• Tidak ada hasil yang ditemukan

EFEKTIVITAS SINERGISME ISOLAT JTM 97c DENGAN BEBERAPA ISOLAT SLNPV DALAM PENGENDALIAN HAMA PENGGEREK POLONG KEDELAI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "EFEKTIVITAS SINERGISME ISOLAT JTM 97c DENGAN BEBERAPA ISOLAT SLNPV DALAM PENGENDALIAN HAMA PENGGEREK POLONG KEDELAI"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

EFEKTIVITAS SINERGISME ISOLAT JTM 97c DENGAN

BEBERAPA ISOLAT SLNPV DALAM PENGENDALIAN

HAMA PENGGEREK POLONG KEDELAI

Bedjo

Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi Jl. Raya Kendalpayak Km 8 Kotak Pos 66 Malang 65101

E-mail: bj_yulismen@yahoo.co.id

ABSTRAK

Penggerek polong kedelai (Etiella zinckenella Treitschke) merupakan hama penting tanaman ke-delai di Indonesia. Kehilangan hasil akibat serangan E. zinckenella dapat mencapai 80%. Penelitian pengendalian hama tersebut dengan menggunakan isolat SlNPV JTM 97c yang diintegrasikan dengan isolat SlNPV lain telah dilaksanakan di KP Muneng, Jawa Timur, pada 2012, dengan ran-cangan acak kelompok, tiga ulangan. Sebagai perlakuan adalah (P1) SlNPV JTM 97c; (P2) SlNPV Lpng 05a; (P3) SlNPV SmtrSl 05b; (P4) SlNPV KalSel 10a; (P5) SlNPV JTM 97c + SlNPV Lpng 05a; (P6) SlNPV JTM 97c + SlNPV SmtrSl 05b; (P7) SlNPV JTM 97c + SlNPV KalSel 10a; (P8)

SlNPV Lpng 05a + SlNPV SmtrSl 05b; (P9) SlNPV Lpng 05a + SlNPV KalSel 10a; (P10) SlNPV

SmtrSl 05b + SlNPV KalSel 10a; (P11) SlNPV JTM 97c + SlNPV Lpng 05 a + SlNPV SmtrSl 05b + SlNPV KalSel 10a; (P12) insektisida kimia; (P13) kontrol tanpa perlakuan. Benih kedelai varietas Wilis ditanam 2–3 biji/lubang dengan jarak tanam 40 cm x 15 cm pada petak 7 m x 4 m. Pengamat-an dilakukPengamat-an terhadap populasi imago, jumlah telur, dPengamat-an mortalitas E. zinckenella yPengamat-ang diamati 3 hari setelah aplikasi, biji terserang, dan hasil biji. Hasil penelitian menunjukkan isolat SlNPV JTM 97c efektif mengendalikan ulat penggerek polong E. Zinckenella. Pada perlakuan tunggal SlNPV JTM 97c hasil panen dapat mencapai 1,33 t/ha, sedangkan tanpa perlakuan hanya 0,75 t/ha. Pada perlakuan insektisida kimia, hasil panen 1,37 t/ha dan tidak berbeda nyata dengan perlakuan tunggal SlNPV JTM 97c. Penggabungan isolat efektif SlNPV JTM 97c dengan beberapa isolat yang kurang efektif seperti SlNPV Lpng 05a, SlNPV SmtrSl 05b, dan SlNPV KalSel 10a lebih efektif mengendalikan hama penggerek polong E. Zinckenella, sehingga kerusakan biji kedelai rendah. Kata kunci: kedelai, Etiella zinckenella, SlNPV

ABSTRACT

Synergism JTM 97c with some new isolat SlNPV for control soybean pod borer, Etiella

zincke-nella Treitschke. Soybean pod borer (Etiella zinckezincke-nella Treitschke) is an important pest of the

soybean cultivation centers in Indonesia. The damage of E. zinckenella cause yield losses by 80%. Field experiment to study the used of SlNPV JTM 97c integrated with other SlNPV isolates was conducted at Experimental Station Muneng, East Java, in 2012, using randomized block design in three replications. The treatments of SlNPV were; (P1). SlNPV JTM 97c; (P2). SlNPV Lpng 05a; (P3). SlNPV SmtrSl 05b; (P4). SlNPV KalSel 10a; (P5). SlNPV JTM 97c + SlNPV Lpng 05a; (P6).

