• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH PENGELOLAAN LIMBAH SAPI PERAH TERHADAP TINGKAT KEBAUAN EFFECT OF DAIRY CATTLE WASTE MANAGEMENT ODOR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH PENGELOLAAN LIMBAH SAPI PERAH TERHADAP TINGKAT KEBAUAN EFFECT OF DAIRY CATTLE WASTE MANAGEMENT ODOR"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

1) Fakultas Peternakan Universitas Wijayakusuma Purwokerto

TINGKAT KEBAUAN

Doso Sarwanto 1) dan Sari Eko Tuswati 1)

ABSTRAK

Sistem produksi ternak sapi perah dapat mengakibatkan pencemaran lingkungan berupa bau menyengat yang ditimbulkan oleh gas NH3 dan H2S limbah ternak. Tingkat kebauan NH3 dan H2S dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dan perilaku peternak dalam pengelolaan limbah ternak. Penelitian dengan menggunakan metode survey pada peternakan sapi perah rakyat di Provinsi Jawa Tengah dilakukan untuk mengetahui pengaruh kondisi lingkungan dan perilaku peternak terhadap tingkat kebauan. Wilayah penelitian dikelompokan menjadi tiga wilayah yaitu kondisi lingkungan dan perilaku peternak tinggi (LPT); kondisi lingkungan dan perilaku peternak sedang (LPS) dan wilayah untuk kondisi lingkungan dan perilaku peternak rendah (LPR). Penentuan wilayah sampai dengan lokasi peternak terpilih ditentukan secara

purposive sampling berdasarkan kriteria yang telah ditentukan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa wilayah

dengan kondisi lingkungan dan perilaku peternak rendah (LPR) adalah wilayah yang tercemar limbah peternakan sapi perah, karena mempunyai tingkat kebauan H2S yang telah melampaui baku mutu.

Kata Kunci : sapi perah, lingkungan, tingkat kebauan

EFFECT OF DAIRY CATTLE WASTE MANAGEMENT ODOR

ABSTRACT

Dairy production systems can cause environmental contamination in the form of nasty odor caused by NH3 and H2S gas from the livestock waste. The odor levels of NH3 and H2S are influenced by environmental conditions and farmers behavior of in waste management. The research using survey methods at the dairy cattle ranch in Central Java carried out to determine the effect of environmental conditions and farmers behavior towards the odor cases. Research areas are grouped into three areas, namely high of both condition environmental and the farmers behavior, medium of both condition environmental and the farmers behavior and areas for the low of both condition environmental and the farmers behavior. Determination of the region up to the location of the selected farmers is specified using purposive sampling based on the determined criteria. The results showed that the low of both condition environmental and the farmers behavior is the area of contaminated dairy cattle farm waste, because it has the H2S levels that have exceeded the quality standard. Key words: dairy cattle, environment, odor levels

PENDAHULUAN

Konsumsi susu di Indonesia setiap tahunnya mengalami kenaikan sejalan dengan tingkat pertambahan penduduk dan

kesadaran masyarakat tentang gizi.

Menurut data Statitistik Peternakan (2006) konsumsi susu pada tahun 2006 mencapai 896.791 ton atau naik 5,7% dari tahun

2005 yaitu sebanyak 845.743 ton.

Meningkatnya konsumsi susu berdampak postif terhadap berkembangnya populasu sapi perah. Populasi sapi perah di Indonesia pada tahun 2005 tercatat

sebanyak 361.351 ekor, sedangkan pada tahun 2006 sebesar 382.313 ekor atau meningkat sekitar 5,4%. Berrtambahnya populasi sapi perah akan berdampak pada masalah lingkungan yaitu antara lain berupa pencemaran limbah sapi perah. Menurut van Horn et al. (1994) limbah ternak yang dihasilkan pada usaha peternakan sapi perah adalah berupa feses dan urine. Satu ekor sapi perah setiap harinya menghasilkan limbah ternak berupa feses sebanyak 30 - 40 kg dan urine 20 - 25 kg. Feses dan urine juga

