arsip dan proyeksinya ke penubuhan di dalam seni pertunjukan kontemporer juga bisa dilacak pada karya MN. Qomaruddin & Performer Studio Teater Garasi yang berjudul Sisa-Sisa Percakapan (2018). Pertunjukan ini berangkat dari arsip ulasan dan surat pembaca dari penonton Bengkel Teater Rendra, terutama karya “mini kata” Bip Bop (1968) yang terbit di koran. Pada masanya, pertunjukan ini mendapat perhatian dari publik karena bentuk eksperimentasinya berada di luar pertunjukan pada umumnya. Bip Bop mengetengahkan eksplorasi gerak tubuh dan bunyi.
Sisa-Sisa Percakapan mencoba melihat sisi lain dari sejarah kepenontonan melalui teks ulasan dan surat pembaca atas Bip Bop dan refleksinya atas praktik kepenontonan hari ini. MN. Qomaruddin & Performer Studio melihat
bahwa seni pertunjukan bukan semata apa yang berlangsung di panggung melainkan juga apa yang berlangsung di luar panggung, yaitu di ruang gelap tempat penonton duduk tenang menyaksikan pertunjukan. Soalnya adalah bagaimana melihat keduanya dalam hubungan yang dialektis. Sehabis audio, kita bergerak pada arsip video sebagai sumber penciptaan, yaitu melalui pertunjukan Nyae (2017) karya Dendi Madiya bersama Artery Performa (Jakarta) yang bersumber dari tiga arsip video pertunjukan Teater SAE. Masing-masing berjudul Pertumbuhan di Atas Meja Makan (1991), Biografi Yanti Setelah 12 Menit (1992), dan Migrasi dari Ruang Tamu (1993). Tiga pertunjukan itu adalah situs berupa gambar bergerak/video dokumentasi dengan segala distorsi yang disebabkan kualitas teknologi pada masa itu. Video tersebut adalah “penggandaan (perekaman)” peristiwa yang tentu saja tidak dapat mewakili seluruh aspek peristiwa seperti ketika ketiga karya tersebut dimainkan secara langsung. Maka sistem “penggandaan” pada video tersebut adalah ruang di mana Dendi Madiya dapat mengakses sebagian data (visual, suara) dan sebagian lagi (yang tak dapat ditangkap: suasana, gelap, bau, dll.) tetap bersama sejarahnya (waktu lampaunya Teater SAE dan penontonnya).
Berbekal tiga video tersebut, Dendi Madiya melakukan reenactment atas sebagian adegan dengan cara meng-copy paste tiga arsip video pertunjukan Teater SAE. Pertunjukan Nyae menciptakan kembali salah satu periode sejarah tentang tubuh, benda, dan teks yang lahir dari kultur urban Jakarta serta irisannya dengan
pengalaman politik represi rezim Orde Baru. Nyae membangkitkan kelampauan Teater SAE dengan segala dinamika dan kompleksitas ruang-waktu di tengah penonton masa kini yang sebagian besar tak memiliki pengalaman menonton Teater SAE.
Hal menarik yang dapat diungkap dari pengalaman menonton Nyae adalah (1) sistem penggandaan sebagai berikut: Teater SAE > video > Nyae = peristiwa > perekaman (momen penggandaan)/arsip > peristiwa. Dari ilustrasi tersebut, tidak hanya kita lihat (2) skema alur dan proses penciptaan, melainkan juga mempercakapkan periode sejarah Teater SAE yang merentang selama 20 tahun lebih sampai sekarang dan kemudian dihadirkan oleh aktor/ performer dengan pengalaman tubuh dari periode sejarah yang berbeda. Nyae (3) hadir tidak untuk mengulang sejarah melainkan membuka
(pengalaman menonton) situasi “ke-berjarak-an” yang membuat saya menghela napas sembari berpikir ulang dan bertanya: “(peristiwa dan perubahan) apa saja yang terjadi selama 20 tahun lebih ini?”
Tentang arsip dan relasinya dengan periode kekuasaan yang otoriter dapat kita tunjuk satu pertunjukan karya Akbar Yumni yang berjudul Menonton Film Turang (2017). Pertunjukan ini berangkat dari film Turang (1957) karya Bachtiar Siagian yang filmnya dimusnahkan oleh rezim Orde Baru. Bachtiar Siagian adalah seniman Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dan film Turang pernah menerima penghargaan dari Festival Film Indonesia (FFI) pada tahun 1960. Pertunjukan ini memang berangkat
Foto 2
Tik Tok, sebuah pementasan dari Teater Sakatoya dalam acara Festival Teater Jogja 2016. Dokumentasi Taman Budaya Yogyakarta.
Foto 2
dari arsip yang sudah tidak ada. Hal ini memunculkan pertanyaan di sekitar ide tentang “representasi”. Akbar Yumni coba “menghadirkan ulang” arsip tersebut melalui seni pertunjukan. Aspek performatifitas bukan lagi soal bentuk atau medium melainkan metodologi untuk
menciptakan kemungkinan apa yang bisa dilakukan seni pertunjukan atas “sesuatu yang tidak ada” sembari mempertanyakan kembali apa itu arsip dan sejarah.
Akhiran
Dari uraian di atas, sekali lagi, di dalam situasi keterbatasan pergaulan dan tontonan, tentu saja catatan ini segera memperlihatkan wataknya sebagai amatan yang sangat terbatas. Seluruh pertunjukan di atas, baik yang dibuat oleh seniman/kelompok Yogyakarta maupun seniman/ kelompok dari luar kota, pernah dipentaskan di berbagai platform seni pertunjukan yang ada di Yogyakarta. Kita bisa melihat bagaimana karya-karya di atas memiliki satu tautan ide atas arsip dan bagaimana karya-karya tersebut turut memperkaya wacana seni pertunjukan di kota ini. Persis di titik itulah apa yang saya sebut seni pertunjukan sebagai jaringan gagasan. Mungkin ada beberapa karya lain yang sama pentingnya, namun saya tidak menonton sehingga luput dari amatan.
