• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Cendawan Entomophthorales Taksonomi Cendawan Entomophthorales Struktur Cendawan Entomophthorales

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Cendawan Entomophthorales Taksonomi Cendawan Entomophthorales Struktur Cendawan Entomophthorales"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Cendawan Entomophthorales Taksonomi Cendawan Entomophthorales

Ordo Entomophthorales termasuk dalam divisi Zygomycota, kelas Zygomy-cetes (Roy et al. 2006). Famili dalam ordo Entomophthorales yaitu Entomoph-thoraceae, Neozygitaceae, Completoriaceae, Ancylistaceae, Meristacraceae, dan Basidiobolaceae (Pell et al. 2001). Genus cendawan entomopatogen dalam famili Entomophthoraceae yaitu Entomophaga, Entomophthora, Erynia, Eryniopsis, Fu-ria, Massospora, Pandora, Strongwellsea, Tarichium, dan Zoopthora, sedangkan dalam famili Neozygitaceae yaitu Neozygites (Roy et al. 2006).

Struktur Cendawan Entomophthorales

Identifikasi Entomophthorales biasanya dilakukan berdasarkan pengetahuan tentang inang (spesies, genus) dan struktur cendawan (Keller 2007). Tipe konidia sekunder dan model pembentukan merupakan kriteria yang penting. Terdapat 5 tipe pembentukan konidia sekunder (Ben-Ze’ev dan Kenneth 1982 dalam Keller 2007). Tipe I menghasilkan konidia sekunder satu persatu dan kemudian dike-luarkan dengan sedikit tekanan. Biasanya, konidia sekunder dihasilkan dari per-tumbuhan yang pendek dari konidia primer. Tipe I tersebut dibagi menjadi tipe Ia dan Ib. Tipe 1a ditandai dengan bentuk konidia sekunder mirip dengan konidia primer dan merupakan tipe yang hampir ada di semua jenis cendawan Entomoph-thorales. Tipe 1b ditandai dengan bentuk konidia sekunder yang berbeda dengan konidia primer. Ciri tersebut ditemukan pada Erynia, Furia, Pandora, Strong-wellsea, Eryniopsis carolinina, Entomophaga ptychopterae, dan Entomophaga transitans. Tipe II atau kapilikonidia, konidia sekunder dihasilkan satu-persatu, memiliki tabung kapiler langsing yang muncul pada konidia primer, dan kapili-konidia dilepaskan secara pasif. Konidia sekunder Tipe II ditemukan pada Zooph-thora, Neozygites, Orthomyces, dan Eryniopsis lampyridarum. Tipe III atau mic-roconidia, konidia dilepaskan dengan sedikit tekanan, dihasilkan satu persatu dari pertumbuhan tabung yang muncul dari konidia primer, konidia sekunder mirip dengan konidia primer tapi ukuran lebih kecil dan biasanya ditemukan pada

(2)

spesies Conidiobolus. Tipe IV atau microspora, tidak ditemukan pada spesies pa-togen bagi arthropoda. Tipe V dikenal dengan istilah aquatic secondary conidia, tetraradiate propagules, tetraradiate conidia, branched, stellate, coronate. Koni-dia sekunder dihasilkan di dalam air atau ketika kontak dengan air. Ciri tersebut ditemukan pada beberapa spesies Erynia yang berasosiasi dengan air.

Badan hifa terdapat pada semua spesies, merupakan tahap pertama yang berkembang dalam infeksi inang atau yang berkembang dari protoplas. Badan hi-fa pada genus Conidiobolus dan Batkoa berbentuk polymorphic, amoeboid atau composed dengan sedikit membulat. Badan hifa pada genus Entomophaga ber-bentuk kecil, pendek, spherical sampai subsperical. Genus Entomophthora me-miliki badan hifa yang berbentuk spherical, subsperichal, ellipsoidal sampai ben-tuk lingkaran kecil (short rod-shaped). Benben-tuk badan hifa Neozygitaceae yaitu spherical. Genus Erynia dengan karakteristik badan hifa yaitu spherical sampai subspherical (Keller 2007).

