• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH PEMBERIAN KALSIUM VITAMIN D DAN ZAT BESI TERHADAP KADAR KALSIUM SERUM TIKUS PUTIH (Rattus novergicus) GALUR WISTAR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH PEMBERIAN KALSIUM VITAMIN D DAN ZAT BESI TERHADAP KADAR KALSIUM SERUM TIKUS PUTIH (Rattus novergicus) GALUR WISTAR"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

27

PENGARUH PEMBERIAN KALSIUM VITAMIN D DAN ZAT BESI TERHADAP KADAR KALSIUM SERUM

TIKUS PUTIH (Rattus novergicus) GALUR WISTAR

Erina Masri STIKES Perintis Padang

ABSTRACT

Osteoporosis is a bone systemic disease marked with the lessen of bone mass density and then bone will become fragile and breakable. The calcium imbalance disorder can cause osteoporosis. Vitamin D has strong effect on calcium absorbtion and keeping calcium plasma, but vitamin D must be change become active form 1,25 dihydroxyvitamin D through hydroxylation reaction in liver and kidney. The hydroxylation process requires enzyme of ferrum; iron protein sulphur and cytocrom P-450.

This research was aimed to know the influent of combining calcium, vitamin D and iron to blood calcium rate compared with the control group. Research type was experimental static group comparison with pretest and posttest design. Samples were divided in to 5 group iron deficient. Two group for control group and 3 group for treatment that giving combining calcium- vitamin D, calcium-iron and calsium-vitamin D-iron for 14 days.

The result showed the significant different (p>0,05) of calcium blood rate before an after the treatment in calcium-vitamin D group and calcium-vitamin D-iron group, but calcium blood rate is higher in vitamin D-iron group. The giving of calcium-vitamin D-iron combination can increase blood calcium rate significantly.

Key words: blood calcium, calcium, vitamin D, iron

PENDAHULUAN

Osteoporosis merupakan suatu penyakit sistemik tulang yang salah satunya disebabkan oleh gangguan ketidakseimbangan kalsium. Penyakit ini ditandai dengan berkurangnya densitas massa tulang dan kerusakan mikroarsitektur jaringan tulang, sehingga tulang akan menjadi rapuh dan mudah patah. Massa tulang yang berkurang akan menyebabkan tulang semakin tipis dan rapuh sehingga mudah

patah pada trauma yang ringan (Suheimi, HK, 2003).

Kalsium merupakan komponen mineral utama tulang yang diendapkan pada matriks tulang dalam bentuk kristal hidroksipatit. Tulang terdiri dari matriks organik keras dan diperkuat oleh endapan garam kalsium yang penting untuk proses osteogenesis (Robbins dan Stanley, 1995). Lebih kurang 99% dari keseluruhan kalsium tubuh berada di dalam tulang dan gigi. Asupan kalsium berperan penting untuk mempertahankan keseimbangan

(2)

28 kalsium secara positif sehingga cadangan kalsium tulang tidak diambil untuk menjaga keseimbangan kalsium darah (Cumming, 1997). Bila kadar kalsium darah turun di bawah normal, tubuh akan mengambilnya dari tulang untuk menjaga keseimbangan kalsium darah tersebut. Pengambilan kalsium dari tulang dalam waktu lama akan menyebabkan pengeroposan tulang. Oleh karena adanya kalsium yang selalu hilang melalui tinja dan urin, maka

intake dan absorpsi kalsium yang

adekuat penting untuk menjaga keseimbangan kalsium yang positif (Robbins MD, 1995).

Penyebab potensial defisiensi kalsium dan demineralisasi tulang adalah karena tidak adanya vitamin D, tidak adanya kalsium dari makanan dan tingginya tingkat ekskresi kalsium (Linder M, 1992). Saluran pencernaan, ginjal, hati dan tulang merupakan organ dan jaringan yang berperan dalam mengatur keseimbangan kalsium di dalam darah, di bawah pengaruh hormon-hormon kalsitropik (hormon paratiroid, vitamin D, kalsitonin) melalui suatu mekanisme umpan balik yang komplek (Rudijanto A, 2002). Vitamin D mempunyai efek yang kuat dalam meningkatkan absorpsi kalsium dari saluran pencernaan. Vitamin D eksogen (makanan) dan endogen bukan bentuk aktif (pre vitamin D) yang mempunyai efek langsung untuk absorpsi kalsium, sehingga vitamin D tersebut harus dirubah melalui serangkaian reaksi di dalam hati dan ginjal menjadi bentuk aktif yaitu 1,25-dihidroksivitamin D (Guyton dan Hall, 1997). Proses aktifasi pre vitamin D (25 hidroksivitamin D atau calcidiol)

menjadi vitamin D aktif (1,25-dihidroksivitamin D) adalah melalui proses hidroksilasi. Proses hidroksilasi vitamin D tersebut membutuhkan tiga komponen sistem yaitu flavoprotein,

iron sulfur protein dan sitokrom P-450.

