9
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Penelitian Terdahulu
Temuan-temuan melalui hasil dari penelitian sebelumnya adalah hal yang sangat penting untuk dijadikan sebagai data pendukung. Dalam penelitian ini penulis memaparkan penelitian terdahulu yang dianggap relevan dengan permasalahan yang akan diteliti. Penelitian terdahulu ini menjadi acuan penulis dalam melakukan penelitian sehingga penulis dapat memperluas wawasan akan teori yang akan digunakan dalam mengkaji penelitian adapun beberapa penelitian terdahulu yang sama-sama membahas tentang upaya mitigasi bencana. Berdasarkan fenomena diatas peneliti mencoba mengaitkan beberapa referensi penelitian terdahulu yang akan dijadikan bahan dan pedoman penting bagi peneliti untuk melanjutkan penelitian terkait dengan Implementasi Program Kampung Siaga Bencana (KSB) dalam upaya mitigasi bencana berbasis partisipasi masyarakat.
Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Febriandana (2015) dengan judul Peran Kampung Siaga Bencana dalam Mitigasi Bencana ( studi kasus di Desa Sukomulyo Kecamatan Pujon kabupaten Malang) hasil penelitiannya menjelaskan bahwa, desa sukomulyo merupakan daerah yang rawan terjadinya bencana alam seperti banjir, oleh karena itu dengan kesepakatan warga masyarakat Desa Sukomulyo dan Dinas Sosial Kabupaten Malang maka didirikan desa percontohan siaga bencana yaitu Kampung Siaga Bencana (KSB) berbasis Masyarakat. Sejak awal berdirinya kampung siaga
10
bencana pada tahun 2010, Desa Sukomulyo sering dilanda banjir dan tanah longsor, namun dengan adanya Peran Kampung Siaga Bencana dibantu oleh kesiapsiagaan masyarakat mempertahankan Desa Sukomulyo untuk mempertahankan lingkungan dengan terbentuknya KSB masyarakat menjadi lebih siaga dalam meminimalisir dampak bencana baik korban bangunan hingga korban jiwa dalam mitigasi bencana alam baik sebelum bencana maupun pasca bencana terjadi.
Kedua penelitian yang dilakukan oleh Nehru (2017) Peran BPBD Kabupaten Malang dalam upaya Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Erupsi Gunung Kelud di Desa Pandansari Kecamatan Ngantang Kabupaten Malang yaitu menjelaskan bahwa, dampak dari bencana erupsi Gunung Kelud yang sampai ke Kabupaten Malang, khususnya Desa Pandansari yang merupakan kawasan rawan bencana 1, yang artinya daerah atau kawasan yang mengalami kerusakan parah akibat erupsi Gunung Kelud. Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa Jika dilihat dari dampak erupsi Gunung Kelud tahun 2014, peran Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Malang memiliki peran rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana. Program yang dilaksanakan menurut konsep Jitupasna meliputi, sektor perumahan, infrastruktur, Sosial, ekonomi, lintas sektor.
Ketiga, penelitian yang dilakukan oleh Raudya Dimas Wicaksono, Edriana Pangestuti (2019) Analisis Mitigasi Bencana dalam Meminimalisir Risiko Bencana (Study pada kampung wisata Jodipan Kota Malang) yang menjelaskan bahwa Kegiatan pariwisata di Kota Malang terus mengalami peningkatan dan perkembangan, salah satu contoh kampung wisata Jodipan.
11
tentu dengan berkembangnya kegiatan wisata akan menimbulkan dampak positif seperti peningkatan pendapatan daerah serta negatif seperti pengurangan kualitas lingkungan atau alam. Disatu sisi kegiatan pariwisata akan mendapat dampak negatif terhadap lingkungan di sisi lain, Kampung Wisata Jodipan merupakan daerah yang rentan terhadap bencana karena berada di daerah sempadan sungai. Hasil penelitian menjelaskan bahwa Jika tidak ada upaya pencegahan atau pengurangan dampak dari masyarakat setempat tentunya akan menimbulkan bencana. Karena masyarakat harus mampu melakukan antisipasi dan langkah-langkah untuk menghadapi kemungkinan terjadinya bencana setiap saat.
Keempat, penelitian skripsi yang dilakukan oleh Andi Muchlis (2017) Analisis penanggulangan bencana banjir di kecamatan Ganra Kabupaten Soppeng. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dalam menanggulangi resiko bencana banjir di Kecamatan Ganra Kabupaten Soppeng dan untuk mengetahui hubungan kerjasama pemerintah daerah dengan masyarakat dalam menanggulangi resiko bencana banjir di Kecamatan Ganra Kabupaten Soppeng. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan tipe penelitian deskriptif, memberikan gambaran faktual mengenai peran Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dan pemerintah dalam menanggulangi resiko bencana banjir di Kecamatan Ganra Kabupaten Soppeng. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peranan Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) menjalankan setiap penanggulangan secara tepat dan lebih baik yaitu penanggulangan bencana
12
dilakukan secara cepat dan tepat sesuai dengan tuntutan keadaan. Adanya koordinasi yang baik dengan instansi/dinas terkait sebagai upaya penanggulangan bencana yang didasarkan pada koordinasi yang baik dan saling mendukung, serta dalam penanggulangan bencana harus melibatkan berbagai pihak secara seimbang. Kerjasama pemerintah dan masyarakat dalam menanggulangi resiko bencana banjir telah terjalin dengan baik sebagaimana diketahui masyarakat ikut berpartisipasi dalam ikut penyuluhan/sosialisasi dengan membentuk forum kewaspadaan dini masyarakat Kecamatan Ganra yang dilakukan oleh pihak Kecamatan Ganra bersama Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) ataupun instansi/ dinas terkait lainnya dan masyarakat juga ikut membantu serta mendukung peran pemerintah dalam upaya penanggulangan bencana banjir yang terjadi.
