• Tidak ada hasil yang ditemukan

BIOREMEDIASI TANAH YANG TERKONTAMINASI MINYAK BUMI DENGAN METODE BIOVENTING TERHADAP PENURUNAN KADAR TOTAL PETROLEUM HYDROCARBON DAN BTEX

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BIOREMEDIASI TANAH YANG TERKONTAMINASI MINYAK BUMI DENGAN METODE BIOVENTING TERHADAP PENURUNAN KADAR TOTAL PETROLEUM HYDROCARBON DAN BTEX"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

DENGAN METODE BIOVENTING TERHADAP PENURUNAN KADAR

TOTAL PETROLEUM HYDROCARBON DAN BTEX

Marsya Dyasthi Putri, Firdaus Ali, dan Zulkifliani

Program Studi Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Universitas Indonesia Depok

marsyadp@hotmail.com

ABSTRAK

Kegiatan industri pertambangan minyak bumi di Indonesia telah menimbulkan banyak kasus pencemaran limbah berbahaya dan beracun (B3). Kasus tersebut dapat menimbulkan dampak buruk bagi kualitas lingkungan. Pada KepMenLH No. 128 Tahun 2003, disebutkan bahwa pemulihan lahan tercemar oleh minyak bumi dapat dilakukan secara biologis, dengan menggunakan kapasitas kemampuan mikroorganisme. Salah satu teknik penerapan pemulihan tersebut adalah dengan menggunakan teknik Bioventing. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh injeksi udara dan mikroorganisme yang berperan dalam proses remediasi dan faktor-faktor yang mempengaruhi kinerjanya bioventing. Minyak bumi yang digunakan merupakan crude oil yang berasal dari PPPTMGB Lemigas. Selama 5 minggu penelitian, didapatkan penyisihan konsentrasi TPH terbesar yaitu sebesar 82% yang terdapat pada sampel dengan konsentrasi bakteri Bacillus Subtilis 10% v/v. Sedangkan pada sampel dengan konsentrasi bakteri Bacillus Subtilis 15% v/v, dan tanpa penambahan bakteri (bakteri indigenous) 1 dan 2 secara berurut adalah 67,1%, 54,24%, dan 68,12%. Penyisihan konsentrasi BTEX terbesar, yaitu sebesar 66,65% pada kontrol 2. Sedangkan sampel dengan kontrol 1, konsentrasi bakteri Bacillus Subtilis 10% v/v, dan bakteri Bacillus Subtilis 15% v/v secara berurut adalah 23,39%, 34,41%, dan 37,69%. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa sampel dengan konsentrasi bakteri Bacillus Subtilis 10% v/v dan Kontrol 2 yang paling baik dalam mendukung efektivitas proses degradasi minyak bumi.

Kata kunci : Bioremediasi; Bacillus; Bioventing; Total Petroleum Hydrocarbon; BTEX

ABSTRACT

Oil mining industry in Indonesia has generated many cases of very hazardous waste pollution. Those cases could adversely affect the quality of environment. Ministry of Environment through the Ministry of Environment Decree No. 128/2003, stated that the recovery of oil contaminated area can be purified by using microbial activity, called bioremediation. On of the most preferred methods for the remediation process of oil contaminated soil is bioventing. The main objective of this study was to determine the effect of air injection and microorganisms that play a role in the remediation process and the factors that affect performance bioventing. Oil used in this study was crude oil which was derived from PPTMGB Lemigas. The purpose of this study. During the 5 weeks of the study, obtained the largest TPH concentrations allowance that is equal to 82% were found in the sample with the concentration of the bacteria Bacillus Subtilis 10% v/v. While the sample with the concentration of bacteria Bacillus Subtilis 15% v/v, and without the addition of bacteria (indigenous) 1 and 2 in sequence is 67.1%, 54.24%, and 68.12%. Provision largest concentration of BTEX, amounting to 66.65% in the control 2. Whereas the control 1, the concentration of the bacteria Bacillus Subtilis 10% v / v, and the bacteria Bacillus Subtilis 15% v / v in the order are 23.39%, 34.41%, and 37.69%. From this study it can be concluded that the sample with the concentration of the bacteria Bacillus Subtilis 10% v / v and Control 2 is best in support of the effectiveness of oil degradation process.

(2)

PENDAHULUAN

Minyak bumi merupakan salah satu sumber daya alam penting di Indonesia. Minyak bumi memiliki bermacam manfaat bagi kehidupan manusia, akan tetapi bila tumpah atau terbuang ke lingkungan, minyak bumi tersebut akan menjadi pencemar yang berbahaya. Selama kegiatan industri perminyakan umumnya terjadi tumpahan maupun ceceran minyak bumi dan produk-produknya, sehingga menyebabkan terjadinya pencemaran. Meningkatnya frekuensi pencemaran akan mengancam kebersihan lingkungan baik di daratan maupun di perairan. Lingkungan darat yaitu tanah merupakan salah satu komponen utama bagi pertumbuhan tanaman yang sangat dibutuhkan oleh manusia dan hewan. Kondisi tanah yang subur dan bebas pencemar sangatlah diperlukan. Adanya kontaminasi senyawa organik maupun senyawa kimia lainnya yang sulit didegradasi dan bersifat toksik di tanah menjadi pengganggu pertumbuhan tanaman dan organisme lain yang hidup di dalamnya. Dengan kata lain pencemaran pada lingkungan akan mengurangi kualitas dan daya dukung lingkungan terhadap makhluk hidup.

Salah satu kontaminan yang relatif sulit didegradasi ialah senyawa hidrokarbon yang berasal dari minyak bumi atau lumpur minyak bumi. Penanganan kondisi lingkungan yang tercemar minyak bumi dapat dilakukan dengan metode fisika, kimia, dan biologi. Penanganan secara kimia dan fisika merupakan cara penanganan cemaran minyak bumi yang membutuhkan waktu relatif singkat, tetapi metode ini relatif tidak ramah lingkungan. Penanganan metode biologi relatif tidak merusak lingkungan dibandingkan dengan metode kimia dan fisika. Penanganan ini menggunakan teknik bioremediasi dengan memanfaatkan mikroba (kapang dan bakteri) untuk menghilangkan cemaran dari lingkungan. Bioremediasi merupakan proses detoksifikasi dan degradasi limbah minyak. Penanggulangan limbah minyak bumi secara hayati cukup efektif, efisien, ekonomis, dan lebih ramah lingkungan (Anggraeni,2003).