Kombinasi sitokrom P-450 pada mitokondria renal dengan ferredoksin

(iron sulfur protein), NADPH dan ferredoksin reductase akan merubah 25

hidroksivitamin D, membentuk 1,25-dihidroksivitamin D. Oleh sebab itu proses hidroksilasi tergantung pada zat besi, dimana zat besi dalam enzim tersebut berfungsi untuk transpor elektron dan oksidasi (Deluca, 1996). Enzim pokok untuk metabolisme vitamin D adalah vitamin D3 25-hydroxylase (CYP27A1), 25-hidroksivitamin D3 1α-hydroxylase

(CYP27B1) dan 1α 25-dihydroxyvitamin

D3, 24-hydroxylase (CYP24A1), enzim-

enzim tersebut adalah jenis- jenis dari cytochrome P450 (Sakaki T, 2005).

Vitamin D berfungsi dalam pemeliharaan kalsium plasma (homeostasis) sehubungan dengan hormone paratiroid. Regulasi kalsium akan berpengaruh terhadap berbagai fungsi biologi tubuh termasuk proses ekstraselular, seperti pembekuan darah, adhesi interselular dan integritas tulang, proses intraselular, seperti regulasi sekresi hormonal pembelahan sel dan motilitas sel (Arsana PM, 2002). Vitamin D mempunyai efek yang kuat dalam mengabsorbsi kalsium dari saluran pencernaan (Guyton dan Hall, 1997). Fungsi ini esensial untuk metabolisme tulang dalam jangka panjang dan untuk pemeliharaan fungsi- fungsi sel dan saraf (Linder M, 1992).

Defisiensi Vitamin D dan hipokalsemia dapat menyebabkan konvulsif secara tiba-tiba (Linder, 1992). Vitamin D dapat memperlambat penurunan densitas tulang, karena vitamin D mampu memelihara kesehatan tulang dengan cara meningkatkan penyerapan kalsium dalam intestin dan mengurangi ekskresi kalsium melalui ginjal.

(3)

29 Dengan demikian diduga defisiensi zat besi berpengaruh terhadap aktifasi 25- hidroksivitamin D menjadi bentuk vitamin D aktif (1,25-dihidroksivitaminD), yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap metabolisme kalsium.

METODE PENELITIAN Alat Dan Bahan

Alat yang digunakan beruapa tempat pemeliharaan tikus, timbangan tikus, jarum oral, spet, timbangan digital, sentrifuge, tabung reaksi pyrex 10 ml, spectrophotometer, mikropipet. Bahan yang digunakan adalah tikus putih galur wistar betina 40 ekor, makanan tikus berupa pelet dan jagung, kandang tikus, reagensia Ca CPC, Ca Liquicolor, Iron Liquicolor Wiesbaden Germany, kalsium laktat, Vitamin D merk IPI, tablet besi (Fe2SO4),

Aquadest.

Pelaksanaan Penelitian

Penelitian ini dibagi dalam dua tahapan, yaitu tahap persiapan dan tahap pelaksanaan. Tahap persiapan meliputi pemilihan dan adaptasi hewan percobaan selama 1 minggu dengan pemberian makanan dan minuman secukupnya. Hewan dinyatakan sehat jika selama pemeliharaan tidak mengalami perubahan berat badan >10% dan secara visual tidak terdapat gejala penyakit.

Pada tahap pelaksanaan, sebelum perlakuan dilakukan penimbangan berat badan hewan percobaan. Sampel yang berjumlah 40 ekor tersebut dikelompokkan ke dalam 5 kelompok yaitu kelompok kontrol negatif (P1), kontrol positif (P2) dan 3 kelompok perlakuan (P3, P4 dan P5).