Kelima yaitu penelitian skripsi yang dilakukan oleh Bestari Ainun Ningtyas (2015) tentang Pengaruh Pengetahuan Kebencanaan terhadap sikap kesiapsiagaan warga dalam menghadapi bencana tanah longsor di Desa Sridadi Kecamatan Sirampog Kabupaten Brebes tahun 2014. Pada penelitian tersebut menjelaskan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang rawan mengalami bencana alam. Melihat hal tersebut penulis ingin meneliti bagaimana pengaruh pengetahuan kebencanaan terhadap sikap kesiapsiagaan warga dalam menghadapi bencana tanah longsor. Tujuan penelitian ini yaitu:1) Mengetahui tingkat pengetahuan kebencanaan masyarakat dalam kaitannya dengan bencana tanah longsor di Desa Sridadi, 2) Mengetahui sikap kesiapsiagaan warga terhadap bencana tanah longsor di Desa Sridadi, 3) Mengetahui pengaruh pengetahuan kebencanaan terhadap
13
sikap kesiapsiagaan warga dalam menghadapi bencana tanah longsor di Desa Sridadi. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Kepala Keluarga (KK) Dukuh Lebak Goak sebanyak 278 KK dengan sampel 162 KK. Variabel penelitian meliputi pengetahuan kebencanaan warga (X) dan sikap kesiapsiagaan warga dalam menghadapi bencana tanah longsor (Y). Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu: 1) Dokumentasi, 2) Angket, 3) Observasi. Analisis data dilakukan dengan metode analisis deskriptif persentase untuk mendeskripsikan semua variabel, analisis regresi linier sederhana untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh variabel (X) terhadap variabel (Y) dengan menggunakan uji hipotesis uji t dan R2. Berdasarkan hasil penelitian tingkat pengetahuan kebencanaan warga berada di kategori tinggi. Sikap kesiapsiagaan warga dalam menghadapi bencana tanah longsor di Desa Sridadi berada di kategori sangat tinggi. Hasil pengujian hipotesis dengan uji dan uji koefisien determinasi, maka ada pengaruh positif pengetahuan kebencanaan terhadap sikap kesiapsiagaan warga dalam menghadapi bencana tanah longsor di Desa Sridadi Kecamatan Sirampog Kabupaten Brebes. Hal ini berarti semakin tinggi pengetahuan kebencanaan maka akan semakin tinggi pula sikap kesiapsiagaan warga dalam menghadapi bencana tanah longsor.
Berdasarkan kelima penelitian terdahulu yang telah dijelaskan diatas, semuanya fokus membahas tentang Bencana Alam. Begitu pula penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti dalam penelitian ini. Namun pada penelitian kali ini membawa program “Kampung Siaga Bencana (KSB)” yang dimana masih sedikit penelitian yang membahas tentang
14
program ini. Oleh karena itu penelitian yang membahas tentang program Kampung Siaga Bencana masih menjadi hal penting yang dapat menguatkan argumentasi bahwa implementasi program kampung siaga bencana dalam upaya mitigasi bencana alam berbasis masyarakat sangat diperlukan ditinjau dari banyaknya masyarakat yang belum memahami upaya mitigasi bencana meskipun mereka tinggal di daerah rawan bencana. Perlu adanya partisipasi yang besar dari masyarakat agar pelaksanaan program kampung siaga bencana yang digagas oleh pemerintah kabupaten malang bersama dengan dinas sosial, dan BPBD kabupaten malang dapat terlaksana sebagaimana mestinya.
Dalam penelitian ini peneliti juga membahas tentang partisipasi masyarakat dengan rumusan masalah yaitu, Bagaimana implementasi program Kampung Siaga Bencana (KSB) dalam upaya mitigasi bencana alam berbasis partisipasi masyarakat di Desa Gubuk Klakah Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang?. Penelitian ini memiliki perbedaan yakni pada lokasi penelitian yang berada di kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang.
B. Konsep Implementasi
Deskripsi sederhana tentang konsep implementasi dikemukakan oleh Lane bahwa implementasi sebagai konsep dapat dibagi ke dalam dua bagian yakni implementasi merupakan persamaan fungsi dari maksud, output dan
outcome. Berdasarkan deskripsi tersebut, formula implementasi merupakan
fungsi yang terdiri dari maksud dan tujuan, hasil sebagai produk, dan hasil dari akibat. Selanjutnya, implementasi merupakan persamaan fungsi dari
15
kebijakan, formator, implementor, inisiator, dan waktu (Sabatier, 1986: 21-48). Penekanan utama kedua fungsi ini adalah kepada kebijakan itu sendiri, kemudian hasil yang dicapai dan dilaksanakan oleh implementor dalam kurun waktu tertentu. Dalam hal ini implementasi yang akan dibahas yaitu terkait dengan implementasi program dan implementasi kebijakan.
1. Implementasi Program
Menurut Cleaves (2008:187), yang secara tegas menyebutkan bahwa: Implementasi itu mencakup Proses bergerak menuju tujuan kebijakan dengan cara langkah administratif dan politik. Keberhasilan atau kegagalan implementasi sebagai demikian dapat dievaluasi dari sudut kemampuannya secara nyata dalam meneruskan atau mengoperasionalkan program-program yang telah dirancang sebelumnya.