Salah satu alternatif yang dapat digunakan untuk menanggulangi tanah yang terkontaminasi oleh minyak bumi adalah teknik bioremediasi. Bioremediasi merupakan proses pengolahan limbah minyak bumi yang sudah lama atau tumpah/ceceran minyak pada lahan yang terkontaminasi dengan memanfaatkan makhluk hidup termasuk mikroorganisme, untuk mengurangi konsentrasi atau menghilangkan daya racun bahan pencemar.

Teknik bioremediasi yang digunakan adalah bioventing dengan Bioventing adalah teknologi remediasi in-situ atau ex-situ yang menggunakan mikroorganisme lokal untuk menguraikan kontaminan organik yang terabsorbsi ke tanah di zona tak jenuh. Tanah di zona capillary fringe dan zona jenuh tidak terpengaruh oleh proses ini. Dalam bioventing, aktivitas bakteri

(3)

secara alami ditingkatkan dengan injeksi udara (atau oksigen) ke zona tak jenuh (menggunakan sumur ekstraksi atau injeksi) dan jika perlu dengan menambahkan nutrisi (EPA, 2004). Bioventing merupakan metode bioremediasi menggunakan mikroba indigenous dalam mendegradasi konstituen organik yang diadsorbsi oleh tanah pada lapisan tidak jenuh (vadoze) dengan menambahkan laju udara untuk menyediakan oksigen agar proses biodegradasi meningkat. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan penjabaran permasalahan yang akan ditinjau dalam penelitian sehingga mendapatkan jawaban yang ilmiah dan sesuai dengan kondisi di lapangan. Menganalisis hasil pengaruh injeksi udara dan mikroorganisme yang berperan dalam proses remediasi dan faktor-faktor yang mempengaruhi kinerjanya sesuai dengan baku mutu lingkungan atau dibawah baku mutu lingkungan. Menganalisis pengurangan kadar polutan (TPH dan BTEX) pada tanah yang terkontaminasi minyak bumi.

TINJAUAN TEORITIS Definisi Minyak Bumi dan Komponennya

Mc.Millen (1998) menyatakan bahwa hidrokarbon yang terkontaminasi dalam lumpur minyak yang merupakan limbah yang terjadi pada kegiatan pengolahan, penyaluran dan penampungan minyak bumi merupakan sumber energi bagi mikroorganisme pendegradasinya. Beberapa jenis hidrokarbon dapat dengan mudah diuraikan oleh mikroorganisme. Hal ini akan lebih efektif apabila minyak bumi tersebut mempunyai komponen pendukung lainnya. Minyak bumi terdiri atas senyawa hidrokarbon sebagai penyusun utama dan senyawa ikatan. Hidrokarbon berdasarkan rantai karbonnya secara umum terdiri atas tiga jenis yaitu hidrokarbon alifatik, siklik, dan aromatik. Hidrokarbon siklik mempunyai molekul yang tersusun sebagai cincin berantai tunggal seperti siklo-propana, siklo-heksana, dan siklo-heptana. Hidrokarbon aromatik mempunyai molekul yang tersusun sebagai cincin berikatan ganda yang dikenal sebagai senyawa aromatik seperti benzena, toluene, dan naphthalene (Irianto et al., 1999). Udiharto (1992) menyatakan bahwa empat komponen utama hidrokarbon dalam minyak bumi adalah alkana (parafin), alkena (olefin), siklo-alkana (naftena/siklo-parafin), dan hidrokarbon aromatik. Senyawa-senyawa tersebut ada yang berupa fraksi ringan dan adapula sebagai fraksi berat. Banyak sedikitnya senyawa tersebut bergantung pada tempat asal minyak bumi diambil. Banyak senyawa-senyawa organik yang terbentuk di alam dapat didegradasi oleh mikroorganisme bila kondisi

(4)

lingkungan menunjang proses degradasi tersebut. Artinya, pencemaran lingkungan oleh polutan-polutan organik dapat dengan sendirinya dipulihkan. Namun pada beberapa lokasi terdapat senyawa organik alami yang resisten terhadap biodegradasi sehingga senyawa tersebut akan terakumulasi di dalam perut bumi (Atlas, R.M., 1981). Hidrokarbon minyak bumi merupakan kontaminan yang paling luas yang mencemari lingkungan.

Total Petroleum Hydrocarbon (TPH) ialah merupakan pengukuran konsentrasi pencemar hidrokarbon minyak bumi dalam tanah atau serta seluruh pencemar hidrokarbon minyak dalam suatu sampel tanah yang sering dinyatakan dalam satuan mg hidrokarbon/kg tanah (Nugroho, 2006). Jumlah TPH yang ditemukan dalam sampel dapat berguna sebagai indikator umum dari kontaminasi minyak bumi di lokasi tersebut. Namun, pengukuran TPH atau angka TPH tersebut hanya menceritakan sedikit tentang bagaimana petroleum hidrokarbon tertentu dalam sampel dapat mempengaruhi manusia, hewan, dan tanaman. Dengan membagi TPH kedalam kelompok hidrokarbon minyak bumi yang bertindak sama dalam tanah atau air, para ilmuwan dapat lebih tahu apa yang terjadi kepada TPH tersebut. Kelompok- kelompok ini disebut fraksi hidrokarbon minyak bumi (U.S. Department Of Health And Human Services, 1999).

BTEX adalah singkatan digunakan untuk empat senyawa yang ditemukan dalam minyak bumi produk. Senyawa ini benzena, toluena, etilbenzena, dan xilena. Benzena, toluena, dan xilena ditemukan secara alami dalam seperti produk minyak bumi seperti minyak mentah, solar dan bensin. Etilbenzena adalah bensin dan aditif bahan bakar penerbangan. Mereka juga digunakan secara luas dalam proses manufaktur. Benzene digunakan dalam produksi bahan sintetis dan produk konsumen, seperti sintetis karet, plastik, nilon, insektisida dan cat. Toluena digunakan sebagai pelarut untuk cat, pelapis, gusi, minyak, dan resin. etil-benzena mungkin akan hadir dalam produk konsumen seperti cat, tinta, plastik, dan pestisida. Xilena digunakan sebagai pelarut dalam pencetakan, karet, dan industri kulit. Para BTEX jangka mencerminkan bahwa benzena, toluena, etilbenzena dan xilena sering ditemukan bersama-sama di lokasi yang terkontaminasi (TOSC, 2012).

