• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

7

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Kepemimpinan

2.1.1 Pengertian Kepemimpinan

Kepemimpinan merupakan bidang ilmu yang kompleks dan variatif. Beberapa ahli kepemimpinan secara prinsip setuju bahwa kepemimpinan dapat didefinisikan sebagai proses mempengaruhi yang terjadi antara pemimpin dan bawahannya. Kepemimpinan telah dipelajari secara luas dalam berbagai konteks dan dasar teoritis. Dalam beberapa hal, kepemimpinan digambarkan sebagai proses tetapi sebagian besar teori dan riset mengenai kepemimpinan fokus pada seorang figur untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik.

Hasibuan mengatakan bahwa pemimpin adalah seseorang yang mempergunakan wewenang dan kepemimpinannya mengarahkan bawahan untuk mengerjakan sebagian pekerjaannya dalam mencapai tujuan organisasi. Sedangkan kepemimpinan adalah cara atau gaya seorang pemimpin mempengaruhi perilaku bawahan, agar mau bekerja sama dan bekerja secara produktif untuk mencapaitujuan organisasi. (Hasibuan, 2009:170)

Menurut Tead; Terry; Hoyt (dalam Kartono, 2003) Pengertian Kepemimpinan yaitu kegiatan atau seni mempengaruhi orang lain agar mau bekerjasama yang didasarkan pada kemampuan orang tersebut untuk membimbing orang lain dalam mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan kelompok. Menurut Young (dalam Kartono, 2003) Pengertian Kepemimpinan

(2)

8

yaitu bentuk dominasi yang didasari atas kemampuan pribadi yang sanggup mendorong atau mengajak orang lain untuk berbuat sesuatu yang berdasarkan penerimaan oleh kelompoknya, dan memiliki keahlian khusus yang tepat bagi situasi yang khusus.

Gaya kepemimpinan yang kurang melibatkan bawahan dalam mengambil keputusan, akan mengakibatkan bawahan merasa tidak diperlukan, karena pengambilan keputusan tersebut terkait dengan tugas bawahan sehari-hari. Pemaksaan kehendak oleh atasan mestinya tidak dilakukan. Namun, pemimpin dalam menerapkan gaya kepemimpinan yang tepat merupakan tindakan yang bijaksana kepada bawahan, maka akan terjadi kegagalan dalam pencapaian tujuan organisasi.

Kepemimpinan merupakan aktivitas orang, yang terjadi diantara orang-orang, dan bukan sesuatu yang dilakukan untuk orang-orang sehingga kepemimpinan melibatkan pengikut (followers). Proses kepemimpinan juga melibatkan keinginan dan niat, keterlibatan yang aktif antara pemimpin dan pengikut untuk mencapai tujuan yang diinginkan bersama. Dengan demikian, baik pemimpin ataupun pengikut mengambil tanggung jawab pribadi (Personal responsibility) untuk mencapai tujuan bersama.

a. Gaya Kepemimpinan

Gaya artinya sikap, gerakan, tingkah laku, sikap yang elok, gerak gerik yang bagus, kekuatan, kesanggupan untuk berbuat baik. Dan gaya kepemimpinan adalah suatu perilaku dan stategi, sebagai hasil kombinasi dari falsafah, keterampilan, sifat, sikap, yang sering diterapkan seorang pemimpin

(3)

9

mencoba mempengaruhi bawahannya. Dalam gaya kepemimpinan memiliki tiga pola dasar yaitu : yang mementingkan pelaksanaan tugas, yang mementingkan hubungan kerjasama, dan yang mementingkan hasil yang dapat dicapai. Sehingga gaya kepemimpinan yang paling tepat adalah suatu gaya yang dapat memaksimumkan produktivitas, kepuasan kerja, penumbuhan dan mudah meyesuaikan segala siatuasi.

Gaya kepemimpinan menurut Yayat M. Herujito adalah leadership styles. Maksudnya, cara yang diambil seseorang dalam rangka mempraktekkan kepemimpinanannya. Gaya kepemimpinan bukan bakat. Oleh karena itu, gaya kepemimpinan dapat dipelajari dan dipraktekkan dan dalam penerapannya harus disesuaikan dengan situasi yang dihadapi (Yayat M. Herujito, 2004; 188).

