• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jurnal Perkembangan Pendidikan Kewarganegaraan Dan Sejarahnya Di Indonesia | Makalah Dan Jurnal Gratis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Jurnal Perkembangan Pendidikan Kewarganegaraan Dan Sejarahnya Di Indonesia | Makalah Dan Jurnal Gratis"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

PERKEMBANGAN PENDIDIKAN

KEWARGANEGARAAN DAN

SEJARAHNYA DI INDONESIA

Dasim Budimansyah

*)

ABSTRACT

In accordance with the historical development of citizenship education in the world, it can be traced that major identities which human beings can experience in their capacities as socio-political creatures were found in the feudal, monarchical, tyrannical, national and citizenship systems respectively. Each of them was rooted in a basic relationship and involves the individual in having the status, a feeling about the relationship, and competence to behave appropriately in that context. Different from the three above, the national and citizenship system shows that people identify themselves with the nation and it means that they are recognizing their status as members of a cultural group, whatever the given definition. The civic identity is preserved in the rights warranted by the state and the duties performed by the citizens individually, who are all autonomous people, equal in status. Meanwhile, the history of citizenship education in Indonesia has been started legally by the emergence of Civics subject in 1962. This subject contains the material about Indonesia governmental system based on UUD 1945, the learning experience selected from history, geography, economics and politic disciplines, speeches of the first Indonesia president, Soekarno, human rights declaration and knowledge about United Nations. In its later development, this subject experiences some changes, either its terminology or vision and mission, so that it creates an images that there is an inconsistence of citizenship education in Indonesia. In this context, Indonesian people still have to learn much from other nations, such as United State of America in order to be able to formulate the consensus about vision, mission and program of the more coherent and consistent citizenship education.

Key words: citizenship, civics, citizenship education, and history of civic education in Indonesia.

(2)

Pengantar

Tampaknya tidak ada satu pun makhluk ciptaan Tuhan di muka bumi ini, selain manusia, yang memiliki identitas sangat lengkap. Selain sebagai insan Tuhan, manusia juga adalah insan sosial dan insan politik. Sebagai insan Tuhan, manusia adalah khalifah di muka bumi yang memiliki kewajiban untuk beribadah kepada Tuhan dan senantiasa memelihara dan memakmurkan bumi beserta isinya. Sebagai makhluk sosial, manusia adalah individu yang selalu berkawan dan bekerja sama dengan sesamanya dalam upaya mempertahankan kelangsungan hidupnya. Sebagai insan politik, manusia adalah warga negara, yakni anggota suatu komunitas politik. Sebagaimana ditegaskan oleh M.S. Branson (1998) bahwa anggota suatu komunitas politik adalah warga negara, karena kewarganegaraan dalam demokrasi adalah keanggotaan dalam lembaga politik. Keanggotaan di sini mengandung makna partisipasi, tapi bukan sekedar partisipasi semata. Partisipasi warga negara dalam masyarakat demokratis harus didasarkan pada pengetahuan, refleksi kritis dan pemahaman, serta penerimaan akan hak-hak dan tanggung jawab.

Di lain pihak, sebagaimana yang selama ini dipahami, bahwa ethos

demokrasi sesungguhnya tidaklah diwariskan, tetapi dipelajari dan dialami. Hal itu ditegaskan oleh Alexis de Toqueville bahwa setiap generasi adalah masyarakat baru yang harus memperoleh pengetahuan, mempelajari keahlian, dan mengembangkan karakter – baik watak publik maupun privat – yang sejalan dengan demokrasi konstitusional. Sikap mental ini harus dipelihara dan dipupuk melalui perkataan dan pengajaran serta kekuatan keteladanan. Demokrasi bukanlah “mesin yang akan berfungsi dengan sendirinya”, tetapi harus selalu secara sadar direproduksi dari satu generasi ke generasi berikutnya (dalam Branson, 1998:2). Oleh karena itu pendidikan kewarganegaraan seharusnya menjadi perhatian utama, karena tidak ada tugas yang lebih penting selain dari pengembangan warga negara yang bertanggung jawab, efektif dan terdidik. Demokrasi dipelihara oleh warga negara yang mempunyai pengetahuan, kemampuan dan karakter yang dibutuhkan. Tanpa adanya komitmen yang benar dari warga negara terhadap nilai dan prinsip fundamental demokrasi, maka masyarakat yang terbuka dan bebas tak mungkin terwujud.

(3)

dwikarya dalam sejarah kewarganegaraan di zaman Yunani dan Romawi; dan (3) Peter Riesenberg dengan teori utamanya yang menegaskan ada dua fase dalam sejarah kewarganegaraan, dengan satu periode transisi kira-kira seratus tahun di akhir abad ke-18.

Mengenai perkembangan pendidikan kewarganegaraan akan diuraikan pengalaman Amerika Serikat, sebuah negara yang secara historis-epistemologis dapat dicatat sebagai negara perintis kegiatan akademis dan kurikuler dalam pengembangan konsep dan paradigma citizenship education. Uraian diakhiri oleh perkembangan pendidikan kewarganehgaraan di Indonesia, sejak secara material tercantum dalam Kurikulum SMP (Sekolah Menengah Pertama) dan SMA (Sekolah Menengah Atas) tahun 1957 terdapat mata pelajaran tata negara dan tata hukum yang di dalamnya dibahas konsep kewarganegaraan, khususnya mengenai status legal warga negara dan syarat-syarat kewarganegaraan, serta secara formal munculnya mata pelajaran civics dalam kurikulum SMA tahun 1962.

Identitas Manusia sebagai Makhluk Sosial-Politik

Kewarganegaraan (citizenship) adalah bentuk identitas sosial-politik. Meskipun hanya merupakan salah satu dari beberapa bentuk identitas sosial-politik, kewarganegaraan memiliki tingkat keselarasan yang teruji di berbagai waktu selama two-and-three-quarter millennia (dua dan tiga perempat milenium) sepanjang riwayatnya hingga sekarang. Ada kalanya kewarganegaraan berjalan selaras dengan bentuk identitas sosial-politik lainnya, tetapi terkadang bertentangan satu sama lain. Kadangkala menjadi bentuk identitas yang menonjol, tetapi tidak menutup kemungkinan lebih rendah dari bentuk lainnya. Kadang-kadang berbeda dari yang lainnya, tetapi terkadang dianggap sebagai salah satu bentuk identitas sosial-politik (Heater, 2004:1).

Kita dapat membedakan lima bentuk identitas utama yang mungkin dialami oleh setiap orang dalam kapasitasnya sebagai makhluk sosial-politik. Kelima bentuk identitas utama tersebut ada pada sistem feodal, kerajaan,

tirani, nasional, dan kewarganegaraan secara berurutan (Heater, 2004:1). Masing-masing sistem berakar pada satu hubungan dasar dan melibatkan individu yang memiliki kedudukan dan pandangan mengenai pemahaman tersebut, serta kemampuan untuk berperilaku sebaik-baiknya dalam konteks itu. Selain dari keinginan dan wewenang untuk mengusulkan sistem yang berlaku bagi semua bentuk identitas ini, kita dapat melihat perbedaan-perbedaan penting di antara sistem-sistem tersebut.