SENI BUDAYA YOGYAKARTA
Shohifur Ridho’i
15
matajendela
SENI BUDAYA YOGYAKARTA
Teater Yogya Menggeliat
Teater Yogya Menggeliat
K
ata “menggeliat” menggiring imajinasi kita pada makhluk hidup yang melakukan suatu gerakan usai bangun tidur. Ibarat makhluk hidup, teater Yogya memang tengah menggeliat setelah tidur panjang. Hampir sepuluh tahun, bahkan lebih, atau sejak tahun 1990 sampai tahun 2000-an awal, bisa dibilang tidak terdengar lagi ingar bingar aktivitas teater maupun pertunjukan-pertunjukan teater di gedung-gedung kesenian di Yogyakarta. Kalaupun ada pertunjukan teater yang sempat digelar di Taman Budaya Yogyakarta atau di gedung-gedung pertunjukan teater, nyaris tidak pernah mampu menarik perhatian publik maupun menjadi bahan gunjingan di warung-warung kopi.Tidur panjangnya usia “makhuk hidup” benama teater ini tentu disebabkan oleh banyak hal. Salah satunya adalah bubarnya sanggar-sanggar teater yang ada di kampung-kampung dan tidak pahamnya pemegang kebijakan atau pemerintah terhadap bidang seni teater, sehingga
teater tidak pernah diusulkan dalam Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD). Kalimat nomenklatur “apresiasi seni” atau “pembinaan bidang seni” selalu saja pada praktiknya direalisasikan ke bidang seni lain kecuali bidang seni teater. Bahkan sikap stereotip kepada bidang teater selalu saja terjadi. Pemahaman “teater sebagai kumpulan kaum urakan” menjadikan para pekerja teater dan teaterawan seperti anak tiri.
Penyebab lain yang membuat matinya kehidupan teater di Yogyakarta adalah mahalnya harga sewa gedung pertunjukan yang representatif. Kala itu, yang bisa tampil menggelar pementasan hanya grup kesenian yang mampu membayar biaya sewa gedung saja. Janji palsu saat pembongkaran Seni Sono (satu-satunya gedung kesenian di Kota Yogyakarta) yang ada di Titik Nol Malioboro tahun 1980-an, yang dibongkar untuk perluasan kawasan Istana Presiden Gedung Agung, dan oleh pemerintah dijanjikan akan dibangunkan sebuah gedung
OLEH WAHYANA GIRI MC
kesenian baru (sekarang Taman Budaya Yogyakarta) dengan biaya sewa yang murah ternyata tidak pernah terbukti.
Penyebab berikutnya, tidak adanya grand desain atau konsep pendampingan, pemberdayaan, dan fasilitasi pemerintah terhadap grup-grup kesenian teater (bahkan juga grup kesenian lain) sehingga mengakibatkan sanggar-sanggar teater terpaksa harus bekerja keras dan memeras otak untuk bisa mempertahankan eksistensi grup teater yang dibangunnya. Dan tentu kerja keras para aktivis sanggar teater tersebut pada saatnya pasti runtuh. Di satu sisi, para pekerja teater itu harus terus berupaya menghidupkan sanggarnya, di sisi lain mereka harus tetap terus mempertahankan periuk nasi keluarganya.
Dan hal utama yang menjadi penyebab matinya teater di Yogya tahun 1990 hingga tahun 2000-an adalah surutnya para “begawan teater” (istilah bagi teaterawan yang memiliki sanggar teater, yang setiap
hari menjadi pelatih, sutradara, ketua sanggar bahkan menjadi sosok yang harus menanggung seluruh kebutuhan hidup matinya sanggar) di jagat perteateran.
Surut atau mundurnya para begawan teater tersebut disebabkan banyak hal, di antaranya mereka terpaksa pindah ke luar kota, atau karena meninggal dunia, atau sengaja memilih pensiun dari dunia teater karena terpaksa harus lebih total bekerja di bidang lain demi untuk menghidupi keluarganya. Surutnya para Begawan teater dari jagat teater ini tentu sangat berpengaruh terhadap hidup matinya sanggar teater yang mereka dirikan. Kenapa? Karena konsep organisasi sanggar teater di Yogya selama ini menganut sistem padepokan. Dalam arti, sanggar teater hanya memiliki seorang patron
di dalamnya. Patron itulah yang kemudian diyakini sebagai begawan di sanggar tersebut. Patron itulah yang selalu mendinamisasi hidup matinya sanggar teater. Bahkan sampai pada hal-hal teknis seperti menentukan format pertunjukan, memilih naskah, menyutradarai, dan juga melatih para catrik mentriknya atau aktivis teater anggota sanggar.
Para begawan teater atau patron sanggar di Yogya di antaranya Azwar AN (Teater Alam), Pedro Sudjono (Teater Muslim), Fadjar Suharno (Teater Dinasti), Yoyok Aryo (Teater Republik), Puntung CM Pudjadi (Teater Shima), Noor WA (Teater Jeprik), Aziz Sumarlo (Teater Kronis), Jack Sampurna (Teater Nusantara), Fred Wibowo (Teater Puskat), Gentong Hariono Selo Ali (Teater Tikar), Landung Rusyanto Simatupang
(Teater Stemka), Suharyoso SK (Teater Gadjah Mada), dan R. Katri B.Sc (Teater ATFI).
Demikian juga yang terjadi pada generasi berikutnya, yakni generasi Arisan Teater Himpunan Teater Yogyakarta (HTY) seperti Suwarto Peyot (Teater Gedek), Tri Novi Riyanto (Teater X), Niesby Sabakingkin (Teater Bunga), Cornelius Sumadi (Teater Klitik), Nanang Sugeng Atmanto (Teater Trah), Cecep Buntoto (Teater Bledeg Tegalredjo), dan banyak lagi yang kala itu jumlahnya mencapai 79 grup teater atau sanggar teater yang ada di kampung-kampung di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Sanggar teater yang menjamur di Kota Yogyakarta tahun 1990 hingga tahun 2000-an tersebut runtuh, gulung tikar, atau jika boleh lebih ekstrem
“Hampir sepuluh tahun, bahkan lebih, atau sejak
tahun 1990 sampai tahun 2000-an awal, bisa
dibilang tidak terdengar lagi ingar bingar aktivitas
teater maupun pertunjukan-pertunjukan teater di
gedung-gedung kesenian di Yogyakarta. Kalaupun
ada pertunjukan teater yang sempat digelar di
Taman Budaya Yogyakarta atau di gedung-gedung
pertunjukan teater, nyaris tidak pernah mampu
menarik perhatian publik maupun menjadi bahan
gunjingan di warung-warung kopi.”