Gaya kepemimpinan yang terdapat dalam setiap organisasi dipandang sebagai suatu proses kunci bagi keberhasilan organisasi yang bersangkutan. Gaya kepemimpinan yang diterapkan oleh seorang pemimpin dalam suatu organisasi akan mempengaruhi kinerja anggotanya. Gaya kepemimpinan dan ituasi yang berlaku mempengaruhi hasil yang akan dicapai oleh para anggotanya. Gaya kepemimpinan yang diterapkan oleh seorang pemimpin dalam suatu organisasi dapat menciptakan integrasi yang serasi, mendorong gairah kerja anggota untuk mencapai sasaran yang maksimal, menumbuhkan kepercayaan, dan partisipasi serta loyalitas. Pemimpin yang bijaksana umumnya lebih memperhatikan kondisi bawahannya guna pencapaian tujuan organisasi. Gaya yang akan digunakan mendapat sambutan hangat oleh

(4)

10

bawahan sehingga proses mempengaruhi bawahan berjalan baik dan disatu sisi timbul kesadaran untuk bekerja sama dan bekerja produktif. Bermacam-macam cara mempengaruhi bawahan tersebut guna kepentingan pemimpin yaitu tujuan organisasi. Pemimpin dalam pencapaian tujuan yang telah ditetapkan pada tugas dan fungsi, melalui proses komunikasi dengan bawahannya sebagai dimensi dalam kepemimpinan dan teknik-teknik untuk memaksimalkan pengambilan keputusan.

Pola dasar terhadap gaya kepemimpinan yang lebih mementingkan pelaksanaan tugas oleh para bawahannya, menuntut penyelesaian tugas yang dibebankan padanya sesuai dengan keinginan pemimpin. Dengan gaya kepemimpinan untuk mementingkan pelaksanaan kerjasama, pemimpin berkeyakinan bahwa dengan kerjasama yang intensif, efektif, dan efisien semua tugas dapat dilaksanakan secara optimal.

b. Model Kepemimpinan Transformasional

Pemimpin Transformasional (Transformational Leaders) adalah pemimpin yang memberikan pertimbangan dan rangsangan intelektual yang diinvidualkan pada para bawahan atau pengikut (Soekarso, Agus Sosro, Iskandar Putong, Cecep Hidayat; 2010).

Teori ini pertama kali dikemukakan oleh Burn (dalam Safaria, 2004) yang mengidentifikasikan dua tipe kepemimpinan politik, yaitu kepemimpinan Transformasional dan kepemimpinan Transaksional. Kepemimpinan Transformasional dicirikan sebagai pemimpin yang berfokus pada pencapaian

(5)

11

perubahan nilai-nilai, kepercayaan, sikap, perilaku, emosional dan kebutuhan bawahan menuju perubahan yang lebih baik di masa depan.

Dari hasil penelitian, Devanna dan Tichy mengemukakan beberapa karakteristik dari pemimpin transformasional yang efektif antara lain (Luthans, 2006):

1) Mereka mengidentifikasi dirinya sebagai agen perubahan. 2) Mereka mendorong keberanian dan pengambilan keputusan. 3) Mereka percaya pada orang-orang.

4) Mereka dilandasi oleh nilai-nilai

5) Mereka adalah seorangan pembelajar seumur hidup.

6) Mereka memilki kemampuan untuk mengatasi kompleksitas, Ambiguitas, dan ketidakpastian.

7) Mereka juga adalah seorang pejabat Visioner.

Menurut Nurkholis (dalam Jauhary, 2010) kepemimipinan transformasional mampu memtrasnsformasi dan memotivasi para pengikutnya dengan cara:

1) Membuat mereka sadar mengenai pentingnya suatu pekerjaan 2) Mendorong mereka untuk lebih mementingkan diri sediri

3) Mengaktifkan kebutuhan-kebutuhan pengikut pada taraf yang lebih tinggi. Ada beberapa ciri tipe kepemimpinan transformasional.

1) Adanya kesamaan yang paling utama, yaitu jalannya oragainsasi yang tidak digerakan oleh birokrasi, tetapi oleh kesadaran bersama.

(6)

12

2) Para pelaku mengutamakan kepentingan organisasi bukan kepentingan organisasi bukan kepentingan pribadi.