(4)

pelayanan olehnya (budak atau anak buah) dari bawah dan perlindungan olehnya (raja) dari atas, yang merupakan satu pola piramida yang sederhana. Oleh karena itu, wewenang yang diperlukan dalam hal ini bergantung pada lingkungan hidup orang tersebut.

Di dalam “sistem kerajaan”, raja sebagai penguasa tunggal memiliki

kedudukan atas warganya, sehingga dia dikultuskan dalam

pemerintahannya. Rakyatnya diharapkan menunjukkan semangat kesetiaan terhadap Raja atau orang kerajaan yang dianggap sebagai lambang negara. Kesanggupan yang diharapkan dari warga, paling tidak, adalah kepatuhan bersifat pasif karena hal itulah yang dibutuhkan pada dasarnya.

“Sistem tirani”, yang oleh kita ditujukan untuk semua bentuk pemerintahan yang otoriter termasuk kediktatoran dan totaliterisme, adalah penjelasan menyimpang tentang pemerintahan dalam satu tangan. Dalam hal ini, kedudukan orang jauh lebih rendah karena diakibatkan dari tujuan yang kuat akan dukungan terhadap rezim diktator. Pandangan politiknya adalah pendapat yang dihidupkan oleh seorang diktator tersebut, dan satu-satunya kemampuan yang dibutuhkan adalah kemampuan untuk terlibat dalam pengerahan dukungan terhadap sang diktator tersebut.

Sementara itu “sistem nasional” berkenaan dengan harapan bahwa rakyat akan setia pada negara-bangsa, dalam artian bahwa mereka mengakui kedudukan mereka sebagai anggota dari satu kelompok budaya (apapun definisinya). Pandangan yang berhubungan dengan bentuk identitas ini berkenaan dengan cinta tanah air dan kesadaran akan tradisi bangsa. Oleh sebab itu, kebijakan tentang apa yang telah dilakukan dan masih dilakukan agar negara dan bangsa itu “maju” adalah bentuk wewenang yang diharapkan dari sistem ini.

Akhirnya kita sampai pada topik “sistem kewarganegaraan”, dalam hal ini mendefinisikan hubungan individu bukan dengan individu lain (seperti halnya yang terjadi pada sistem feodal, kerajaan, dan tirani) atau dengan satu kelompok (seperti halnya dengan sistem kebangsaan), tetapi pada dasarnya menunjukkan hubungan antara individu dengan gagasan mengenai negara. Identitas kewarganegaraan dilindungi dalam bentuk hak-hak yang dijamin oleh negara dan kewajiban yang dilaksanakan oleh warga negara secara individu, yang semuanya merupakan orang-orang mandiri, tidak membedakan mereka satu sama lain. Warga negara yang baik adalah warga negara yang menjunjung tinggi kesetiaan pada negara dan memiliki rasa tanggung jawab dalam melaksanakan kewajibannya. Maka dari itu mereka, dalam hal ini warga negara, memerlukan kecakapan yang sesuai dengan keterlibatan mereka sebagai warga negara.

(5)

patuh dari ketiga sistem yang berbeda ini nampaknya akan membuat ketiga sistem tersebut bertentangan dengan kewarganegaraan yang sebenarnya. Dalam hal sistem feodalisme, sebenarnya kewarganegaraan dapat ditafsirkan sebagai emansipasi dari status yang terikat. Meskipun demikian, kewarganegaraan dalam bentuknya — kemungkinan dalam bentuk yang lemah atau cacat — dihubungkan dengan sistem pemerintahan, baik kerajaan maupun tirani.

Tabel 1

Perbedaan-perbedaan antar Identitas Sosial-Politik

Sistem Bidang Individu Konsep

Feodal Berbasis

hubungan Ikatan timbal-balik

Kerajaan Kesetiaan

Tirani Pusat sistem Agama/ideologi

Nasional Wilayah negara Idealisasi

Kewarganegaraan Hak dan kewajiban padanegara

Identitas yang terutama sangat berkaitan dengan negara adalah faham kebangsaan. Sesungguhnya, kira-kira dari tahun 1800 sampai 2000 secara praksisnya bentuk-bentuk identitas tersebut digabungkan menjadi satu gagasan yang menjadi pegangan bahwa warga negara dan bangsa harus

coterminousatau bersifat mencakup segala kalangan (Heater, 2004:3). Cara lain dalam menginterpretasikan perbedaan-perbedaan yang baru saja diuraikan adalah dengan memperhatikan pola-pola yang dapat dibentuk dengan melekatkan rasa cinta pada orang, rasa cinta pada tanah air dan rasa cinta pada satu konsep abstrak (lihat tabel 1 di atas).

Pola-pola Sejarah Kewarganegaraan di Dunia

Tingkat-tingkat generalisasi yang tinggi ini tidak memungkinkan untuk memberi kesan bahwa semuanya bersifat sesederhana itu. Kewarganegaraan tentu saja tidak sesederhana dalam teori dan prakteknya. Tentu saja, usaha-usaha untuk menerangkan bentuk identitas ini telah menghasilkan banyak pola yang berbeda, baik dalam isinya maupun perkembangan sejarahnya. Satu survei singkat dari beberapa interpretasi sejarah ini akan menunjukkan bagaimana tiap interpretasi yang ada menjelaskan apa yang menjadi pokok persoalan kita.

Beberapa sarjana telah membedakan pola-pola sejarah

(6)

politik (misalnya hak suara); dan hak sosial (misalnya keadaan sejahtera), yang dinyatakan berkembang secara historis pada urutan itu. Rincian dari analisis itu telah menjadi sasaran kritikan, terutama karena mengambil data hanya dari pengalaman tokoh-tokoh kebangsaan Inggris. Meskipun menggunakan syarat-syarat tertentu sesudahnya untuk meninjau maksud ceramah-ceramah T.H. Marshal & T. Bottomore yang terbatas dengan cara yang lebih luas, gagasan utama dari isi hak-hak kewarganegaraan tripartit

tetaplah dapat digunakan (Marshall & Bottomore, 1992).

Beberapa dekade yang lalu, J.G.A. Pocock (1995) mengajukan hipotesis tentang dwikarya dalam sejarah kewarganegaraan di zaman Yunani dan Romawi. Bagi orang-orang Yunani, Aristoteles yang terkenal itu menganggap warga negara bersifat alamiah. Maksudnya, manusia adalah

zoon politiconatau makhluk politik. Bagi orang-orang Romawi, sebaliknya, manusia adalah entitas hukum. Maksudnya, sebagai warga negara dia memiliki kaitan hukum dengan negara. Seperti yang dijabarkan oleh J.G.A. Pocock berikut ini:

Kemajuan yurisprudensi mengubah konsep “warga negara” dari zoon politicon

menjadilegalis homo,dan daricivisataupolites[masing-masing dalam bahasa Latin dan Yunani untuk sebutan “warga negara”] menjadibourgeoisatauburger. Lebih lanjut muncul semacam penyamaan istilahcitizen dengansubject (yang keduanya memiliki arti “warga negara”), karena dalam menetapkannya sebagai anggota masyarakat yang sama di mata hukum, penyamaan itu menegaskan bahwa dia adalah, dalam artian yang lebih dari satu, subjek dari undang-undang yang menegaskan persamaannya dan dari para penguasa dan hakim yang diberi wewenang untuk menegakkan undang-undang tersebut (Pocock, 1995:38).