Menurut Mazmanian dan Sebastiar (2008:68) Implementasi adalah pelaksanaan keputusan kebijakan dasar, biasanya dalam bentuk undang-undang, namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan peradilan. Menurut Van Meter dan Van Horn (2008: 65) Implementasi adalah tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu /pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan. Sebaliknya keseluruhan proses implementasi kebijakan dapat dievaluasi dengan cara mengukur atau membandingkan antara hasil akhir dari program-program tersebut dengan tujuan-tujuan kebijakan.
16 2. Implementasi Kebijakan
Implementasi kebijakan menghubungkan antara tujuan kebijakan dan realisasinya dengan hasil kegiatan pemerintah. Ini sesuai dengan pandangan Van Meter dan van Horn (Grindle, 1980:6) bahwa tugas implementasi adalah membangun jaringan yang memungkinkan tujuan kebijakan publik direalisasikan melalui aktivitas instansi pemerintah yang melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan. Studi implementasi kebijakan dibagi ke dalam tiga generasi dengan fokus kajian dan para penganjurnya. Generasi pertama diwakili oleh studi Pressman dan Wildavsky yang terfokus pada bagaimana keputusan otoritas tunggal dilaksanakan atau tidak dilaksanakan. Hasilnya memberi pengakuan sifat atau hakikat implementasi yang kompleks. Generasi kedua terfokus pada determinan keberhasilan implementasi kebijakan.
Pernyataan Edwards III (1984: 1) bahwa tanpa implementasi yang efektif maka keputusan pembuat kebijakan tidak akan berhasil dilaksanakan. Implementasi kebijakan adalah aktivitas yang terlihat setelah dikeluarkan pengarahan yang sah dari suatu kebijakan yang meliputi upaya mengelola input untuk menghasilkan output dan
outcomes bagi masyarakat. Tahap implementasi kebijakan dapat
dicirikan dan dibedakan dengan tahap pembuatan kebijakan. Pembuatan kebijakan di satu sisi merupakan proses yang memiliki logika bottom-up, dalam arti proses kebijakan diawali dengan penyampaian aspirasi, permintaan atau dukungan dari masyarakat. Sedangkan implementasi kebijakan di sisi lain di dalamnya memiliki
17
logika top-down, dalam arti penurunan alternatif kebijakan yang abstrak atau makro menjadi tindakan konkrit atau mikro (Wibawa, 1994:2)
Kebijakan diperlukan mengacu pada pandangan para pakar bahwa setiap kebijakan yang telah dibuat harus diimplementasikan. Oleh karena itu, implementasi kebijakan diperlukan karena berbagai alasan atau perspektif. Berdasarkan perspektif masalah kebijakan, sebagaimana yang diperkenalkan oleh Edwards III (1984: 9-10), implementasi kebijakan diperlukan karena adanya masalah kebijakan yang perlu diatasi dan dipecahkan.
C. Konsep Partisipasi Masyarakat 1. Pengertian Partisipasi
Secara etimologis, partisipasi berasal dari bahasa latin ars yang artinya bagian dan Capare, yang artinya mengambil sehingga jika diartikan dalam bahasa inggris, participate atau participation berarti mengambil bagian atau mengambil suatu peranan aktivitas politik suatu negara. Bank dunia memberi batasan partisipasi yaitu yang pertama, keterlibatan masyarakat yang terkena dampak pengambilan keputusan tentang hal-hal yang dikerjakan dan cara mengerjakannya. Kedua, keterlibatan tersebut merupakan kontribusi dari masyarakat dalam pelaksanaan kegiatan yang telah diputuskan. Ketiga, bersama-sama memanfaatkan hasil program sehingga masyarakat mendapatkan keuntungan dari program tersebut. (Karianga ,2011:213).
18
Menurut kamus besar bahasa indonesia (2001: 831), partisipasi berarti keikutsertaan dalam mengawasi, mengontrol, dan mempengaruhi masyarakat, dalam suatu kegiatan mulai dari perencanaan, sampai dengan evaluasi pelaksanaan. Partisipasi bisa dimaksud suatu proses aktif, yang mengandung arti bahwa orang atau sekelompok yang terkait, mengambil inisiatif dan menggunakan kebebasannya untuk melakukan hal itu,( Mikkelsen 199: 58).
Partisipasi berasal dari bahasa inggris yaitu participation yang dapat diartikan suatu kegiatan untuk membangkitkan perasaan dan diikutsertakan atau ambil bagian dalam kegiatan suatu organisasi. sehubungan dengan partisipasi masyarakat dalam pembangunan, partisipasi merupakan keterlibatan aktif masyarakat atau partisipasi tersebut dapat berarti keterlibatan proses penentuan arah dari strategi kebijaksanaan pembangunan yang dilaksanakan pemerintah.
Dalam pelaksanaan pembangunan harus ada sebuah rangsangan dari pemerintah agar masyarakat dalam keikutsertaannya memiliki motivasi. Menurut simatupang (Yuwono 2001: 124) memberikan beberapa rincian tentang partisipasi sebagai berikut:
a. Partisipasi berarti apa yang kita jalankan adalah bagian dari usaha bersama yang dijalankan bahu membahu dengan saudara kita sebangsa dan setanah air untuk membangun masa depan bersama.
b. Partipasi berarti pula sebagai kerja untuk mencapai tujuan bersama di antara semua warga negara yang mempunyai latar
19
belakang kepercayaan beraneka ragam dalam negara pancasila kita, atau hak dasar dan kewajipan yang sama memberikan sumbangan demi terbinanya masa depan yang baru dari bangsa kita.
c. Partisipasi dalam pembangunan berarti mendorong ke arah pembangunan yang serasi dengan martabat manusia. Keadilan sosial dan keadilan nasional dan yang memelihara alam sebagai lingkungan hidup manusia juga untuk generasi yang akan datang Menurut pendapat Suryono (2001: 124) partisipasi merupakan ikut sertanya masyarakat dalam pembangunan, ikut dalam kegiatan pembangunan, dan ikut memanfaatkan dan menikmati hasil pembangunan. Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa partisipasi aktif merupakan keterlibatan seseorang dalam suatu kebijakan pembangunan dari perencanaan sampai dengan evaluasi pelaksanaan dimana kebijakan tersebut dapat tercapainya tujuan serta bertanggung jawab dalam keberhasilan kelompok.