3) Adanya partisipasi aktif para pengikut atau orang yang dipimpin. c. Gaya Efektif Kepemimpinan

Menurut Soekarso, Agus Sosro, Iskandar Putong, Cecep Hidayat (2010) Pemimpin memperagakan gaya efektif untuk mempengaruhi perilaku anggota atau bawahan dan sumber daya ke arah pencapaian tujuan pembaharuan. Gaya efektif tersebut adalah sebagai berikut :

1) Sifat pemimpin utama (Primary Trait Leader) ; a) Keimanan (Belief) b) Keteladanan ( Exemplary) c) Kecerdasan ( Intelegence) d) Kemampuan (Ability) e) Kewirausahaan ( Entrepreneurship) f) Kepribadian ( Individuality)

2) Gaya pemimpin tinggi-tinggi (High-high Leader)

a) Orientasi tinggi pada tugas; menekankan pada penyelesaian pekerjaaan dan pencapaian prestasi.

b) Orientasi tinggi pada orag; menekankan pada pencapaian kepuasan kerja dan kesejahteraan.

c) Orientasi tinggi pada perubahan; menenkankan pada pencapaian pengembangan dan pembaharuan.

(7)

13

3) Gaya pemimpin berubah-ubah (Changes Leader)

a) Gaya Otokratis; efektif untuk mengahadapi kondisi darurat. b) Gaya Demokratis; efektif untuk mengahadapi kondisi normal. c) Gaya Liberalis; efektif untuk menghadapi kondisi kebebasan.

Berbagai penelitian menemukan bahwa gaya efektif menunjukan hasil kinerja sebagai berikut:

1) Produktivitas organisasi meningkat. 2) Kepuasan kerja karyawan tinggi. 3) Pembaharuan berjalan dinamis.

1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6 Changes Leader High-high Leader

Diagram Kinerja Gaya Efektif

Produktivitas Kepuasan Kerja Pembaharuan

Gambar.2.1

2.2 Budaya Organisasi

Budaya dan/atau kebudayaan yang hanya terdapat dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial dan/atau makhluk budaya. Dengan kata lain kebudayaan

(8)

14

hanya terdapat dalam kehidupan sosial atau kehidupan bersama dalam kebersamaan yang disebut masyarakat. Dalam kenya-taannya tidak ada masyarakat tanpa kebudayaan dan tidak ada kebudayaan diluar sebuah masyarakat. Sehubungan dengan itu Edgar Schein dalam Fred Luthans (2006:124) menyatakan bahwa budaya organisasi adalah: Pola asumsi dasar diciptakan atau dikembangkan oleh kelompok tertentu saat mereka menyesuaikan diri dengan masalah-masalah eksternal dan integrasi internal yang telah bekerja cukup baik serta dianggap berharga, dan karena itu diajarkan pada anggota baru sebagai cara yang benar untuk menyadari, berpikir dan merasakan hubungan dengan masalah tersebut. Sutrisno (2010: 2) mendefinisikan budaya organisasi sebagai perangkat sistem nilai-nilai (values), keyakinan-keyakinan (beliefs) atau norma-norma yang telah lama berlaku, disepakati dan diikuti oleh para anggota suatu organisasi sebagai pedoman perilaku dan pemecahan masalah-masalah organisasi.

Menurut Kreitner dan Kinicki dalam Sudarmanto (2009:116) bahwa budaya organisasi merupakan bagian nilai-nilai dan kepercayaan yang mendasari atau menjadi identitas perusahaan atau organisasi.

Pada saat ini istilah budaya organisasi banyak digunakan dalam organisasi perusahaan, bahkan beberapa perusahaan memasang tulisan yang menunjukkan budaya organisasi mereka di tempat-tempat yang menarik perhatian. Misalnya di depan pintu masuk kantor, atau di dekat tempat para karyawan melayani pelanggan. Konsep budaya organisasi mulai berkembang sejak awal tahun 1980-an. Konsep budaya organisasi diadopsi dari konsep budaya yang lebih dahulu berkembang pada disiplin ilmu antropologi (Sobirin, 2007:128-129).

(9)

15

Budaya organisasi menurut Schein dalam Sobirin (2007:132) adalah pola asumsi dasar yang dianut bersama oleh sekelompok orang setelah sebelumnya mereka mempelajari dan meyakini kebenaran pola asumsi tersebut sebagai cara untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang berkaitan dengan adaptasi eksternal dan integrasi internal, sehingga pola asumsi dasar tersebut perlu diajarkan kepada anggota-anggota baru sebagai cara yang benar untuk berpersepsi, berpikir dan mengungkapkan perasaannya dalam kaitannya dengan persoalan-persoalan organisasi.