Peter Riesenberg, dalam karyanya yang berjudul Citizenship in the Western Tradition: Plato to Rousseau(1992), memberikan dua pola untuk kepentingan pembaca, yang sangat berbeda dari karya J.G.A. Pocock. Teori utamanya adalah bahwa ada dua fase dalam sejarah kewarganegaraan, dengan satu periode transisi kira-kira seratus tahun di akhir abad ke-18. Menurut Peter Riesenberg, “kewarganegaraan pertama” bercirikan kepada:

[...] dunia yang mendalam (masyarakat skala kecil) dan kekuatan-kekuatan yang menjaga kesatuannya […] jika sebagian besar orang sadar secara historis dan moral tinggal dalam komunitas-komunitas seperti itu dan memiliki gagasan-gagasan yang sangat serupa tentang apa yang harus dilakukan warga negara yang baik dan bagaimana mengembangkannya, dari generasi ke generasi (Reisenberg, 1992:xv).

(7)

sebagai komitmen terhadap cita-cita yang berkembang atau menyusut, atau, seperti yang dia menyatakannya, sebagai:

[...] rangkaian “momen-momen penting” yang diikuti oleh kemunduran: masa pemerintahan Solon, awal terbentuknya Republik Romawi, masa-masa awal komunal abad pertengahan, mungkin bahkan masa-masa kelahiran Republik Amerika. Pada masa-masa seperti itu, kewarganegaraan benar-benar dapat berjalan (Reisenberg, 1992:xxiii).

Meskipun Peter Reisenberg mengusahakan pola kewarganegaraan pertama dan kewarganegaraan yang kedua, sebagian besar peneliti lainnya yang mengamati pokok persoalan tersebut memperlihatkan dualitas yang agak berbeda, yaitu perbedaan antara apa yang diistilahkan dengan civic republican (istilah untuk kewarganegaraan berdasarkan pemerintahan republik) dan tradisi “liberal”. Jenis pemikiran civic republican (penganut faham humanis zaman Yunani dan Romawi) tentang kewarganegaraan telah menguraikan bahwa bentuk paling baik untuk satu negara adalah berdasarkan dua faham. Pertama, penduduk yang terdiri atas orang-orang yang berakhlak secara politik dan cara pemerintahan yang adil — dalam hal ini negara harus berbentuk “republik” dalam hal jalannya pemerintahan secara konstitusional, bukan jalannya pemerintahan secara sewenang-wenang, dan bukan pula pemerintahan yang dijalankan secara tirani.Kedua, elemen perilaku kewarganegaraan yang baik dan bentuk negara republik sangat diperlukan sehingga muncul istilah civic republican. Sekumpulan masyarakat terbuka tidak mungkin berada dibawah pemerintahan tirani; pemerintahan “republik” tidaklah mungkin tanpa dukungan dan partisipasi aktif dari warga negaranya. Maka dari itu, kewarganegaraan melibatkan terutama tugas dan nilai kewarganegaraan (Heater, 2004:5).

Sebagai alternatif, yakni pandangan liberal, berkembang di abad ke-17 hingga abad ke-18, dan menjadi benar-benar semakin kuat di abad ke-19 hingga abad ke-20. Jenis pemikiran ini menyatakan bahwa negara ada untuk kepentingan warga negaranya, dan memang memiliki kewajiban untuk menjamin agar mereka memiliki dan memperoleh hak-hak khusus. Apabila kita menggunakan tritunggal bentuk kewarganegaraan yang diusung oleh T.H. Marshall & T. Bottomore (1992), harus kita perhatikan bahwa jika yang dimaksudkan oleh para penulis dan politikus abad ke-18 dan ke-19 adalah hak-hak, maka yang mereka maksud adalah hak-hak sipil dan politik, meskipun hak-hak sosial muncul pertama secara tentatif dalam Revolusi Prancis.

Pendidikan Kewarganegaraan: Konteks Amerika Serikat

(8)

dalam masyarakat demokratis. Banyak sekali bukti yang menunjukkan bahwa tak satupun negara, termasuk Indonesia, telah mencapai tingkat pemahaman dan penerimaan terhadap hak-hak dan tanggung jawab di antara keseluruhan warga negara untuk menyokong kehidupan demokrasi konstitusional. Untuk maksud itu dikembangkanlah citizenship education

atau pendidikan kewarganegaraan.

Secara historis-epistemologis, Amerika Serikat dapat dicatat sebagai negara perintis kegiatan akademis dan kurikuler dalam pengembangan konsep dan paradigma citizenship education. Untuk pertama kalinya, yakni pada pertengahan tahun 1880-an, di Amerika Serikat mulai diperkenalkan mata pelajaranCivicssebagai mata pelajaran di sekolah yang berisikan materi mengenai pemerintahan (Kerr, 1999b). Seorang ahli bernama Chresore (1886), pada waktu itu mengartikan Civics sebagai the science of citizenship atau ilmu kewarganegaraan, yang isinya mempelajari hubungan antar individu dan antara individu dengan negara. Selanjutnya pada tahun 1900-an, berkembang mata pelajaran Civics yang diisi dengan materi mengenai struktur pemerintahan negara bagian dan federal. Berikutnya, Dunn (1915) mengembangkan gagasan New Civics yang menitikberatkan pada community living atau kehidupan masyarakat. Dengan demikian, sampai tahun 1920-an istilah Civicstelah digunakan untuk menunjukkan bidang pengajaran yang lebih khusus, yakni

vocational civics, community civics dan economic civics atau

kewarganegaraan yang berkenaan dengan mata pencaharian,

kemasyarakatan dan perkenomian. Di antara tujuan dari mata pelajaran

Civics pada tahun 1900-an itu adalah pengembangan social skills and civic competence atau keterampilan sosial dan kompetensi waganegara, serta ideas of good character atau ide-ide tentang karakter atau watak yang baik (Hahn, 1998; Bahmueller & Patrick, 1999; dan Kerr, 1999a).

Selain istilahCivics, pada tahun 1900-an juga mulai diperkenalkan istilah Citizenship Education, yang digunakan untuk menunjukkan suatu bentukcharacter education(pendidikan watak atau karakter), serta

teaching personal ethics and virtues(pendidikan etika dan kebajikan). Lebih jauh S.E. Dimond (1953) mengelaborasi pandangannya mengenai

citizenship, yang menurut pendapatnya konsep itu merupakan suatu pengertian yang mempunyai dua makna. Di satu pihak ide itu berkenaan dengan peran dan fungsi warga negara dalam kegiatan politik; dan di lain pihak hal itu berkenaan dengan apa yang disebut dengan

desirable personal qualities atau kualitas pribadi yang didambakan dari warga negara, sebagaimana dicerminkan dalam kegiatannya sehari-hari. Selanjutnya R.E. Gross & J.E. Zeleny (1958) mengaitkan penggunaan istilahCivicsdanCitizenship Educationitu sebagai berikut:

(9)

berkenaan dengan keterlibatan dan partisipasi warga negara dalam masyarakat. Kedua aspek ini biasanya diajarkan dalam satu mata pelajaran. Di situ kita melihat penggunaan istilah Civics dan Citizenship Education secara bertukar-pakai (interchangeably), untuk menunjukkan suatu studi mengenai pemerintahan yang diberikan di sekolah (Gross & Zeleny, 1958).

