KABINET YANG PROPORSIONAL DAN REPRESENTATIF
Terpilihnya Soesilo Bambang Yudhoyono dan Muhammad Yusuf Kalla sebagai Presiden dan Wakil Presiden menggantikan Megawati Sukarnoputri dan Hamzah Haz membuka harapan baru. Setidaknya ini akan tercermin dalam susunan kabinet
mendatang. Kabinet yang diharapkan mampu mengusung ide dan gagasan perubahan yang sesungguhnya di negeri ini.
Lantas kabinet macam apa yang paling signifikan layak diharapkan oleh rakyat? Jawabnya adalah kabinet yang proporsional dan representatif. Yaitu kabinet yang proporsional dan representatif bagi kebutuhan rakyat Indonesia sekarang.
Kita tahu, apa yang dibutuhkan rakyat Indonesia sekarang ini sangat sederhana. Hidup makin sejahtera, makin makmur berkeadilan, aman, tenteram, damai. Hidup yang mandiri dan menjadi tuan rumah di negeri sendiri pun sekarang sungguh menjadi harapan rakyat. Pendeknya hidup yang bermartabat dan bermasa depan.
Misalnya, hidup dengan memiliki pekerjaan yang hasilnya mencukupi. Pengangguran yang sekarang jumlahnya puluhan juta dapat dikurangi atau dihapus sama sekali dengan hadirnya lapangan kerja baru di mana-mana. Kalau saja menteri dalam kabinet itu mampu membuat kebijakan yang nantinya dapat membuka
kesempatan kerja baru maka rakyat pasti senang. Tidak seperti sekarang ini, banyak kebijakan ekonomi yang justru menyingkirkan rakyat kecil dari pekerjaannya. Terminal yang tidak boleh dimasuki pengasong, ditutupnya banyak pabrik karena kekurangan modal atau dipersempitnya ruang gerak bagi pedagang kaki lima di banyak kota. Demikian juga kebijakan negara atas masalah pertanian yang
menyebabkan jutaan petani justru tersandera oleh pekerjaannya itu. Hasilnya minus melulu, tetapi mereka terpaksa tetap bertani karena memang tidak ada pekerjaan lain.
Rakyat juga ingin hidup makmur berkeadilan. Maksudnya, kemakmuran rakyat itu harus berbasis keadilan. Dalam kaitan ini sungguh besar harapan rakyat agar korupsi, kolusi dan nepotisme yang menjadi simbol ketidakadilan struktural itu sungguh-sungguh diberantas. Sebab selama ini kemakmuran biasa gagal diraih oleh rakyat, apalagi kemakmuran berkeadilan, karena korupsi, kolusi dan nepotisme makin merajalela di negeri ini.
Rakyat Indonesia melihat, bagaimana selama lima tahun terakhir ini para pemimpin, para elite politik, para elit birokrasi, para elit hukum makin subur makmur sementara rakyat makin melarat. Mereka yang memiliki jejaring birokrasi eksekutif, menempel pada jejaring legislatif dan jejaring yudikatif hampir semua secara terpadu telah melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme yang luar biasa terang benderangnya. Sampai pada tingkat masyarakat pun kemudian penyakit korupsi, kolusi dan
nepotisme ini menular dan menjalar-jalar.
Rakyat juga butuh keamanan, ketenteraman dan kedamaian. Keamanan mikro sampai hari ini makin amburadul. Para penjahat makin berani sampai masuk ke dalam rumah untuk merampok, membunuh, memperkosa. Kejadian ini jika dijumlah, makin hari makin banyak sampai pada angka yang tidak terbayangkan sebelumnya.
Mampukah menteri yang duduk dalam kabinet mendatang menciptakan keamanan mikro sehingga kehidupan pun makin tenteram?
baik. Kedamaian hidup pun belum dapat dimiliki oleh seluruh rakyat. Masih banyak rakyat yang merasa hidupnya sekarang berada di bawah ambang kedamaian.
Sungguh merupakan pekerjaan yang berat untuk mewujudkan itu semua. Apalagi harapan rakyat agar mereka dapat hidup mandiri dan menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Ini merupakan harapan strategis yang secara proporsional dan representatif harus direspon oleh Presiden dan Wakil Presiden dalam memilih nama-nama yang duduk dalam kabinet,. Yaitu mereka yang jelas memiliki semangat sebagai pendukung kemandirian bangsa.
Tanpa mewujudkan secara nyata lewat program dan kebijakan yang diwarnai dan dijiwai oleh kemandirian maka rakyat hanya akan menjadi penonton dan korban perubahan lokal, nasional dan perubahan global yang justru banyak digerakkan oleh aktor global seperti yang sekarang makin terlihat jejaknya. Dengan instrumen hukum dan aturan global mereka yang kuat dalam hal modal dan SDM dapat saja makin mendiktekan, bahkan melakukan intervensi langsung terhadap perubahan lokal dan nasional dengan akibat rakyat makin terjauhkan dari akses penentu dan faktor perubahan itu sendiri.
Sebenarnya rakyat kurang begitu memperhatikan dan kurang begitu
mempertimbangkan bagaimana komposisi kabinet itu. Yang diperhatikan dan minta dipertimbangkan hanyalah soal proporsi dan soal representasi, yang paralel dengan aspirari rakyat. Begitulah agaknya. (Bahan dan tulisan: tof)
Sumber: