IDENTIFIKASI KARAKTERISTIK MESOSCALE CONVECTIVE
COMPLEXES DI WILAYAH SUMATERA
MENGGUNAKAN CITRA SATELIT
Nursyamsi Muhammad Alfian1,2, Taryono,M.Si2
1Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Jakarta 2Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Jakarta
Email : alfian1791@gmail.com, samtara@yahoo.com
Intisari
Letak Indonesia yang berada di garis khatulistiwa (equator) menjadikannya wilayah yang menerima radiasi panas dari matahari sepanjang tahun dengan 2/3 wilayahnya merupakan laut yang luas (Badan Informasi Geospasial, 2015) sehingga aktifitas penguapan memiliki pengaruh terhadap kondisi cuaca di wilayah Indonesia. Aktifitas konvektif yang tinggi menyebabkan terbentuknya sebuah sistem konvektif skala meso yang menghasilkan
Mesoscale Convective Complexes. Mesoscale Convective Complexes (MCC) merupakan salah
satu system konvektif skala meso (MCS). Dimana Mesoscale Convective System (MCS) muncul dalam jumlah besar di bulan Desember-Februari (DJF). Kondisi laut di benua maritim sangat cocok untuk pertumbuhan MCS yang sangat besar (Yuan dan Houze,2010). Identifikasi dan pelacakan MCC dengan menggunakan Citra Satelit Infra merah dilakukan dengan menyeleksi berdasarkan kriteria Maddox (1980). Keberadaan MCCditemukan di wilayah Sumatera Barat dan Riau. Frekuensi kejadian umumnya terjadi pada bulan Januari (puncak musim hujan) dan paling banyak terjadi di wilayah perairan. Masa hidup sistem konvektif ini relatif pendek dibandingkan dengan kriteria MCC oleh Maddox (1980) hanya berkisar 2-3 jam. Kemunculan MCC di perbatasan wilayah antara Sumatera Barat dan Riau dengan intesitas curah hujan yang cukup tinggi pada saat kejadian menunjukkan adanya keterkaitan.
Kata kunci : MCC, Satelit, Curah Hujan
1. PENDAHULUAN
Letak Indonesia yang berada di
garis khatulistiwa (equator)
menjadikannya wilayah yang menerima radiasi panas dari matahari sepanjang tahun. Sementara 2/3 wilayah Indonesia merupakan laut yang luas (Badan Informasi Geospasial, 2015) oleh karena itu aktifitas penguapan memiliki pengaruh terhadap kondisi cuaca di wilayah Indonesia, terutama dalam pembentukan awan-awan konvektif. Sebuah aktifitas konvektif yang tinggi menyebabkan terbentuknya sebuah sistem konvektif skala meso yang menghasilkan Mesoscale Convective Complexes.
Tepat sebelum 1980, penyelidikan tentang aktifitas konvektif pada tingkatan skala
meso hanya terbatas pada fenomena tropis seperti gugusan awan, hujan badai dan angin ribut, barisan badai dan sistem angin laut-darat. Di tahun 1980, Maddox memperkenalkan konsep mesoscale convective complex (MCC) setelah melakukan penelitian dari gambar satelit IR di wilayah Amerika bagian tengah sejak tahun 1978 (Reynolds, 1990).
Sistem konvektif merupakan sumber utama cuaca buruk dan banjir. Selain itu juga dapat menghasilkan hail dan angin topan, serta telah banyak menyebabkan bencana alam di berbagai tempat: banjir di Pennsylvania (Bosart dan Sanders, 1981), Amerika Tengah bagian barat (Pan et al, 2000), dan Asia Selatan (Mennonite Central Committee, 2007).
MCC di Indonesia menurut Ismanto (2011) sekitar 35% ditemukan di area Samudera Hindia bagian timur (termasuk Pulau Sumatera), sedangkan yang lain tersebar di Pulau Papua (15%), Samudera Pasifik bagian barat (utara Pulau Papua; 13%), Pulau Kalimantan (Borneo; 13%), bagian utara Australia ((,5%) dan sisanya tersebar di luar dari lima daerah sebelumnya (13,5%).