Tiap kelompok terdiri dari 8 ekor tikus diletakkan dalam kandang yang terpisah. P2 diberi kalsium saja P3 diberi kalsium dan vitamin D, P4 diberi kalsium dan zat besi (Fe) dan P5 diberi kalsium vitamin D dan zat besi (Fe). Dosis kalsium yang diberikan 14,4 mg/hr, vitamin D 0,09 µg/ hari dan zat besi 0,15 mg/ hari.

Sebelum intervensi dengan kalsium, vitamin D dan zat besi, darah hewan percobaan diambil melalui vena untuk dihitung kadar kalsium sebelum perlakuan (pre test). Kemudian diberi makan rendah zat besi berdasarkan standar AIN (American Institute of Nutrition) tahun 1980 berupa jagung dengan tambahan gula (Medeiros, 2004).

Kalsium, vitamin D dan tablet besi digerus, kemudian masing- masingnya dilarutkan dengan aquadest. Kemudian diberikan satu kali sehari selama dua minggu untuk dapat melihat perubahan kalsium serum. Setelah dua minggu pada hari ke-15 darah tikus diambil sebanyak 1 ml kemudian disentrifus untuk memperoleh serumnya. Pemeriksaan Kalsium Serum

Pemeriksaan kalsium berdasarkan metode yang diajukan oleh Moorehead and Briggs. Reagen 1 (CaCPC) dicampur dengan Reagen 2 (Ca Liquicolor), diamkan selama 10 menit, campuran ini akan berwarna ungu. Reagen dimasukan ke serum sampel, diaduk dan didiamkan selama 5 menit. Reagen bereaksi dengan kalsium dalam suasana alkalis membentuk senyawa yang bewarna ungu tua. Intensitas wana ungu yang terbentuk berbanding lurus dengan kadar kalsium dan dapat diukur dengan spektrofotometer microlab 300 panjang gelombang 587 nm.

(4)

30 Kadar kalsium dihitung dengan rumus ; Kalsium (mg/dl)= Abs Test x Kadar standar

Abs Std Nilai normal: 8,5- 10,5 mg/dL Pengolahan Dan Analisis data

Data dianalisis dengan uji T test dependen secara komputerisasi untuk melihat perbedaan rata-rata kadar kalsium darah sebelum dan setelah perlakuan, dengan kemaknaan 0,05. Setelah itu dilakukan uji anova untuk mengetahui perbedaan rata-rata kadar

kalsium antar kelompok perlakuan dengan derajat kepercayaan 95%. Jika terdapat perbedaan bermakna antara tiga kelompok perlakuan tersebut (nilai p< 0,05), maka dilanjutkan dengan Post Hoc Test ntuk melihat perbandingan selisih rata-rata kadar kalsium serum antar kelompok (Hastono PS, 2001). HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil

Kadar Kalsium Serum Sebelum dan Sesudah Intervensi

Tabel I. Rata-rata kadar kalsium serum sebelum dan setelah intervensi pada semua kelompok intervensi Kelompok Kadar Kalsium (mg/dl) (mean ± SD) Nilai p n Sebelum Sesudah P1 (kontrol negatif) 8,34 ± 0,39 8,49 ± 0,16 0,193 6 P2 (kontrol positif ) 8,37 ± 0,37 8,60 ± 0,05 0,208 6 P3 (kalsium + vit. D) 8,44 ± 0,18 8,70 ± 0,16 0,008 6 P4 (kalsium + zat besi) 8,37 ± 0,23 8,61 ± 0,11 0,070 6 P5 (kalsium + vit. D + zat besi) 8,40 ± 0,20 9,68 ± 0,18 0,000 6

Dari tabel 1 diketahui pada kelompok P1 (kontrol negatif) tidak terdapat perbedaan signifikan rata-rata kadar kalsium serum pada pemeriksaan pertama dan kedua (nilai p = 0,193 p > 0,05). Pada kelompok P2 (kontrol positif) juga tidak terdapat perbedaan yang signifikan rata-rata kadar kalsium sebelum dan sesudah intervensi (nilai p = 0,208 p > 0,05) meskipun terjadi peningkatan rata-rata kadar kalsium serum 0,22 mg/dl setelah intervensi. Pada kelompok P3 (kalsium + vitamin D) dari hasil uji statistik diketahui

terdapat perbedaan yang bermakna rata-rata kadar kalsium serum sebelum dan sesudah perlakuan pada kelompok kalsium dan vitamin D (P3) (nilai p= 0,008 p < 0,05) dengan peningkatan yaitu 0,26 mg/dl. Pada kelompok P4 (kalsium + zat besi) tidak terdapat perbedaan yang signifikan (nilai p= 0,07 p < 0,05) terjadi peningkatan rata-rata kalsium darah 0,25 mg/dl. Pada kelompok P5 (kalsium + vitamin D + zat besi) terdapat perbedaan signifikan (nilai p = 0,000 p<0,05) rata-rata kadar kalsium sebelum dan sesudah intervensi

