• Tidak ada hasil yang ditemukan

Laporan Penilaian Risiko Kesehatan Lingkungan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Laporan Penilaian Risiko Kesehatan Lingkungan"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

Pokja Sanitasi Pesisir Selatan III - 21

Laporan

Penilaian Risiko Kesehatan

Lingkungan

Kabupaten Pesisir Selatan

(2)

Pokja Sanitasi Pesisir Selatan III - 2

DAFTAR ISI

1.

PENGANTAR

Hal 2

2.

CATATAN METODOLOGI

Hal 3

3.

KARAKTERISTIK RUMAH TANGGA/

RESPONDEN

Hal 5

4.

SUMBER AIR MINUM

Hal 8

5.

CUCI TANGAN PAKAI SABUN

Hal 10

6.

PEMBUANGAN SAMPAH

Hal 13

7.

JAMBAN & BAB

Hal 16

(3)

Pokja Sanitasi Pesisir Selatan III - 3

1 PENGANTAR

EHRA (Environmental Health Risk Assessment) atau Penilaian Risiko Kesehatan Lingkungan adalah studi yang bertujuan untuk memahami kondisi fasilitas sanitasi dan perilaku-perilaku yang memiliki risiko pada kesehatan warga. Fasilitas sanitasi yang diteliti mencakup, sumber air minum, layanan pembuangan sampah, jamban, dan saluran pembuangan air limbah. Sementara, perilaku yang dipelajari adalah yang terkait dengan higinitas dan sanitasi, antara lain, cuci tangan pakai sabun, buang air besar, pembuangan kotoran anak, dan pemilahan sampah rumah tangga.

Data EHRA diharapkan menjadi bahan untuk mengembangkan Buku Putih Sanitasi Kabupaten Pesisir Selatan yang kemudian akan dimanfaatkan untuk mengembangkan strategi sanitasi dan program-program sanitasi Kabupaten. Selain itu, data pun dapat dimanfaatkan sebagai benchmark pencapaian pembangunan sanitasi ke depan, baik di tingkat Kabupaten sampai di tingkat Nagari (indikatif).

Pelaksanaan studi EHRA banyak melibatkan kelompok perempuan. Untuk pengumpulan data, EHRA berkolaborasi (secara fungsional) dengan Bidan Desa di tingkat Nagari. Kolaborasi dengan Bidan dilakukan dengan sejumlah pertimbangan, yakni 1) Bidan memiliki akses yang lebih leluasa untuk datang ke rumah-rumah dan diterima oleh Kepala Kampung dan warga penghuni rumah. Pertimbangan ini terkait erat dengan karakteristik responden, yakni Ibu berusia antara 20-65 tahun dan juga pertanyaan-pertanyaan di dalam kuesioner yang banyak mengandung hal-hal yang dalam norma masyarakat dinilai sangat privat dan sensitif, seperti tempat dan perilaku BAB; 2) Bidan umumnya memahami wilayah Nagari sehingga mempermudah mencari rumah yang terpilih secara acak. Perempuan atau ibu dipilih sebagai responden karena mereka adalah kelompok warga yang paling memahami kondisi lingkungan di rumahnya; 3) Mengingat isian kuesioner cukup banyak serta rumit maka Bidan (rata-rata lulusan D3) dinilai mampu untuk melaksanakan dibanding dengan kader-kader yang ada di Nagari.

Dokumen ini adalah Laporan EHRA di Kabupaten Pesisir Selatan yang kegiatan pengumpulan datanya dimulai Juli tahun 2011. Penyusunan laporan dilaksanakan oleh Pokja Sanitasi Kabupaten Pesisir Selatan sebagai pemilik utama kegiatan, Sanitarian Puskesmas sebagai Supervisor, Bidan Desa sebagai enumerator dan pihak Kecamatan/Nagari di Kabupaten Pesisir Selatan.

(4)

Pokja Sanitasi Pesisir Selatan III - 4

2 CATATAN METODOLOGI

EHRA adalah studi yang relatif pendek (sekitar 2 bulan) yang menggunakan pendekatan kuantitatif dengan menerapkan 2 (dua) teknik pengumpulan data, yakni 1) wawancara (interview) dan 2) pengamatan (observation). Pewawancara dan pelaku pengamatan dalam EHRA adalah Bidan Desa yang dipilih secara kolaboratif oleh Pokja Sanitasi Kabupaten Pesisir Selatan. Sebelum turun ke lapangan, para kader diwajibkan mengikuti pelatihan enumerator selama 1 (satu) hari. Materi pelatihan mencakup dasar-dasar wawancara dan pengamatan; pemahaman tentang instrumen EHRA; latar belakang konseptual dan praktis tentang indikator-indikator; uji coba lapangan; dan diskusi perbaikan instrumen.