Gambar 1.1 Distribusi spasial mesoscale convective
complexes (MCC) saat fase maksimum, lingkaran
menunjukkan luasan area cakupan (luasan x 1000 km2), warna menunjukkan musim. Pengolahan data IR1 2001-2005. (Sumber: Ismanto 2011).
Pulau Sumatera yang berbatasan langsung dengan Samudera Hindia memperoleh dampak langsung dari adanya MCC yang muncul di Samuudera Hindia bagian timur (sebelah barat Pulau Sumatera). Tahun 2001, Sakurai dkk (2005) melakukan penelitian di sepanjang Pulau Sumatera untuk mengidentifikasi siklus harian pergerakan sistem awan, namun penelitian lebih diintensifkan di Kototabang dan Jambi. Oleh karena itu, penilitan ini bertujuan untuk mengidentifikasi sistem awan dalam skala meso di sekitar wilayah Sumatera.
2. DATA DAN METODE
Lokasi penelitian ini mengambil daerah studi di sekitar wilayah Sumatera dengan koordinat 7oLU – 7oLS dan 94oBT – 109oBT, dimana lokasi ini merupakan wilayah di sekitar wilayah Sumatera termasuk wilayah perairan.
Gambar 3.1 Lokasi Penelitian
Data yang dipergunakan merupakan data citra satelit IR1 per jam selama lima tahun pada bulan DJF (Desember – Februari) dari bulan Desember 2009 – Februari 2014, dengan lokasi penelitian mencakup seluruh wilayah
Sumatera. Data diambil dari
http://weather.is.kochi-u.ac.jp/sat/gms.sea/. Dalam penelitian ini akan data curah hujan akumulasi harian dari TRMM sebagai data pendukung untuk mengetahui adakah pengaruh MCC di wilayah Sumatera. Diambil dari disc.gsfc.nasa.gov/precipitation/tovas. Serta data observasi curah hujan dari tiga stasiun terdekat yaitu Stasiun Meteorologi Japura Rengat, Stasiun Meteorologi Simpang Tiga Pekanbaru dan Stasiun Meteorologi Tabing Padang. Masing-masing pada sehari sebelum, saat dan sesudah ada MCC.
Gambar 2.1 Diagram Alir Penelitian Langkah awal dalam metode yang dilakukan adalah dengan mengoreksi data citra
(2.1)
(2.2)
(2.4)
(2.5) satelit IR1 dari satelit MTSAT (format .pgm) dengan data kalibrasinya (format .dat) yang kemudian dikonversi dalam format .dat. Penyeleksian kelompok-kelompok awan tersebut melalui beberapa prosedur sebagai berikut :
1. Menyeleksi data citra satelit IR1 berdasarkan suhu puncak awan dalam Kelvin, dimana yang mempunyai suhu lebih kecil dari 241oK dipilih sebagai selimut awan dan lebih kecil dari 217oK sebagai inti awan.
2. Penyelesksian selanjutnya berdasarkan luasan area, selimut awan ≥ 100.000 km2 dan inti awan ≥ 50.000 km2.
3. Mencari titik pusat area yang sudah terpilih dengan menggunakan rumus (Carvhalo dan Jones, 2001).
𝑋0=
∑ 𝑋𝑛1 𝑖
𝑛 ; 𝑑𝑎𝑛 𝑌0= ∑ 𝑌𝑛1 𝑖
𝑛
Dimana : Xi = posisi piksel ke-i dalam sumbu X
Yi = posisi piksel ke-i dalam sumbu Y
X0 dan Y0 = centroid n = luasan area / total piksel
4.