(2)

2

mengandung gas NH3 dan H2S yang

mempunyai bau sangat menyengat,

sehingga akan dapat mengganggu

lingkungan sekitarnya. Hasil penelitian Baliarti et al. (1994) menunjukkan bahwa bau yang ditimbulkan oleh NH3 dan H2S

dapat mencapai radius + 50 m dari kandang sapi perah. Lebih lanjut menurut Pain (1994) menyatakan bahwa limbah ternak mempunyai bau tidak sedap karena merupakan sisa proses metabolisme dan

pemecahan bahan organik oleh

mikroorganisme dalam suasana anaerob yang menghasilkan senyawa antara lain indol, asam lemak dan amonia. Sumber bau limbah ternak berasal dari kandang

ternak, tempat penumpukan dan

pembuangan limbah. Laju emisi bau dipengaruhi oleh berbagai factor antara lain jenis ternak, kondisi lingkungan dan pengelolaan limbah.

Provinsi Jawa Tengah adalah salah satu sumber produksi susu di Indonesia selain Jawa Timur dan Jawa Barat dengan populasi sapi perah pada tahun 2006 sebanyak 135.056 ekor atau 30% dari total

populasi sapi perah di Indonesia.

Pengembangan sapi perah di Provinsi Jawa Tengah yang sebagian besar berupa peternakan rakyat, tersebar di berbagai wilayah yang mempunyai kondisi lingkungan dan perilaku peternak yang berbeda. Kondisi

lingkungan ditunjukkan dengan

ketersediaan air dan ketersediaan lahan untuk usaha sapi perah, sedangkan

perilaku peternak lebih ditunjukkan

dengan kebiasaan peternak dalam

pengelolaan limbah sapi perah. Perbedaan kondisi lingkungan dan perilaku peternak

dalam pengelolaan limbah akan

mempengaruhi tingkat kebauan NH3 dan

H2S. Oleh karena itu perlu dilakukan

kajian mengenai perbedaaan kondisi lingkungan dan perilaku peternak sapi

perah rakyat terhadap pencemaran

lingkungan yaitu berupa tingkat kebauan NH3 dan H2S.

MATERI DAN METODE

Metode penelitian yang digunakan adalah metode survey pada wilayah pusat pengembangan sapi perah rakyat di Provinsi Jawa Tengah. Penentuan wilayah penelitian dilakukan secara purposive

sampling berdasarkan pada Indeks

Konsentrasi Ternak (IKT) sesuai petunjuk Lembaga Penelitian IPB, (2001) dan tingkat Kepadatan Usaha Tani (KUT) sapi perah berdasarkan petunjuk Ashari et al. (1995) yang telah dimodifikasi yaitu diukur dari jumlah populasi ternak sapi perah dalam satuan ekor per hektar lahan usaha tani yang meliputi sawah, kebun dan tegalan. Selanjutnya ditentukan 3 (tiga) wilayah terpilih untuk mewakili kondisi lingkungan dan perilaku peternak tinggi (LPT); kondisi lingkungan dan perilaku peternak sedang (LPS) dan wilayah untuk mewakili kondisi lingkungan dan perilaku peternak rendah (LPR). Penentuan lokasi peternak terpilih pada masing-masing wilayah ditentukan secara purposive berdasarkan kriteria yang telah ditentukan.

Parameter penelitian adalah tingkat kebauan NH3 volatil dan H2S secara in situ. Pengukuran NH3 volatil dan H2S

dilakukan mulai dari kandang ternak atau tempat penimbunan limbah ternak sebagai sumber pencemar (SP) sampai ke rumah penduduk terdekat (RT) yang dilakukan pada waktu siang hari. Setiap wilayah masing-masing diambil 3 (tiga) lokasi sebagai sampel untuk diukur tingkat

kebauan NH3 volatil dan H2S. Adapun

penentuan kandungan NH3 volatil dan H2S

dilakukan secara in situ dengan alat Air

(3)