Masih pada tahun 1900-an, muncul istilah civic education sebagai istilah baru, yang juga digunakan secara bertukar-pakai dengan istilah

citizenship education. Menurut Mahoney (dalam Somantri, 1972:8) bahwa civic education itu merupakan suatu proses pendidikan yang mencakup proses pembelajaran semua mata pelajaran, kegiatan siswa, proses administrasi, dan pembinaan dalam upaya mengembangkan perilaku warga negara yang baik. Di lain pihak, J. Allen (1960:11) melihat

citizenship education itu lebih luas lagi, yakni sebagai produk dari keseluruhan program pendidikan persekolahan, dimana mata pelajaran civics merupakan unsur yang paling utama dalam upaya mengembangkan warga negara yang baik. Sejalan dengan pendapat tersebut

The National Council for the Social Studies (NCSS) menekankan bahwa

citizenship education sesungguhnya mencakup “all positive influence coming from formal and informal education” atau segala macam dampak yang datang baik dari pendidikan formal maupun informal (NCSS, 1972:9).

Dari uraian tersebut tampak bahwa istilah civics dan civic education

ternyata lebih cenderung digunakan dalam makna yang serupa untuk mata pelajaran di sekolah yang memiliki tujuan utama mengembangkan siswa sebagai warga negara yang cerdas dan baik (Chreshore, 1886; Allen, 1960; dan Somantri, 1972). Adapun citizenship education lebih cenderung digunakan dalam visi yang lebih luas untuk me nunjukkan in structional effects

dan nurtu rant effects dari keseluruhan proses pendi dikan terhada p pembentukan karakter individu sebagai warga ne gara yang cerdas dan baik (D imon, 1953; Gross & Zeleny, 19 58; Al len, 1960;NC SS, 1972; Somantri, 1972; Cogan & Derricott, 1998).

Sementara itu menurut J.J. Cogan (1999:3) bahwa perkembangan pemikiran lebih maju mengenai civic education dapat ditelusur balik ke perkembangannya di Amerika Serikat pada tahun 1916, pada saat manaThe National Education Association membentuk The Commission on the Reorganization of Secondary Education yang mendapat tugas untuk mengkaji secara komprehensif kurikulum sekolah lanjutan dan memberikan rekomendasi untuk menyempurnakan kurikulum tersebut. Salah satu kelompok kajian yang dibentuk, yakni The Civics Study Group, mengkaji bagaimana kekuatan dan kelemahan civicsyang sebelum tahun 1916 diajarkan melalui kurikulum sejarah, yang pada era itu memang disiplin sejarah menjadi komponen utamasocial studies.

Kelompok kajian tersebut mengemukakan dua rekomendasi perubahan yang oleh J.J. Cogan (1999:3) dikemukakan pokok-pokoknya sebagai berikut.

(10)

pelajaran baru untuk kelas sembilan, yang berfungsi sebagai bekal bagi siswa yang memasuki dunia kerja setelah kelas sembilan (sama dengan Kelas III SMP di Indonesia). Kedua,di kelas 12, sebagai kelas akhir di High School, diusulkan adanya mata pelajaran mengenai Problems of Democracy. Kedua mata pelajaran itu dirancang untuk menyiapkan para pemuda melalui pengembangan keterampilan yang sungguh diperlukan untuk mengkaji civic problems atau masalah-masalah kewarganegaraan dan isu-isu yang berkembang, sebagai upaya untuk memenuhi pelaksanaan peran dan tanggung jawabnya sebagai warga negara yang hidup dalam masyarakat yang demokratis. Tujuan utama dari mata pelajaran tersebut adalah “to develop participatory citizenship

(mengembangkan warga negara yang partisipatif), sekalipun dalam prakteknya tujuan tersebut ternyata tidak dapat dicapai sepenuhnya. Yang tampak hanyalah pengetahuan tentang isi yang masih tetap bersifat problematik (Cogan, 1999).

Menyimak perkembangan pemikiran tentangcivicsdancivics education

itu, Udin S. Winataputra – atas dasar kajiannya secara teoritik – merumuskan pengertiancivicsdancivics/citizenship educationsebagai berikut:

a. Civics is the study of government taught in the schools. It is an area of learning dealing with how democratic government has been and should be carried out, and how the citizen should carry out his-duties and rights purposefully with full responsibility.

b. Civic/Citizenship education can be defined in two ways. Firstly, in the first sense, Civic Education is an area of learning, primarily intended to develop knowledge, attitudes, and skills so the students become “good” citizens, with learning experiences carefully selected and organised around the basic concepts of political science. Secondly, in another sense, Civic Education is a by-product of variety of areas of learning undertaken in and out-of formal school settings as well as a by-product of a complex network of human interactions in daily activities concerned with the development of civic responsibility (Winataputra, 1978).

Dalam hal ini Udin S. Winataputra melihatcivicsatau kewarganegaraan sebagai suatu studi tentang pemerintahan yang dilaksanakan di sekolah, yang merupakan mata pelajaran tentang bagaimana pemerintahan demokrasi dilaksanakan dan dikembangkan, serta bagaimana warga negara seyogyanya melaksanakan hak dan kewajibannya secara sadar dan penuh rasa tanggung jawab. Adapun civic education/citizenship education merupakan program pembelajaran yang memiliki tujuan utama mengembangkan pengetahuan, sikap dan keterampilan sehingga siswa menjadi warga negara yang baik, melalui pengalaman belajar yang dipilih dan diorganisasikan atas dasar konsep-konsep ilmu politik. Dalam pengertian lain, civic education juga dinilai sebagai

(11)

sebagai kajian akademis yang bersifat impersonal; sedangkan civic education/citizendhip education dilihat sebagai program pendidikan yang bersifat personal-pedagogis. Di dalam praktek, civics

jelas merupakan konten utama dari civic education. Atau secara metaporis, civics dapat dianggap sebagai muatannya; sedangkan civic educationsebagai wahana atau kendaraannya.

Sementara itu J.J. Cogan (1999) mencoba menjernihkan dan sekaligus mempertegas pengertian civic educationversuscitizenship education

yang sebelumnya, baik oleh Muhammad Numan Somantri (1972) maupun Udin S. Winataputra (1978), dianggap sama. Civic Education, bagi J.J. Cogan (1999:4) adalah “reffers generally to the kinds of course work taking place within the context of the formalized schooling structure”, seperti mata pelajaran Civics di kelas 9 dan Problems of Democracy di kelas 12. Dalam posisi ini, civic education diperlakukan sebagai “the foundational course work in school designed to prepare young citizens for an active role in their communities in their adult lives”. Maksudnya adalah bahwa civic education ini merupakan mata pelajaran dasar yang dirancang untuk mempersiapkan para pemuda warga negara untuk dapat melakukan peran aktif dalam masyarakat kelak setelah mereka dewasa. Adapuncitizenship educationataueducation for citizenshipdipandang sebagai istilah generik yang mencakup pengalaman belajar di sekolah dan di luar sekolah, seperti yang terjadi di lingkungan keluarga, dalam organisasi keagamaan, dalam organisasi kemasyarakatan, dan dalam media. Oleh karena itu J.J. Cogan (1999:5) berkesimpulan bahwa “education for citizenship is the larger overarching concept here while civic education is but one part, albeit a very important part, of one's development as citizen”. Dengan kata lain, citizenship education atau education for citizenship itu merupakan suatu konsep yang lebih luas dimana civic educationtermasuk bagian penting di dalamnya.