SlNPV JTM 97c + SlNPV SmtrSl 05b; (P7). SlNPV JTM 97c + SlNPV KalSel 10a; (P8). SlNPV

Lpng 05a + SlNPV SmtrSl 05b; (P9). SlNPV Lpng 05a + SlNPV KalSel 10a; (P10). SlNPV SmtrSl 05b + SlNPV KalSel 10a; (P11). SlNPV JTM 97c + SlNPV Lpng 05 a + SlNPV SmtrSl 05b +

SlNPV KalSel 10a; (P12). Chemical insecticides; (P13). No-treatment (control). Soybean seed Wilis

variety was dibbled 2–3 seeds/hole with plant placing of 40 cm x 15 cm in 7 m x 4 m plot. Observation was done for imago population, the number of egg, E. zinckenella larvae mortality, developing seed, and seed yield. The results recorded that SlNPV JTM 97c isolates were effective for controlling E. Zinckenella pod borer larvae, the single treatment of SlNPV JTM 97c result in yields that may reached 1.33 t/ha, whereas the untreated control only reached 0.75 t/ha, while treatment with the use of chemical insecticides result in yields that may reached 1.37 t/ha and significant

(2)

effective with some isolates that were less effective against pod borer as SlNPV Lpng 05A isolates, SlNPV SmtrSl 05b, and 10a SlNPV KalSel 10a that would be more effective for the control of pod borer E. Zinckenella soy, and the extent of damage to soybean can be minimized.

Keywords: soybean, Etiella zinckenella, SlNPV

PENDAHULUAN

Pemakan polong, penggerek polong, dan ulat grayak tercatat sebagai hama utama kedelai di Indonesia (Somaatmodjo 1976, Tengkano 1978). Spodoptera litura Nuclear Polyhedrosis Virus (SlNPV) merupakan agensia hayati yang mempunyai prospek cukup baik untuk dikembangkan dalam pengendalian hama (Suhardjan dan Sudarmadji 1993). Salah satu bioinsektisida yang berasal dari isolat SlNPV JTM 97c mampu mengendalikan hama utama kedelai seperti ulat grayak (Spodoptera litura) (Bedjo 2003). Isolat ini berasal dari Jawa Timur dan ditemukan pada ulat grayak yang mati terinfeksi SlNPV. Pada penelitian lebih lanjut, SlNPV JTM 97c tersebut ternyata selain dapat mematikan ulat grayak juga dapat membunuh hama tanaman kedelai seperti ulat jengkal (Crysodeixis

chalcites), penggulung daun (Lamprosema indicata), dan penggerek polong (Etiella zincke-nella) (Bedjo 2011). Hal ini menunjukkan bahwa isolat SlNPV JTM 97c mampu

memati-kan serangga hama dari ordo Lepidoptera tidak seperti isolat SlNPV lainnya yang bersifat spesifik inang. Oleh karena itu dengan penggunaan agensia hayati sebagai bioinsektisida dapat mengurangi pemakaian insektisida kimia untuk mengendalikan hama tanaman kedelai. Hasil penelitian di laboratorium menunjukkan isolat SlNPV JTM 97c sangat efektif membunuh E. zenckenella hama dengan tingkat mortalitas mencapai 83%. Namun aplikasi di lapangan menunjukkan mortalitas menurun menjadi 50% dan penularan virus sulit terjadi karena ulat yang mati berada dalam polong (Bedjo 1998 dan Bedjo 2009).

Dalam rangka pengendalian hama E. zenckenella pada pertanaman kedelai telah diketahui bahwa penggunaan SlNPV isolat tertentu sangat efektif. Guna mencapai efektivitas isolat SlNPV JTM 97c yang tinggi diperlukan bahan pelindung Tween 80 sebanyak 40% dari volume semprot 500l/ha dengan dosis 15 x 1011 (Bedjo 1998, Bedjo

2003). Bioinsektisida dapat mengendalikan serangga hama sasaran secara tepat karena bersifat spesifik, mempunyai kemampuan membunuh yang cukup tinggi, biaya relatif murah, dan tidak mencemari lingkungan (Deacon 1983, Jayaray 1985, Santoso 1994).