3 diperoleh kemudian dibandingkan dengan

baku mutu sesuai Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 50 tahun 1996 tentang Baku Mutu Tingkat Kebauan dan selanjutnya dianalisis dan disajikan secara deskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Lingkungan dan Perilaku

Peternak

Sesuai hasil survey dan analisis data dari Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Tengah tahun 2004 menunjukkan bahwa terdapat 3 (tiga) wilayah terpilih yang

mempunyai kondisi lingkungan dan

perilaku peternak dalam pengelolaan limbah sapi perah yang berbeda yaitu

Kabupaten Banyumas, Kabupaten

Semarang dan Kabupaten Boyolali.

Kabupaten Banyumas, Kecamatan

Pekuncen mewakili kondisi lingkungan dan perilaku peternak tinggi (LPT);

Kabupaten Semarang, Kecamatan

Gunungpati mewakili kondisi lingkungan dan perilaku peternak sedang (LPS) dan Kabupaten Boyolali, Kecamatan Musuk mewakili kondisi lingkungan dan perilaku peternak rendah (LPR).

Hasil penelitian memperlihatkan bahwa setiap wilayah mempunyai kondisi lingkungan dan perilaku peternak dalam

pengelolaan limbah yang berbeda. Pada wilayah dengan kondisi lingkungan dan

perilaku peternak tinggi (LPT)

ketersediaan air untuk minum dan sanitasi sangat melimpah, luas lahan peternakan yang mencukupi, letak kandang yang cukup jauh dari rumah serta pengelolaan limbah berupa pembuangan ke padang rumput. Keadaan tersebut berbeda dengan wilayah kondisi lingkungan dan perilaku peternak sedang (LPS), karena pada wilayah ini ketersediaan air untuk minum dan sanitasi tidak melimpah tapi masih mencukupi untuk kegiatan beternak, luas lahan peternakan yang kurang mencukupi, lokasi kandang yang tidak jauh dari rumah dan pengelolaan limbah yang dilakukan berupa penimbunan di luar kandang untuk

dijual. Adapun wilayah kondisi

lingkungan dan perilaku peternak rendah (LPR) ketersediaan air untuk minum dan

sanitasi yang tidak mencukupi

menyebabkan sanitasi ternak kurang baik. Selain itu lahan peternakan yang relatif sempit sehingga kandang menyatu dengan tumah, sedangkan pengelolaan limbah dilakukan dengan menimbunnya dalam kandang. Kondisi lingkungan dan perilaku peternak wilayah penelitian tersaji pada Tabel 1.

Tabel 1. Kondisi lingkungan dan perilaku peternak sap perah

No. Wilayah Penelitian Ketersedia an Air Lahan Peternakan Letak Kandang Pengelolaan Limbah 1. Kondisi Lingkungan dan

Perilaku Peternak Tinggi (LPT)

Sangat melimpah Luas dan terdapat lahan rumput Jauh dari pemukiman Dibuang ke lahan rumput 2. Kondisi Lingkungan dan

Perilaku Peternak Sedang LPS)

Cukup melimpah

Kurang luas Dekat dari pemukiman

Ditimbun di luar kandang 3. Kondisi Lingkungan dan

Perilaku Peternak Rendah (LPR)

Kurang tersedia air

Kurang luas Menempel dengan rumah peternak

Ditimbun di dalam kandang

(4)

4

Tingkat Kebauan NH3 volatil

Ammonia merupakan hasil dari proses fermentasi protein dalam rumen dan sisa metabolisme yang diekskresikan melalui urine dan feses. Ammonia yang dihasilkan lewat urine dan feses akan menghasilkan bau yang sangat menyengat. Bau yang ditimbulkan oleh ammonia paling tinggi pada waktu satu jam pertama setelah urine dan feses diekskresikan ternak. Selanjutnya ammonia sebagian besar akan langsung menguap ke udara dan terbawa oleh angin (Pain, 1999; Lefcourt and Meisinger, 2001). Menurut Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 50 tahun 1996 tentang Baku Tingkat Kebauan, beberapa parameter yang harus diukur untuk menguji kadar kebauan antara lain ammonia (NH3) dan

hidrogen sulfida (H2S).