14
SENI BUDAYA YOGYAKARTA
17
matajendela
16
SENI BUDAYA YOGYAKARTA
JENDELA
WAHYANA GIRI MC Teater Yogya Menggeliatdikatakan bubar. Kenapa? Persoalannya adalah manajemen sanggar yang menganut sistem patron. Bukti konkret: sanggar teater yang tidak menganut sistem patron dan tetap memilih menganut manajemen organisasi modern adalah Teater Gandrik. Meski Heru Kesawa Murti dan Saptaria H. sudah lebih dulu meninggal, Teater Gandrik masih tetap eksis sampai sekarang. Contoh lain, sanggar teater yang lebih muda adalah Teater Garasi. Yudhi Ahmad Tajudin dan kawan-kawan menata sanggar ini dengan manajemen yang sangat tertata dan modern. Kerja sama-kerja sama Teater Garasi dengan beberapa funding luar negeri membuat mereka harus benar-benar bisa lebih profesional, tertata, dan terukur.
Teater Danais
Yang mengejutkan kita pada kehidupan teater di Kota Yogyakarta justru ketika Daerah Istimewa Yogyakarta berhasil mendesak pemerintah pusat
untuk mengesahkan Undang-Undang Keistimewaan DIY (UUK DIY). Dengan disahkannya UUK DIY ini, salah satu konsekuensi pemerintah pusat adalah memberikan anggaran belanja untuk program-program yang berkaitan dengan keistimewaan DIY. Salah satu programnya adalah memberikan anggaran pada kegiatan kebudayaan, dan salah satunya adalah kesenian.
Manakala kesenian menjadi bagian prioritas yang didanai dengan Dana Keistimewaan (Danais), tenyata ini justru menimbulkan persoalan baru bagi kehidupan teater di Yogyakarta. Oleh sebagian pemegang kebijakan danais, teater “dianggap” bukan bagian kesenian yang wajib didanai oleh Pemerintah Daerah DIY. Kenapa? Konon teater dianggap sebagai genre kesenian baru (modern) alias bukan bagian dari kesenian tradisional. Pemahaman tentang “modern” dan “tradisi” yang sangat dangkal ini dampaknya makin menyudutkan jenis kesenian teater dan menjadikannya sebagai salah satu jenis kesenian yang nyaris tidak pernah mendapat anggaran dari danais. Kalaupun ada grup-grup teater yang mampu menggelar pertunjukan dengan dibiayai melalui aggaran danais, itu karena kecerdikan pengelola sanggar teater dalam hal menyikapi proposal pengajuan anggaran. Dengan sedikit tambahan atau embel-embel kata “tradisional” atau “teater berbasis tradisi”, tiba-tiba sanggar tersebut bisa pentas dengan danais. Atau, tiba-tiba sebuah event festival teater bisa digelar. Tentu kita semua menjadi tertawa terbahak-bahak lantaran tarik ulur kata “modern” dan “tradisi” tersebut.
Hal ini sangat berbeda dibanding dengan genre kesenian lain seperti seni tari, seni pedalangan, seni karawitan, atau seni tradisional seperti jathilan, gejog lesung, nini thowog, langen mandrawanaran, wayang orang, dan sejenisnya. Nyaris sejak DIY mendapatkan anggaran Dana Keistimewaan, jenis-jenis kesenian “adiluhung” dan tradisional tersebut hampir setiap malam bisa kita saksikan pertunjukannya di pelosok-pelosok desa di DIY.
Ada apa dengan teater? Euforia menggelar pementasan-pementasan nyaris tidak pernah terjadi di jagat seni teater. Kenapa? Tentu ada yang salah memahami jenis seni teater. Teater dianggap sebagai genre seni yang bukan bagian dari seni tradisi kita. Setidaknya para pemegang kebijakan tidak paham bahwa “pertunjukan teater” adalah “media” atau “sejenis alat”. Di dalam pertunjukan teater sangat mungkin kita menyampaikan konten atau hal-hal
yang bersifat “tradisional” atau konten-konten yang sejalan dengan keistimewaan DIY. Atau, dalam kerangka pikir akademisnya, teater adalah bidang seni induk yang di dalamnya ada seni tari, seni rupa, seni sastra, seni musik, dan seni peran (psikologi). Atau, lebih konkret lagi, teater di dalamnya mencakup seni ketoprak, ludruk, mamanda, lenong, dan sejenisnya.
Nah, manakala para pemegang kebijakan Dana Keistimewaan selama ini menganggap sudah
menghidupkan teater (di DIY) dengan cara membiayai pertunjukan-pertunjukan ketoprak atau dagelan mataram, wayang uwong, dan sandiwara basa Jawa dan tidak pernah membiayai pertunjukan “teater modern”, tentu saja kebijakan ini justru turut serta mematikan kehidupan sanggar teater maupun teater di DIY.
Para pekerja teater maupun teaterawan sebatas menjadi penonton euforia pertunjukan seni tradisi. Padahal, jika boleh jujur, sanggar-sanggar teater maupun para pekerja teater tidak kalah piawai bila dipercaya untuk menggelar pertunjukan ketoprak dengan label sanggar teaternya. Namun, yang terjadi selama ini adalah penggiat sanggar-anggar teater dan para pekerja teater duduk manis menyaksikan hiruk pikuk tiada henti pementasan-pementasan seni tradisi yang dilakukan oleh para pekerja seni tradisi.
Celakanya, para pemegang kebijakan anggaran Dana Keistimewaan selama ini tidak memiliki basis data grup-grup kesenian tradisional. Maka yang terjadi adalah diskriminasi pelaku seni. Hanya orang-orang tertentu saja yang sering dibiayai pertunjukannya atau ditunjuk untuk menggelar pertunjukan dengan biaya dari Dana Keistimewaan. Padahal, jika boleh sombong, justru mereka-mereka (para pekerja teater) yang duduk manis di kursi penonton, bila diberi kesempatan untuk menggelar pertunjukan, kualitasnya tidak kalah dahsyat.
Carut-marut seperti inilah yang pada akhirnya membuat kehidupan teater atau sanggar-sanggar teater menjadi makin terpuruk. Sanggar teater tidak mampu lagi atau selalu ditolak ketika mengajukan bantuan anggaran atau meminta kerja sama dengan Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan. Alasan mereka adalah seluruh kegiatan kesenian di DIY sudah didanai dengan anggaran keistimewaan yang sangat besar. Anggaran CSR akan dialokasikan ke bidang yang lain (nonkesenian).
Foto 1
Montserrat karya Emmanual Robles
dipentaskan oleh Teater Alam di Concert Hall, Taman Budaya Yogyakarta Sabtu, 8 Desember 2018 menyongsong sekaligus menandai 47 tahun kiprahnya di kancah teater Indonesia.
19
matajendela
18
SENI BUDAYA YOGYAKARTA
JENDELA
WAHYANA GIRI MC Teater Yogya MenggeliatKebijakan Gubernur
Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Itulah yang dialami sanggar-sanggar teater di DIY. Jika selama ini proposal-proposal mereka yang dikirim ke meja para pemegang kebijakan anggaran keistimewaan DIY hanya ditumpuk di laci atau berserakan di kamar kerja, belakangan ini ada angin segar dari Sri Sultan Hamengkubuwono X, Gubernur DIY, bahwa perlu ada terobosan baru dan cerdas untuk menggunakan anggaran keistimewaan DIY terutama pada bidang kesenian. Konkretnya, selain ketoprak yang harus menghasilkan tafsir-tafsir cerita baru, seni teater mulai diinstruksikan untuk dihidupkan.
Kebijakan Gubernur di bidang kesenian sangatlah menggembirakan bagi para pekerja teater maupun sanggar-sanggar teater. Angin segar berembus di jagat seni teater DIY. Sayangnya, sanggar-sanggar teater yang pernah eksis pada tahun 1990-an hingga tahun 2000-an sebagian besar sudah telanjur gulung tikar.
Memang beberapa grup bersama Dewan Teater Yogyakarta (DTY) sudah mencoba melakukan revitalisai
dengan kembali menggelar pertunjukan-pertunjukan teaternya. Sebut saja Teater Alam, yang berdiri pada tahun 1972 dan belum lama berselang mampu menggelar pementasan berjudul Montserrat di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta dan dibiayai dengan anggaran Dana Keistimewaan DIY. Pertunjukan ini sangat diminati penonton, terbukti seluruh kursi Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta dengan kapasitas 900 kursi dan balkon lesehan penuh dengan penonton. Grup berikutnya yang tidak kalah seru adalah Teater Sanggar Bambu. Grup teater seangkatan Teater Alam ini menggelar pertunjukan teater Ranggalawe Makar. Sanggar Bambu mampu menghadirkan ribuan penonton. Bahkan penonton sampai tidak bisa lagi masuk ke gedung pertunjukan. Fenomena grup teater legenda pentas kembali juga dilakukan oleh Teater Dinasti. Teater yang lahir setelah Teater Alam ini kini telah bermetamorfosis menjadi Teater Perdikan dan menggelar lakon Sengkuni 2019 karya Emha Ainun Nadjib. Taman Budaya Yogyakarta tidak kalah hebohnya membikin program baru yang cukup menjadi magnet para pekerja
teater. Program tahun 2018 dengan nama “Linimasa Teater Yogyakarta” ini menampilkan perjalanan teater Yogya dari masa ke masa dari berbagai jenis, seperti teater sampakan, teater tubuh, teater realis, dan teater musik.
Geliat teater di Yogyakarta memang makin tampak. Catatan ini memang tidak lengkap, namun setidaknya kita patut berharap angin segar kehidupan teater di Yogyakarta bakal bertiup dan dapat dihirup oleh para pekerja teater dan kemudian hidup kembali.
Persoalannya, setelah Dinas Kebudayaan DIY (tanpa malu-malu) mulai
menganggarkan program-program teater (baik modern maupun tradisional), kini saatnya kita menunggu Dinas Pendidikan DIY untuk kembali memberi kontribusi terhadap kehidupan teater di DIY.
Kontribusi teater pelajar pada tahun 1980-an sangat nyata dan terasa pada kehidupan teater di Yogyakarta. Festival Teater SLTA selalu menghasilkan aktor-aktor hebat dan para pekerja teater tangguh. Hebatnya, setelah mereka lulus sekolah, aktor-aktor hebat dan pekerja teater tangguh tersebut sebagian besar bergabung dalam sanggar-sanggar teater dan menjadi aset penting sanggar teater tersebut. Belakangan, ketika Festival Teater Pelajar diambil alih oleh Dinas
Foto 2
Sumber: Dokumentasi Penulis.
Baliho Publikasi acara pementasan teater Oidipus di Kolonus karya Sophokles oleh Teater Alam di Taman Budaya Yogyakarta tahun 1984.
“Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Itulah yang
dialami sanggar-sanggar teater di DIY. Jika selama
ini proposal-proposal mereka yang dikirim ke meja
para pemegang kebijakan anggaran keistimewaan
DIY hanya ditumpuk di laci atau berserakan di
kamar kerja, belakangan ini ada angin segar dari
Sri Sultan Hamengkubuwono X, Gubernur DIY,
bahwa perlu ada terobosan baru dan cerdas
untuk menggunakan anggaran keistimewaan DIY
terutama pada bidang kesenian.”
21
matajendela
20
SENI BUDAYA YOGYAKARTA
JENDELA
WAHYANA GIRI MC Teater Yogya MenggeliatPendidikan, kontribusi aktor teater dan pekerja teater tangguh itu tak lagi ada.
Sejak Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan menggelar Perhelatan Festival dan Lomba Seni Siswa (FSLN), Dinas Pendidikan tidak lagi menyelenggarakan Festival Teater Pelajar. Sejak itulah tidak lagi muncul aktor-aktor andal seperti pada zaman Festival Teater SLTA DIY, seperti Butet Kartaredjasa (Teater SSRI), Yebe Widjaya Agustjana (Teater Shima SMAN 6 Yk), dan Saptaria (Teater Pendopo SMA Taman Madya IP). Kini teater-teater sekolah sebatas menjadi pelajaran ekstrakurikuler dan hanya beberapa teater sekolah saja yang setiap setahun sekali menggelar pertunjukan teater di gedung pertunjukan di luar sekolahnya.
Teater Festival
Catatan tak kalah penting dari penyelenggaraan Festival Teater Antar-Kecamatan yang diselenggarakan
kabupaten-kabupaten di wilayah DIY maupun Kota Yogyakarta adalah bahwa acara tersebut patut diapresiasi dan terus diselenggarakan secara teratur. Namun, sudah semestinya pemerintah, dalam hal ini Dinas Kebudayaan Kabupaten maupun Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta, membekali para peserta festival teater di kabupaten dan kota tersebut dengan lokakarya dasar-dasar teater. Kegagalan selama ini di dalam festival teater tersebut adalah menyangkut persoalan-persoalan elementer cara berteater di panggung. Para pemain hampir sebagian besar belum memahami persoalan dasar bermain drama. Bagaimana pemain harus bermain-main, bermain sebagai, bermain menjadi, atau bahkan bermain-main menjadi. Bagaimana sutradara harus membangun bangunan konflik, menciptakan blocking-blocking yang indah, sampai
memilih style pertunjukan.