Konidiofor muncul dari badan hifa. Konidiofor yang terbentuk dapat berbang (Erynioideae) atau tidak bercaberbang (Entomophthoroideae). Adapun Tipe ca-bang konidiofor berupa dikotomus dan digital. Konidia primer tunggal diproduksi di ujung konidiofor dan dilepaskan secara aktif. Konidia primer yang diproduksi pada konidiofor tidak bercabang, akan mengandung dua nukleat atau lebih, se-dangkan konidia primer yang diproduksi pada konidiofor yang bercabang, biasa-nya mengandung satu nukleat. Bentuk konidia genus Conidiobolus dan famili En-tomophthorideae sebagian besar spherical dan pyriform. Genus Entomophthora memiliki tubuh konidia spherical dengan papilla demarcated. Konidia primer Eryniopsis berbentuk memanjang dan sebagian besar epapillate. Konidia tersusun dari tubuh konidia dan papila. Konidia Neozygitaceae dan Entomophthoroideae tidak memiliki membran luar (unitunicate), kecuali genus Entomophthora (Keller 2007).

Spora istirahat memiliki struktur dinding berukuran tebal untuk bertahan hi-dup pada kondisi yang kurang menguntungkan. Umumnya, cendawan Entomoph-thorales memiliki bentuk spora istirahat spherical, hialin, dan ada beberapa yang dikelilingi episporium. Spora istirahat spesifik genus hanya dapat ditemukan pada Neozygites. Spora istirahat pada Neozygites berwarna coklat gelap sampai hitam,

(3)

spherical atau ellipsoid, berstruktur halus dan binucleate. Spora istirahat lainnya berbentuk multinucleate. Spora istirahat biasanya tidak cepat menyebar. Spora tersebut berkecambah dengan tabung kecambah tunggal yang terbentuk dari ke-cambah konidium (Entomophthoroideae dan Neozygites) atau terbentuk dari be-berapa konidia (Keller 2007).

Siklus Hidup Cendawan Entomophthorales

Siklus hidup cendawan Entomophthorales biasanya terdiri dari konidia dan spora istirahat. Konidia merupakan bentuk spora yang memungkinkan untuk in-feksi selama inang aktif. Konidia melekat pada kutikula dan membentuk suatu ta-bung penetrasi. Multiplikasi atau proses perbanyakan cendawan di dalam inang berlangsung dari protoplas atau badan hifa. Kolonisasi cendawan dapat terlihat pada abdomen ataupun seluruh tubuh inang. Umumnya badan hifa akan memben-tuk konidiofor. Selanjutnya, konidiofor menembus kutikula inang. Konidia pri-mer secara aktif dilepas dengan adanya tekanan hidrostatik. Konidia sekunder di-bentuk secara lateral pada konidia primer. Konidia primer relatif mudah pecah dan lama hidupnya pendek tapi berkecambah dengan cepat. Konidia sekunder biasanya lengket, ditutupi oleh mukus, dan alat bantu untuk melekat pada inang (Pell et al. 2001; Keller 2007).

Pertumbuhan cendawan berhenti setelah nutrisi habis dan inang biasanya mati pada keadaan tahap ini. Pada beberapa spesies, sporulasi terjadi saat inang masih hidup atau aktif. Saat inang mati, cendawan entomopatogen akan mengha-silkan konidia baru untuk menyebar dan menghamengha-silkan spora istirahat untuk berta-han. Spora istirahat merupakan jalan terpenting bagi cendawan Entomophthorales pada periode bertahan ketika tidak ada inang atau keadaan lingkungan tidak men-dukung. Spora istirahat merupakan penggabungan dua badan hifa (zygospora) atau satu badan hifa (azygospora). Spora istirahat biasanya resisten dan memiliki dua dinding yang tebal (Pell et al. 2001; Keller 2007).

Aktivitas cendawan dipengaruhi oleh lingkungan abiotik dan biotik. Cenda-wan entomopatogen membutuhkan kelembaban lebih dari 95% untuk konidia ber-kecambah, infeksi, sporulasi, dan kecepatan membunuh inang diatur oleh suhu. Spesis dalam ordo Entomophthorales tidak menghasilkan toksin untuk infeksi dan

(4)

merupakan patogen yang obligat. Cendawan Entomophthorales biasanya menjaga inang tetap hidup sampai semua sumber dimanfaatkan (Roy et al. 2006).