Hasil penelitian menunjukkkan

bahwa tingkat kebauan NH3 volatil pada

sumber pencemar dalam kandang sekitar

1,10 – 1,20 ppm atau masih di bawah baku mutu yaitu 2,00 ppm. Meskipun demikian di wilayah kondisi lingkungan dan perilaku peternak tinggi (LPT) relatif lebih rendah dibandingkan wilayah lainnya, bahkan di rumah penduduk yang terdekat dengan kandang ternak sapi perah tidak terditeksi (ttd). Kondisi ini agak berbeda dengan wilayah kondisi lingkungan dan perilaku peternak sedang (LKS) dan wilayah kondisi lingkungan dan perilaku peternak rendah (LPR), untuk sumber pecemar NH3 volatil sebesar 1,20 ppm

sedangkan di rumah penduduk terdekat

dengan kandang sapi perah masih

terditeksi sekitar 1,00 ppm. Hal ini disebabkan lokasi kandang yang dekat dengan rumah penduduk dan pengelolaan limbahnya hanya dengan menimbun di dalam dan di luar kandang. Hasil

penelitian tingkat kebauan NH3 volatil

dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Tingkat Kebauan NH3 volatil (ppm)

Wilayah Lokasi 1 2 3 Rataan Baku Mutu

LPT SP 1,10 1,10 1,10 1,10 2,00 RT ttd ttd ttd ttd 2,00 LPS SP 1,20 1,20 1,20 1,20 2,00 RT 1,00 1,00 1,00 1,00 2,00 LPR SP 1,20 1,20 1,20 1,20 2,00 RT 1,00 1,20 1,20 1,16 2,00 Keterangan :

LPT : Kondisi lingkungan dan perilaku peternak tinggi LPS : Kondisi lingkungan dan perilaku peternak sedang LPR : Kondisi lingkungan dan perilaku peternak rendah SR : Sumber Pencemar

RT : Rumah Terdekat dari sumber pencemar ttd : tidak terditeksi

(5)

5

Tingkat Kebauan H2S

Disamping ammonia, limbah ternak juga menghasilkan bau yang tidak nyaman yang ditimbulkan oleh adanya hidrogen

sulfida (H2S). Hidrogen sulfida merupakan

gas yang berbau busuk hasil dari hancuran bahan organik khususnya protein yang mengandung asam amino sistin dan sistein. Menurut Connel dan Miller (1995) hidrogen sulfida adalah produk dalam suasana anearob yang dihasikan karena adanya penurunan oksigen terlarut di perairan oleh adanya bahan organik.

Sapi perah di wilayah penelitian banyak mengkonsumsi konsentrat yang mengandung asam amino sistin dan sistein yang selanjutnya akan dicerna dan dimetabolisme dalam saluran pencernaan dalam kondisi an aerob.

Hasil penelitian seperti pada Tabel 3 memperlihatkan bahwa tingkat kebauan

H2S pada sumber pencemar di semua

wilayah berkisar 0,023 – 0,04 ppm atau telah melampaui baku mutu yang telah

ditetapkan yaitu 0,02 ppm. Tingkat kebauan H2S yang telah melampaui baku

mutu dapat mengurangi kenyamanan

dalam melaksanakan kegiatan

beternaknya, meskipun bau tersebut bagi peternak sudah terbiasa. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa tingkat kebauan

H2S pada rumah penduduk sekitar

kandang di wilayah kondisi lingkungan dan perilaku peternak tinggi (LPT) dan wilayah kondisi lingkungan dan perilaku peternak sedang (LKS) masih di bawah baku mutu. Keadaan tersebut berbeda di wilayah kondisi lingkungan dan perilaku peternak rendah (LPR) tingkat kebauan

H2S mencapai 0,04 ppm atau telah

melampaui jauh di atas baku mutu.