Tentu itu semua bukan salah para pemain atau sutradara yang ditunjuk untuk tampil dalam festival tersebut. Mepetnya waktu pihak penyelenggara menginformasikan program festival kepada peserta perwakilan dari
kecamatan menjadi persoalan lain gagalnya penampil. Para peserta menjadi gagap ketika harus menyiapkan pertunjukan dalam waktu hanya sebulan. Padahal, dalam festival tingkat kecamatan, biasanya para pemainnya diambil dari pelaku-pelaku teater yang tersebar di wilayah kecamatan tersebut. Bertemunya para pemain (bukan grup) untuk menggelar pertunjukan dalam jangka waktu latihan yang sangat pendek tentu sangat berpengaruh pada hasil pertunjukan. Makanya, biasanya justru kecamataan yang berhasil menjadi pemenang adalah kecamatan yang mewakilkan grup teater yang ada di kecamatan tersebut, bukan gabungan pemain baru yang tinggal wilayah kecamatan.
Sudah saatnya setiap kecamatan memiliki grup teater permanen atau sanggar teater yang rutin menggelar latihan. Dan ini bakal menjadi sanggar teater baru berbasis kecamatan yang ada di DIY. Sanggar-sanggar teater di kecamatan atau di desa ini pula yang latihan-latihannya wajib didanai menggunakan Dana Desa yang sangat besar jumlahnya.
Memang memilih kesenian dalam hal ini seni teater sebagai program kegiatan Pemerintah Desa atau Kecamatan tidak seksi, tidak populer, dan cenderung akan dicibir banyak orang sekaligus bakal dianggap tidak berhasil. Berbeda dengan program-program berupa bangunan fisik seperti membangun jembatan, membangun jalan desa, saluran air hujan, gapura, dan sejenisnya. Usai program hasilnya bisa dilihat. Sebaliknya, program kesenian atau pemberdayaan manusia adalah membangun jiwa manusia. Usai program tidak bakal nampak sama sekali hasilnya. Membangun jiwa manusia itu baru bisa dinikmati hasilnya kelak setelah lima belas atau dua puluh tahun kemudian. Sangat tidak populer, tetapi jangan lupa membangun jiwa untuk membentuk jati diri seseorang itu sangat-sangat penting karena bakal menjadi fondasi kehidupan bangsa.
Sepertinya sudah saatnya harus diketahui bersama bahwa cara mebangun jiwa manusia melalui kesenian yang paling pas adalah melalui kesenian teater. Selain mempelajari berbagai karakter manusia, di dalam jagat teater ada unsur seni rupa, seni sastra, dan seni musik. Nah, jika sudah demikian, masih dianggap kurang penting seperti apalagi jenis kesenian teater ini? Sepertinya sudah saatnya teater Yogya bangkit kembali. Peluru yang bernama “anggaran” sudah dikantongi, semangat yang ada di hati nurani para pelakunya sudah membara, fasilitas gedung pertunjukan sudah ada. Persoalannya tinggal niat baik dan pemahaman tentang “seni teater” oleh para pemegang kebijakan.
Kita tentu masih ingat pepatah usang “malu bertanya, sesat di jalan”. Pun juga, “bertanya pada orang yang salah bakal masuk jurang”.
“Catatan tak kalah penting dari penyelenggaraan
Festival Teater Antar-Kecamatan yang
diselenggarakan kabupaten-kabupaten di
wilayah DIY maup
un Kota Yogyakarta adalah
bahwa acara tersebut patut diapresiasi dan
terus diselenggarakan secara teratur. Namun,
sudah semestinya pemerintah, dalam hal ini
Dinas Kebudayaan Kabupaten maupun Dinas
Kebudayaan Kota Yogyakarta, membekali para
peserta festival teater di kabupaten dan kota
tersebut dengan lokakarya dasar-dasar teater.”
Wahyana Giri MC
22
SENI BUDAYA YOGYAKARTA
JENDELA
ANES PRABU SADJARWOPusaran Teater Kampus
OLEH ANES PRABU SADJARWO
Gejala Teater Kampus
S
ejauh pengamatan saya, rasa-rasanya hampir tidak ada tulisan yang membicarakan secara khusus hal-hal tentang dinamika teaterkampus. Tulisan-tulisan berupa karya ilmiah maupun jurnalistik di media massa yang membicarakan soal teater kampus, kalaupun ada, minim adanya. Hal tersebut menandakan kecilnya perhatian terhadap keberadaan teater kampus selama ini. Ia seperti telah dilupakan, dianggap tidak penting, dan sia-sia untuk dibahas. Teater kampus lepas dari pengamatan dan dianggap tidak berpengaruh dalam perkembangan jagat teater di Indonesia umumnya dan Yogyakarta khususnya.
Tentu ada alasan mengapa teater kampus tidak diperhatikan oleh pengamat, pencinta, dan pelaku teater, maupun masyarakat umum. Apakah karena teater kampus itu tidak memiliki ciri khas? Apakah karena karya teater kampus monoton dan tidak berpengalaman? Apakah teater kampus itu tidak menghasilkan karya monumental dan baru? Apakah teater kampus tidak bisa menampilkan ideologinya secara gagah? Atau mungkin muncul sentimen bahwa teater kampus itu pementasannya selalu saja “jelek”?
Seorang teman sesama pelaku teater pernah berkelakar bahwa dia malas menonton teater kampus. Alasannya simpel. Katanya, teater kampus itu pasti “tidak sampai”. Tidak sampai terkait
persoalan capaian, baik capaian konten maupun capaian artistiknya. Hematnya, pementasan teater kampus tidak memuaskan dirinya. Penilaian subjektif seperti ini tentunya sah-sah saja, meskipun arogan: tanpa melihat/menilai dari sudut pandang lain. Bahkan teman tersebut berani memberi nilai tanpa terlebih dahulu melihat pementasannya. Teater kampus dalam konteks ini telah diremehkan dan dipandang sebelah mata. Teater kampus dianggap tidak memuaskan, khususnya bagi sesama pelaku teater, terutama para pelaku teater dari luar gerbang kampus.