(5)

31 pada kelompok P5 (kalsium + vitamin D + zat besi) dengan peningkatan rata- rata kadar kalsium sesudah intervensi 0,73

mg/dl. Perubahan rata-rata kadar kalsium serum setelah intervensi dapat dilihat pada gambar berikut :

8.34 8.49 8.37 8.6 8.44 8.7 8.37 8.61 8.4 9.68 7 7.5 8 8.5 9 9.5 10 1 Kelompok Intervensi K a d a r K a ls iu m

P1 (Kontrol -) sebelum intervensi P1 (Kontrol -) sesudah intervensi Series11

P2 (Kontrol +) sebelum intervensi P2 (Kontrol +) sesudah intervensi Series12

P3 (Ca+ Vitamin D) sebelum intervensi P3 (Ca+Vitamin D) sesudah intervensi Series13

P4 (Ca + Fe) sebelum intervensi P4 (Ca+ Fe) sesudah intervensi Series14

P5 (Ca+ Vitamin D+ Fe) sebelum perlakuan

P5 (Ca+ Vitamin D+ Fe) sesudah intervensi

Gambar 1. Perubahan rata-rata kadar kalsium serum setelah intervensi Dari gambar 1 di atas dapat

dilihat perubahan rata-rata kadar kalsium serum setelah intervensi pada semua kelompok. Perubahan kadar

kalsium serum paling besar terjadi pada kelompok P5 (Ca + Vitamin D + Fe) yaitu dari 8,40 mg/dl menjadi 9,68 mg/dl setelah intervensi.

Tabel II. Perbedaan selisih rata-rata kadar kalsium semua kelompok intervensi dengan kelompok P5 (Kalsium+ vitamin D + Zat Besi)

Kelompok Intervensi Selisih

Rata-Rata (mg/dl) Nilai- p

P1 dan P5 1,18 0,000

P2 dan P5 1,08 0,000

P3 dan P5 0,98 0,000

P4 dan P5 1,05 0,000

Dari analisis uji anova diketahui nilai p<0,05 sehingga terdapat perbedaan signifikan rata-rata kadar kalsium serum antar semua kelompok perlakuan. Analisis lebih lanjut Post Hoc Test pada tabel 2 diketahui bahwa terdapat perbedaan bermakna (nilai p<0,05) selisih rata-rata kadar kalsium pada kelompok P5 (kalsium, vitamin D, zat besi) dengan semua kelompok, yaitu

kelompok P1 (kontrol negatif), P2 (kontrol positif), P3 (kalsium + vitamin D), P4 (kalsium + zat besi).

Pembahasan

Hasil penelitian menunjukkan pada kelompok P5 (kalsium vitamin D dan zat besi) terdapat perbedaan rata-rata kadar kalsium serum sebelum dan sesudah intervensi, dimana terjadi

(6)

32 peningkatan kadar kalsium serum sebanyak 0,73 mg/dl. Hal ini membuktikan bahwa pemberian kombinasi kalsium, vitamin D dan zat besi berpengaruh terhadap peningkatan kadar kalsium serum.

Menurut penelitian oleh New SA (2000) pemberian vitamin D untuk hasil yang terbaik harus dilakukan bersama dengan pemberian kalsium. Homeostasis kalsium tidak tergantung pada ketersediaan kalsium dalam diet saja tetapi melibatkan multifaktorial, salah satunya adalah vitamin D (Linder, 1992). Dengan demikian nutrisi untuk homeostasis kalsium yaitu kalsium dan vitamin D sudah terpenuhi pada kelompok ini.