Trips (Ordo Thysanoptera) Bioekologi

Siklus hidup trips terdiri atas telur, dua instar larva yang aktif makan, dua atau tiga instar tidak aktif makan (prapupa dan satu atau dua instar pupa). Trips famili Phlaeotripidae menyimpan telur pada substrat makanan secara horizontal, tapi kadang-kadang secara vertikal. Semua anggota famili Phlaeotripidae memili-ki dua instar pupa dan ditemukan bersama-sama dengan larva dan imago. Sebagi-an besar trips subordo TerebrSebagi-antia memasukkSebagi-an telur ke dalam jaringSebagi-an tSebagi-anamSebagi-an dengan ovipositor yang bergerigi tajam. Semua spesies subordo Terebrantia me-miliki satu instar pupa, begitu pula dengan prapupa. Proses berpupa pada subordo Terebrantia biasanya terjadi pada tanah yang jauh dari tempat larva makan. Siklus hidup biasanya membutuhkan paling sedikit 21 hari pada kondisi panas (Mound & Kibby 1998).

Karakter yang Digunakan dalam Identifikasi Trips

Kepala. Identifikasi spesies trips melalui kepala dapat dilakukan dengan mengamati sculpture, seta oseli, dan antena. Skulptur pada permukaan kepala da-pat terlihat halus atau jelas. Panjang dan posisi seta oseli merupakan salah satu yang penting dalam identifikasi pada bagian kepala. Trips dalam famili Thripidae memiliki tiga pasang seta oseli, sepasang seta oseli I berada di bagian depan oseli (biasanya tidak ditemukan pada spesies Thrips), sepasang seta oseli II berada di samping oseli, sepasang seta oseli III berada di dalam atau di luar segitiga oseli. Trips famili Phlaeothripidae biasanya memiliki sepasang seta postocular. Antena trips biasanya terdiri atas 7 atau 8 segmen, tapi ada juga antara 4 sampai 9 seg-men, segmen III dan IV biasanya muncul dalam bentuk sense cone (menggarpu atau sederhana) (Mound & Kibby 1998).

Toraks. Trips dalam famili Phlaeothripidae memiliki sepasang epimeral kecil (notopleural) pada bagian posterolateral pronotum, dan biasanya memiliki lima pasang seta major: anteromarginal, anteroangular, midlateral, epimeral, dan posteroangular. Protoraks trips dalam famili Phlaeothripidae pada bagian ventral

(5)

sering memiliki basantra (praepectal plates), sedangkan pada bagian posterior ter-dapat sepasang ferna (probasiternal plates) dan mesoprasternum transversal. Me-sosternum famili Phlaeothripidae memiliki sepasang benang longitudinal di dekat mesokoksa, yaitu sternopleural suture. Mesofurka dan metafurka trips famili Thripidae mirip dengan bentuk spinula internal spesies dari Dendothrips yang di-sebut dengan lyre-shaped. Sayap subordo Terebrantia memiliki venasi costal dan dua venasi longitudinal, biasanya menghasilkan rangkaian seta kuat yang permu-kaan sayapnya ditutupi mictrotrichia dan silia yang terbentuk pada pinggiran pos-teromarginal yang disebut soket. Sayap trips Phlaeothripidae ditandai dengan ve-nasi longitudinal yang tidak kelihatan, permukaan sayap halus, silia tidak nyata bersambung dengan permukaan sayap, dan sayapnya sering berkurang panjangnya atau absen. Tungkai trips memiliki tarsi dengan satu atau dua segmen (Mound & Kibby 1998).

Abdomen. Tergit II-VII famili Phlaeothripidae pada trips yang makroptera sering muncul satu pasang atau lebih seta penahan sayap (wing-retaining setae) yang sigmoid, pada tergit IX terdapat tiga pasang seta posteromarginal panjang (B1,B2,B3), tubular tergit X yaitu berbentuk silindris dengan lubang genital pada bagian dasar, dan ujung anal dikelilingi oleh seta terminal. Jantan Phlaeothripidae memiliki tubular basal yang menggali secara anterolateral sampai bisa menekan genitalia, ujung tubular (aedeagus) biasanya digunakan untuk mengenali spesies pada Haplothrips. Jantan Phlaeothripidae memiliki area glandular (kelenjar) pada sternit VIII dan seta B2 pada tergit IX kuat dan pendek (Mound & Kibby 1998).

Trips Subordo Terebrantia ditandai dengan tergit VIII memiliki comb poste-romarginal dengan microtrichia, pada beberapa genus terdapat kelompok micro-trichia secara lateral di dekat spirakel, dan beberapa genus micromicro-trichia tersusun menjadi sepasang ctenedia yang teratur. Pada sternit muncul seta diskal yang di-kenal dengan seta marginal. serangga jantan sering memiliki area glandular dan betina memiliki ovipositor (Mound & Kibby 1998).

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Populasi Trips

Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan populasi trips yaitu sumber maka-nan, musuh alaminya, dan lingkungan fisik. Keberhasilan pemanfaatan sumber

(6)

makanan terjadi jika sumber melimpah dan tidak ada halangan trips dalam eksplo-itasi sumber (Morse & Hoddle 2006)

Kesesuaian trips terhadap tanaman inang bervariasi. Pemilihan peletakan telur oleh betina pada tanaman menjadi penting untuk kelangsungan hidup trips. Rambut-rambut pada daun menjadi faktor resisten trips terhadap tanaman. Ram-but tebal menghalangi akses trips kepermukaan daun untuk makan dan meletak-kan telur karena rambut-rambut daun tersebut dapat menjebak atau melukai se-rangga. Trips berukuran kecil dan fitofag, hidup di tempat yang beruang sempit seperti pelepah daun dan didalam inflorescens, sehingga kesulitan dalam pengen-daliannya dengan insektisida dan sukar mendeteksinya saat di karantina (Kirk 1997).

Serangan trips yang hebat dapat muncul ketika musuh alami (predator, pa-rasitoid, parasit, dan patogen) gagal mengendalikan trips. Hal tersebut terjadi ka-rena ketiadaan musuh alami khusus di ekosistem ketika terjadi serangan spesies trips, se-hingga peningkatan populasi trips berlangsung cepat. Selain itu, cenda-wan entomopatogen juga jarang menyebabkan infeksi alami untuk mengatur po-pulasi trips. Musuh alami lainnya, Hymenoptera parasitoid yang menyerang telur dan larva trips, biasanya hanya mampu menyebabkan mortalitas yang rendah. Sik-lus hidup trips yang singkat juga meminimalkan munculnya musuh alami. Selain itu, prilaku bertahan trips dengan lingkungan, dapat mengurangi keberhasilan mu-suh alami (Morse & Hoddle 2006).

Musuh alami yang dapat digunakan untuk mengendalikan trips yang me-nyerang tanaman hias dan sayuran di rumah kaca dan di lapangan yaitu tungau Phytoseiidae, kepik Anthocoridae, dan nematoda predator atau kombinasinya. Musuh alami lainnya seperti cendawan entomopatogen dan parasitod dapat digu-nakan untuk menekan serangan hama trips. Cendawan entomopatogen terutama Beauveria bassiana, Metarhizium anisoplae, dan Verticillium lecanii dapat digu-nakan mengendalikan trips tanaman baik secara tunggal maupun dikombinasikan dengan musuh alami lainnya (Morse & Hoddle 2006).

Musim juga mempengaruhi populasi trips. Kehilangan hasil pada musim kemarau lebih besar dibandingkan dengan musim hujan. Kehilangan hasil pada musim kemarau diduga karena adanya peningkatan intensitas kerusakan tanaman

(7)

akibat terjadinya peningkatan populasi trips. Kelembaban rendah dan suhu yang tinggi pada musim kemarau, merupakan lingkungan yang cocok bagi hama trips sehingga perkembangbiakannya lebih cepat (Prabaningrum & Moekasan 2007). Hujan deras dapat berperan menjatuhkan trips dari daun kepermukaan tanah. Hu-jan kadang-kadang tidak hanya memindahkan trips secara mekanik, tetapi juga merangsang laju pertumbuhan daun baru yang mengurangi kepadatan trips per daun dan meningkatkan proporsi daun sehat (Kirk 1997).

Metode Sampling untuk Trips

Metode sampling dapat digunakan untuk memantau populasi trips di perta-naman dan memperkirakan terjadinya serangan trips yang dapat menyebabkan kerusakan yang serius. Metode sampling terbagi menjadi destructive dan non-destructive methods. Metode non-destructive dilakukan dengan mengamati secara langsung larva dan imago pada sampel bunga atau buah. Metode non-destructive dilakukan dengan menepuk bunga atau tunas dan pemasangan perangkap. Mene-puk bunga atau tunas lebih mudah dan cepat dibandingkan dengan pengamatan destructive pada bunga (Pearsall & Myers 2002).