Studi Literatur Bioremediasi

Bioremediasi merupakan proses degradasi secara biologis bahan organik menjadi senyawa lain misalnya CO2, CH4, H2O, garam anorganik, biomassa, dan hasil samping yang sedikit lebih sederhana dari senyawa semula. Proses ini didasarkan pada siklus karbon, sehingga bentuk senyawa organik dan anorganik didaur ulang melalui reaksi oksidasi dan reduksi

(5)

(Citroreksoko, 1996). Menurut Sa'id dan Fauzi (1996) bioremediasi diartikan sebagai proses penyehatan (remediasi) secara biologis terhadap komponen lingkungan yang telah tercemar. Proses bioremediasi bergantung pada kemampuan organisme yang digunakan (mikroba, tanaman, atau hewan) dan sistem yang dioperasikan pada jangka waktu tertentu. Proses bioremediasi akan berlangsung optimal pada pH dan subu tertentu, serta hams tersedianya cukup nutrisi dan oksigen bagi organisme yang memanfaatkan. Perlakuan teknologi bioremediasi dapat dilakukan melalui beberapa proses antara lain: bioaugmentasi, biofilter, biostimulasi, bioreaktor, bioventing, pengomposan, fitoremediasi, dan landfarming (Bacher dan Herson, 1994 in Citroreksoko, 1996).

Kontrol dan optimisasi proses bioremediasi merupakan sistem yang kompleks dari banyak faktor. Faktor tersebut antara lain dapat berupa: keberadaan populasi mikroba yang mampu mendegradasi polutan; ketersediaan kontaminan ke populasi mikroba, faktor lingkungan (jenis tanah, suhu, pH, adanya oksigen atau akseptor elektron lainnya, dan nutrisi) (Vidali, 2001).

Bioventing merupakan aplikasi dari bioremediasi in situ yang dilakukan pada zona tidak jenuh

yang memiliki permeabilitas gas yang bagus. Bioventing dilakukan pada pengolahan kontaminan volatil yang sukar dibiodegradasi. Bioventing cocok untuk kontaminan yang didegradasi melalui metabolisme aerobik dan memiliki tekanan uap kurang dari 1 atm. Pada

bioventing digunakan gerakan udara yang diinjeksi melalui tanah yang tidak jenuh atau tanpa

penambahan nutrien, untuk menstimulasi mikroorganisme tanah dalam mengubah kontaminan organik seperti hidrokarbon uapnya lebih besar dari 760 mmHg, maka penguapan akan berjalan dengan lebih cepat. Sementara, jika tekanan uapnya kurang dari 1 mmHg maka kontaminan tersebut tidak akan menguap secara substansial (Bima Prakasa, 2011).

Efektifitas bioventing tergantung dari kemampuan mikroorganisme dalam menguraikan kontaminan dan untuk mendistribusikan O2 dalam jumlah yang mencukupi pada sub-surface. Permeabilitas juga mempengaruhi efektifitas bioventing. Permeabilitas udara tergantung dari struktur tanah dan ukuran partikel tanah. Tanah dengan struktur dan ukuran partikel yang seragam merupakan lapisan tanah yang permeabel sehingga memudahkan pengolahan lahannya dalam proses bioventing. Sebaliknya, tanah dengan kandungan clay dan silt yang tinggi akan lebih sulit diolah dengan bantuan proses bioventing. Kelembapan tanah yang tinggi dapat menghambat permeabilitas dan potensial udara pada proses bioventing. Permeabilitas udara yang lebih besar dari 10-9 cm2 akan memudahkan pengolahan tanah

(6)

terkontaminasi, sedangkan permeabilitas udara kurang dari 10-10 cm2 akan menyebabkan aliran gas melewati retakan tanah atau material yang lebih permeabel (Bima Prakasa, 2011). Proses bioventing dapat dilakukan dengan injeksi (SUE). Sistem injeksi dapat dilakukan dengan bantuan blower, pipa distribusi ataupun sumur penyuntikan. Sistem injeksi tersebut lebih murah dari penerapan proses bioventing secara keseluruhan karena tidak menggunakan pengolahan fase uap. Injeksi bertujuan untuk memberikan suplai O2 yang memadai untuk menstimulasi biodegradasi tanpa menimbulkan emisi ke atmosfer. Injeksi akan lebih mudah dilakukan jika ditunjang dengan kontaminan yang memiliki titik uap rendah. Injeksi yang diberikan pada lapisan vadose dapat mengakibatkan permukaan air menurun, permebalitas udara dalam tanah meningkat, volume tanah efektif yang tersedia akan bertambah, bahan yang mudah menguap akan berpindah menuju ke fase gas dan selanjutnya berpindah ke daerah yang tidak terkontaminasi, demikianlah yang disebut dengan proses biodegradasi (Bima Prakasa, 2011).

Faktor-Faktor Pendukung pada Bioventing

Proses bioremediasi bergantung pada aktivitas mikroorganisme pendegradasi. Degradasi material organik di lingkungan alami umumnya dilakukan oleh dua kelompok mikroorganisme : bakteri dan jamur. Bakteri mewakili beragam jenis organisme prokariotik yang banyak tersebar di biosfer. Bakteri dapat ditemukan di semua lingkungan di mana terdapat organisme yang hidup. Namun hal ini tidak berarti bahwa semua strain bakteri ada di seluruh alam (Baker dan Herson, 1994).

Bacillus merupakan bakteri yang memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi pada lingkungan

tempat tinggalnya. Bakteri ini mampu menggunakan komponen organik sebagai sumber makanan. Berdasarkan kemampuannya tersebut, Bacillus digunakan dalam mendegradasi senyawa kontaminan organik seperti styrene, trinitrotoluene, PAHs, serta senyawa organik lainnya. Bacillus yang umum digunakan dalam degradasi hidrokarbon antara lain adalah

Bacillus substilis, Bacillus cereus dan Bacillus pumilis.

Secara umum bakteri Bacillus subtilis memeliki karakteristik sebagai berikut: Salah satu kelompok bakteri gram positif dan berukuran 0,5-2,5 µm x 1,0-1,2 µm a.

Bacillus subtilis membentuk endospora yang protektif yang memberi kemampuan b.

bakteri tersebut mentolerir keadaan yang ekstrim

Merupakan jenis kelompok bankteri termofilik yang dapat tumbuh pada kisaran suhu c.

(7)

Faktor nutrisi yang diperlukan dalam proses bioremediasi antara lain karbon sebagai sumber energi untuk aktivitas mikroorganisme. Sumber karbon didapatkan dari hidrokarbon minyak. Nutrisi bagi mikroorganisme dapat juga berbentuk nitrogen dan fosfor (Udiharto, 1996).