Tidak berbeda dengan budaya yang mempengaruhi masyarakatnya, maka budaya organasasi juga akan mempengaruhi sikap dan perilaku semua anggota organisasi tersebut. Budaya yang kuat dalam organisasi dapat memberikan paksaan atau dorongan kepada para anggotanya untuk bertindak atau berperilaku sesuai dengan yang diharapkan oleh organisasi. Dengan adanya ketaatan atas aturan dan juga kebijakan – kebijakan perusahaan tersebut maka diharapkan bisa mengoptimalkan kinerja dan produktivitas para karyawan untuk mencapai tujuan organisasi.

2.2.1 Definisi Budaya Organisasi

Ada begitu banyak definisi mengenai budaya yang pada hakekatnya tidak jauh berbeda antara satu ahli dengan ahli lainnya.

Robbin (2003) menyatakan bahwa budaya merupakan suatu sistem makna bersama yang dianut oleh angota-anggota organisasi yang membedakan organisasi itu dari organisasi-organisasi lainnya.

(10)

16

Budaya organisasi menurut Schein dalam Sobirin (2007:132) adalah pola asumsi dasar yang dianut bersama oleh sekelompok orang setelah sebelumnya mereka mempelajari dan meyakini kebenaran pola asumsi tersebut sebagai cara untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang berkaitan dengan adaptasi eksternal dan integrasi internal, sehingga pola asumsi dasar tersebut perlu diajarkan kepada anggota-anggota baru sebagai cara yang benar untuk berpersepsi, berpikir dan mengungkapkan perasaannya dalam kaitannya dengan persoalan-persoalan organisasi.

2.2.2 Proses Budaya Organisasi

Robbins (2003:729) menyatakan bahwa proses penciptaan budaya organisasi terjadi dalam tiga cara. Pertama, para pendiri hanya memperkerjakan dan mempertahankan karyawan yang memiliki pola pikir sama dan sependapat dengan cara-cara yang mereka tempuh. Kedua, mereka mengindoktrinasikan dan mensosialisasikan para karyawan ini dengan cara berpikir dan cara berperasaan mereka. Bila organisasi berhasil, maka visi pendiri menjadi terlihat sebagai penentu utama keberhasilan. Pada titik ini, keseluruhan kepribadian pendiri menjadi tertanam ke dalam budaya organisasi.

Robbins (2003:724) membedakan budaya yang kuat dan budaya yang lemah. Budaya yang kuat mempunyai dampak yang lebih besar pada perilaku karyawan dan lebih langsung terkait dengan pengutangan turn-over karyawan. Dalam budaya yang kuat, nilai inti organisasi dipegang secara mendalam dan dianut bersama secara meluas. Makin banyak anggota yang menerima nilai-nilai inti dan makin besar komitmen mereka pada nilai-nilai tersebut, maka makin kuat budaya

(11)

17

tersebut. Budaya yang kuat juga memperlihatkan kesepakatan yang tinggi di kalangan anggota mengenai apa yang dipertahankan oleh organisasi. Kebulatan maksud tersebut selanjutnya membina keakraban, kesetiaan, dan komitmen organisasi.

2.2.3 Pembentukkan Budaya Organisasi

Pada dasarnya untuk membentuk budaya organisasi yang kuat memerlukan waktu yang cukup lama dan bertahap. Didalam perjalanannya sebuah organisasi mengalami pasang surut, dan menerpakan budaya organisasi yang berbeda dari satu waktu ke waktu lain.

Budaya bisa dilihat sebagai suatu hal yang mengelilingi kehidupan orang banyak dari hari ke hari, bisa direkayasa dan dibentuk. Jika budaya dikecilkan cakupannya ke tingkat organisasi atau bahkan kelompok yang lebih kecil, akan dapat terlihat bagaimana budaya terbentuk, ditanamkan, berkembang, dan akhirnya direkayasa, diatur dan diubah (Robbins, 2003).

Menurut Robbins (2003), budaya organisasi dapat dibentuk melalui beberapa cara yaitu :

1) Seseorang (pendiri) mempunyai sejumlah ide atau gagasan tentang suatu pembentukan organisasi.