Perkembangan Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia

Perkembangan pendidikan kewarganegaraan di Indonesia mulai dari secara formal munculnya mata pelajaran civics dalam kurikulum SMA (Sekolah Menengah Atas) tahun 1962. Mata pelajaran ini berisikan materi tentang pemerintahan Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 (Dept. P&K, 1962). Pada saat itu, kewarganegaraan pada dasarnya berisikan pengalaman belajar yang digali dan dipilih dari disiplin ilmu sejarah, geografi, ekonomi dan politik, serta pidato-pidato Presiden Soekarno, deklarasi Hak Asasi Manusia, dan pengetahuan tentang Perserikatan Bangsa-bangsa (Somantri, 1969:7).

(12)

dalamnya dibahas konsep kewarganegaraan, khususnya mengenai status legal warga negara dan syarat-syarat kewarganegaraan (Somantri, 2001). Adapun dalam Kurikulum 1946 terdapat mata pelajaran “Pengetahuan

Umum” yang di dalamnya memasukkan pengetahuan mengenai

pemerintahan.

Di dalam kurikulum tahun 1968 dan 1969, istilahcivicsdanpendidikan kewargaan negara digunakan secara bertukar-pakai. Misalnya dalam Kurikulum SD (Sekolah Dasar) tahun 1968 digunakan istilah “pendidikan kewargaan negara” yang digunakan sebagai nama mata pelajaran, yang di dalamnya tercakup sejarah Indonesia, geografi Indonesia, dan civics (yang diterjemahkan sebagai “pengetahuan kewargaan negara”). Di dalam Kurikulum SMP 1968 digunakan istilah “pendidikan kewargaan negara” yang berisikan sejarah Indonesia dan Konstitusi, termasuk UUD (Undang-Undang Dasar) tahun 1945. Sedangkan di dalam Kurikulum SMA 1968, mata pelajaran “kewargaan negara” berisikan materi terutama yang berkenaan dengan UUD 1945. Sementara itu di dalam Kurikulum SPG (Sekolah Pendidikan Guru) tahun 1969, mata pelajaran “pendidikan kewargaan negara” terutama berkenaan dengan sejarah Indonesia, konstitusi, pengetahuan kemasyarakatan dan Hak Asasi Manusia (Dept. P&K, 1968a; 1968b; 1968c; dan 1969).

Di dalam kurikulum Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP) digunakan beberapa istilah, yakniPendidikan Kewargaan Negara, Studi Sosial, sertaCivics dan Hukum. Untuk SD 8 tahun pada PPSP digunakan istilah “Pendidikan Kewargaan Negara” yang merupakan mata pelajaran IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial) terpadu atau identik dengan integrated social studies di Amerika Serikat. Di sini istilah “pendidikan kewargaan negara” kelihatannya diartikan sama dengan pendidikan IPS. Di Sekolah Menengah 4 tahun PPSP digunakan istilah studi sosial

sebagai pengajaran IPS yang terpadu untuk semua kelas dan pengajaran IPS yang terpisah-pisah dalam bentuk pengajaran geografi, sejarah, dan ekonomi sebagai program major pada jurusan IPS. Selain itu juga terdapat mata pelajaran “Pendidikan Kewargaan Negara” sebagai mata pelajaran inti yang harus ditempuh oleh semua siswa, sedangkan mata pelajaran “Civics

dan Hukum” diberikan sebagai mata pelajaran mayor pada Jurusan IPS (PPSP IKIP Bandung, 1973a dan 1973b).

(13)

penyempurnaan dari Kurikulum 1975 (Depdikbud, 1975a, 1975b, 1975c, dan 1976).

Dengan berlakunya Undang-Undang No.2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menggariskan adanya Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan sebagai bahan kajian wajib kurikulum di semua jalur, jenis dan jenjang pendidikan (pasal 39), Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah tahun 1994 mengakomodasikan misi baru pendidikan tersebut dengan memperkenalkan mata pelajaran “Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan” (PPKn).

Berbeda dengan kurikulum sebelumnya, Kurikulum PPKn 1994 mengorganisasikan materi pembelajarannya bukan atas dasar rumusan butir-butir nilai P4, tetapi atas dasar konsep nilai yang disaripatikan dari P4 dan sumber resmi lainnya yang ditata dengan menggunakan pendekatan spiral meluas atau spiral of concept development (Taba, 1967). Pendekatan ini mengartikulasikan sila-sila Pancasila dengan jabaran nilainya untuk setiap jenjang pendidikan dan kelas, serta catur wulan dalam setiap kelas. Sementara itu menurut Kurikulum tahun 1994, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) diartikan sebagai:

[...] mata pelajaran yang digunakan sebagai wahana untuk mengembangkan dan melestarikan nilai luhur dan moral yang berakar pada budaya bangsa Indonesia. Nilai luhur dan moral tersebut diharapkan dapat diwujudkan dalam bentuk perilaku kehidupan sehari-hari siswa, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat dan makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa (Depdiknas, 1993).

Dari pengertian ini dapat ditangkap dengan jelas bahwa mata pelajaran PPKn termasuk kategori ke dalam social studies tradisi citizenship transmission dengan nilai dan moral yang bersumber dari budaya Indonesia sebagai muatannya, yang pada gilirannya diharapkan akan dapat diwujudkan dalam perilaku sehari-hari dalam kehidupan bermasyarakat. Sebagaimana juga dapat dibaca di dalam tujuannya, lebih jauh dinyatakan bahwa mata pelajaran PPKn di SD bertujuan untuk:

Menanamkan sikap dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari yang didasarkan kepada nilai-nilai Pancasila, baik sebagai pribadi maupun sebagai anggota masyarakat, dan memberikan bekal kemampuan untuk mengikuti pendidikan di SLTP atau Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (Depdiknas, 1993).

Dari rumusan tujuan tersebut tersimpul konsep articulation, dalam pengertian bahwa materi yang diberikan di jenjang pendidikan yang lebih rendah secara sinambung dikembangkan di jenjang pendidikan berikutnya (Tyler, 1975). Selain itu jika dilihat dari fungsinya, mata pelajaran PPKn tersebut memiliki tiga misi besar. Pertama, misiconservation education, yakni mengembangkan dan melestarikan nilai luhur Pancasila. Kedua, misi

(14)

berbudi pekerti luhur. Dan ketiga, misi socio-civic development, yakni membina siswa agar memahami dan menyadari hubungan antar sesama anggota keluarga, sekolah, dan masyarakat, serta dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Ketiga misi tersebut tampak sekali bahwa mata pelajaran PPKn lebih mencerminkan tradisi citizenship transmission yang ditopang oleh filsafat pendidikan perenialism yang menekankan pada pendidikan untuk melestarikan accepted and tested values, dan essentialism yang menekankan pada pengembangan essential values (Brameld, 1965). Misi PPKn tersebut memang diwujudkan dalam bentuk organisasi curriculum content and learning experiences yang berpijak dan bermuara pada jabaran nilai-nilai Pancasila seperti:

[...] kerapihan, kasih sayang, kebanggaan, ketertiban, tolong-menolong, keyakinan, berterus terang, kepuasan hati, keyakinan, tenggang rasa, rela berkorban, ketekunan, keserasian, percaya diri, kebebasan, kedisiplinan, ketaatan, persamaan hak dan kewajiban, keteguhan hati, tata-krama, keindahan, lapang dada, persatuan dan kesatuan, serta kebijaksanaan (Depdiknas, 1993).