METODE PENELITIAN Pendetakan Penelitian

Penelitian yang akan dilakukan kali ini ialah berupa penelitian eksperimen bioremediasi tanah yang digunakan sebagai pemeriksaan penurunan kadar TPH dan BTEX dari tanah yang terkontaminasi minyak bumi dengan menggunakan metode bioventing. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efisiensi kinerja dari bakteri sebagai biodegradator dan juga asupan oksigen dari sumur injeksi tersebut terhadap penurunan kadar TPH dan BTEX pada tanah yang terkontaminasi minyak bumi. Pada pendekatan eksperimen, peneliti memasukkan unsur baru ke dalam sebuah situasi untuk mengetahui akibatnya. Tujuan penelitian eksperimen adalah mengidentifikasi hubungan kausal atau sebab/akibat sesuatu terhadap variabel lain. Beberapa variabel relevan merupakan variabel terkendali atau variabel konstan, sedangkan variabel relevan lainnya dimanipulasi oleh peneliti. Dengan mengontrol beberapa variabel dan memanipulasi variabel lainnya, peneliti eksperimen memasuki tahap prakiraan atau prediksi (Basuki, 2006 dalam Aisyah, 2011). Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan kuantitatif dengan mengumpulkan data primer dan sekunder. Menurut Basuki (2006) dalam Aisyah (2011), metode penelitian kuantitatif lebih memusatkan perhatian pada hal lebih nyata yang dapat diukur dengan angka, berupaya memahami hal yang diteliti dengan melakukan pengukuran.

Persiapan Penelitian

Persiapan penelitian menjadi dasar permulaan dilakukannya suatu penelitian. Agar penelitian mempunyai kualitas data yang cukup tinggi, maka instrumen persiapan harus disusun secara sistematis. Terdiri dari :

§ Penyiapan Sampel Tanah : Tanah yang digunakan berasal dari PPPTMGB Lemigas Jakarta yang kemudian ditambahkan dengan crude oil sebanyak 5% b/b.

§ Isolat Bakteri dan Nutrisi : Peremajaan isolat bakteri Bacillus subtilis dilakukan pada media cair, Nutrient Broth (NB) sebanyak 5 liter dengan persentase 10% v/v dan 15% v/v untuk dicampurkan ke tanah sebagai perlakuan. Untuk meningkatkan pertumbuhan isolat

(8)

bakteri pemecah minyak, maka sample yang digunakan ditambahkan nutrisi. Oleh sebab itu, dalam penelitian kali ini perlu ditambahkan urea dan NPK sebagai asupan nutrisi mikroorganisme. Urea dan NPK merupakan jenis nutrisi yang dapat digunakan untuk meningkatkan aktivitas mikroba dan bersifat biodegradable.

§ Material dan metode : Penggunaan metode bioventing untuk pemulihan tanah yang terkontaminasi dengan menggunakan mikroorganisme dan oksigen sebagai asupan mikroorganisme tersebut atau biasa disebut dengan bioremediasi ini dilakukan untuk mengecek parameter-parameter kualitas tanah yang akan diteliti dalam hal ini adalah total petroleum hidrokarbon (TPH) dan BTEX. Pilot plan alat ini secara garis besar terdiri dari reaktor kaca berukuran 50 x 50 x 20 cm3 sebanyak 2 buah, 8 blower, tanah yang terkontaminasi minyak, pipa, lubang monitor. Peralatan yang digunakan untuk uji mikrobiologi adalah botols ample, cawan petri, buret, pipet, test tube, Erlenmeyer, shake

water bath, gelas ukur, autoclave, incubator, timbangan analitis, kertas saring, gelas beker.

Gambar 1. Skema Alat Bioventing Sumber : Hasil Olahan (2012)

Gambar 2. Detail Alat Bioventing Sumber : Hasil Olahan (2012)

(9)

§ Tahap Pengukuran : Pengukuran dilakukan sebelum dan selama proses bioremediasi berlangsung. Pengukuran yang dilakukan sebelum proses berlangsung meliputi pengukuran kadar C, N dan P, serta nilai TPH dan BTEX awal. Pengukuran kadar C, N dan P berguna untuk mengetahui berapa banyak C, N dan P tambahan yang dibutuhkan untuk mengoptimalkan proses bioremediasi. Pengukuran TPH dan BTEX awal digunakan untuk melihat laju penurunan TPH dan BTEX selama proses bioremediasi.

Tabel 1. Variabel dan Waktu Pengukuran

Variabel Waktu Pengukuran

pH Satu kali sehari

Temperatur Satu kali sehari

TPH Satu kali dalam satu minggu

BTEX Di awal dan diakhir penelitian

Sumber : Hasil Olahan (2012)

Tabel 2. Standar Pengujian dan Metoda Analisis

Variabel Standar Pengujian Metoda Analisis

C JIS K 0102 : 1998 Pemeriksaan

Kualitas Total Nitrogen

Metode spektrofotometri

N SNI 02-2803-2010 butir 6.1 Metode spektrofotometri

P SNI 02-2803-2010 butir 6.2 Metode spektrofotometri

pH SNI 06-6989.11-2004 pH-meter

Temperatur SNI 06-6989.23-2005 Thermometer

TPH USEPA Method 1664 Metode gravimetri

BTEX Kromatografi

Populasi Bakteri Total Plate Count (TPC)

Sumber : Hasil Olahan (2012)

Penyajian dan Analisis Data

§ Penyajian data : Penelitian ini menggunakan data berupa data primer dan sekunder untuk menunjang analisis penelitian. Dilakukan beberapa metode sehingga kedua jenis data tersebut dapat diperoleh, yakni sebagai berikut :

Tabel 3. Jenis dan Sumber Data yang Diperlukan

Data Jenis Data Sumber

pH Primer Pengukuran Langsung

Temperatur Primer Pengukuran Langsung

TPH Primer Pengukuran Langsung

BTEX Primer Pengujian Laboratorium

Nutrisi (C:N:P) Primer Pengujian Laboratorium

(10)

§ Analisis Data : Berupa pengukuran laboratorium dan perhitungan menggunakan data primer.

Perhitungan Kandungan TPH

Untuk mendapatkan nilai kandungan TPH dalam tanah yang terkontaminasi, menggunakan persamaan sebagai berikut :

!"#$%  !"# =   ! − !

!"#$%  !"#$%&×100% Dimana :

A = Berat labu didih kering oven sebelum diekstraksi, gr. B = Berat labu didih kering oven setelah diekstraksi, gr. Perhitungan Kandungan BTEX

Untuk mendapatkan nilai kandungan BTEX dalam tanah yang terkontaminasi, menggunakan persamaan sebagai berikut :

%!"#$%&'($()" =  !"!!"−  !"!