Istilah partisipasi dan partisipatoris, menurut Mikkelsen (1999: 64) biasanya digunakan di masyarakat dalam berbagai makna umum, seperti berikut:
a. Partisipasi adalah kontribusi sukarela dari masyarakat dalam suatu proyek (pembangunan), tetapi tanpa mereka ikut terlibat dalam proses pengambilan keputusan (participation in the
voluntary contribution by people in project, but without their taking part in decisions-making)
20
b. Partisipasi adalah proses membuat masyarakat menjadi lebih peka dalam rangka menerima dan merespons berbagai proyek pembangunan (participant in the sensitization of people to
increase their receptivity and ability to respond to development projects)
c. Partisipasi adalah suatu proses aktif, yang bermakna bahwa orang ataupun keompok yang sering ditanyakan mengambil inisiatif dan mempunyai otonomi untuk melakukan hal itu (
Participant in an active process meaning that the person or group in question take initiative and assets the autonomi to do )
d. Partisipasi adalah proses menjembatani dialog antara komunitas loka dan pihak penyelenggara proyek dalam rangka persiapan , pengimplementasian , pemantauan, dan pengevaluasian staf agar dapat memperoleh informasi tentang konteks ataupun perihal proyek terhadap masyarakat ( Participant is the fostering of
dialogue between the local people and the project or the programme preparation, implementation , monitoring, and evaluation staff in order to brain information on the local context and on social impacts)
2. Pengertian Partisipasi Masyarakat
Partisipasi masyarakat adalah persoalan relasi kekuasaan, atau relasi ekonomi politik yang dianjurkan oleh demokrasi. Dalam negara demokrasi, ada saatnya pemerintah harus turun tangan, dan ada saatnya untuk menyerahkan kembali pengelolaannya kepada komunitas setempat, tergantung dari konteksnya. Menurut Sumarto
21
dalam (Sembodo, 2006:21) bahwa partisipasi masyarakat merupakan suatu proses yang memungkinkan adanya interaksi yang lebih baik antar stakeholders sehingga kesepakatan-kesepakatan dan tindakan yang bersifat inovatif yang mungkin tercipta dalam proses deliberatif untuk mendengarkan, belajar, refleksi dan memulai suatu aksi secara bersama-sama agar bisa terjadi.
Dalam Undang-Undang Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (penjelasan pasal 2 ayat 4 huruf d) partisipasi masyarakat diterjemahkan sebagai keikutsertaan masyarakat untuk mengakomodasi kepentingan mereka dalam proses penyusunan rencana pembangunan. Dalam konteks pembangunan partisipasi masyarakat adalah keterlibatan dan pelibatan anggota masyarakat dalam pembangunan, meliputi kegiatan dalam perencanaan dan pelaksanaan (implementasi) program /proyek pembangunan yang dikerjakan di masyarakat lokal. Partisipasi atau peran serta masyarakat dalam pembangunan merupakan aktualisasi dari ketersediaan dan kemauan anggota masyarakat untuk berkurban dan berkontribusi dalam implementasi program atau proyek (Adisasmita, 2006:38)
3. Sifat Partisipasi
Pembangunan yang dilaksanakan dengan memaksimaksimalkan partisipasi dari masyarakat, maka akan menciptakan bentuk kegiatan masyarakat dalam ikut serta proses pembangunan tersebut. Menurut Hendra Karianga (2011:250) Partisipasi memiliki tiga sifat yaitu:
22
a. Partisipasi dapat bersifat transitif atau intransitif: partisipasi transitif berorientasi pada tujuan tertentu, sedangkan partisipasi intensif apabila subjek berpartisipasi dilakukan masyarakat yang terlibat dalam struktur kepengurusan dan masyarakat yang hanya sebagai pendatang atau masyarakat bisa intransitif keterlibatan masyarakat dan keseluruhan.
b. Partisipasi masyarakat bermoral dan tidak bermoral, partisipasi memenuhi sisi moral apabila tujuan yang hendak dicapai sesuai dengan etika, sebaliknya kegiatan partisipasi tidak sesuai dengan etika maka tidak bermoral. Dalam partisipasi ini dilakukan masyarakat dengan perilaku yang positif dengan saling menghargai satu sama lain namun tidak terlepas dari perilaku negatif.
c. Partisipasi bersifat memaksa dan bersifat bebas yaitu partisipasi sebagai tindakan bebas yang dilakukan oleh subjek bukan terpaksa dilakukan atas nama partisi. Dalam partisipasi ini masyarakat melakukannya dengan alasan ketidak enakan dalam proses keterlibatannya sehingga harus melakukan kegiatan, berbeda dengan partisipasi yang dilakukan masyarakat dengan sepenuh hati tanpa ada alasan-alasan atau ketidak enakan.