Perangkap Likat

Perangkap untuk serangga yang memiliki kemampuan terbang, biasanya di-letakkan di atas tanaman dan merupakan cara yang relatif mudah untuk memantau kehadirannya lebih awal, pertambahan populasi hama, musim perubahan aktivitas spesies hama. Perangkap juga digunakan untuk menentukan kebutuhan, waktu, tindakan pengendalian dan dampak penafsiran. Perangkap likat dan perangkap air digunakan secara luas di lapangan terbuka, sedangkan di rumah kaca lebih me-milih menggunakan perangkap likat (Lewis 1997).

Di rumah kaca, perangkap likat lebih baik digantung secara vertikal karena perpindahan angin sedikit. Selain itu, lebih murah dan mudah dilakukan. Akan tetapi, di lapangan terbuka perangkap likat dengan bentuk silindris lebih efektif digunakan karena aliran udara di sekitarnya yang sedikit bergolak dan serangga yang terperangkap berasal dari tiupan angin segala arah (Lewis 1997).

Posisi perangkap juga berpengaruh. Perangkap untuk tujuan memantau per-kembangan serangga, akan lebih baik jika diletakkan lebih tinggi dari permukaan

(8)

tanaman (Lewis 1997). Banyak trips yang terperangkap di atas kanopi tanaman, meskipun ada juga yang dilaporkan terperangkap yang setara dengan tinggi tana-man, akan tetapi jumlah yang terperangkap pada perangkap setara tanaman sangat sedikit. Serangga yang terperangkap di atas tanaman, mungkin sedang memencar atau mencari pasangannya, ketika baru muncul dari pupa (Jacobson 1997).

Ukuran perangkap likat tergantung pada kepadatan populasi yang diharap-kan dan frekuensi pengamatan (Lewis 1997). Trips mungkin lebih banyak terpe-rangkap pada peterpe-rangkap yang berukuran lebih besar, tetapi tidak ada hubungan yang linear antara jumlah yang terperangkap dengan ukuran perangkap (Shipp 1995).

Warna digunakan serangga untuk membedakan inang dan lingkungan. Satu warna dapat menarik beberapa spesies trips. Komponen warna yang kritis untuk membedakan inang dan non-inang adalah panjang gelombang dominan yang di-pantulkan permukaan, kejenuhan (kemurnian hue), dan kecerahan (total energi, persentase refleksi panjang gelombang maksimun) (Terry 1997).

Ketertarikan trips terhadap warna dipengaruhi oleh panjang gelombang yang dipantulkan (Terry 1997). Cahaya ultraviolet (UV) dengan panjang gelombang 350-445 nm dipantulkan oleh warna biru, sedangkan cahaya biru dengan panjang gelombang 455-500 nm dipantulkan oleh warna biru dan kuning. Selain itu, war-na putih dan warwar-na biru paling kuat memantulkan cahaya ultraviolet dan panjang gelombangnya sekitar 300-400 nm (Ranamukhaarachchi & Wickramarachchi 2007). Menurut Natwick et al. (2007), warna biru memiliki panjang gelombang yang kuat memantulkan cahaya ultraviolet dan cahaya biru dibandingkan dengan warna kuning, sedangkan warna kuning lebih banyak memantulkan cahaya ku-ning dan merah. Menurut Chu et al. (2000) warna kuku-ning memantulkan cahaya hijau, kuning, dan jingga dengan panjang gelombang 490-600 nm.

Tanaman Mawar

Tanaman mawar termasuk kingdom Plantae, divisi Spermatophyta, subdi-visi Angiospermae, kelas Dicotyledonae, ordo Rosales, famili Rosaceae, genus Rosa, species Rosa damascena Mill., Rosa multiflora Thunb., Rosa hybrida Hort., dan lain-lain (BPP Teknologi 2000).

(9)

Mawar berasal dari dataran Cina, Timur Tengah dan Eropa Timur. Seiring perkembangannya, tanaman mawar menyebar luas di daerah-daerah beriklim di-ngin (subtropis) dan panas (tropis). Daerah pusat tanaman mawar terdapat di Ka-wasan Alaska atau Siberia, India, Indonesia dan Afrika Utara. Sentra penanaman bunga potong, tabur, dan tanaman pot di Indonesia berada di daerah Jawa Barat, Sumatera Utara, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jakarta. Mawar yang berkem-bang di Indonesia merupakan mawar jenis hibrida yang berasal dari Belanda (BPP Teknologi 2000).