Dalam usaha memanfaatkan NPV sebagai agensia pengendali hayati, Balitkabi telah berhasil memperbanyak NPV secara in vivo dalam skala laboratorium dan memformu-lasikannya, sesuai dengan hasil penelitian Ignoffo dan Cough (1981), Okada (1977) serta Tanada dan Kaya (1993). NPV sangat rentan terhadap sinar ultraviolet (Ignoffo dan Mon-toya 1976). Untuk mengatasi penurunan efektivitas akibat sinar ultraviolet maka NPV perlu diformulasikan dengan bahan pelindung (Ghotama 1992; Narayanan 1987; Ignoffo dan Cough 1981). Penambahan bahan pelindung seperti sukrose, laktosum, dan tween 80 sebanyak 5% dari volume semprot 500 l/ha terhadap SlNPV dengan dosis 1,5 x 1012

mampu membunuh larva H. armigera sampai 60% (Bedjo 1997). Peningkatan jumlah bahan pelindung sampai 20% dari volume semprot dapat mempertahankan tingkat pato-genisitas NPV di lapang, dengan tingkat mortalitas ulat mencapai 90% (Bedjo 1998). Formulasi bioinsektisida, khususnya NPV, adalah "wettable powder" karena selain memu-dahkan dalam penyimpanan dan aplikasi, efektivitasnya juga dapat dipertahankan sampai

(3)

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui sinergisme anta isolat SlNPV yang lebih efektif dibanding strain yang telah ada, untuk mengendalikan E. zinckenella.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Muneng, di Jawa Timur. Rancangan yang digunakan adalah acak kelompok diulang tiga kali. Perlakuan terdiri atas 13 kombinasi

SlNPV JTM 97c dan isolat yang kurang efektif dengan satu kontrol efektif (insektisida

kimia) dan satu kontrol tidak efektif adalah tanpa pengendalian. Luas petak perlakuan 7 m x 4 m dan jarak tanam 40 cm x 15 cm dengan 2–3 biji/lubang. Dalam penelitian ini digu-nakan varietas Wilis. Untuk menghindari serangan lalat kacang, diaplikasikan insektisida sipermetrin pada umur 8 HST. Aplikasi SlNPV untuk hama daun dilakukan setelah pe-mantauan pada 14, 21, 28, dan 35 HST. Untuk pengendalian penggerek polong, aplikasi

SlNPV dilakukan pada 44, 47, 50, 53, 56, 59, 62, dan 65 HST.

Perlakuan yang dicoba adalah: 1) SlNPV JTM 97c; 2) SlNPV Lpng 05a; 3) SlNPV SmtrSl 05b; 4) SlNPV KalSel 10a; 5) SlNPV JTM 97c + SlNPV Lpng 05a; 6) SlNPV JTM 97c + SlNPV SmtrSl 05b; 7) SlNPV JTM 97c + SlNPV KalSel 10a; 8) SlNPV Lpng 05a +

SlNPV SmtrSl 05b; 9) SlNPV Lpng 05a + SlNPV KalSel 10a; 10) SlNPV SmtrSl 05b + SlNPV KalSel 10a; 11) SlNPV JTM 97c + SlNPV Lpng 05 a + SlNPV SmtrSl 05b + SlNPV KalSel 10a; 12) insektisida kimia; 13) kontrol tanpa perlakuan.

Pengamatan dilakukan terhadap populasi imago E. zinckenella, jumlah telur, dan larva mati pada lima titik tanaman secara diagonal (masing-masing titik enam tanaman sampel), kerusakan polong dan biji dilaksanakan pada saat panen dan hasil panen diamati dari ubinan 2 m x 2 m pada saat panen.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pengamatan terhadap imago E. zinckenella sebarannya hampir sama antarperla-kuan, berkisar antara 0,71–1,39% (Gambar 1). Hal ini menunjukkan tidak ada pengaruh aplikasi perlakuan yang dicoba terhadap keberadaan imago tersebut pada 42, 49, dan 56 HST.