Menurut Karamoy mengatakan bahwa partisipasi dapat terbentuk pertama, kontribusi ide dalam tahapan perencanaan bersama tanggung jawab dalam pelaksanaan. Kedua, memberikan tenaga, uang, maupun lahan bangunan serta memberikan kontrol terhadap suatu
23
proyek, (Ndraha, 1990:20). Ketiga menurut (Davis,1998:6) bentuk-bentuk partisipasi itu ada beberapa komponen yaitu partisipasi pikiran, tenaga, keahlian, barang, dan uang. Menurut Yohanes Slamet yang ditulis didalam buku Sri Hariani terdapat tiga tahapan dalam proses partisipasi masyarakat, yaitu partisipasi dalam perencanaan, partisipasi dalam perencanaan, dan partisipasi dalam pemanfaatan.
4. Faktor yang Mempengaruhi Partisipasi
Ada beberapa Faktor yang dapat mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam suatu program, sifat faktor-faktor tersebut dapat mendukung suatu keberhasilan program namun ada juga yang sifatnya dapat menghalangi keberhasilan program. Misalnya saja faktor usia, terbatasnya harta benda, pendidikan, pekerjaan dan penghasilan. Angell (Ross, 1967:130) mengatakan partisipasi yang tumbuh dalam masyarakat dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi seseorang dalam berpartisipasi, yaitu:
a. Usia
Faktor usia merupakan faktor yang mempengaruhi sikap seseorang terhadap kegiatan-kegiatan kemasyarakatan yang diadakan. Mereka dari kelompok usia menengah keatas dengan keterikatan moral kepada nilai, dan norma masyarakat yang lebih mantap, cenderung lebih banyak yang berpartisipasi daripada kelompok usia lainnya.
b. Jenis kelamin
Nilai yang cukup dominan dalam kultur berbagai bangsa mengatakan bahwa pada dasarnya perempuan adalah tempatnya
24
di dapur yang berarti bahwa dalam masyarakat peranan perempuan yang terutama adalah mengurus rumah tangga, akan tetapi semakin lama nilai peran tersebut mulai berubah dengan adanya gerakan emansipasi wanita dan pendidikan untuk perempuan juga semakin baik.
c. Pendidikan
Dikatakan sebagai salah satu syarat mutlak untuk berpartisipasi. pendidikan dianggap dapat mempengaruhi sikap individu seseorang terhadap lingkungannya, suatu sikap yang diperlukan untuk kesejahteraan seluruh masyarakat.
d. Pekerjaan dan penghasilan
Hal tersebut tidak dapat dipisahkan antara satu dan lainnya karena pekerjaan seseorang akan menentukan berapa banyak penghasilan yang akan diterima. Pekerjaan dan penghasilan yang baik dan mencukupi kebutuhan sehari-hari dapat mendorong seseorang untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan masyarakat. Artinya bahwa berpartisipasi dalam suatu kegiatan harus didukung oleh suasana yang mapan perekonomiannya e. Lamanya Tinggal
Lamanya seseorang tinggal dalam lingkungan tertentu dan pengalamannya berinteraksi dengan lingkungan tersebut akan berpengaruh pada tingkat partisipasi seseorang. Semakin lama individu tersebut tinggal dalam lingkungan tertentu , maka rasa memiliki lingkungan cenderung lebih terlihat dalam
25
partisipasinya yang besar dalam setiap kegiatan di lingkungan tersebut.
5. Bentuk-Bentuk Partisipasi
Menurut Effendi, Partisipasi ada dua bentuk, yaitu partisipasi vertikal dan partisipasi horizontal.
a. Partisipasi vertikal adalah suatu bentuk kondisi tertentu dalam masyarakat yang terlibat didalamnya atau mengambil bagian dalam suatu program pihak lain, dalam hubungannya masyarakat berada pada posisi sebagai bawahan.
b. Partisipasi Horizontal adalah dimana masyarakat tidak mustahil untuk mempunyai prakarsa dimana setiap anggota/ kelompok masyarakat berpartisipasi secara horizontal antara satu dengan yang lainnya, baik dalam melakukan usaha bersama maupun dalam rangka melakukan kegiatan dengan pihak lain. Menurut Effendi, tentu saja partisipasi seperti ini merupakan tanda permulaan tumbuhnya masyarakat yang mampu berkembang secara mandiri.
Bentuk partisipasi yang nyata yaitu:
1. Partisipasi Uang adalah bentuk partisipasi untuk memperlancar usaha-usaha bagi pencapaian kebutuhan masyarakat yang memerlukan bantuan
2. Partisipasi harta benda adalah partisipasi daam bentuk menyumbang harta benda, biasanya berupa alat-alat kerja, perkakas, dan atribut untuk gotong royong
26
3. Partisipasi Tenaga adalah partisipasi yang diberikan dalam bentuk tenaga untuk pelaksanaan usaha-usaha yang dapat menunjang keberhasilan suatu program. 4. Partisipasi keterampilan, yaitu dengan memberikan
dorongan melalui keterampilan yang dimilikinya kepada anggota masyarakat lain yang membutuhkannya.
D. Konsep Kampung Siaga Bencana
Kampung siaga bencana atau yang disingkat KSB merupakan salah satu upaya dan komitmen Kementerian Sosial Republik Indonesia dalam melaksanakan penanggulangan bencana bidang bantuan sosial berbasis masyarakat. Kampung siaga bencana ini menggunakan model pendekatan berbasis masyarakat untuk merubah pola pikir dan tindakan masyarakat dalam hal penanggulangan bencana. Tugas utama dibentuknya KSB adalah menyiapkan masyarakat agar lebih mampu mengelola kerentanan, ancaman, dan resiko di wilayah sesuai potensi lokal melalui perencanaan, pengorganisasian, penyelenggaraan, dan pengendalian melalui pendekatan
social engineering atau rekayasa sosial.
Tujuan dibentuknya KSB diantaranya yaitu meningkatkan kapasitas kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana melalui:
pertama, terlatihnya tenaga lokal penanggulangan bencana yang memiliki
kompetensi. Kedua, terorganisirnya upaya penanggulangan bencana yang dilakukan oleh masyarakat. Ketiga, tersusunnya tata kelola penanggulangan bencana di tingkat lokal yang incheren dengan sistem penanggulangan bencana bidang bantuan sosial nasional.
27
Dalam hal ini peneliti menggunakan teori program , menurut Huey Tsyh Chen, Teori program merupakan spesifikasi yang dilakukan untuk mencapai tujuan-tujuan yang diharapkan, pengaruh penting yang diantisipasi dan bagaimana tujuan dan pengaruh tersebut akan ditimbulkan (Wirawan, 2011 hal 72). Huey Tsyh Chen menambahkan, teori program terdiri dari dua model yaitu model perubahan dan model tindakan. Model perubahan menunjukan proses sebab dan akibat yang ditimbulkan program sedangkan model tindakan melukiskan rencana sistematis untuk mengatur staf, sumber-sumber dan dukungan organisasi agar dapat mencapai populasi target dan menyediakan layanan-layanan intervensi.
Gambar 2.1
Kerangka Konseptual Model Tindakan Huey Tsyh Chen
28
Pada penelitian ini menggunakan model tindakan, model tindakan terdiri dari enam komponen, yaitu:
a. Organisasi Pelaksana
Organisasi pelaksana bertanggung jawab atas mengorganisasi staff, mengalokasikan sumber-sumber dan mengkoordinasikan aktivitas untuk melaksanakan suatu program. Kapabilitas organisasi mempengaruhi kualitas implementasi.
b. Pelaksana Program
Para pelaksana program adalah orang-orang yang bertanggung jawab untuk menyediakan layanan kepada klien seperti para manajer kasus, para pekerja pencapai klien, guru sekolah, konselor kesehatan dan pekerja sosial.
c. Mitra Organisasi dan Mitra Masyarakat
Merupakan program sharing benefit dan memerlukan kerjasama atau kolaborasi antara organisasi pelaksana dan mitra organisasi dan mitra masyarakat.
d. Konteks Ekologikal
Konteks ekologikal adalah bagian dari lingkungan yang secara langsung berinteraksi dengan program. Program memerlukan dukungan dari lingkungan seperti dukungan sosial dan norma sosial untuk memfasilitasi kesuksesan program.
29
e. Protokol Intervensi dan Delivery Layanan
layanan Suatu protokol intervensi merupakan suatu kurikulum atau prospektus yang menyatakan sifat yang tepat, isi, dan aktivitas dari intervensi. Protokol delivery layanan menunjukkan langkah-langkah khusus untuk melaksanakan intervensi di lapangan.
f. Populasi Target
Populasi target adalah kelompok orang yang akan dilayani program. Kesuksesan suatu program dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut: adanya kriteria mengenai mereka yang berhak, kemungkinan mencapai orang yang berhak dan secara efektif melayani mereka dan kemauan klien potensial berkomitmen atau kooperatif dengan program.
E. Kampung Siaga Bencana Berbasis Partisipasi Masyarakat
Dalam sebuah program yang dibentuk oleh pemerintah, tentu melibatkan masyarakat untuk ikut serta berpartisipasi di dalamnya. Secara umum, partisipasi sangat penting bagi upaya kesejahteraan dari tahap perencanaan sampai tahap evaluasi (Suharto, 2001:187). Pembangunan yang berpartisipasi (participation development). Adalah proses yang melibatkan masyarakat secara aktif dalam seluruh keputusan substansial yang berkenaan dengan kehidupan mereka. Dalam partisipasi siapapun dapat memainkan peran secara aktif, memiliki kontrol terhadap kehidupan sendiri, mengambil peran dalam masyarakat serta menjadi lebih terlibat dalam pembangunan (
30
Hariani, 2006 : 69). Selain itu, partisipasi juga mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam proses pembangunan masyarakat ( Hidayat , 2014: 11) Wilayah yang berada di daerah rentan terhadap bencana sudah semestinya menjadi target atau sasaran program Kampung Siaga Bencana, baik kampung tersebut memiliki potensi gempa bumi, tanah longsor, gunung berapi, tsunami, banjir dan bencana lainnya sehingga memiliki potensi menjadi Kampung Siaga Bencana.
Disimpulkan bahwa Kampung Siaga Bencana adalah Kampung yang memiliki potensi terjadinya bencana cukup tinggi, sehingga pemerintah menetapkan kampung tersebut sebagai Kampung Siaga Bencana, dimana warga masyarakatnya dihimbau dan diarahkan agar selalu siaga dalam menghadapi terjadinya bencana, serta tanggap dalam melakukan manajemen bencana untuk mengurangi resiko kerusakan, kerugian, bahkan resiko korban yang diakibatkan oleh bencana.
F. Konsep Manajemen Bencana 1. Pengertian Bencana
Definisi Bencana Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana menyebutkan definisi bencana sebagai berikut:
“Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang
mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis”.
31
Definisi tersebut menyebutkan bahwa bencana disebabkan oleh faktor alam, non alam, dan manusia. Oleh karena itu, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tersebut juga mendefinisikan mengenai bencana alam, bencana non alami, dan bencana sosial.
Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor. Bencana non alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa non alam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit. Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antar kelompok atau antar komunitas masyarakat, dan teror.
Kejadian Bencana adalah peristiwa bencana yang terjadi dan dicatat berdasarkan tanggal kejadian, lokasi, jenis bencana, korban dan/ataupun kerusakan. Jika terjadi bencana pada tanggal yang sama dan melanda lebih dari satu wilayah, maka dihitung sebagai satu kejadian.
2. Manajemen Bencana
Manajemen bencana (disaster management) adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari bencana beserta segala aspek yang berkaitan dengan bencana ,terutama risiko bencana, dan bagaimana menghindari risiko bencana. Manajemen bencana merupakan proses yang dinamis tentang bekerjanya fungsi-fungsi manajemen yang kita ketahui diantaranya, planning, organizing, actuating, dan controlling
32
cara kerja manajemen bencana adalah kegiatan yang ada pada tiap kuadran /siklus/bidang kerja yaitu pencegahan, mitigasi dan kesiapsiagaan, tanggap darurat, serta pemulihan. Sedangkan tujuannya secara umum antara lain untuk melindungi masyarakat beserta harta bendanya dari ancaman bencana.
Format Standar/ dasar Manajemen Bencana sebagaimana dikemukakan oleh Nick Carter dalam buku The Disaster Management
Cycle, digambarkan seperti dibawah ini .
Gambar: 2.2.
Siklus Manajemen Bencana
(Sumber:Diadaptasi dari Nurjanah, dkk 2013:44)
Kegiatan manajemen bencana merupakan kegiatan yang tidak berdiri sendiri, akan tetapi terkait dengan aspek kehidupan masyarakat dan memerlukan pendekatan yang bersifat multidisiplin. Peraturan Perundang-Undangan yang dijadikan acuan pun mencakup peraturan perundang-Undangan lintas sektor. Dengan kalimat lain, sesungguhnya kegiatan manajemen bencana dilaksanakan oleh sektor-sektor, sedangkan kegiatan dari lembaga kebencanaan sebagian besar adalah mengkoordinasikan kegiatan yang dilakukan oleh sektor.
33
Berbagai pihak yang terlibat dalam manajemen bencana harus saling bekerjasama dan menyamakan persepsi tentang bencana dan manajemen bencana melalui sebuah sistem / aturan yang disepakati yaitu sistem manajemen bencana (Disaster Management
System). Melalui manajemen bencana pula program / kegiatan
dilaksanakan pada tiap kuadran / siklus/ bidang kerja oleh para pemangku kepentingan secara komprehensif dan terus-menerus. Pelaksanaan kegiatan secara periodik atau sebagai reaksi atau respon terhadap kejadian bencana akan menjadi sia-sia karena bencana akan terus terjadi secara berulang.
Berdasarkan gambar diatas dapat dijelaskan bahwa jika telah dilakukan langkah-langkah atau kegiatan sejak fase pencegahan / mitigasi bencana maka hal tersebut memasuki fase tanggap darurat , kemudian fase pemulihan , kemudian kembali lagi pada fase pencegahan atau mitigasi. Pencegahan atau mitigasi sebagaimana dimaksud pada akhir kalimat diperlukan untuk menghadapi kemungkinan terjadinya bencana di masa yang akan datang.
3. Fase-fase Manajemen Bencana
Menurut Pasal 33 Undang- Undang Nomor 24 tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana menetapkan 3 (tiga) tahapan sebagai berikut:
a. Tahap Pra-Bencana yang dilakukan ketika sedang tidak terjadi bencana dan ketika sedang dalam ancaman potensi bencana; b. Tahap Tanggap Darurat yang dirancang dan dilaksanakan pada
34
c. Tahap Pasca Bencana dilaksanakan pada saat setelah terjadi bencana.
Berdasarkan penjelasan diatas maka fase-fase manajemen bencana diantaranya yaitu:
a. Tahap Pra-Bencana
1. Tahap Pencegahan dan Mitigasi Bencana
Tahap pencegahan dan mitigasi bencana dilakukan untuk mengurangi serta menanggulangi resiko bencana. Rangkaian upaya yang dilakukan dapat berupa perbaikan dan modifikasi lingkungan fisik maupun penyadaran serta peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.
Tahap pencegahan dan mitigasi bencana dapat dilakukan secara struktural maupun kultural (non struktural). Secara struktural upaya yang dilakukan untuk mengurangi kerentanan (vulnerability) terhadap bencana adalah rekayasa teknis bangunan tahan bencana. Sedangkan secara kultural upaya untuk mengurangi kerentanan (vulnerability) terhadap bencana adalah dengan cara mengubah paradigma , meningkatkan pengetahuan dan sikap sehingga terbangun masyarakat yang tangguh. Mitigasi kultural termasuk didalamnya adalah membuat masyarakat peduli terhadap lingkungannya untuk meminimalkan terjadinya bencana.
Kegiatan yang secara umum dapat dilakukan pada tahapan ini adalah:
35
a) Membuat peta atau denah wilayah yang sangat rawan terhadap bencana;
b) Pembuatan alarm bencana ;
c) Membuat bangunan tahan terhadap bencana tertentu;
d) Memberi penyuluhan serta pendidikan yang mendalam terhadap masyarakat yang berada di wilayah rawan bencana.