2) Pendiri membawa satu atau lebih orang-orang kunci yang merupakan para pemikir dan membentuk sebuah kelompok inti yang mempunyai visi yang sama dengan pendiri.

(12)

18

3) Kelompok tersebut memulai serangkaian tindakan untuk menciptakan sebuah organisasi. Mengumpulkan dana, menentukan jenis dan tempat usaha, dan lain-lain mengenai suatu hal yang relevan.

4) Langkah terakhir yaitu orang-orang lain dibawa masuk kedalam organisasi untuk berkarya bersama-sama dengan pendiri dan kelompok inti dan pada akhirnya memulai sebuah pembentukan sejarah bersama.

2.2.4 Karakteristik Budaya Organisasi

Adapun karakteristik dari budaya organisasi adalah inovasi dan pengambilan resiko, perhatian kerincian, orientasi hasil, orientasi orang, orientasi tim, keagresifan, kemantapan. Disini dasar pemilihan karakteristik-karakteristik tersebut karena karakter yang dipilih dianggap sudah mewakili atau sudah menangkap hakikat budaya oraganisasi.

Menurut Robbins (2003), ada tujuh karakteristik utama yang secara keseluruhan, mencakup isi dari budaya organisasi. Ketujuh karakteristik tersebut adalah:

1) Inovasi dan pengambilan resiko, yaitu sejauh mana para karyawan didorong untuk inovatif dan mengambil resiko.

2) Perhatian dan kerincian, yaitu sejauh mana para karyawan diharapkan memperlihatkan presisi (kecermatan) analisis dan perhatian kerincian.

3) Orientasi hasil, yaitu sejauh mana manajemen memusatkan pada hasil bukannya pada teknik dan proses yang digunakan untuk mencapai hasil itu. 4) Oreintasi orang, yaitu sejauh mana keputusan manajemen memperhitungkan

(13)

19

5) Orientasi tim, yaitu sejauh mana kegiatan kerja diorganisasikan sekitar tim-tim, bukannya individu-individu.

6) Keagresifan, yaitu sejauh mana orang-orang itu agresif dan kompetitif bukannya santai-santai.

7) Kemantapan, sejauh mana kegiatan organisasi menekankan dipertahankannya status quo sebagai kontras dari pertumbuhan.

2.3 Kepuasan Kerja

2.3.1 Pengertian Kepuasan Kerja

Kepuasan kerja merupakan hal yang bersifat individual. Setiap individu mempunyai tingkat kepuasan yang berbeda-beda, seperti yang didefinisikan oleh Kreitner & Kinicki (2005), bahwa kepuasan kerja sebagai efektivitas atau respons emosional terhadap berbagai aspek pekerjaan.

Definisi ini mengandung pengertian bahwa kepuasan kerja bukanlah suatu konsep tunggal, sebaliknya seseorang dapat relatif puas dengan suatu aspek dari pekerjaannya dan tidak puas dengan salah satu atau beberapa aspek lainnya.

Tidak berbeda dari pengertian di atas, kepuasan kerja menurut Kreiter dan Kinicki (2005) adalah respon emosional terhadap pekerjaan seseorang. Keith Davis dalam (Mangkunegara, 2005) mengemukakan bahwa “job satisfaction is the favorableness or unfavorableness with employees view their work”, (kepuasan kerja adalah perasaan menyokong atau tidak menyokong yang dialami pegawai dalam bekerja). Sedangkan Wexley dan Yukl dalam (Mangkunegara, 2005) mendefinisikan kepuasan kerja “is the way an employe feels about his or her job”

(14)

20

Berdasarkan definisi tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja adalah suatu perasaan yang menyokong atau tidak menyokong diri pegawai yang berhubungan dengan pekerjaannya maupun dengan kondisi dirinya. Perasaan yang berhubungan dengan pekerjaan melibatkan aspek-aspek seperti upah atau gaji yang diterima, kesempatan pengembangan karir, hubungan dengan pegawai lainnya, penempatan kerja, jenis pekerjaan, struktur organisasi perusahaan, mutu pengawasan sedangkan perasaan yang berhubungan dengan dirinya . antara lain umur, kondisi kesehatan, kemampuan, pendidikan. Pegawai akan merasa puas dalam bekerja apabila aspek-aspek pekerjaan dan aspek-aspek dirinya menyokong dan sebaliknya jika aspek-aspek tersebut tidak menyokong, pegawai akan merasa tidak puas.