! ×100%

Dimana :

Bz0 = nilai konsentrasi awal

Bzn = nilai konsentrasi akhir Perhitungan Populasi Bakteri

Untuk mendapatkan jumlah populasi bakteri dalam tanah yang terkontaminasi, menggunakan persamaan sebagai berikut:

!"#  !"#  !" =   !"# !"#$% ×!"#$%&  !"#$"#%"&'# !"#$%&  !"#$%&'(!  (!")   HASIL PENELITIAN Kualitas Sampel Tanah Awal

Sebelum proses bioremediasi berjalan, dilakukan pengukuran pH, temperatur, kandungan TPH, dan kandungan BTEX tersebut untuk mengetahui data awal. Dari data awal tersebut, dapat diketahui parameter yang dapat disesuaikan dengan parameter-parameter acuan untuk mendapatkan kondisi lingkungan yang optimum untuk proses bioremediasi.

(11)

Parameter Nilai Satuan

Temperatur 29 oC

pH 6,3 -

TPH 4,61 %

C:N:P 100:10:1 -

Sumber : Hasil Olahan (2013)

Proses Biodegradasi

Pengamatan TPC (Total Plate Count) dilakukan dua kali yaitu pada awal dan akhir penelitian. Hal ini dimaksudkan agar dapat dilihat jumlah mikroorganisme pada sampel tanah sebelum dilakukan perlakuan dan setelah dilakukan perlakuan. Hasil pengamatan jumlah koloni pada setiap cawan untuk sampel awal, yaitu berupa tanah yang terkontaminasi minyak bumi ditambahkan kultur bakteri Bacillus subtilis adalah sebagai berikut :

Gambar 3. Data Enumerasi Mikroorganisme Sumber : Hasil Olahan (2013)

Hasil akhir penelitian bioremediasi dengan metode bioventing skala laboratorium ini ditunjukkan dalam bentuk data persen kandungan Total Petroleum Hydrocarbon (TPH) dalam setiap perlakuan dengan konsentrasi awal sebesar 4,61%. Berikut adalah tabel data % Total

Petroleum Hydrocarbon (TPH) sebagai hasil proses bioremediasi selama 5 minggu dengan 4

perlakuan yang berbeda yaitu, kontrol 1 dan 2 tanpa penambahan bakteri atau pemanfaatan bakteri indigenous, penambahan konsentrasi bakteri Bacillus subtilus 10% v/v, dan penambahan konsentrasi bakteri Bacillus subtilus 15% v/v.

Tabel 5. Data TPH (%) Sampel Tanah dari Minggu ke-0 sampai Minggu ke-5 Minggu  Ke-­‐   Perlakuan  

Control  1   Bakteri  10%   Control  2   Bakteri  15%  

0   4.61   1   2.36   1.14   3.05   1.68  

•  (0,7  –  57)  x  10

6

 CFU/ml.  

Awal  

•  0,05  x  10

6

 CFU/ml    

Control  1  

•  75,03  x  10

6

 CFU/ml.  

Konsentrasi  Bakteri  10%  v/v  

•  18,5  x  10

6

 CFU/ml  

Control  2  

•  16    x  10

6

 CFU/ml  

Konsentrasi  Bakeri  15%  v/v  

(12)

2   1.90   1.11   2.29   1.36   3   1.75   0.97   2.09   1.25   4   1.41   0.85   2.05   1.23   5   1.26   0.51   1.90   1.21   %  Penurunan   67.15   82.21   54.25   68.12  

Sumber : Hasil Olahan (2013)

Hasil akhir penelitian bioremediasi dengan metode bioventing skala laboratorium ini ditunjukkan dalam bentuk data persen kandungan BTEX (Benzene, Toluene, Ethylene, Xilene) setiap perlakuan. Berikut adalah tabel data % BTEX sebagai hasil proses bioremediasi pada awal penelitian dan akhir penelitian.

Gambar 4. Data Nilai BTEX di Awal dan Akhir Penelitian Sumber : Hasil Olahan (2013)

§ pH : menandakan bahwa terdapat keseimbangan antara kandungan asam dan basa dalam air melalui proses pengukuran ion hidrogen dalam larutan. Menurut Prescott (2008), berubahnya nilai pH dapat menimbulkan perubahan terhadap keseimbangan kandungan karbon dioksida, bikarbonat dan karbonat di dalam air. Batas toleransi organisme perairan terhadap pH bervariasi, tergantung pada suhu, oksigen terlarut dan adanya berbagai anion dan kation.

(13)

Gambar 5. Data Nilai pH dari Minggu Ke-0 sampai Minggu Ke- 5 Sumber : Hasil Olahan (2013)

§ Temperatur : indikator penting dalam menentukan reaksi kimia dan fisik dari suatu sistem (Sawyer, 2003). Temperatur juga sangat berpengaruh terhadap kelarutan oksigen, kekeruhan, kecepatan reaksi kimia dan kehidupan organisme di dalamnya. Dikarenakan dekomposisi material organik dilakukan oleh mikroorganisme seperti cacing, fungsi dan bakteri, maka faktor lingkungan seperti temperatur sangat penting untuk diamati pada proses bioremediasi Tiap-tiap mikroorganisme memiliki temperatur optimum untuk dapat bertumbuh ataupun mati. Hal ini dikarenakan dinding sel akan rusak dan enzim dapat dinonaktifkan jika tidak sesuai dengan kondisi idealnya (Bean, 1995).

6   6.1   6.2   6.3   6.4  6.5   6.6  6.7   6.8   6.9  7   7.1   7.2   7.3   7.4  7.5   7.6  7.7   7.8   7.9  8   8.1   8.2   1   3   5   7   9  11  13  15  17  19  21  23  25  27  29  31  33  35  37   pH   Hari  Ke-­‐  

Grafik  pH  Rata-­‐rata  

Control  1   10%   Control  2   15%   26   27   28   29   30   31   32   33   1   3   5   7   9   11  13  15  17  19  21  23  25  27  29  31  33  35  37   oC   Hari  Ke-­‐  

Suhu  

Control  1   10%   Control  2   15%  

(14)

Gambar 6. Data Nilai Suhu dari Minggu Ke-0 sampai Minggu Ke- 5 Sumber : Hasil Olahan (2013)

PEMBAHASAN Kualitas Sampel Tanah Awal

Agar proses bioremediasi dapat berlangsung secara efektir, kondisi lingkungan harus dimanipulasi agar dapat mendorong pertumbuhan dan aktivitas mikroba dalam melakukan proses biodegradasi. Berikut ini adalah parameter-parameter lingkungan yang diukur sebelum proses penelitian berlangsung beserta parameter acuan untuk mendapatkan proses bioremediasi yang efektif.