Uji eksentrisitas berdasarkan kriteria Maddox (1980), eksentrisitas harus ≥ 0,7. Salah satu metode uji eksentrisitas dikembangkan oleh Machado dkk (1998) dengan rumus : 𝛼 = (𝑛 ∑ 𝐿𝑎𝑡𝑖𝐿𝑜𝑛𝑖− ∑ 𝐿𝑎𝑡𝑖∑ 𝐿𝑜𝑛𝑖) 𝑛 ∑ 𝐿𝑎𝑡𝑖2− (∑ 𝐿𝑎𝑡𝑖)2 𝛽 = 𝑇𝑎𝑛−1𝛼 𝑥𝑥𝑖= 𝐿𝑜𝑛𝑖 𝐶𝑜𝑠 𝛽 + 𝐿𝑎𝑡𝑖 𝑆𝑖𝑛 𝛽 atau 𝑦𝑦𝑖= 𝐿𝑜𝑛𝑖 𝑆𝑖𝑛 𝛽 + 𝐿𝑎𝑡𝑖 𝐶𝑜𝑠 𝛽 𝜀 = |𝑥𝑥(maks) − 𝑥𝑥(min) 𝑦𝑦(maks) − 𝑦𝑦(min)| atau 𝜀 = |𝑦𝑦(maks) − 𝑦𝑦(min) 𝑥𝑥(maks) − 𝑥𝑥(min)|Eksentrisitas (ε) adalah perbandingan jarak nilai sumbu horizontall dan nilai sumbu vertical (Ismanto, 2010).
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambar 4.1 menunjukkan sebaran MCC pada bulan-bulan DJF tahun 2009 hingga 2014 (Desember 2009 – Februari 2014). Pertumbuhan MCC dominan terjadi di atas perairan Samudera Hindia dan paling banyak terjadi pada bulan Januari. Kecenderungan pertumbuhan MCC di laut dikarenakan wilayahnya yang menerima radiasi matahari sepanjang tahun sehingga menyebabkan penguapan yang cukup tinggi. Penguapan yang terjadi sangat mendukung terjadinya pertumbuhan awan-awan konvektif baik dalam skala lokal hingga meso.
Gambar 4.1 Distribusi Spasial MCC di sekitar Sumatera
Sebaran titik-titik pusat dari inti MCC paling banyak terjadi di Samudera Hindia bagian timur. Kemunculan MCC ditemukan di sekitar wilayah Sumatera Barat dan Riau seperti tampak pada gambar 4.1. MCC dominan terbentuk di atas wilayah perairan, hal ini karena kandungan uap air sebagai bahan bakar pembentukan MCC di laut lebih besar dibandingkan di darat. Seperti pada gambar di atas lokasi terbanyak berada di perairan Samudera Hindia dan perairan antara kepulauan Mentawai dan Sumatera.
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat dijelaskan bahwa untuk wilayah Sumatera pada saat DJF kemunculan MCC yang aktif ditemukan berada di wilayah Sumatera Barat dan Riau, kecenderungan pola sebaran kemunculan MCC lebih banyak terjadi di perairan baik wilayah perairan Samudera Hindia bagian timur maupun di perairan sekitar kepulauan Mentawai.
Frekuensi
MCC tidaklah terjadi di setiap bulan-bulan yang dipilih. Tampak pada gambar 4.2, frekuensi kemunculan MCC terbanyak terjadi pada bulan Januari 2012 sebanyak 8 kali. Kecenderungan munculnya MCC terjadi pada bulan-bulan Januari, dimana pada bulan-bulan
tersebut merupakan puncak musim hujan. Lokasi frekuensi mengacu pada gambar 4.1, untuk lokasi Sumatera sendiri ditemukan adanya pertumbuhan MCC di wilayah Sumatera Barat dan Riau.
Gambar 4.2 Frekuensi Kejadian MCC
Variabilitas Harian
Tabel 4.1 menunjukkan waktu dan lokasi kejadian MCC pada gambar 4.1, masa hidup MCC yang ditemukan tidak lebih dari 2-3 jam. Hal ini berlawanan dengan pendapat Maddox (1980) dimana kriteria MCC memiliki masa hidup ≥6 jam. Pertumbuhan system konvektif yang ditemukan bersifat nocturnal (aktif pada malam hari), mengikuti populasi
globalnya yang dominan nocturnal. Sistem konvektif ini aktif sebagian besar pada saat-saat menjelang pagi. Kecenderungan pembentukan MCC pada malam hari dikarenakan pada malam hari oleh panas laten yang tersimpan di bumi (baik permukaan tanah maupun laut) yang diemisikan ke atmosfer.