2. Tahap Kesiapsiagaan
Tahap kesiapsiagaan dilakukan menjelang sebuah bencana akan terjadi. pada tahap ini akan menunjukan tanda atau sinyal bahwa bencana akan segera terjadi. maka pada tahapan ini , seluruh elemen terutama masyarakat perlu memiliki kesiapan dan selalu siaga untuk menghadapi bencana tersebut. Pada tahap ini terdapat proses Renkon yang merupakan singkatan dari Rencana Kontinjensi. Kontinjensi adalah suatu keadaan atau situasi yang diperkirakan akan segera terjadi, tetapi mungkin juga tidak akan terjadi. Rencana Kontinjensi berarti yang didasarkan pada keadaan kontijensi atau yang belum tentu tersebut. Suatu rencana kontinjensi tidak selalu diaktifkan jika keadaan yang diperkirakan tidak akan terjadi.
Secara umum kegiatan pada tahap kesiapsiagaan antara lain:
36
a) Menyusun rencana pengembangan sistem peringatan, pemeliharaan, persediaan dan pelatihan personil;
b) Menyusun langkah-langkah pencarian dan penyelamatan serta rencana evakuasi untuk daerah yang mungkin menghadapi resiko dari bencana berulang;
c) Melakukan langkah-langkah kesiapan tersebut dilakukan sebelum peristiwa bencana itu terjadi dan ditujukan untuk meminimalkan korban jiwa, gangguan layanan, dan kerusakan saat bencana terjadi.
3. Tahap Tanggap Darurat
Tahap tanggap darurat dilakukan pada saat kejadian bencana terjadi. kegiatan tanggap darurat yang secara umum berlaku pada semua jenis bencana antara lain:
a) Menyelamatkan diri dan orang terdekat b) Jangan panik
c) Untuk bisa menyelamatkan orang lain, anda harus dalam kondisi selamat
d) Lari atau menjauh dari pusat bencana tidak perlu membawa barang-barang apapun
e) Lindungi dari benda-benda yang mungkin melukai diri
37 b. Tahap Rehabilitasi dan Rekonstruksi
Tahapan rehabilitasi dan rekonstruksi dilakukan setelah bencana terjadi (Pasca Bencana) kegiatan inti pada tahapan ini adalah:
1. Bantuan Darurat Bantuan Darurat terdiri dari:
a) Mendirikan pos komando bantuan
b) Berkoordinasi dengan satuan koordinator pelaksana penanggulangan bencana (SATKORLAK PBP) dan pemberi bantuan yang lain
c) Mendirikan tenda-tenda penampungan, dapur umum, pos kesehatan dan pos koordinasi
d) Mendistribusikan obat-obatan, bahan makanan dan pakaian
e) Mencari dan menempatkan para korban di tenda atau pos pengungsian
f) Membantu petugas medis untuk pengobatan dan mengelompokan korban
g) Mencari, mengevakuasi, dan makamkan korban meninggal.
2. Inventarisasi kerusakan
Pada tahapan ini dilakukan pendataan terhadap berbagai kerusakan yang terjadi, baik bangunan, fasilitas umum, lahan pertanian dan sebagainya.
38 3. Evaluasi kerusakan
Pada tahap ini dilakukan pembahasan mengenai kekurangan dan kelebihan dalam penanggulangan bencana yang telah dilakukan. Perbaikan dalam penanggulangan bencana diharapkan dapat mencapai pada tahapan ini.
4. Pemulihan (Recovery)
Pada tahapan ini dilakukan pemulihan atau mengembalikan kondisi lingkungan yang rusak atau kacau akibat bencana seperti pada muanya. Pemulihan ini tidak hanya dilakukan pada lingkungan fisik saja tetapi korban yang terkena bencana juga diberikan pemulihan baik secara mental maupun secara fisik.
5. Rehabilitasi (Rehabilitation)
a) Mulai dirancang tata ruang daerah (master plan) idealnya dengan memberi kepercayaan dan melibatkan seluruh komponen masyarakat utamana korban bencana. Termasuk dalam kegiatan ini adalah pemetaan wilayah bencana b) Mulai disusun sistem pengelolaan bencana yang
menjadi bagian dari sistem pengelolaan lingkungan
c) Pencarian dan penyiapan lahan untuk pemukiman tetap
39
e) Mulai dilakukan perbaikan atau pembangunan rumah korban bencana
f) Pada tahap ini mulai dilakukan perbaikan fisik fasilitas umum dalam jangka menengah
g) Mulai dilakukan pelatihan kerja praktis dan diciptakan lapangan kerja
h) Perbaikan atau pembangunan sekolah, sarana ibadah, perkantoran, rumah sakit, dan pasar mulai dilakukan
i) Fungsi pos komando mulai dititikberatkan pada kegiatan fasilitasi atau pendampingan
6. Rekonstruksi
Kegiatan rekonstruksi dilakukan dengan program jangka menengah dan jangka panjang guna perbaikan fisik, sosial, dan ekonomi untuk mengembalikan kehidupan masyarakat pada kondisi yang lebih baik dari sebelumnya
7. Melanjutkan pemantauan
Wilayah yang pernah mengalami sebuah bencana memiliki kemungkinan besar akan mengalami kejadian yang sama kembali. Oleh karena itu perlu dilakukan pemantauan terus-menerus untuk meminimalisir dampak bencana tersebut. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa manajemen bencana merupakan proses dinamis tentang bekerjanya fungsi-fungsi manajemen diantaranya yaitu fungsi Planning, Organizing, actuating,
40
dan Controlling. Cara bekerja manajemen bencana adalah melalui
kegiatan-kegiatan yang ada pada tiap kuadran/ siklus/ bidang kerja yaitu, pencegahan, mitigasi dan kesiapsiagaan, tanggap darurat, serta pemulihan. Sedangkan tujuannya secara umum yaitu untuk melindungi masyarakat beserta harta bendanya dari ancaman bencana.