Ada juga gejala menarik: komunitas teater profesional ditonton oleh masyarakat, baik orang teater—
termasuk teater kampus—maupun masyarakat
umum. Teater Gandrik, misalnya, bahkan ditonton oleh pejabat pemerintah. Segmentasi penontonnya lebih luas. Ini adalah satu contoh bahwa seni teater bisa ditonton oleh orang di luar dirinya. Akan tetapi pemandangan berbeda tampak ketika teater kampus pentas. Penontonnya hanya mahasiswa kampus itu sendiri, ditambah sesama aktivis teater dari kampus lain. Jangan berharap bahwa penonton dari kelompok teater lain, penonton dari kampus lain, atau seniman teater dan masyarakat umum akan lebih banyak mengisi kursi yang tersedia. Memang tidak etis membandingkan antara teater profesional dengan teater kampus yang berisi mahasiswa-mahasiswa yang tengah belajar dan berproses kreatif. Namun, barangkali hal ini kemudian dapat kita maknai sebagai tantangan agar teater kampus dapat dinikmati khalayak ramai di luar dirinya sendiri. Mungkinkah sejumlah hambatan, problematika, dan dinamika teater kampus yang klise dan begitu-begitu saja dapat diatasi?
Teater Kampus
di Tengah Pusaran Dirinya Sendiri
Teater kampus adalah sebuah kelompok teater yang berada di bawah lembaga pendidikan: perguruan tinggi. Di dalam posisi seperti ini, teater kampus merupakan sebuah wadah, sarana, dan media untuk mengembangkan bakat mahasiswa di bidang seni, khususnya seni peran. Selanjutnya, komunitas teater di beberapa kampus mengembangkan diri dengan membuka sub-kegiatan/program seni lainnya, seperti seni tari, seni sastra, seni rupa, seni musik, dan lain-lain. Hal ini dilakukan dalam rangka mengembangkan kolektivitas kerja berteater. Hampir semua kampus (baca: kampus nonseni) di Yogyakarta memiliki komunitas teater. Umumnya, teater kampus berdiri sebagai sebuah Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). Namun, pada perkembangan selanjutnya, kini teater kampus telah bertumbuh lebih luas. Hari ini, setiap fakultas, bahkan program studi (prodi) atau jurusan di kampus memiliki komunitas teater, yang biasanya terorganisasi di bawah HMJ/HIMA prodi/fakultas.
22
SENI BUDAYA YOGYAKARTA
JENDELA
23
25
matajendela
Pusaran Teater Kampus24
SENI BUDAYA YOGYAKARTA
JENDELA
ANES PRABU SADJARWODalam pengamatan saya, setidaknya ada 45 kelompok teater yang ada di kampus-kampus Yogyakarta. Saya masih yakin, ada lebih banyak lagi yang lepas dari pengamatan saya. Berikut ini nama-nama kelompok teater kampus di Yogyakarta. Universitas Gadjah Mada (UGM) memiliki Teater Gadjah Mada, Teater KRST, Teater Vena, Teater Apakah, dan Teater Terjal. Universitas Negeri
Yogyakarta (UNY) memiliki Unstrat, Teater Sangkala, Teater Misbah, Teaater Regen Bogen, dan Teater Metnong. Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (UIN SUKA) memiliki Teater Eska dan Sanggar Nun. Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) memiliki Teater Tangga. Universitas Islam Indonesia memiliki Teater Terpidana, Teater Djemuran, dan Teater Koin. Universitas Ahmad Dahlan (UAD) memiliki Teater JAB, Teater Pebei, Teater 42, dan Teater Roeang 28. Universitas Atmajaya (UAJY) memiliki Teater Lilin. Universitas Widya Mataram memiliki Teater Dokumen. Universitas Mercubuana memiliki Teater Senthir. Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran memiliki Teater Saga. Kampus AMIKOM memiliki Teater Manggar. AKAKOM memiliki Teater 7 Gerbang. Akprind memiliki Sanggar 28 Terkam. Poltekes memiliki Teater Poster. Universitas Aisyiah memiliki Teater Topas, Teater Opera. STIE YKPN memiliki Teater Keboen Teboe. STEI YKPN memiliki Teater Bening. Universitas PGRI memiliki Teater Topy. Universitas Sarjana Wiyata Taman Siswa (UST) memiliki Teater Trisula dan Teater Pamong. Universitas Teknologi Yogyakarta memiliki Teater Ada dan Teater Trisula. INSTIPER memiliki Teater Hijau Daun. MMTC memiliki Teater Rai Gedhek. STAIPA Pandanaran memiliki Teater Gladak. Universitas Sanata Dharma memiliki Teater Seriboe Djendela. AA YKPN memiliki Teater Balapan 24. Universitas Cokroaminoto memiliki Teater Dupa.
Menjamurnya kelompok teater kampus hari-hari ini merupakan kabar yang menggembirakan. Setidaknya, seni teater diminati oleh para mahasiswa di kampus nonseni. Teater tidak lagi dianggap sebuah seni yang “angker” seperti dongeng di masa lalu. Teater bukan lagi wujud katarsis melainkan sebuah ruang belajar. Teater kampus sampai hari ini merupakan salah satu yang terus eksis berproses dan melahirkan
peristiwa teater tanpa henti. Volume pementasan teater kampus hari ini mendominasi gedung-gedung pertunjukan. Posternya bertebaran, terpampang di papan-papan pengumuman dan laman media sosial. Di dalam posisinya sebagai sebuah lembaga seni di bawah lembaga pendidikan, teater kampus sebenarnya memiliki keunggulan tersendiri jika dibandingkan dengan teater profesional yang independen.
Pertama, sistem organisasi. Pengelolaan organisasi teater kampus cenderung lebih rapi, terstruktur, dan program kerjanya tersistematis. Ada pengurus harian dan seksi-seksi/divisi/koordinaor yang secara sumber daya manusianya cukup jumlah anggotanya, sehingga memungkinkan teater kampus untuk membuat perluasan kolektivitas bidang
kerja dalam kelompoknya. Teater kampus memiliki anggaran dasar organisasi dan anggaran rumah tangga (AD dan ART), sehingga ada mekanisme penyelenggaraannya. Dalam hal ini, teater kampus tidak hanya soal kumpul dan latihan saja, namun juga berperan sebagai sebuah organisasi. Teater kampus memiliki program-program kerja yang biasanya harus disusun dalam setiap periode kepemimpinan dan memiliki matrikulasi perencanaan kegiatan yang akan dilakukan dalam setiap kepengurusan.