Tanaman mawar merupakan tanaman semak atau perdu berduri dengan tinggi antara 0,3 sampai 5 meter. Mawar termasuk tanaman berakar tunggang dengan banyak cabang akar. Batang mawar berkayu dan bercabang-cabang dari bagian bawah atau beberapa cm di atas permukaan tanah. Tipe batang mawar ada yang tegak dan ada yang menjalar. Daun mawar termasuk daun majemuk dengan 3 atau 5 helai daun berselang dan beririp ganjil yang dilengkapi penumpu. Setiap pangkal tangkai daun terdapat titik tumbuh yang akan berkembang menjadi tunas bunga atau cabang (Kartapradja 1995).

Bunga mawar ada yang tunggal dan ada yang tersusun indah dalam bentuk payung. Mawar termasuk jenis bunga sempurna dengan benang sari dan putik ter-susun pada dasar bunga yang berbentuk guci. Buah mawar adalah buah buni (hip) yang di dalamnya berisi biji (Kartapradja 1995). Mawar memiliki dua jenis pem-bungaan yaitu mawar berbunga terus menerus sepanjang tahun (recurrent flo-wering) dan mawar yang tidak berbunga terus menerus (non recurrent floflo-wering) (Darliah 1995).

Berdasarkan mahkota bunga, mawar dibedakan atas mawar berbunga gal, berbunga semi ganda dan berbunga ganda. Mawar yang berbunga tipe tung-gal memiliki mahkota bunga yang terdiri atas 5-7 helai yang berada dalam satu lingkaran. Mawar yang berbunga semi ganda memiliki mahkota bunga terdiri atas 10-20 helai tanaman dalam beberapa lingkaran. Mawar yang berbunga ganda me-miliki mahkota lebih dari 20 helai dan tersusun dalam tandan bunga (Kartapradja 1995).

Berdasarkan sifat tumbuh dan penampilannnya, mawar dikelompokkan menjadi kelompok Hybrid tea, Polyantha dan Baby rose, Floribunda,

(10)

Grandi-flora, dan Climbing rose (mawar merambat). Kelompok Hybrid tea berbentuk perdu dan semak, berbunga besar, kompak, padat, tangkai bunga panjang serta berbau harum. Contohnya Camelot, golden lustee, Queen Elisabeth, Charleston, Mr. Lincoln, dan Cherry brandy. Kelompok Polyantha dan Baby rose memiliki ciri berbentuk perdu atau semak, berbunga kecil-kecil dalam cluster bunga dengan diameter kuntum kurang dari 2 cm. Contoh dari kelompok ini yaitu Gloria mun-di, Katharina zeimet, dan Irian merah. Kelompok Floribunda merupakan gabung-an sifat baik Hybrid tea dgabung-an Polygabung-antha. Contohnya Fashion, Else poulsen, dgabung-an Cimacan merah. Kelompok Grandiflora merupakan gabungan sifat-sifat Hybrid tea dengan Floribunda. Jenis ini sering digunakan sebagai bunga potong atau ta-naman taman. Contohnya Queen Elizabeth, Granada, dan John Amstrong. Per-tumbuhan tanaman kelompok Climbing rose ini memanjat dan memerlukan pe-nunjang, ukuran bunga beraneka ragam, berbunga tunggal dan rangkap, seperti pada var. Gadenza, Crimpson glory, dan Golden shower (Kartapradja 1995).

Referensi

Dokumen terkait

juga divisualisasikan secara ekspresif, terlihat pada tampi - lan rambut, topeng, lidah dan segala hiasan yang yang menghiasi rangda tersebut terlihat rambut rangda yang

The Court also explained that trial court judges are “ in a superior position to find facts,” determine the credibility of the witnesses, apply the § 3553(a) factors,

[r]

What are the translation techniques applied in the translation of English novel Coco Simon’s Cupcake Diaries 2: Mia in the Mix into its translation in bahasa Indonesia

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Portofolio optimal dihasilkan dari kombinasi proporsi saham AALI sebesar 32% dan saham BBCA sebesar 68% dengan

kuantitatif, yaitu data yang diperoleh peneliti dari lapangan sekaligus dapat. dinyatakan kedalam bentuk

Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Dwi Sunar (2008: 61) salah satu hal yang dapat dilakukan agar siswa dapat belajar sambil bermain yaitu dengan memodifikasi media

Pada PT Promedrahardjo Farmasi Industri melihat hasil uji penelitian yang dilakukan pada dimensi komunikasi dari bawah ke atas indikator yang paling tinggi ialah saran