Tabel 4.1 Kejadian MCC
Tahun Bulan Tanggal Jam Eksentrsitas Bujur Lintang
2010 12 10 2 0.742298 99.71374 -1.23412 12 10 3 0.776212 99.65008 -1.33932 12 11 21 0.848288 92.04725 7.664701 12 24 18 0.833636 101.6038 3.589675 2011 1 10 7 0.765421 97.26695 -2.37747 1 24 1 0.838474 104.2592 1.493858 2012 1 25 5 0.939756 101.7268 3.433413 1 25 6 0.975189 101.7849 4.00209 1 25 7 0.841946 101.8194 3.461715 1 26 2 0.758666 96.81547 -3.43923 1 26 3 0.745809 96.5824 -3.42812 1 26 4 0.816182 96.27925 -3.64606 1 26 5 0.841543 96.34148 -3.81064 2013 2 21 2 0.883448 101.9878 1.06803 12 7 19 0.734644 101.42 -0.71739 Ket : tanda negatif (-) pada kolom lintang menunjukkan lintang selatan
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
jan feb des jan feb des jan feb des jan feb des
2010 2011 2012 2013
Frekuesni Kejadian MCC
Frekuensi kemunculan MCC paling banyak terjadi pada bulan-bulan Januari pada saat mencapai puncak musim hujan dan umumnya terjadi di wilayah perairan. Kemunculan MCC yang ditemukan di wilayah Sumatera Barat dan Riau menyebabkan terjadinya hujan dengan intensitas yang cukup tinggi di wilayah tersebut. Sehingga terdapat keterkaitan antara kemunculan MCC terhadap peningkatan curah hujan yang tinggi pada wilayah kejadian. Karakteristik MCC mengikuti sifat sebaran globalnya yaitu aktif pada saat malam hari hingga menjelang pagi. Masa hidup sistem konvektif ini sangatlah singkat hanya berdurasi 2-3 jam, berbeda dengan kriteria yang dipaparan oleh Maddox (1980). Hal ini dapat saja terjadi karena pengaruh suhu di wilayah tropis yang umumnya homogen, sehingga tidak dapat terjadi proses pengangkatan lapisan massa udara hangat yang dipaksa naik oleh massa udara dingin yang dibawa oleh downdraft dari sistem konvektif. Keragaman tekanan yang homogen atau gradien tekanan yang kecil juga bisa menjadi penyebab kurangnya massa udara dingin yang masuk ke wilayah Indonesia dalam proses pegangkatan lapisan (front). Sehingga proses pengangkatan lapisan tersebut tidak dapat terjadi secara terus-menerus dan hanya bertahan dalam waktu yang relatif singkat.
Sebagai contoh kasus, gambar 4.3 menunjukkan kemunculan MCC pada tanggal 7 Desember 2013 di sekitar wilayah Sumatera bagian tengah (perbatasan Sumatera Barat dan Riau), terdapat intensitas curah hujan yang cukup tinggi ±100 mm seperti yang ditunjukkan pada gambar 4.4 (b). Hal ini menunjukkan adanya keterkaitan antara kemunculan MCC dengan intensitas curah hujan yang cukup tinggi di wilayah ditemukannya MCC.
Gambar 4.3 Kejadian MCC pada tanggal 7 Desember 2013
Gambar 4.4 Rata-rata curah hujan harian a) tanggal 6 Desember 2013, b) tanggal 7 Desember 2013, c) tanggal 8 Desember 2013
Gambar di atas menunjukkan intensitas curah hujan pada tanggal 6, 7 dan 8 Desember 2013 (kondisi sehari sebelum, saat dan sehari setelah kejadian kemunculan MCC). Pada tanggal 6 dan 7 Desember 2013 menunjukkan intensitas curah hujan di sekitar lokasi ditemukannya kemunculan MCC cukup tinggi sedangkan pada tanggal 8 Desember 2013 intensitas curah hujannya sangat kecil.
Namun intensitas curah hujan pada tanggal 7 Desember 2013 saat kemunculan MCC lebih tinggi dibandingkan pada tanggal 6 Desember 2013.