Hasil pengamatan terhadap jumlah telur pada 30 tanaman sampel juga menunjukkan sebaran yang sama antarperlakuan P1–P12 berkisar antara 5,33–8,33 butir kecuali kontrol yang mencapai 13,67 butir (Gambar 2). Tingginya jumlah telur pada kontrol kemungkinan pengaruh dari aroma atau bau perlakuan yang dicoba, mengingat imago akan meletakkan telurnya pada tempat yang sesuai untuk kehidupannya.

Pengamatan jumlah larva E. zinckenella pada 30 rumpun tanaman sampel yang diambil pada 56 HST, di mana populasi larva yang sangat tinggi dan masing-masing perlakuan diambil 100 larva zinckenella (Gambar 3), menunjukkan perbedaan antarper-lakuan. Pada perlakuan P1 (JTM 97c) tingkat mortalitas larva zinckenella mencapai 71%, sedangkan pada perlakuan P2, P3, dan P4 masing-masing hanya 6,33%, 7,33%, dan 11%. Sinergisme antarperlakuan pada P5, P6, dan P7 hampir menyamai perlakuan P1, bahkan tidak berbeda nyata, tetapi pada perlakuan P8, P9, dan P10 mortalitas masing-masing hanya 12%, 14%, dan 16%, berbeda nyata dengan perlakuan lainnya yang disi-nergiskan dengan SlNPV JTM 97c.

(4)

Gambar 1. Populasi imago E. zinckenella, pada 42, 49, dan 56 HST di KP Muneng MK II 2012.

(P1) SlNPV JTM 97c; (P2) SlNPV Lpng 05a; (P3) SlNPV SmtrSl 05b; (P4) SlNPV KalSel 10a; (P5) SlNPV JTM 97c + SlNPV Lpng 05a; (P6) SlNPV JTM 97c + SlNPV SmtrSl 05b; (P7) SlNPV JTM 97c + SlNPV KalSel 10a; (P8) SlNPV Lpng 05a + SlNPV SmtrSl 05b; (P9) SlNPV Lpng 05a + SlNPV KalSel 10a; (P10) SlNPV SmtrSl 05b + SlNPV KalSel 10a; (P11) SlNPV JTM 97c + SlNPV Lpng 05 a + SlNPV SmtrSl 05b + SlNPV KalSel 10a;

(P12) insektisida kimia; (P13) kontrol tanpa perlakuan.

Gambar 2. Jumlah telur E. zinckenella, pada 42, 49, dan 56 HST. di KP. Muneng MK II. 2012.

(P1) SlNPV JTM 97c; (P2) SlNPV Lpng 05a; (P3) SlNPV SmtrSl 05b; (P4) SlNPV KalSel 10a; (P5) SlNPV JTM 97c + SlNPV Lpng 05a; (P6) SlNPV JTM 97c + SlNPV SmtrSl 05b; (P7) SlNPV JTM 97c + SlNPV KalSel 10a; (P8) SlNPV Lpng 05a + SlNPV SmtrSl 05b; (P9) SlNPV Lpng 05a + SlNPV KalSel 10a; (P10) SlNPV SmtrSl 05b + SlNPV KalSel 10a; (P11) SlNPV JTM 97c + SlNPV Lpng 05 a + SlNPV SmtrSl 05b + SlNPV KalSel 10a;

(P12) insektisida kimia; (P13) kontrol tanpa perlakuan.

Sebelum hama penggerek polong masuk ke dalam polong, larva yang baru menetas beberapa saat kemudian akan berkeliling pada permukaan polong sambil menggerek kulit

(5)

mengandung isolat JTM 97c menyebabkan jumlah larva yang ditemukan lebih sedikit dibandingkan dengan perlakuan yang tidak mengandung isolat tersebut.

Gambar 3. Jumlah larva E. zinckenella, pada 56 HST di KP Muneng MK II 2012.