Kedua, adanya fasilitas dan gelontoran subsidi yang rutin dari civitas kampus. Teater kampus biasanya memiliki sebuah sanggar/tempat berlatih/
basecamp/student center untuk berkumpul. Kampus menyediakan tempat atau area latihan, gedung/ aula tempat pementasan, lapangan, atau fasilitas lainnya pendukung keberlangsungan proses. Meskipun demikian, sampai hari ini, hampir tidak ada kampus nonseni yang menyediakan gedung pertunjukan standar yang secara profesional layak untuk menyelenggarakan pementasan. Teater kampus biasanya secara kreatif mampu menyulap ruang aula, hall, atau taman parkir, menjadi tempat untuk menggelar pementasan.Teater kampus oleh pihak universitas diberi jatah rutin subsidi dana. Teater kampus bisa mengajukan proposal pendanaan untuk menjalankan program-program kerjanya, meskipun tidak semua kampus dengan mudah memberikan subsidi dana. Besaran nominalnya pun
bervariasi. Adanya gelontoran subsidi dari kampus tersebut setidaknya mempermudah atau mendukung kelangsungan lahirnya karya-karya produksi teater kampus. Karena organisasinya yang cukup mapan, biasanya, teater kampus akan menjalin kerja sama dengan pihak luar. Teater kampus, sepanjang pengamatan saya, lebih kreatif dalam mengajukan permohonan sponsorship kepada pihak tertentu. Teater kampus hampir tidak pernah meminta pemerintah untuk mendukung pementasannya. Di Yogya, misalnya, sangat jarang teater kampus yang meminta proposal untuk mengakses
Dana Keistimewaan yang jumlahnya banyak itu. Atau mungkin tidak tahu dan tidak paham cara mengaksesnya?
Ketiga, sistem regenerasi. Regenerasi teater kampus terhitung konsisten. Teater kampus dapat dengan mudah bermetamorfosis untuk meneruskan estafet regenerasi. Adatnya, setiap tahun teater kampus mengadakan open recruitment untuk menjaring sumber daya mahasiswa yang akan bergabung menjadi anggota. Itulah mengapa teater kampus sampai hari ini masih terus eksis. Banyak teater kampus yang usianya sangat matang. Misalnya, Teater Gadjah Mada (TGM) yang merupakan salah satu teater kampus tertua di Yogyakarta. TGM lahir pada tahun 1974. Ada juga Teater ESKA UIN Sunan Kalijaga yang pada 2019 ini mencapai usia 39 tahun, serta UNSTRAT UNY yang juga lahir resmi pada sekitaran dasawarsa 80-an.
Regenerasi yang tiada henti tersebut tentunya juga melahirkan alumni yang jumlahnya tidak sedikit. Bayangkan saja berapa banyak alumni yang lahir jika sudah mencapai 40 angkatan! Hal ini tidak bisa diremehkan begitu saja. Hampir semua aktivis teater di Yogyakarta berawal dari teater kampus. Teater kampus merupakan salah satu fase para teaterawan dalam belajar.
Selain itu, banyak komunitas teater independen yang juga berawal dari kampus, baik komunitas yang lahir dari satu kampus maupun gabungan mahasiswa antarkampus. Teater independen tersebut lahir disebabkan ketidakpuasan dengan sekat kampus. Alumni teater kampus juga mendirikan tidak hanya komunitas teater, namun juga merambah komunitas
yang fokus pada kesenian lainnya, memproduksi kebutuhan artistik, membuka jasa make up, para aktor film, penari, pelukis, dan lain-lain. Teater kampus merupakan rahim yang melahirkan generasi baru manusia teater. Setidaknya, ia membekali manusia untuk suka kepada teater; minimal mencetak penonton teater yang apresiatif.
Di sisi lain, sebenarnya teater kampus memiliki problematika yang juga pelik. Hal inilah yang
barangkali membuat teater kampus dianggap sebagai komunitas terkungkung dan tidak berkembang.
Persoalan pertama adalah tidak adanya iklim kesenian di kampus masing-masing. Inilah yang sering kali menjadi persoalan paling dasar. Iklim kesenian di kampus nonseni yang muram menjadi kendala berkembangnya teater kampus. Justru sering kali teater kampus di beberapa tempat mendapatkan klaim buruk karena anggotanya yang kusam, gondrong, tidak mau diatur, dan cenderung vokal dalam mengkritik kebijakan kampus.
Karena tidak adanya iklim kondusif kesenian di kampus, teater kampus menjadi “kerdil”. Ia tidak mendapat dukungan bahkan dari sesama mahasiswa. Di kampus nonseni, teater kampus termarjinalkan. Ia kesepian jika dibandingkan dengan unit kegiatan mahasiswa bidang lainnya. Ini merambah juga pada dukungan-dukungan moril dan materiil kepada teater kampus.
Kampus nonseni memang berbeda dengan kampus seni seperti Intitut Seni Indonesia (ISI). Kampus seni dengan Fakultas Seni Pertunjukan dan Jurusan Teater memang diisi oleh para mahasiswa yang memiliki niat, minat, dan bakat untuk bertungkus lumus belajar teater. Iklimnya jelas, yaitu iklim berteater. Lain halnya dengan kampus nonseni dengan sumber daya mahasiswa dan para akademisi yang tergila-gila dengan prestasi di bidang sains. Mereka menganggap seni teater bukan hal yang penting dan tidak saintifik. Teater kampus yang lahir di kampus nonseni, sekali lagi, hanya menjadi bidang yang mewadahi kreativitas mahasiswa, yang ketika teater kampus itu bubar, saya yakin, pihak kampus tidak akan merasa kehilangan sedikit pun. Maka, iklim berteater di kampus nonseni memang tidak menjadi
27
matajendela
Pusaran Teater Kampus26
SENI BUDAYA YOGYAKARTA
JENDELA
ANES PRABU SADJARWObudaya yang mendukung kreativitas teater kampus.
Kedua adalah tidak adanya kurikulum teater yang jelas. Karena berbeda dari kampus teater, maka teater kampus tidak memiliki sistem belajar yang terstruktur. Hampir tidak ada urutan-urutan yang runtut tentang cara belajar teater. Maka, teater kampus dapat dikatakan sebagai teater nonformal. Dalam posisi ini, sering juga teater kampus mendapat klaim amatir (dalam pengertian bermutu rendah). Teater kampus memang tidak memiliki panduan khusus dalam berproses meskipun, memang, beberapa teater kampus mencoba membuat panduan yang coba dibakukan, membuat urutan matrikulasi jadwal model, materi, dan metode latihan. Namun, panduan tersebut tidak mendalam, dan hanya sebatas penyesuaian atas kebutuhan yang akan digunakan dalam berproses.