Tabel 4.2 menunjukkan data obsevasi curah hujan sehari sebelum ada MCC, saat ada MCC dan sehari sesudah MCC. Pada tanggal 6 Desember 2013 (sehari sebelum ada MCC) lokasi terjadi hujan hanya di Stasiun Simpang (a) (b) (c)
Tiga Pekanbaru dan Tabing Padang, dengan intensitas curah hujan yang cukup tinggi. Pada tanggal 7 Desember 2013 (saat ada MCC) di lokasi ketiga Stasiun terjadi hujan di jam-jam yang hampir sama dengan waktu kemunculan MCC, peningkatan intensitas curah hujannya
juga cukup tinggi. Pada tanggal 8 Desember 2013 (sehari sesudah MCC) lokasi terjadi hujan hanya di Stasiun Rengat dan Simpang Tiga Pekanbaru, intensitas curah hujannya cenderung sangat rendah.
Tabel 4.2 Data Observasi Curah Hujan Per 3 Jam Stasiun Meteorologi Di Sumatera Barat dan Riau Tanggal 6,7 dan 8 Desember 2013
TANGGAL JAM Curah Hujan
RENGAT / JAPURA PEKANBARU / SIMPANG TIGA PADANG / TABING
6 00 - - 0.2 03 - - - 06 - 0.8 - 09 - - - 12 - - - 15 - 0.4 12 18 - 20 19 21 - 0.8 0.2 7 00 - - 0.1 03 - - TTU 06 - - - 09 - - TTU 12 - - TTU 15 - - TTU 18 12 - 25 21 1 35 - 8 00 16 0.2 - 03 0.7 - - 06 0.6 - - 09 0.1 - - 12 - - - 15 - - - 18 - - - 21 - - -
Dari tabel 4.2 di atas, menunjukkan
bahwa pada saat sehari sebelum dan
sesudah ada MCC hujan yang terjadi masih
dalam skala lokal karena hujan tidak terjadi
di ketiga Stasiun pada waktu yang
bersamaan. Sedangkan pada saat ada
MCC, hujan terjadi di semua lokasi Stasiun
pada
waktu
yang
bersamaan
dan
peningkatan intensitas hujannya terjadi
pada waktu yang berdekatan atau hampir
bersamaan dengan waktu kemunculan
MCC. Hal ini menunjukkan adanya
keterkaitan antara keberadaan MCC yang
muncul
di
lokasi
tersebut
dengan
peningkatan intensitas curah hujan serta
cakupan wilayah terjadinya hujan.
4.KESIMPULAN
Kesimpulan dari hasil pembahasan di atas menunjukkan bahwa,
Mesoscale
Convective Complexes ditemukan di
wilayah Sumatera Barat dan Riau.
Frekuensi kejadian umumnya terjadi pada
bulan Januari (puncak musim hujan) dan
paling banyak terjadi di wilayah perairan.
Masa hidup sistem konvektif ini relatif
pendek dibandingkan dengan kriteria MCC
oleh Maddox (1980) hanya berkisar 2-3
jam.
Contoh kasus kemunculan MCC di
perbatasan wilayah perbatasan antara
Sumatera Barat dan Riau dengan intesitas
curah hujan yang cukup tinggi pada saat
kejadian menunjukkan adanya keterkaitan.
Penelitian mengambil bulan DJF sebagai
batasan waktu utnuk melihat adakah
kemunculan MCC yang bisa menjadi
penyebab peningkatan intensitas curah
hujan
dan
fenomena
cuaca
buruk.
Kemunculan
MCC
menyebabkan
terjadinya hujan dengan intensitas yang
cukup tinggi dengan waktu yang relatif
pendek.
DAFTAR PUSTAKA
Andrews, D.G. 2010. An Introduction to
Atmospheric Physics. New York :
Cambridge University Press
Badan Informasi Geospasial. 2015. http://www.bakosurtanal.go.id/berita-
surta/show/peran-informasi- geospasial-dalam-pembangunan-indonesia-sebagai-poros-maritim.
Bosart, L.F dan Sanders F. 1981. The
Johnstown Flood of July 1977: A Long-Lived Convective System.