(P1) SlNPV JTM 97c; (P2) SlNPV Lpng 05a; (P3) SlNPV SmtrSl 05b; (P4) SlNPV KalSel 10a; (P5) SlNPV JTM 97c + SlNPV Lpng 05a; (P6) SlNPV JTM 97c + SlNPV SmtrSl 05b; (P7) SlNPV JTM 97c + SlNPV KalSel 10a; (P8) SlNPV Lpng 05a + SlNPV SmtrSl 05b; (P9) SlNPV Lpng 05a + SlNPV KalSel 10a; (P10) SlNPV SmtrSl 05b + SlNPV KalSel 10a; (P11) SlNPV JTM 97c + SlNPV Lpng 05 a + SlNPV SmtrSl 05b + SlNPV KalSel 10a;

(P12) insektisida kimia; (P13) kontrol tanpa perlakuan.

Hal ini membuktikan isolat SlNPV JTM 97c mampu membunuh larva E. zinckenella (Bedjo 2011). Aplikasi secara tunggal menggunakan isolat SlNPV JTM 97c (P1) menun-jukkan tingkat kerusakan polong 9,41% tidak berbeda nyata dengan aplikasi insektisida kimia dengan kerusakan polong 7,85%. Seperti dikemukakan Granados (2007), suatu isolat akan menjadi lebih efektif apabila bersinergis atau digabungkan dengan yang lebih efektif (Gambar 4).

Aplikasi berbagai isolat yang SlNPV JTM 97c, tingkat kerusakan polong rendah pada perlakuan P5, P6, P7, dan P11 berkisar antara 11,1–12,6%. Sedangkan pada perlakuan insektisida kimia 7,85%. Pada perlakuan tanpa campuran isolat SlNPV JTM 97c seperti P2, P3, P4, P8, P9, dan P10, tingkat kerusakan polong berkisar antara 19,5–21,9%. Demikian juga kerusakan biji, aplikasi secara tunggal (P1) maupun mensinergiskan dengan isolat lainnya menunjukkan tingkat kerusakan biji rendah. Dibandingkan dengan isolat lainnya tanpa SlNPV JTM 97c, tingkat kerusakan biji akan lebih tinggi (Gambar 5).

(6)

Gambar 4. Kerusakan polong akibat serangan larva E. zinckenella pada saat panen di KP Muneng MK II 2012.

(P1) SlNPV JTM 97c; (P2) SlNPV Lpng 05a; (P3) SlNPV SmtrSl 05b; (P4) SlNPV KalSel 10a; (P5) SlNPV JTM 97c + SlNPV Lpng 05a; (P6) SlNPV JTM 97c + SlNPV SmtrSl 05b; (P7) SlNPV JTM 97c + SlNPV KalSel 10a; (P8) SlNPV Lpng 05a + SlNPV SmtrSl 05b; (P9) SlNPV Lpng 05a + SlNPV KalSel 10a; (P10) SlNPV SmtrSl 05b + SlNPV KalSel 10a; (P11) SlNPV JTM 97c + SlNPV Lpng 05 a + SlNPV SmtrSl 05b + SlNPV KalSel 10a;

(P12) insektisida kimia; (P13) kontrol tanpa perlakuan.

Gambar 5. Kerusakan biji akibat serangan larva E. zinckenella pada saat panen di KP Muneng MK II 2012.

(P1) SlNPV JTM 97c; (P2) SlNPV Lpng 05a; (P3) SlNPV SmtrSl 05b; (P4) SlNPV KalSel 10a; (P5) SlNPV JTM 97c + SlNPV Lpng 05a; (P6) SlNPV JTM 97c + SlNPV SmtrSl 05b; (P7) SlNPV JTM 97c + SlNPV KalSel 10a; (P8) SlNPV Lpng 05a + SlNPV SmtrSl 05b; (P9) SlNPV Lpng 05a + SlNPV KalSel 10a; (P10) SlNPV SmtrSl 05b + SlNPV KalSel 10a; (P11) SlNPV JTM 97c + SlNPV Lpng 05 a + SlNPV SmtrSl 05b + SlNPV KalSel 10a;

(7)

Pada perlakuan P1 hasil panen mencapai 1,33 t/ha, sedangkan tanpa perlakuan hanya 0,75 t/ha. Pada perlakuan insektisida kimia, hasil panen 1,37 t/ha dan tidak berbeda nyata dengan perlakuan tunggal (P1).