Pemberian zat besi pada kelompok P5 diharapkan dapat meningkatkan biosintesis 1,25-dihidroksi vitaminD di hati dan di ginjal yang pada akhirnya dapat meningkatkan kadar kalsium dalam serum. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Heldenberg dan Tanenbaum (2002). Pada penelitian tersebut dilakukan pemberian iron dextran pada anak- anak Israel usia 6 sampai 24 bulan yang menderita anemia defisiensi besi. Pemberian zat besi tersebut meningkatkan hemoglobin dan besi serum, serta meningkatkan konsentrasi 1,25-hydroxyvitaminD plasma. Hingga saat ini belum ditemukan penelitian lain mengenai pengaruh zat besi terhadap kalsium serum.

Hasil penelitian pada kelompok kontrol negatif (P1), kontrol positif (P2), dan kelompok kombinasi kalsium + zat besi (P4), menunjukkan tidak terdapat perbedaan signifikan rata-rata kadar kalsium serum pada pemeriksaan sebelum dan sesudah intervensi (tabel 4.2). Hal ini dapat disebabkan oleh tidak adanya kalsium dan vitamin D di dalam diet yang akan mengatur homeostasis

kalsium sebagaimana teori dan hasil penelitian lain yang telah dijelaskan diatas.

Pada kelompok P1 ini hanya diberi makanan standar tanpa kalsium. Pada kelompok P2 (kontrol positif) terjadi peningkatan kadar kalsium tetapi tidak sigifikan. Pemberian kalsium pada P2 tampaknya hanya berfungsi untuk mempertahankan keseimbangan kadar kalsium dalam darah. Hal ini sesuai dengan penelitian oleh Harvey JA, Zobitz (1999) yang menyatakan suplementasi kalsium dalam dosis tinggi yang diberikan dalam dosis tunggal tidak akan lebih meningkatkan absorbsi kalsium.

Kelompok P3 dan P5 memiliki perbedaan selisih rata-rata kalsium serum paling kecil yaitu 0,98 mg/dl. Sebagaimana penelitian New SA (2000) yang menunjukkan pemberian vitamin D saja secara tunggal tidak memberikan perbaikan yang nyata untuk kalsium darah. Pemberian vitamin D untuk hasil yang terbaik harus disertai dengan kalsium. Namun kombinasi ini tidak meningkatkan kadar kalsium serum sebaik pemberian kombinasi kalsium, vitamin D dan zat besi.

Hasil penelitian pada kelompok P4 (kalsium dan zat besi) menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan rata-rata kadar kalsium serum sebelum dan sesudah intervensi. Sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya bahwa absorbsi kalsium sangat dipengaruhi oleh 1,25 dihidroksivitamin D. Zat besi dalam bentuk ferredoksin (iron sulfur

protein) dan sitokrom P-450 berperan

dalam proses biosintesis 1,25 hidroksivitamin D (Deluca, 1998). Dengan tidak adanya vitamin D maka zat besi kurang berperan dalam peningkatan kadar kalsium.

(7)

33 Hasil penelitian ini membuktikan bahwa pada pemberian kalsium dan vitamin D yang disertai zat besi, maka kadar kalsium serum lebih meningkat daripada kelompok yang diberikan kalsium dan vitamin D saja. 1,25 dihidroksivitamin D merupakan hormon kalsitropik yang memediasi pengaturan transpor kalsium untuk mempertahankan konsentrasi kalsium dalam serum dalam batas normal oleh berbagai mekanisme pengaturan transpor kalsium dalam ginjal, saluran pencernaan dan tulang. Gangguan mekanisme transport kalsium akan mengakibatkan hipokalsemia (Rudijanto, 2002). Bila kadar kalsium darah turun dibawah normal, tubuh akan mengambilnya dari tulang untuk menjaga keseimbangan kalsium darah tersebut. Pengambilan kalsium dari tulang dalam waktu lama akan menyebabkan pengeroposan tulang atau osteoporosis (Robbins MD, 1995). Zat besi berperan dalam biosintesis 1,25 dihidroksivitamin D, dengan demikian diduga penderita anemia defisiensi besi akan mengalami gangguan absorpsi kalsium yang dalam waktu lama akan menyebabkan osteoporosis.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Dari penelitian pengaruh pemberian kalsium, vitamin D dan zat besi yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa pemberian kalsium tanpa vitamin D tidak dapat meningkatkan absorbsi kalsium dan penambahan zat besi dapat meningkatkan absorbsi kalsium dan kadar kalsium serum melalui perannya dalam aktifasi 1,25 dihidroksi vitamin D.