Journal of The Atmospheric Sciences Vol. 38. Pages 1616-1642. Agustus 1981.
Carvalho, L. M. V. dan Jones, C. 2001. A
Satellite Method to Identify Structural Properties of Mesoscale Convective Systems Based on the Maximum Spatial Correlation Tracking Technique (MASCOTTE). Journal of
Applied Meteorology. American Meteorology Society, 40, 1683-1701.
Chen, S.S. dan R.A. Houze Jr. 1997. Diurnal
variation and life-cycle of deep convective systems over the tropical Pacific warm pool. Q.J.R. Meteorol.
Soc. 123, pp. 357-388. 1997.
Durkee, J.S., Mote T.L dan Shepherd J.M. 2009. The Contribution of Mesoscale
Convective Complexes to Rainfall across Subtropical South America.
Journal of Climate Vol. 22. 23 Februari 2009.
Eastin, M.D. (t.t.). Mesoscale Convective
Complexes (MCCs). (t.p.). (t.k.)
Houze, R.A. 1982. Cloud Cluster and
Large-Scale Vertical Motions in the Tropics.
Kournal of the Meteorological Society of Japan Vol. 60, No. 1. 1982
Ismanto, Heri. 2011. Karakteristik Kompleks
Konvektif Skala Meso Di Benua Maritim. Tesis pada Institut Teknologi
Bandung.
Kusumo, B.A. dkk. 2007. Simulasi Fenomena
Squall Line ‘Sumatera’ dengan Model WRF (Studi Kasus pada tanggal 30 April 2007).
Maddox. 1980. Mesoscale Convective Coplexes. Buletin American Meteorological Society Vol. 61, No. 11. November 1980.
Mennonite Central Committee. 2007. “MCC
responds to flooding in South Asia”. 7
Agustus 2007. Dilihat 31 Januari 2015 <http://reliefweb.int/report/banglades h/mcc-responds-flooding-south-asia>
Miller, D. dan J.M. Fritsch. 1991. Mesoscale
Convective Complexes in the Western Pasific Region. Monthly Weather
Review Vol. 119. Desember 1991
Pan, Zaitao. et al. 2000. Effects of
quasi-stationary large-scale anomalies on some mesoscale features associated with the 1993 flood: A regional model simulation. Journal of Geophysical
Research, Vol. 105, No. D24, Pages 29, 551-29,564. 7 Desember 2000.
Petterssen, Sverre. et al. 1945. Convection In
Theory And Practice. Kantor Meteorologi, British Air Ministry : Oslo.
Reynolds, H. 1990. Mesoscale Convective
penyesuaian gelar Master of Science di Universitas Toronto.
Rodgers, D.M., M.J. Magnado dan J.H. Arns. 1985. Mesoscale Convective Complexes over the United States during 1983. Monthly Weather Review Vol. 113. Mei 1985.
Sakurai, Namiko, dkk. 2005 Diurnal Cycle of
Cloud System Migration over Sumatera Island. Journal of the
Meteorological Society of Japan Vol. 83, No. 5, pp. 835-850.
Shibagaki, Yoshiaki, et al. 2006. Multiscale
Aspects of Convective System Assciated with an Intraseasonal Oscilation over the Indonesian Maritime Continent. Monthly Weather
Review Vol. 134. Juni 2006.
Shibagaki, Yoshiaki. et al. 2006. Evolution of
a Super Cloud Cluster and the Associated Wind Fields Observed over the Indonesian Maritime Continent during the First CPEA Campaign.
Journal of Meteorological Society of Japan, Vol. 84A, pp. 19-31, Juli 2006.
Tompkins, Adrian. 2013. Part 1: Atmospheric
Thermodynamics Part 2 : Atmospheric Physics. International Centre for
Theoretical Physics : Trieste, Italy.
Wernii, Heini dan Stephan Pfahl. 2015.
Mesoscale Atmospheric Systems. 2015
Yuan, Jian dan R.A. Houze Jr. 2010. Global
Variability of Mesoscale Convective System Anvil Structure from A-Train Satellite Data. Journal of Climate Vol.