Gambar 6. Hasil panen (t/ha) di KP Muneng MK II 2012.

(P1) SlNPV JTM 97c; (P2) SlNPV Lpng 05a; (P3) SlNPV SmtrSl 05b; (P4) SlNPV KalSel 10a; (P5) SlNPV JTM 97c + SlNPV Lpng 05a; (P6) SlNPV JTM 97c + SlNPV SmtrSl 05b; (P7) SlNPV JTM 97c + SlNPV KalSel 10a; (P8) SlNPV Lpng 05a + SlNPV SmtrSl 05b; (P9) SlNPV Lpng 05a + SlNPV KalSel 10a; (P10) SlNPV SmtrSl 05b + SlNPV KalSel 10a; (P11) SlNPV JTM 97c + SlNPV Lpng 05 a + SlNPV SmtrSl 05b + SlNPV KalSel 10a;

(P12) insektisida kimia; (P13) kontrol tanpa perlakuan.

KESIMPULAN

Dari hasil uraian di atas dapat disimpulkan bahwa isolat SlNPV JTM 97c efektif mengendalikan larva ulat penggerek polong E. zinckenella. Penggabungan isolat efektif

SlNPV JTM 97c dengan beberapa isolat yang kurang efektif seperti SlNPV Lpng 05a, SlNPV SmtrSl 05b, dan SlNPV KalSel 10a lebih efektif mengendalikan hama penggerek

polong kedelai E. zinckenella, sehingga kerusakan biji rendah.

DAFTAR PUSTAKA

Bedjo. 1997. Uji Keefektifan SlNPV dan HaNPV dengan Bahan Pembawa untuk Pengendalian Hama Kedelai. Makalah Seminar Regional HPTI. Majalah Ilmiah Pembangunan UPN "Veteran" Surabaya. pp. 108–114.

Bedjo. 1998. Pengaruh jumlah dan jenis bahan pembawa terhadap efektivitas NPV. Makalah Seminar Hasil Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Balitkabi. 11 hlm. (Belum dipublikasikan).

Bedjo. 2003. Pemanfaatan Spodoptera litura Nuclear Polyhedrosis Virus (SlNPV) untuk pengendalian ulat grayak (Spodoptera litura F.) pada tanaman kedelai. Lokakarya Pe-manfaatan Nuclear Polyhedrosis Virus (NPV) sebagai agens hayati untuk mengendalikan hama pemakan daun kedelai Spodoptera litura F. 4 Nopember 2003 Balitkabi. 16 hlm. Bedjo, 2009. Keefektifan beberapa isolat SlNPV untuk pengendalian hama penggerek

(8)

Bedjo. 2011. Keefektifan beberapa isolat SlNPV untuk pengendalian hama daun dan pengge-rek polong pada tanaman kedelai. hlm 263–270. Dalam Adi Wijono dkk (eds). Inovasi teknologi dan kajian ekonomi aneka kacang dan umbi mendukung empat sukses Kementerian Pertanian: Prosiding seminar, Balitkabi, 15 November 2011. Pusat Peneli-tian dan Pengembangan Tanaman Pangan Bogor. 2012.

Deacon, J.W. 1983. Microbial Control of Plant and Diseases. Van Rostrana Reinhold (UK) Co.Ltd. Berskire, England. 88 pp.

Ghotama, A.A. 1992. Pengendalian hayati Helicoverpa armigera Hbn dengan Nuclear Polyhidrosis Virus pada tanaman kapas Balittas Malang. 5 pp.

Granados, R.R., Guoxun Li dan G.W. Blissard. 2007. Insect Cell Culture and Biotechnology.

Virologica Sinica J. (2):83–93. http://www.springerlink.com/content/910227147h072g31.

Ignoffo, C.M. and E.L. Montoya.1976. The effects of chemical insecticides and insecticidal adjuvants on a Heliothis Nuclear Polyhidrosis Virus J. Invertebr. Pathol. 8–409.

Ignoffo, C.M and T.L. Cough. 1981. The Nucleo polyhidrosis virus of Heliothis spp. as a microbial Insecticide dalam : H.P. Burges (Ed) microbial control of pest and plant diseases 1970–1980. Academic Press London and New York. p. 329–362.

Jayaray, S. 1985. History and Development of Microbial Control dalam S. Jayaray (Ed). Microbial Control Mid pest Management Centre for Plant Protection Studies Tamilnadu Agric. Univ. India. p. 97–130.

Narayanan, K. 1987. Safety and formulation of NPV of Heliothis spp. Dalam Training on biological control of cotton Ballworm (2–30 September 1987). 21 p.

Okada. M. 1977. Studies on the utilization and mass production of Spodoptera litura Nuclear Polyhidrosis Virus for control of the tobacco cutworm, Spodoptera litura F. Rev. PI. Protec. Res. 10: 102–128.

Santoso T. 1994. Potential use of NPV for Controlling soybean leaf feeders. Biological Training Course Palawija and Vegetable Corps. Bogor 18–23 Juli 1994.13 pp.

Soehardjan, M. dan Sudarmadji. 1993. Pemanfaatan organisme mikro sebagai bioinsektisida di negara sedang berkembang. J Litbang Pertanian 22(1):7–11.

Somaatmodjo, S. 1976. Production and Varietal Improvement of soybean, peanut, and mung-bean in Indonesia. p. 111–123. In Rivai, A., (Ed). Asean Grain Legumes. Centr. Res. Inst. Agric. (LP3). BPPP-Dept. Tan. Bogor.

Tengkano, W. 1978. Hama-hama Tanaman Palawija. Kertas Kerja yang disajikan pada Latihan Proteksi Tanaman Direktorat Teknik Pertanian, Pasar Minggu, Jakarta 25 hlm. Tanada, Y. and H.K. Kaya. 1993. Insect Pathology. Academic Press Inc. Toronto. 666 pp.

Gambar

Gambar 1. Populasi imago E. zinckenella, pada 42, 49, dan 56 HST di KP Muneng MK II 2012
Gambar 3. Jumlah larva E. zinckenella, pada 56 HST di KP Muneng MK II 2012.
Gambar 4. Kerusakan polong akibat serangan larva E. zinckenella pada   saat panen di KP Muneng MK II 2012
Gambar 6. Hasil panen (t/ha) di KP Muneng MK II 2012.

Referensi

Dokumen terkait

Dengan mengonsumsi asam lemak omega-3 secara cukup dan adekuat dapat melindungi tubuh dari berbagai penyakit termasuk keluhan dismenore. Hasil tersebut menunjukkan terdapat

Peneliti berusaha menggali informasi dan mengeksplor melalui kepustakaan, pengamatan (observasi) serta proses wawancara dengan beberapa warga yang merancang dan mambuat

Skripsi yang berjudul “Pengaruh Pertamina terhadap Masyarakat Kota Balikpapan 1957-1975” disusun untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Sastra pada Program

1 500024701G بيكرتلا لبق تاريذحت .ءايشلأا هذه لثم ثودح دنع كب صاخلا عزوملاب لصتا .قربلا ثودح لاح Network Camera سمل بنجت .ضرلأا ىلع طقست

Aktiviti secara individu yang dilakukan dalam kumpulan kecil adalah TERTAKLUK kepada kapasiti yang ditetapkan (pengoperasian) atau tidak melebihi 50 orang (TERTAKLUK kepada

Dari Latar Belakang yang dikemukakan maka penelitian ini mencoba untuk meneliti hal tersebut yaitu dengan mengambil topik yang berkaitan dengan “PENGARUH MERK DAN

Penggunaan fungisida sintetis sebagai pengendali berbagai macam penyakit tanaman akan berdampak pada kerusakan lingkungan dan kesehatan manusia sehingga