Tingginya tingkat kebauan H2S di wilayah

wilayah kondisi lingkungan dan perilaku peternak rendah (LPR) lebih diakibatkan oleh padatnya sapi perah di wilayah tersebut, karena hampir 70% masyarakat memelihara sapi perah.

Tabel 3.. Tingkat kebauan H2S (ppm)

Wilayah Lokasi 1 2 3 Rataan Baku Mutu

LPT SP 0,03 0,03 0,01 0,023 0,02 RT ttd ttd ttd ttd 0,02 LPS SP 0,03 0,03 0,03 0,03 0,02 RT 0,01 0,01 0,01 0,01 0,02 LPR SP 0,04 0,04 0,04 0,04 0,02 RT 0,04 0,04 0,04 0,04 0,02 Keterangan :

LPT : Kondisi lingkungan dan perilaku peternak tinggi LPS : Kondisi lingkungan dan perilaku peternak sedang LPR : Kondisi lingkungan dan perilaku peternak rendah SR : Sumber Pencemar

RT : Rumah Terdekat dari sumber pencemar ttd : tidak terditeksi

(6)

6

KESIMPULAN

1. Kondisi lingkungan dan perilaku peternak dapat mempengaruhi tingkat kebauan NH3 volatil dan H2S pada usaha sapi perah rakyat.

2. Kondisi lingkungan dan perilaku peternak rendah adalah wilayah yang tercemar limbah peternakan sapi perah, karena mempunyai tingkat

kebauan H2S yang telah melampaui

baku mutu.

DAFTAR PUSTAKA

Ashari,E. Juarini, Sumanto, B.Wibowo, Suratman, Subagjo, 1995. Pedoman Analisis Potensi Wilayah Penyebaran dan Pengembangan Peternakan. Balai Penelitian Ternak dan Direktorat Bina Penyebaran dan Pengembangan Peternakan Ditjen Peternakan, Jakarta.

Badan Pusat Statistik, Provinsi Jawa Tengah, 2004. Jawa Tengah Dalam Angka 2004.

Baliarti, E., G. Suparta, A.H. Sutomo dan Wiranto, 1994. Dampak Kandang Ternak pada Lingkungan Pemukiman Padat. Manusia

dan Lingkungan Nomer 3. Th.1. : 25 – 45.

Pusat Penelitian Lingkungan Hidup UGM, Yogyakarta.

Connell D.W dan G.J. Miller, 1995. Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran. (Terjemahan Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta). Ditjen Bina Produksi Peternakan, 2006. Buku

Statistik Peternakan 2006. Departemen Pertanian, Jakarta.

Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 50 tahun 1996 tentang Baku Mutu Tingkat Kebauan.

Lefcourt A.M. and J.J.Meisinger, 2001. Effect of Adding Alum or Zeolite to Dairy Slurry on Ammonia Volatilization and Chemical Composition. J. Dairy Sci. 84 : 1814 – 1821.

Lembaga Penelitian IPB, 2001. Sistem Pengembangan Peternakan Kabupaten Tangerang. Lembaga Penelitian, Institut Pertanian Bogor.

Pain,B.F., 1999. Gangguan Bau yang Berasal dari Sistem Produksi Ternak. Ed. A.P Dewi et

al. (terjemahan : IKIP Semarang Press).

Saeni, M.S., 1989. Kimia Lingkungan. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayati Institut Pertanian Bogor.

Van Horn, H.N., A.C. Wilkie, W.J. Powers, and R.A. Nordstedt, 1994. Component of Dairy Manure Management Systems. J. Dairy

Gambar

Tabel 1.  Kondisi lingkungan dan perilaku peternak sap perah  No.  Wilayah Penelitian  Ketersedia
Tabel 2.  Tingkat Kebauan NH 3   volatil (ppm)
Tabel 3..  Tingkat kebauan H 2 S (ppm)

Referensi

Dokumen terkait