Namun demikian di dalam praksis pembelajarannya ternyata misi PPKn untuk pendidikan nilai dan moral tersebut tergelincir menjadi pembelajaran pengetahuan tentang nilai dan moral (Puskur, 1998). Hak ini juga disebabkan oleh proses pembelajaran yang lebih terpusat pada guru dan pendidikan nilai yang lebih terperangkap oleh proses

value inculcation (CICED, 1999). Dari situ dapat disimpulkan bahwa PPKn yang ada selama ini secara konseptual masih belum koheren, dalam pengertian tidak tercapai kesinambungan dan keutuhan antara konsepsi tujuan dengan instrumentasi dan praksis pedagogisnya. Salah satu penyebabnya adalah mungkin karena masih dominan penerapan konsep dan prinsip faculty psychology yang menekankan pada proses latihan memorisasi guna mematangkan potensi fungsi-fungsi dalam pikiran secara terpisah. Sementara itu konsep dan prinsip field psychology yang menekankan pada proses tilikan (insight) yang bersifat holistik, yang akan melahirkan proses belajar yang lebih bermakna (meaningful) seperti proses pemecahan masalah dan inquiry, justru kurang mendapat perhatian (Budimansyah ed., 2006).

(15)

digunakan adalah ceramah dan tanya-jawab. Guru dalam posisi lebih banyak berceramah, sementara siswa mendengarkan, mencatat dan bertanya. Selebihnya, diberi tugas mengerjakan soal-soal yang disebut PR (pekerjaan rumah). Evaluasi yang dilakukan masih menggunakan metode tes klasikal (secara kelas). Di sekolah dasar hingga sekolah menengah, pertanyaan-pertanyaan disusun dalam bentuk tes pilihan ganda dan sebagiannya lagi esei atau tes bentuk uraian. Untuk menjawab soal-soal tersebut, peserta didik belajar dengan jalan menghafal materi pelajaran yang telah disampaikan guru di kelas. Untuk menghafal materi tersebut, tak jarang malam sebelum ujian peserta didik kurang tidur untuk mempersiapkan diri mengikuti ujian. Dengan jalan menghafal, maka peserta didik dapat lebih berpeluang mendapatkan nilai yang tinggi. Buku-buku yang dibeli dan dikumpulkan siswa banyak yang merupakan kumpulan soal-soal. Banyak buku-buku kumpulan soal yang dipelajari oleh peserta didik. Karena itu, tak heran jika berkembang lembaga bimbingan belajar di berbagai kota. Lembaga tersebut melatih peserta didik menjawab soal-soal (Budimansyah, 2002).

Pola pembelajaran seperti di atas tentu dapat menghasilkan peserta didik yang mampu mengerjakan soal-soal dan menjawab pertanyaan-pertanyaan. Tetapi, pemilikan pengetahuan seperti itu belum mampu mengembangkan kompetensi peserta didik. Akibatnya, banyak lulusan pendidikan tidak memiliki kompetensi. Banyak di antara mereka tidak memiliki kesiapan dan kematangan ketika memasuki lapangan kerja. Mereka tidak memiliki sikap, pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk bekerja. Sekalipun pernah dilakukan upaya perbaikan, misalnya dengan mengeluarkan Garis-garis Besar Program Pengajaran (GBPP) tahun 1999, namun tetap saja bahwa pembelajaran berdasarkan Kurikulum 1994 lebih berorientasi pada kemampuan akademik dan kurang mengembangkan kompetensi peserta didik. Untuk mengatasi keterbatasan Kurikulum 1994, maka dilakukanlah penyempurnaan ke arah kurilulum yang lebih mengutamakan pencapaian kompetensi siswa, yakni suatu desain kurikulum yang dikembangkan berdasarkan seperangkat kompetensi tertentu yang pada mulanya dikenal sebagai Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). KBK diartikan sebagai suatu konsep kurikulum yang menekankan pada kemampuan melakukan tugas-tugas dengan standar performansi tertentu sehingga hasilnya dapat dirasakan oleh peserta didik berupa penguasaan terhadap seperangkat kompetensi tertentu (Mulyasa, 2003).

(16)

pencapaian.Standar kompetensi diartikan sebagai kebulatan pengetahuan, keterampilan dan sikap, serta tingkat penguasaan yang diharapkan dicapai dalam mempelajari suatu mata pelajaran. Cakupan standar kompetensi meliputi standar isi (content standard) dan standar penampilan (performance standard). Sedangkan kompetensi dasar, yang merupakan jabaran dari standar kompetensi, adalah pengetahuan, keterampilan dan sikap minimal yang harus dikuasai dan dapat diperagakan oleh siswa pada masing-masing standar kompetensi. Materi pokok, atau materi pembelajaran, yaitu pokok suatu bahan kajian yang dapat berupa bidang ajar, isi, proses, keterampilan, serta konteks keilmuan suatu mata pelajaran. Adapun indikator pencapaianadalah kemampuan-kemampuan yang lebih spesifik yang dapat dijadikan sebagai ukuran untuk menilai ketuntasan belajar (Depdiknas, 2003).

Selanjutnya pengembangan Kurikulum 2004, yang ciri paradigmanya adalah berbasis kompetensi, akan mencakup pengembangan silabus dan sistem penilaian. Silabus merupakan acuan untuk merencanakan dan melaksanakan program pembelajaran, sedangkan sistem penilaian mencakup jenis tagihan, seperti ulangan atau tugas-tugas yang harus dikerjakan oleh peserta didik. Bentuk instrumen terkait dengan jawaban yang harus dilakukan oleh siswa, seperti bentuk pilihan ganda atau soal uraian. Pengembangan Kurikulum 2004 harus berkaitan dengan tuntutan standar kompetensi, organisasi pengalaman belajar, dan aktivitas untuk mengembangkan dan menguasai kompetensi seefektif mungkin. Proses pengembangan kurikulum berbasis kompetensi juga menggunakan asumsi bahwa siswa yang akan belajar telah memiliki pengetahuan dan keterampilan awal yang dibutuhkan untuk menguasai kompetensi tertentu. Oleh karenanya pengembangan Kurikulum 2004 perlu memperhatikan prinsip-prinsip berikut:

1) Berorientasi pada pencapaian hasil dan dampaknya (outcome oriented). 2) Berbasis pada Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar.

3) Bertolak dari Kompetensi Lulusan.

4) Memperhatikan prinsip pengembangan kurikulum yang berdiferensiasi. 5) Mengembangkan aspek belajar secara utuh dan menyeluruh (holistik). 6) Menerapkan prinsip ketuntasan belajar (matery learning) (Depdiknas, 2003).

(17)

2004, BSNP mengembangkan Standar Isi (Peraturan Menteri Nomor 22 Tahun 2006) dan Standar Kompetensi Lulusan (Peraturan Menteri Nomor 23 Tahun 2006). Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan itu merupakan acuan utama bagi satuan pendidikan dalam menyusun KTSP.

Dalam konteks penyusunan Standar Isi dan Standar Kompetensi

Lulusan ini PPKn diubah lagi namanya menjadi Pendidikan

Kewarganegaraan (PKn). Dalam dokumen tersebut ditegaskan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan warga negara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajiban untuk menjadi warga negara Indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945. Mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut:

(1) Berpikir secara kritis, rasional dan kreatif dalam menanggapi isu kewarganegaraan.

(2) Berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, dan bertindak secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta anti-korupsi. (3) Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan

karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa-bangsa lainnya.

(4) Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia secara langsung atau tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi (Budimansyah ed., 2006).

Dalam penyusunan Standar Isi juga dijelaskan tentang ruang lingkup mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang meliputi aspek-aspek sebagai berikut:

(1) Persatuan dan Kesatuan Bangsa, meliputi: Hidup rukun dalam perbedaan, Cinta lingkungan, Kebanggaan sebagai bangsa Indonesia, Sumpah Pemuda, Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Partisipasi dalam pembelaan negara, Sikap positif terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia, Keterbukaan dan jaminan keadilan.

(2) Norma, Hukum dan Peraturan, meliputi: Tertib dalam kehidupan keluarga, Tata-tertib di sekolah, Norma yang berlaku di masyarakat, Peraturan-peraturan daerah, Norma-norma dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, Sistem hukum dan peradilan nasional, Hukum dan peradilan internasional.

(3) Hak Asasi Manusia, meliputi: Hak dan kewajiban anak, Hak dan kewajiban anggota masyarakat, Instrumen nasional dan internasional HAM, serta Pemajuan, penghormatan dan perlindungan HAM.

(4) Kebutuhan Warga Negara, meliputi: Hidup gotong-royong, Harga diri sebagai warga masyarakat, Kebebasan berorganisasi, Kemerdekaan mengeluarkan pendapat, Menghargai keputusan bersama, Prestasi diri, dan Persamaan kedudukan warga negara.

(5) Konstitusi Negara, meliputi: Proklamasi kemerdekaan dan konstitusi yang pertama, Konstitusi-konstitusi yang pernah digunakan di Indonesia, dan Hubungan dasar negara dengan konstitusi.

(18)

pemerintahan, dan Pers dalam masyarakat demokrasi.

(7) Pancasila, meliputi: Kedudukan Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi negara, Proses perumusan Pancasila sebagai dasar negara, Pengamalan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, dan Pancasila sebagai ideologi terbuka.

(8) Globalisasi, meliputi: Globalisasi di lingkungannya, Politik luar negeri Indonesia di era globalisasi, Dampak globalisasi, Hubungan internasional dan organisasi internasional, serta Mengevaluasi globalisasi (Budimansyah ed., 2006).

Penutup

Bila mencermati perkembangan historis dan epistimologis pendidikan kewarganegaraan di Indonesia temyata sampai sejauh ini – baik istilah yang dipakai maupun misi dan isi mata pelajaran seperti Civics, Pengetahuan Kewargaan Negara, Pendidikan Kewargaan Negara, Pendidikan Moral Pancasila, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, dan Pendidikan Kewarganegaraan yang berkembang selama hampir empat dasawarsa, 1962-1998 – menunjukkan terjadinya inkonsistensi pemikiran yang secara mendasar mencerminkan terjadinya krisis konseptual, yang tentunya berdampak pada terjadinya krisis operasional kurikuler. Keadaan ini mirip dengan situasi yang juga pemah dialami oleh Amerika Serikat, dimana

Civics, Civic Education, Citizenship Education, Social Studies atau Social Science Education sejak kelahirannya tahun 1880-an sampai dengan terbitnya dokumen akademis NCSS (1994) mengenaiCurriculum Standards for Social Studies: Expectations of Excellence; dan dokumen akademis

Civitas (1994) mengenai National Standards for Civics and Government. Dalam hal ini, para ilmuwan sosial di Amerika Serikat telah berhasil mengatasi krisis konseptual dan kurikuler tersebut. Setidaknya mereka telah mencapai suatu konsensus akademis dan programatik yang pada gilirannya akan memandu terjadinya proses kurikulum yang lebih koheren.

Bagi Indonesia, konsensus serupa sangatlah penting dan didambakan untuk mendapatkan paradigma yang cocok mengenai pendidikan bidang sosial di sekolah. Namun sampai saat ini rasanya konsensus yang programatik tersebut belum juga tercapai. Sampai dengan saat ini, sesuai dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) tahun 2006, terdapat tiga jenis pendidikan bidang sosial, yakni: (1) Pendidikan Kewarganegaraan yang diwajibkan untuk semua jenis, jalur dan jenjang pendidikan; (2) Ilmu Pengetahuan Sosial sebagai bendera dari kelompok mata pelajaran sosiologi, geografi, sejarah, dan ekonomi pada jenjang pendidikan dasar; dan (3) mata pelajaran sosial yang berdiri sendiri secara terpisah seperti geografi, sejarah, ekonomi, sosiologi, dan antropologi di sekolah menengah.

(19)

paradigma dasar bidang pendidikan sosial di sekolah?; (3) Bilamana bidang pendidikan sosial itu perlu diwadahi oleh lebih dari satu mata pelajaran dan bagaimana menetapkannya?; (4) Jika telah ditetapkan adanya beberapa mata pelajaran sosial di sekolah, bagaimanakah keterkaitan antara satu dengan yang lainnya?; dan (5) Bagaimanakah jati diri dari masing-masing mata pelajaran itu sehingga benar-benar memiliki keunikan yang nantinya harus dapat dilihat pada visi, misi dan strateginya?

Untuk menjawab semua pertanyaan tersebut, tampaknya perlu diadakan pengkajian khusus dan penelitian mendalam terhadap perkembangan pemikiran mengenai pendidikan kewarganegaraan di Indonesia sejak Proklamasi 17 Agustus 1945 sampai dengan sekarang. Hal itu dapat dilihat dari cita-cita, konsep, nilai dan prinsip yang secara konseptual tersurat dan atau tersirat dalam berbagai dokumen resmi, yang memang merupakan pilar-pilar pendidikan nasional Indonesia (Djojonegoro, 1996).

DAFTAR PUSTAKA

Allen, J. (1960). “The Role of Ninth Grade Civics in Citizenship Education” dalam The High School Journal,44(3), hlm.106-111.

Bahmueller, C.F. & J.J. Patrick. (1999).Principles and Practices of Education for Democratic Citizenship: International Perspectives.Bloomington: The ERIC Adjunct Clearinghouse for International Civic education.

Best. (1960). Skill Development in the Social Studies.Washington D.C.: US Department of Education.

Brameld, T. (1965).Education as Power.New York: Holt, Rinehartand and Winston.

Branson, M.S. (1998). “The Role of Civic Education”. A Forthcoming Education Policy Task Force PositionPaperfrom the Communitarian Network.