Saran

1. Pemberian kalsium harus disertai vitamin D untuk absorbsi kalsium yang maksimal.

2. Untuk menjaga homeostasis kalsium diperlukan asupan zat besi karena kondisi defisiensi besi berpengaruh terhadap mekanisme absorpsi kalsium oleh vitamin D. 3. Perlu dilakukan penelitian lebih

lanjut agar hasil penelitian pada hewan ini dapat diaplikasikan kepada manusia.

DAFTAR PUSTAKA

Arsana, P.M., 2002, Kursus dasar

Metabolisme kalsium dan

Penyakit Tulang, PB

PERKENI Universitas Brawijaya, Malang.

Cumming, R.G. and M.C. Nevitt, 1997, Calcium Intake and Fractur Risk: Result from the Study of Osteoporotic Fraktures, Am J

Epidemiol. 7:14.

Deluca, 1998, Metabolism of Vitamin D: Current Status, Am J Clin

Nutr, 16:4.

Guyton, A.C. and J.E. Hall, 2000,

Textbook of Medical Fisiology.

WB Sunders Company, Philadelphia.

Harvey, J.A. and M.M. Zobitz, 1998, Dose Dependency of Calcium Absorption: A Comparison of Calcium Carbonate and Calcium Citrate, J Bone Miner

Res,25: 125-133.

Hastono, P.S., 2001, Modul Analisis

Data, FKM UI, Jakarta.

Heldenberg, D. and Tanenbaum, 2002, Effect of Iron on Serum 25- hydroxyvitamin D and 24,25 hydroxyvitamin D Concentration, Am J Clin

(8)

34 Linder, M., 1992, Biokimia Nutrisi dan

Metabolisme, UI Press,

Jakarta.

Medeiros, M.D., 2004, Iron Deficiency Negatifly Affects of energy intake and Bodyweight, J.

Nutr. 13:84-93

New, S.A., 1999, Nutritional Factors

Influencing the Development and Maintenance of Bone Health throughout the Life Cycle. World Congress on

osteoporosis.

Robins, M.D. dan I. Stanley, 1995, Buku

Ajar Patologi II, EGC, Jakarta

Rudijanto, A., 2002, Penyakit

Metabolisme Kalsium,

Makalah Lengkap Kursus

Dasar Metabolisme Kalsium

dan Penyakit Tulang,

PERKENI, Malang.

Suhaimi, H.K., 2003, Osteoporosis Post

Menopouse, Naskah Lengkap

Pertemuan Ilmiah Nasional I Padang, PEROSI

Gambar

Tabel  I.  Rata-rata  kadar  kalsium  serum  sebelum  dan  setelah  intervensi      pada  semua  kelompok intervensi   Kelompok  Kadar Kalsium (mg/dl) (mean ± SD)  Nilai p  n  Sebelum  Sesudah  P1 (kontrol negatif)  8,34 ± 0,39  8,49 ±  0,16  0,193  6  P2
Gambar 1.  Perubahan rata-rata kadar kalsium serum setelah intervensi

Referensi

Dokumen terkait

Puji Syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Kelor

Kemampuan chitosan untuk mengikat besi dapat diketahui dengan cara mengukur kadar ferritin serum dan deposit besi jantung pada tikus putih wistar ( Rattus norvegicus ) jantan model

insoluble Fe (III)-fitat yang akan menyebabkan zat besi dalam bentuk Fe3+ tersebut tidak dapat diserap oleh tubuh (Engle-Stone dkk. Akan tetapi,

Berdasarkan uraian di atas, jelas bahwa latihan fisik maksimal dapat menyebabkan kerusakan pada hati dan vitamin E berpotensi sebagai bahan pelindung hati dari

menit selama 14 hari terhadap kadar kolesterol tikus putih Galur Wistar. 2) Tidak terdapat pengaruh yang signifikan pemberian vitamin E dengan. dosis 1,44 mg/hari selama 14

Pada uji One Way Annova 4 jam setelah pemberian perlakuan didapatkan nilai p=0.003 (Lampiran 18) maka dapat disimpulkan bahwa dalam perlakuan terdapat perbedaan yang

Uji statistik Oneway Anova menunjukkan ada perbedaan yang signifikan terhadap perubahan kenaikan berat badan tikus dengan pemberian kandungan diet kalsium dalam

Hal ini menunjukkan bahwa pemberian vitamin D tidak memiliki peran penting dalam reproduksi pria seperti meningkatkan jumlah sperma, hasil ini tidak sejalan dengan penelitian yg