Kepuasan kerja merupakan hal yang bersifat individual. Setiap individu mempunyai tingkat kepuasan yang berbeda-beda, seperti yang didefinisikan oleh Kreitner & Kinicki (2005), bahwa kepuasan kerja sebagai efektivitas atau respons emosional terhadap berbagai aspek pekerjaan. Definisi ini mengandung pengertian bahwa kepuasan kerja bukanlah suatu konsep tunggal, sebaliknya seseorang dapat relatif puas dengan suatu aspek dari pekerjaannya dan tidak puas dengan salah satu atau beberapa aspek lainnya.

Menurut Strauss dan Sayles dalam Handoko (2001) kepuasan kerja juga penting untuk aktualisasi, karyawan yang tidak memperoleh kepuasan kerja tidak akan pernah mencapai kematangan psikologis, dan pada gilirannya akan menjadi frustasi. Karyawan yang seperti ini akan sering melamun, mempunyai semangat kerja yang rendah, cepat lelah dan bosan, emosi tidak stabil, sering absen dan

(15)

21

melakukan kesibukan yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan yang harus dilakukan.

2.3.2 Dampak Kepuasan Kerja

Menurut Handoko (2001:193) ”kepuasan kerja adalah keadaan emosional yang menyenangkan atau tidak menyenangkan dengan mana karyawan memandang pekerjaan mereka”. Kepuasan kerja mencerminkan perasaan seseorang terhadap pekerjaannya. Ini nampak dalam sikap positif karyawan terhadap pekerjaan dan segala sesuatu yang dihadapi dilingkungan kerjanya. Secara historis, pegawai yang mendapatkan kepuasan kerja akan melaksanakan pekerjaan dengan baik. Masalahnya adalah terdapatnya pegawai yang kepuasan kerjanya tinggi tidak menjadi pegawai yang produktivitasnya tinggi.

Kepuasan kerja akan tampak dalam sikap positif pekerja atas segala sesuatu yang dihadapi lingkungan kerjanya dan terhadap pekerjaannya. Kepuasan kerja perlu dipantau dampaknya dengan mengaitkannya pada outpu yang dihasilkannya, misalnya (Umar, 2004) :

a. Kepuasan kerja dengan produktivitas. b. Kepuasan kerja dengan turnover. c. Kepuasan kerja dengan absensi

d. Kepuasan kerja dengan efek lainnya seperti dengan kesehatan fisik- e. mental, kemampuan mempelajari pekerjaan baru dan kecelakaan kerja.

Kepuasan kerja pada dasarnya merupakan hal yang bersifat individual. Setiap individu memiliki tingkat kepuasan yang berbeda-beda sesuai dengan keinginan dan sistem nilai yang dianutnya. Semakin banyak aspek dalam

(16)

22

pekerjaannya yang sesuai dengan keinginan dan sistem nilai yang dianut individu, semakin tinggi tingkat kepuasan yang didapat. Demikian pula sebaliknya, semakin banyak aspek dalam pekerjaannya yang tidak sesuai dengan keinginan dan sistem nilai yang dianut individu, semakin rendah tingkat kepuasan yang didapat.

2.3.3 Teori-teori Motivasi

Untuk mencapai keefektivan motivasi, maka diperlukan teori-teori motivasi dari para ahli sebagai pendukungnya. Adapun teori-teori motivasi dalam Robbins (2008) adalah sebagai berikut:

a. Teori Hierarki Kebutuhan.

Teori hierarki kebutuhan merupakan teori motivasi yang paling terkenal dari Abraham Maslow. Hipotesisnya mengatakan bahwa di dalam diri semua manusia bersemayam lima jenjang kebutuhan, yaitu sebagai berikut:

1) Kebutuhan fisiologis, adalah kebutuhan manusia yang bersifat fisik. 2) Seperti: rasa lapar, haus, perlindungan (pakaian dan perumahan), seks,

dan kebutuhan fisik lain.

3) Kebutuhan rasa aman, merupakan kebutuhan manusia yang muncul setelah kebutuhan fisik terpenuhi. Antara lain: keselamatan dan perlindungan terhadap kerugian fisik dan emosional.

4) Kebutuhan sosial, ialah kebutuhan manusia yang muncul karena adanya interaksi sosial antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya, dan antara manusia dengan kelompok. Mencakup: rasa kasih sayang,

(17)

23

rasa memiliki, rasa menerima, dan persahabatan.