Budimansyah, Dasim. (2002). Model Pembelajaran dan Penilaian Berbasis Portofolio.

Bandung: PT Genesindo.

Budimansyah, Dasim [ed.]. (2006). Pendidikan Nilai-Moral dalam Dimensi Pendidikan Kewarganegaraan.Bandung: Laboratorium PKn UPI.

Chreshore. (1886). “Education” inThe Citizens and Civics, Vol.VII, hlm.204.

CICED. (1999) Democratic Citizens in a Civil Society: Report of the Conference on Civic Education for Civil Society.Bandung: CICED.

Cogan, J.J. & R. Derricott. (1998). Citizenship for the 21st Century: An International Perspective on Education.London: Kogan Page.

Cogan, J.J. (1999).Developing the Civil Society: The Role of Civic Education.Bandung: CICED. Departemen Pendidikan dan Kebudajaan. (1962).Kurikulum SMA.Djakarta: Depdikbud RI. Departemen Pendidikan dan Kebudajaan. (1968a). Kurikulum Sekolah Dasar. Djakarta:

Depdikbud RI.

Departemen Pendidikan dan Kebudajaan. (1968b). Rentjana Pendidikan SMP. Djakarta: Depdikbud RI.

(20)

Departemen Pendidikan dan Kebudajaan. (1969).Pedoman Kerdja Sekolah Pendidikan Guru.

Djakarta: Depdikbud RI.

Depdikbud [Departemen Pendidikan dan Kebudayaan]. (1975a).Kurikulum Sekolah Menengah Atas 1975: Buku I Ketentuan Pokok.Jakarta: Balai Pustaka.

Depdikbud [Departemen Pendidikan dan Kebudayaan]. (1975b).Kurikulum Sekolah Menengah Atas 1975: Buku II Bidang Studi Pendidikan Moral Pancasila.Jakarta: Balai Pustaka. Depdikbud [Departemen Pendidikan dan Kebudayaan]. (1975c).Kurikulum Sekolah Menengah

Atas 1975: Buku III Pedoman Evaluasi.Jakarta: Balai Pustaka.

Depdikbud [Departemen Pendidikan dan Kebudayaan]. (1976). Konsep dan Strategi Pendidikan Moral Pancasila di Sekolah Menengah.Jakarta: P2LPTK.

Depdiknas [Departemen Pendidikan dan Kebudayaan]. (1993).Kurikulum 1994 Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah.Jakarta: Balai Pustaka.

Dimon, S.E. (1953). Schools and the Developement of Good Citizens.New York: The Free Press. Dunn. (1915).The Political Thought of John Locke.Cambridge: Cambridge University Press. Gross, R.E. & J.E. Zeleny. (1958). Educating Citizens for Democracy. London: Oxford

University Press.

Hahn, C.L. (1998).Becoming Political: Comparative Perspectives on Citizenship Education.

New York: State University of New York Press.

Heater, D. (2004).A Brief History of Citizenship.New York: New York University Press. Kerr, David. (1999a).Citizenship Education: An International Comparrison.England: QCA. Kerr, David. (1999b). Citizenship Education in the Curriculum: An International Review.

England: QCA.

Marshal, T.H. & T. Bottomore. (1992).Citizenship and Social Class.London and Concoer: Pluto Press.

Mulyasa, E. (2003).Kurikulum Berbasis Kompetensi.Bandung: Remaja Rosdakarya.

NCSS. (1972).Curriculum Standards foe Social Studies: Expectation of Excellence.Washington D.C.: NCSS.

Patrick, J.J. & R.S. Leming. (2001).Principles and Pracices of Democracy in the Education of Social Studies Teachers.Bloomington: The ERIC Clearinghouse.

Pocock, J.G.A. (1995). “The Ideal of Citizenship Since Classical Times” in R.G. Herman & T.J. Piccone [eds.].Defending Democracy: A Global Survey of Foreign Policy Trends.New York: Democracy Coalition Project.

PPSP IKIP Bandung. (1973a).Program Kurikulum Studi Sosial Sekolah Dasar Pembangunan.

Bandung: PPSP IKIP Bandung.

PPSP IKIP Bandung. (1973b). Program Kurikulum Studi Sosial Sekolah Menengah Pembangunan.Bandung: PPSP IKIP Bandung.

Puskur [Pusat Kurikulum]. (1998).Laporan Pelaksanaan Kurikulum 1994.Jakarta: Puskur, Depdikbur RI.

Reisenberg, P. (1992).Citizenship in the Western Tradition: Plato to Rousseau.Chapel Hill and London: University of North Carolina Press.

Somantri, Muhammad Numan. (1969).Peladjaran Kewargaan Negara di Sekolah.Bandung: IKIP Bandung.

Somantri, Muhammad Numan. (1972).Metode Pengadjaran Civics.Bandung: IKIP Bandung. Somantri, Muhammad Numan. (2001).Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS.Bandung:

Remaja Rosda Karya.

Stahl, E. (2000).A Programatic Evaluation of CIVITAS: An International Civic Education Exchange Program, 1999-2000.Austin: LBJ School of Public Affairs, the University of Texas.

Taba, Hilda. (1967). A Teacher’s Handbook of Elemmentary Social Studies: An Inductive Approach.Reading: Addisn-Wesley.

Tyler, R.W. (1975).Basic Principles of Curriculum and Instruction.Chicago: The University of Chicago Press.

(21)

Winataputra, Udin S. (1978). “A Pilot Study of the Implementation of the SMA PMP Curriculum in Bandung Area”.Unpublished MA Thesis.Sydney: Macquarie University.

Gambar

Tabel 1Perbedaan-perbedaan antar Identitas Sosial-Politik

Referensi

Dokumen terkait

Konklusi akhir pemikiran penulis dalam penulisan ini ialah bahwa Pendidikan Kewarganegaraan untuk semua ( citizenship education for all ) merupakan salah satu upaya

Hasil penelitian ini di antaranya adalah kuantitas ragam kosakata bahasa Indonesia pada setiap anak berbeda antara satu dengan yang lain, nomina adalah kelas kata yang

Oleh karena itu peneliti ingin melakukan penelitian dari salah satu dari keterampilan berbahasa yaitu keterampilan menulis khususnya menulis permulaan di kelas I

Pendidikan multikultural tepat untuk membangun nasionalisme Indonesia dalam menghadapi tantangan global, karena memiliki nilai inti dalam perspektif lokal maupun global, yakni:

1) PKn sebagai mata pelajaran yang memiliki aspek utama sebagai pendidikan nilai dan moral pada akhirnya akan bermuara pada pengembangan watak atau karakter

Pada tahun 1955, dibuka Sekolah Djuru Kesehatan (SDK) dengan pendidikan SR ditambah pendidikan satu tahun dan sekolah pengamat kesehatan sebagai pengembangan SDK, ditambah

1) PKn sebagai mata pelajaran yang memiliki aspek utama sebagai pendidikan nilai dan moral pada akhirnya akan bermuara pada pengembangan watak atau karakter

Karya Mahmud Yunus yang paling monumental dan memiliki pengaruh yang luas ialah Tafsir Quran Karim. Usaha beliau dalam menerjemahkan dan menafsirkan al-Quran