Tabel 6. Penyesuaian Kondisi Lingkungan Bioremediasi No Parameter Kondisi yang Dibutuhkan Untuk

Aktivitas Mikroba

Kondisi Penelitian 1 Konsentrasi

TPH

≤ 15% (KepMenLH No. 128 Tahun 2003)

4,61%

2 Suhu 10oC ≤ suhu  tanah ≥ 45oC (EPA-

Bioventing, 1994)

29oC

3 pH Tanah 6-9 (KepMenLH No. 128 Tahun 2003) 6,3

Sumber: berbagai referensi dan data penulis (2013)

Berdasarkan tabel diatas, kualitas sampel tanah sudah memenuhi kondisi optimum untuk proses bioremediasi dan hasil yang diharapkan sesuai dengan kondisi optimum yang ada di lapangan.

Proses Biodegradasi

Mikroorganisme yang digunakan dalam penelitian bioremediasi sebagai pendegradasi hidrokarbon di tanah yang terkontaminasi crude oil berasal dari Laboratorium Bioproses Badan Pusat Pengembangan dan Penelitian Teknologi Minyak dan Gas Bumi (Lemigas) dan ditambah dengan kultur mikroorganisme yang berasal dari luar (eksogenous) yaitu Bakteri

Bacillus Subtilis yang berasal dari kultur mikroba Institut Teknologi Bandung. Tujuan

dilaksanakannya enumerasi atau perhitungan mikroorganisme adalah untuk menghitung berapa banyak jumlah mikroorganisme pada sampel tanah, yaitu dengan menggunakan metode TPC (Total Plate Count). pertambahan jumlah bakteri dari jumlah populasi awal hal ini disebabkan oleh penambahan bakteri eksogen yaitu kultur bakteri Bacillus subtilis pada perlakuan. Kondisi perlakuan penambahan bakteri 15% cenderung kecil hal ini mungkin

(15)

disebabkan oleh menurunnya jumlah populasi mikroorganime karena persebaran bakteri di tanah kurang merata sehingga data tidak begitu merepresentasikan jumlah populasi mikroorganisme pada perlakuan ini. Jumlah bakteri pada kontrol (tanpa penambahan bakteri) juga melebihi kondisi awal hal ini disebabkan oleh kondisi bakteri indigenous di dalam tanah yang diberi perlakuan sama yaitu penambahan nutrisi dan injeksi udara. Hal tersebut yang menyebabkan jumlah bakteri pada kontrol masih terbilang cukup banyak.

Berdasarkan data persen kandungan Total Petroleum Hydrocarbon (TPH) yang telah diperoleh selama penelitian ini yang ditunjukkan pada Tabel 4.7, dapat diperoleh grafik yang menunjukkan persen penurunan TPH dalam bentuk grafis. Penelitian bioremediasi ini dilakukan selama 5 minggu dan menunjukkan grafik TPH mengalami penurunan selama kurun waktu tersebut seperti terlihat pada grafik di bawah ini.

Tabel dan grafik penurunan TPH di atas menunjukkan bahwa kadar TPH terendah dimiliki oleh perlakuan penambahan bakteri eksogen dengan volume sebesar 10% b/v yaitu 0,505% pada minggu ke 5 dengan persentasi removal sebesar 82,21% dan kadar TPH tertinggi yaitu 1,903% yang dimiliki oleh kontrol 2 tanpa penambahan bakteri eksogen pada minggu ke 5 dengan eprsentasi removal sebsar 54,25%. Penurunan TPH cenderung stabil mulai minggu pertama. Perubahan kadar TPH ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu injeksi udara, faktor lingkungan, dan mikroorganisme.

Hal tersebut menunjukkan bahwa pengaruh injeksi oksigen pada tanah yang terkontaminasi untuk proses biodegradasi amatlah besar. Hal tersebut didukung dengan adanya aktivitas mikroorganisme dalam tanah tanpa penambahan bakteri eksogenous dalam penelitian ini adalah bakteri Bacillus subtilis dalam penurunan kadar TPH. Proses injeksi udara yang diterapkan pada semua perlakuan membuat bakteri indigenous dalam tanah berkembang dan terjadi biodegradasi pula pada perlakuan kontrol. Bakteri indigenous mampu mendegradasi hidrokarbon dalam tanah yang terkontaminasi dengan persentase removal sebesar 67,15% dan 54,25%. Hal ini membuktikan bahwa teknik bioventing dapat menstimulasi kinerja bakteri

indigenous dalam tanah untuk mengurangi kadar hidrokarbon.

Kondisi aerobik secara umum dianggap penting untuk proses degradasi terhadap TPH minyak bumi bagi bakteri uji (Bacillus subtilis). Ketika substrat karbon yang tersedia dimasukkan ke dalam lingkungan aerobik, maka mikroorganisme akan menggunakan oksigen untuk mengoksidasi substrat tersebut (Udiharto, 1996). Oleh karena itu, pada penelitian kali ini dilakukan injeksi udara dengan menggunakan blower setiap harinya dan pengadukan media juga dilakukan setiap harinya yang bertujuan untuk meratakan minyak di dalam media tanah serta mengoptimalkan proses pengolahan secara hayati.

(16)

Hasil analisis GC-MS dari seluruh sampel menunjukkan bahwa tiap sampel yang didapat terdiri dari banyak sekali jenis senyawa (lebih dari seratus) senyawa, sehingga dilakukan pembatasan masalah yang terkait dengan tujuan penelitian, yaitu bahwa senyawa yang dianalisis hanyalah senyawa-senyawa yang relatif biodegradable, dalam penelitian kali ini dibatasi yaitu hanya senyawa aromatik (Benzene, Toluene, Ethylene, dan Xylene) (Baker dan Herson, 1994). Hidrokarbon aromatik mempunyai molekul yang tersusun sebagai cincin berikatan ganda yang dikenal sebagai senyawa aromatik seperti benzena, toluene, dan naphthalene (Irianto et al., 1999). Dari hasil analisis GC-MS nantinya dapat diketahui seberapa besar pengaruh proses bioremediasi yang dilakukan terhadap pengurangan komposisi senyawa-senyawa BTEX tersebut di dalam sampel tanah yang terkontaminasi minyak.