Hampir tidak ada teater kampus yang belajar dengan runtut tentang pemikiran-pemikiran teater yang kemudian menjadikannya sebagai dasar latihan. Diskusi teater di teater kampus hanya sebatas diskusi tematik yang dibutuhkan. Manusia teater kampus, karena juga dibebani beban kuliah, tidak pernah “selesai” belajar teater—belajar teori, sejarah, perkembangan, apalagi kritik teater. Obrolan
antarsesama anggota atau bahkan dengan alumninya selalu saja alih ulang, muter-muter, dan itu-itu saja. Aktivis teater kampus biasanya memiliki masa produktif hanya tiga tahun. Aktivis teater pada tahun pertama, tentu karena masih mahasiwa baru, biasanya baru memulai belajar dan mengikuti fase demi fase latihan dan adat masing-masing. Ending
tahun pertama menjadi anggota teater sering kali ditandai dengan “studi pentas” atau proyek lainnya. Namanya studi pentas, ya pementasan dalam rangka belajar. Pada tahun pertama ini, anggota teater kampus hasil rekrutmen dituntut untuk memahami peliknya proses menghadirkan sebuah pementasan baik secara manajemen keproduksian maupun artistik.Pada tahun kedua, biasanya manusia teater kampus, selain menjadi pengurus harian, juga menghadirkan pementasan produksi. Pementasan produksi adalah pementasan terbaik berdasarkan proses yang matang. Ini juga mencerminkan kualitas teater kampus. Pementasan produksi merupakan cermin dari masyarakat untuk menilai kualitas sebuah komunitas teater kampus. Di dalam menyelenggarakan pentas produksi, dinamika setiap kampus berbeda. Ada yang berdasarkan angkatan (biasanya bukan angkatan pertama karena angkatan pertama baru belajar), yakni angkatan kedua, ada juga yang mengaburkan sekat angkatan sepanjang
ia dirasa mumpuni dan sesuai dengan kebutuhan pementasan. Inilah yang sering kali memengaruhi proses dan hasil sebuah pementasan teater kampus. Pada tahun ketiga, biasanya aktivis teater kampus menjadi pelatih atau menjadi pendamping bagi adik-adik angkatannya. Ia mentransfer kitab latihan turun-temurun dari senior-seniornya terdahulu. Pada tahun ketiga ini, biasanya posisinya seolah menjadi “senior”. Dalam pementasan produksi, ia kerap menjadi sutradara, pendamping, dan penasihat bagi adik angkatan di bawahnya.
Hal inilah yang menyebabkan kurikulum teater kampus tidak selesai. Tidak ada fase-fase belajar yang lebih dalam. Sebab, dari tahun ke tahun, angkatan baru selalu lahir. Orang yang belajar dalam fase kedua (dua tahun) harus menghadapi pentas produksi. Pada tahun ketiga ia mandek dan harus mengajari adik-adiknya. Pengulangan demi pengulangan terus terjadi. Anggota teater kampus hanya belajar keilmuan secara singkat, dan harus menularkan keilmuannya kepada adik-adiknya, harus mengurus, menjaga, dan merawat organisasinya, dan disibukkan dengan program lain, sementara ia seolah “berhenti” belajar teater tingkat lanjut/pascaterampil. Bisa dikatakan, keilmuan teaternya “tanggung”.
Ketiga, tidak adanya guru atau pelatih. Teater kampus lebih sering belajar secara otodidak dan belajar sambil berjalan sambil menyesuaikan diri dengan kebutuhan. Teater kampus tidak memiliki pengajar, patron, atau dosen seperti halnya kampus teater. Pengajarnya biasanya senior angkatan atau alumni dari teater kampus tersebut. Padahal, senior tersebut pun terbatas. Sangat jarang teater kampus berlatih dengan orang yang dianggap mampu secara keilmuan/akademis atau dilatih seorang praktisi teater secara mendalam dan secara berkesinambungan. Beberapa teater kampus memang telah mencoba memecahkan persoalan pendalaman keilmuan dengan mengadakan lokakarya. Di dalam pelatihan tersebut, teater kampus menghadirkan praktisi seni teater, atau akademisi, atau praktisi yang juga akademisi untuk membekali peserta dengan kelimuan teater. Sayangnya, memang pelatihan tersebut hanya dilakukan dalam waktu yang singkat, dan selalu
saja tematik atau disesuaikan dengan kebutuhan. Proses berkesinambungan dan panjang hampir tidak dilakukan oleh teater kampus.
Karena tidak ada guru tetap, tidak ada keilmuan khusus dari seseorang, maka teater kampus justru memunculkan ciri tersendiri. Cirinya adalah “tidak ada kecirian”. Teater kampus yang otodidak melahirkan karya yang cenderung berbeda pada setiap periode tertentu. Bisa jadi teater kampus menghasilkan garapan teater realis pada tahun-tahun tertentu, namun juga menghasilkan garapan teater tubuh atau teater musikal pada tahun selanjutnya. Perubahan garapan tersebut tentunya bergantung kemampuan dari sumber daya mahasiswa yang menjadi anggota pada periode kepemimpinan tertentu. Namun, hal inilah, di lain pihak, yang sering kali dimaknai sebagai absennya style khusus atau gaya tertentu, yang menjadi ciri atau ideologi tertentu/bentuk tertentu dari sebuah kelompok teater. Sehingga, teater kampus dinilai tidak memiliki karakteristik khas sebagai
sebuah kemapanan dan dirasa tidak memiliki ideologi tetap yang mapan.
Keempat adalah soal organisasi. Meskipun sebenarnya kemapanan keorganisasian teater kampus cukup, di beberapa bidang menunjukkan kelemahan. Misalnya, soal periodisasi kepengurusan. Dinamika keorganisasian teater kampus pada setiap kampus berbeda-beda. Secara organisasi, ada yang jabatan kepengurusan teater disesuaikan dengan jenjang semester. Ada juga yang mengaburkan angkatan semester, asalkan “bukan mahasiswa baru”. Ada juga yang syaratnya sudah menjadi anggota teater/anggota kepengurusan minimal satu tahun, dan lain-lain.
Periode kepengurusan setiap teater kampus juga berbeda-beda. Mayoritas teater kampus menggunakan angkatan sebagai dasarnya. Satu kali periode kepemimpinan itu hanya satu tahun (dua belas bulan). Dalam satu tahun kepengurusan, biasanya terdapat agenda wajib, setidaknya berupa studi pentas dan pentas produksi, di samping memang ada program-program lain dalam divisi lainnya. Pendeknya, masa jabatan kepemimpinan dan kepengurusan inilah yang menyebabkan ketidakmatangan sebuah proses teater.