5) Kebutuhan penghargaan, yaitu kebutuhan manusia yang lebih bersifat kepentingan pribadi atau ego. Mencakup faktor penghargaan internal seperti: harga diri, otonomi, dan prestasi; serta faktor penghargaan eksternal seperti: misalnya status, pengakuan, dan perhatian.

6) Kebutuhan perwujudan atau aktualisasi diri, adalah kebutuhan seseorang untuk menjadi manusia sesuai kecakapannya. Antara lain: pertumbuhan, pencapaian potensi, dan pemenuhan kebutuhan diri. b. Teori X dan Y.

Teori motivasi milik Douglas McGregor mengemukakan dua pandangan yang nyata mengenai manusia, yakni: pandangan pertama pada dasarnya negatif disebut Teori X, dan yang lain pada dasarnya positif disebut Teori Y. McGregor menyimpulkan bahwa pandangan seorang pemimpin mengenai sifat manusia didasarkan atas beberapa kelompok asumsi tertentu, dan bahwa mereka cenderung membentuk perilaku mereka terhadap pegawai berdasarkan asumsi-asumsi tersebut.

Menurut Teori X, empat asumsi yang dimiliki oleh pemimpin yakni: 1) Pegawai pada dasarnya tidak menyukai pekerjaan, dan sebisa mungkin

untuk menghindarinya.

2) Karena pegawai tidak menyukai pekerjaan, mereka harus dipaksa, dikendalikan, atau diancam dengan hukuman untuk mencapai tujuan- tujuan.

(18)

24 formal bilamana mungkin.

4) Sebagian pegawai menempatkan keamanan di atas semua faktor lain yang terkait pekerjaan dan menunjukkan sedikit ambisi.

Kontras dengan pandangan negatif tersebut diatas, McGregor membuat empat asumsi positif yang disebutnya Teori Y yaitu:

1) Pegawai menganggap kerja sebagai hal yang menyenangkan, seperti halnya istirahat atau bermain.

2) Pegawai akan berlatih mengendalikan diri, dan emosi untuk mencapai berbagai tujuan.

3) Pegawai akan bersedia belajar untuk menerima, bahkan belajar lebih bertanggung jawab.

4) Pegawai mampu membuat berbagai keputusan inovatif yang diedarkan ke seluruh populasi, dan bukan hanya bagi mereka yang menduduki posisi manajemen.

Kesimpulan dari teori ini yaitu Teori X berasumsi bahwa kebutuhan- kebutuhan tingkat yang lebih rendah mendominasi individu, sedang Teori Y berasumsi bahwa kebutuhan-kebutuhan tingkat yang lebih tinggi mendominasi individu. McGregor sendiri meyakini bahwa asumsi Teori Y lebih sahih (valid) daripada Teori X.

Gambar

Diagram Kinerja Gaya Efektif

Referensi

Dokumen terkait

1) Planning and Budgeting: Rencana Kerja Tahunan dan Anggaran Tahun 2017/2018 disusun dan diserahkan kepada Bank Dunia pada tanggal 30 November 2016. 2) Implementation

Terjadinya sengketa di Komunitas BMX Freestyle di Kota Tangerang kadang sering terjadi seperti ada rider yang bermain BMX Freestyle di tempat yang sudah disediakan dan patuh dengan

Penelitian-penelitian terdahulu yang terkait dengan marketing mix dan syariah compliance menunjukan keterkaitan dalam mempengaruhi loyalitas dan keputusan pelanggan,

Dari ketiga kategori penilaian simulasi (korelasi, RMSE dan kesalahan relatif), maka simulasi 1 adalah simulasi terbaik dibandingkan simulasi 2 dan simulasi 3 dengan

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, diperlukan adanya penelitian terkait dengan efektivitas dari integrasi SIMKEU dan HRIS yang berupa sistem

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk meningkatkan minat dan prestasi belajar matematika siswa kelas VIIIC SMP Negeri 2 Pandak dengan menggunakan

Dari permasalahan yang dikemukakan, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui seberapa besar pengaruh variasi temperatur cetakan (100 0 C, 120 0 C dan 140 0 C)

Menurut Bourgeois dan Wolfish (1994) remaja mulai merasakan dengan jelas meningkatnya dorongan seks dalam dirinya, misalnya muncul ketertarikan dengan orang lain