Dapat dilihat bahwa pada perlakuan dengan penambahan bakteri Bacillus subtilis dengan konsentrasi 10% dan 15% (v/v), menyebabkan nilai BTEX tereduksi. Hal ini bisa diketahui dengan semakin meningkatnya % biodegradasi senyawa BTEX dari interval awal dan akhir penelitian. Kondisi ini menunjukkan bahwa konsorsium bakteri yang tumbuh dalam bioreaktor mampu memanfaatkan sumber karbon yang berasal dari minyak bumi untuk pertumbuhannya. Sedangkan pada perlakuan tanpa penambahan bakteri Bacillus subtilis menyebabkan nilai % biodegradasinya relatif lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan penambahan bakteri Bacillus subtilis. Hal tersebut disebabkan karena bakteri alami yang ada di dalam blangko belum bisa mendegradasi senyawa hidrokarbon minyak bumi secara efektif. Akan tetapi pada perlakuan kontrol 2 tanpa penambahan bakteri Bacillus subtilis terlihat penurunan yang cukup signifikan, hal ini disebabkan karena aktivitas bakteri alami atau

indigenous dalam tanah dengan daya dukung injeksi udara (O2) dan juga penambahan nutrisi yang membuat bakteri mendegradasi senyawa hidrokarbon aromatik lebih efektif. Desain yang sama diterapkan pada setiap perlakuan, akan tetapi volume kerja pada control 2 cenderung lebih kecil yaitu 25 x 50 x 15 cm3. Hal ini yang membuat injeksi udara volume kerjanya lebih sedikit dan bekerja lebih maksimal sehingga proses biodegradasi hidrokarbon aromatik lebih efektif dan kadar penurunannya paling besar.

§

pH :

Pola perubahan pH sampel yang tidak teratur dapat disebabkan karena terdapat aktivitas mikroorganisme dalam tanah yang terkontaminasi dalam mendegradasi minyak. Selain itu, pengadukan sampel yang tidak merata yang menyebabkan sampel yang diambil tidak mewakili pH sampel yang sesungguhnya. Data pH tanah dapat menunjukkan aktivitas mikroba tanah dalam mendegradasi minyak bumi. Selain itu, pengukuran pH tanah juga

(17)

bertujuan untuk menjaga pH tanah agar tetap pada kisaran optimum yaitu pada pH netral 6-9 dan pH optimum untuk pertumbuhan Bacillus subtilis adalah 8. Pada pH dibawah 4-5 atau diatas 9-9,5 dapat menyebabkan mikroba menjadi mati dalam jumlah besar (LaGrega et al, 2009). Meskipun data pH menunjukkan adanya perubahan, perubahan tersebut tidak terlalu signifikan. pH hanya berubah pada kisaran 6-8. Hal ini membuktikan bahwa aktivitas mikroorganisme dalam proses bioremediasi tersebut tidak terlalu besar. Berdasarkan EPA

Bioventing (1994), untuk mendukung pertumbuhan mikroorganisme, pH tanah harus pada

kisaran 6-9 dengan nilai 8 adalah yang paling optimum untuk proses bioremediasi. Begitu pula dengan KepMenLH No. 128 Tahun 2003 tentang Tata Cara dan Persyaratan Teknis Pengolahan Limbah dan Tanah Terkontaminasi Oleh Minyak Bumi Secara Biologis, data-data tersebut masih sesuai dengan kisaran yang disyaratkan yaitu 6-9.

§

Temperatur :

Aktivitas mikroba dalam melakukan degradasi merupakan reaksi eksoterm, yaitu reaksi yang menghasilkan suhu panas. Suhu yang tinggi mengindikasikan aktivitas mikroba pada saat itu sedang tinggi. Pada Gambar Grafik Suhu, suhu rata-rata yang didapatkan adalah sekitar 28-32oC. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Vidali (2001), suhu yang didapat merupakan suhu yang dibutuhkan dalam aktivitas mikroba dalam tanah sudah termasuk dalam nilai optimum untuk proses degradasi tanah yaitu pada suhu 25 – 35 oC untuk Bacillus

subtilis melakukan proses degradasi optimal Pada minggu pertama, semua sampel mengalami

kenaikan suhu, sementara itu data konsentrasi TPH menunjukkan adanya penurunan. Meskipun terdapat aktivitas mikrooganisme, kemungkinan suhu panas yang dihasilkan dari reaksi eksoterm tersebut tidak cukup untuk menghangatkan seluruh sampel tanah. Selain itu, pengukuran suhu pada saat itu dilakukan pada setiap pagi menjelang siang sehingga suhu ambien lebih panas dibandingkan suhu sampel yang belum menyerap suhu ambien. Pada minggu ke-2, suhu semua sampel konstan seperti pada suhu minggu sebelumnya yaitu pada kisaran 29-30oC. Suhu ambien saat itu menunjukkan angka 29oC. Konsentrasi TPH pada minggu tersebut juga mengalami penurunan, sehingga dapat disimpulkan bahwa suhu panas yang dihasilkan aktivitas mikroba tidak cukup untuk menghangatkan sampel tanah. Pada minggu ke-3 hingga minggu ke-5, suhu sampel juga konstan sama seperti pada suhu minggu minggu sebelumnya umumnya perubahan suhu pada sampel lebih dipengaruhi oleh suhu ambien.

(18)

KESIMPULAN

Berdasarkan pengolahan data dan analisis yang telah dilakukan pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

• Metode bioventing dapat mempercepat proses degradasi hidrokarbon oleh mikroba, injeksi udara terbukti dapat menstimulasikan kinerja mikroorganisme di tanah baik

indigenous maupun eksogenous. Dengan adanya penambahan mikroba (eksogenous)

maka jumlah dan biodiversitas mikroba di lingkungan tersebut menjadi semakin besar. Hal ini semakin dapat meningkatkan laju degradasi hidrokarbon.

Penambahan bakteri Bacillus subtilis pada proses bioremediasi dapat meningkatkan proses degradasi hidrokarbon pada tanah yang terkontaminasi minyak bumi. Proses bioremediasi dengan metode bioventing dapat menurunkan TPH dari 5% sampai 0,5% selama 5 minggu untuk konsentrasi 10% v/v dan dari 5% sampai 1,21% selama 5 minggu untuk konsentrasi 15% v/v. Hal tersebut sudah memenuhi baku mutu berdasarkan Kepmen LH No. 128 Tahun 2003 yaitu kandungan TPH sebesar 1%. Injeksi udara dan penambahan bakteri pada proses bioremediasi dapat menurunkan kadar kontaminan hidrokarbon aromatik berupa BTEX dengan kadar penurunan (% Biodegradasi) paling besar dari perlakuan Control 2 sebesar 66,65%, Konsentrasi Bakteri 15% v/v sebesar 37,69%, Konsentrasi Bakteri 10% v/v sebesar 34,41%, dan Control 1 sebesar 23,40%.

SARAN

Adapun saran-saran yang dapat diberikan ada penelitian yang lebih lanjut adalah : • Hasil penelitian bioremediasi dengan metode Bioventing skala laboratorium perlu diuji

coba di lapangan yang terkontaminasi minyak

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai jenis mikroba indigenous dalam tanah dan penelitian lebih lanjut mengenai proses bioremediasi tanpa dilakukannya injeksi udara guna sebagai pembanding untuk data penelitian ini.

• Diperlukan optimasi terhadap faktor-faktor yang berperan dalam bioremediasi yaitu, nutrisi, salinitas, kadar air, suhu, kelembaban, dan pH pada bioremediasi skala lapangan.

(19)

KEPUSTAKAAN

A Summary of the DOE/PERF Bioremediation Workshop. 2002. U.S. : Department of Energy and the Petroleum Environmental.

Anggraeni D. 2003. Isolasi Bakteri dan Kapang Pendegradasi Hidrokarbon Minyak Diesel dari Kotoran Hewan. [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor

Atlas, R. M. And R. Bartha. 1987. Microbial Ecology: Fundamentals and Application 2nd Ed. The

benjamin/Cummings Publ. Co. Inc. Menlo Park

Atlas, Ronald and James Bragg. 2009. Bioremediation of Marine Oil Spills: When and When Not – the Exxon Valdez Experience. Microbial Biotechnology.

Baker, K and D. Hersuri. 1994. Bioremediation. Mc. Graw Hill Publication, USA. Baker, K.H. dan Herson, D.S. 1994. Bioremediation. USA : McGraw-Hill, Inc.

EPA (Environmental Protection Agency). 2004. How to Evaluate Alternative Clean up Technologies for

Underground Storage Tank Sites. Di akses pada tanggal 14 November 2012.

www.epa.gov/oust/pubs/tums.htm.

Irianto, A; Oedjijono; dan Sukanto. 1999. Bioremediasi In Vitro Tanah Tercemar Hidrokarbon Menggunakan Bacillus Strain Lokal. Depdikbud, Universitas Jenderal Sudirman, Fakultas Biologi, Purwokerto. 42 hal.

King, R. B; G. M. Long; and J. K. Sheldon. 1992. Practical Environmental Bioremediation. Lewis Publisher, Florida. Page 1-135

Koesoemadinata, R. P. 1980. Geologi Minyak dan Gas Bumi. Edisi ketiga. Jilid 1. ITB, Bandung. Hal 1-41. Mc. Millen, S. J. 1998. Biodegradability of Crude Oils in Soil. Chevron Research and Technology Company,

Texaco.

Nugroho, A. 2006. Biodegradasi sludge minyak bumi dalam skala mikrokosmos: simulasi sederhana sebagai kajian awal bioremediasi land treatment. Makara, teknologi Vol. 10, No.2, hal. 82-89.

Prakasa, Bima. 2011. Remediasi Tanah. Surabaya : Institut Teknologi Sepuluh November.

Sawyer, C.N., Perry, L., McCarty & Gene, F.P. (2003). Chemistry for Environmental Engineering and Science. New York: McGraw Hill.

U.S. Department Of Health And Human Services. 1999. Toxicological Profile For Total Petroleum

Hydrocarbon (TPH). Diakses 14 November 2012. http://www.atsdr.cdc.gov/ToxProfiles/tp123-p.pdf

Udiharto, M. 1996. Bioremediasi Minyak Bumi. Prosiding Lokakarya Peranan Bioremediasi dalam Pengelolaan Lingkugan LIPI/BPPT/HSF, Cibinong.

Vidali. 2001. Bioremediation An Overview. Pure Applied Chemistry, Vol. 73, No. 7, hal. 1163-1172, 2001. Diakses 14 November 2012, dari IUPAC.

MenKLH. (2003). Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 128 tahun 2003 Tentang tata cara dan Persyaratan Teknis Pengolahan Limbah Minyak Bumi Biologis. Jakarta: MenKLH

Sarasputri, Dwi Ajeng (2011). Perbandingan Biostimulasi dan Bioaugmentasi dalan Bioremediasi Pantai Tercemar Minyak Bumi. Skripsi. Program Studi Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Universitas Indonesia

(20)

Satyani, Erna. (2008). Bioremediasi Tanah Terkontaminasi Minyak Bumi Menggunakan Bakteri Bacillus sp Dan Pseudomonas sp. Jurnal Warta Akab No.19, Juli 2008.

Walker, J. D dan R. R. Colwell. 1976. Ecological Aspect of Microbial Degradation in Marine Environmental. Microbial Review. Vol. 45. 19p

Gambar

Gambar 1. Skema Alat Bioventing
Tabel 1. Variabel dan Waktu Pengukuran
Tabel 4. Data Kualitas Sampel Awal
Tabel 5. Data TPH (%) Sampel Tanah dari Minggu ke-0 sampai Minggu ke-5  Minggu	
  Ke-­‐	
   Perlakuan	
  
+4

Referensi

Dokumen terkait

Agar mendapatkan hasil yang maksimal putaran pada motor, maka perlu dilakukan sebuah penelitian cara pengaturan kecepatan putaran motor, dan salah satunya adalah

Sementara untuk negara ASEAN asal barang impor non migas terbesar adalah Thailand dengan nilai impor mencapai USD 72,91 juta, diikuti Singapura dengan nilai USD 49,68 juta

Dengan memperhatikan hasil penelitian ini terlihat bahwa kapasitor yang dipasang paralel dengan motor induksi 3-fasa tidak dapat memperkecil arus start motor,

Mengamati, mengawasi, dan Memeriksa dengan cermat perubahan kualitas tata ruang dan lingkungan yang Tidak sesuai dengan rencana tata ruang Pemantauan dalam rangka pengawasan

KARAKTERISTIK ULUL ALBAB DALAM ALQURAN SURAH ALI IMRAN AYAT 190-192 DAN RELEVANSINYA TERHADAP KOMPTERENSI GURU.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |

harus menyadari bahwa konsepsi yang dimiliki sebelumnya merupakan pengetahuan yang salah (Wenning, 2008). Siswa dibawa agar menyadari adanya dampak negatif dari

Konsumsi telur harus melalui proses pemasakan yang benar hingga masak sempurna untuk memastikan bahwa bakteri patogen pada telur telah mati, karena pemasakan

Berdasarkan hasil amatan bangunan-bangunan tersebut di atas yang dibangun pada kawasan rawan bencana (bantaran Sungai Walannae di Desa Lompulle Kecamatan Ganra Kabupaten Soppeng