Dengan ukuran populasi sebesar 103.286 rumah tangga, CL (Confidence Level) sebesar 95%, CI (Confidence Interval) sebesar 5% didapat ukuran sampel direncanakan sebesar 3.040 rumah tangga. Studi EHRA mencakup 12 Kecamatan, yakni Koto XI Tarusan, Bayang, Bayang Utara, IV Jurai, Batang Kapas, Sutera, Lengayang, Ranah Pesisir, Linggo Sari Baganti, Pancung Soal, Basa Ampek Balai dan Lunang Silaut. Seluruh 76 Nagari diambil untuk studi ini.

Rumah tangga ditarik secara acak (random) berdasarkan cluster untuk tingkat kampung. Jumlah sampel di tingkat nagari diambil secara proporsional merujuk dengan cluster/kampung yang disepakati. Di setiap Nagari diambil secara random 40 RT. Untuk menentukan rumah tangga digunakan sejumlah pilihan teknik-teknik yang akan dipilih dengan cara random sistematis (urutan rumah).

Yang menjadi unit analisis dalam EHRA adalah rumah tangga. Sementara, yang menjadi unit respon adalah ibu rumah tangga. Ibu dipilih dengan asumsi bahwa mereka relatif lebih memahami kondisi lingkungan berkaitan dengan isu sanitasi serta mereka relatif lebih mudah ditemui dibandingkan bapak-bapak. Ibu dalam EHRA didefinisikan sebagai perempuan berusia 20-65 tahun yang telah atau pernah menikah. Untuk memilih Ibu di setiap rumah, enumerator menggunakan matriks prioritas yang mengurutkan prioritas Ibu di dalam rumah. Prioritas ditentukan oleh status Ibu yang dikaitkan dengan kepala rumah tangga. Bila dalam prioritas tertinggi ada dua atau lebih Ibu, maka usia menjadi penentunya.

Pekerjaan entri data dilaksanakan oleh Tim Sekretariat Pokja sanitasi Kabupaten Pesisir Selatan. Sebelum melakukan entri data, tim data entri terlebih dahulu mengikuti pelatihan singkat data

entry EHRA yang difasilitasi oleh Tim PMU di Bogor. Selama pelatihan itu, tim data entri

dikenalkan pada perangkat lunak yang digunakan serta langkah-langkah untuk uji konsistensi. Untuk quality control, tim spot check (untuk Pesisir Selatan dilaksanakan oleh Sanitarian Puskesmas) mendatangi 20% rumah yang telah disurvai. Tim spot check secara individual melakukan wawancara singkat dengan kuesioner yang telah disediakan dan kemudian menyimpulkan apakah wawancara benar-benar terjadi dengan standar yang ditentukan. Quality

control juga dilakukan di tahap data entri. Hasil entri di-re-check kembali oleh tim Pokja Sanitasi.

(5)

Pokja Sanitasi Pesisir Selatan III - 5

3 KARAKTERISTIK RUMAH TANGGA/ RESPONDEN

Bagian ini memaparkan sejumlah variabel sosio-demografis dan hal-hal yang terkait dengan status rumah di Kabupaten Pesisir Selatan. Variabel-variabel yang dimaksud mencakup status responden, jumlah anggota rumah tangga, usia anak termuda, status kepemilikan rumah, dan lahannya, serta ketersediaan kamar untuk disewakan. Variabel-variabel sosio-demografis perlu dipelajari karena keterkaitan yang cukup erat dengan masalah sanitasi. Jumlah anggota rumah tangga berhubungan dengan kebutuhan kapasitas fasilitas sanitasi. Semakin banyak jumlah anggota rumah tangga, maka semakin besar pula kapasitas yang dibutuhkan. Usia anak termuda menggambarkan besaran populasi yang memiliki risiko paling tinggi atau yang kerap dikenal dengan istilah population at risk. Secara umum diketahui bahwa balita merupakan segmen populasi yang paling rentan terhadap penyakit-penyakit yang berhubungan dengan air (water

borne diseases), kebersihan diri dan lingkungan. Dengan demikian, rumah tangga yang memiliki

balita akan memiliki risiko yang lebih tinggi terhadap masalah sanitasi dibandingkan rumah tangga yang tidak memiliki balita.

Sementara, variabel yang terkait dengan status rumah, seperti kepemilikan dan juga ketersediaan kamar yang disewakan diperlukan untuk memperkirakan potensi partisipasi warga dalam pengembangan program sanitasi. Mereka yang menempati rumah atau lahan yang tidak dimilikinya diduga kuat memiliki rasa memiliki (sense of ownership) yang rendah. Mereka cenderung tidak peduli dengan lingkungan sekitar termasuk pemeliharaan fasilitas sanitasi ataupun kebersihan lingkungan. Sebaliknya, mereka yang menempati rumah atau lahan yang dimilikinya sendiri akan cenderung memiliki rasa memiliki yang lebih tinggi. Secara mendasar, perbedaan-perbedaan karakteristik ini akan menuntut pendekatan program yang berbeda.

Seperti dipaparkan dalam bagian metodologi, responden dalam studi EHRA adalah ibu atau perempuan yang telah menikah atau cerai atau janda yang berusia 20 – 65 tahun. Batas usia, khususnya batas-atas diperlakukan secara fleksibel. Penilaian kader sebagai enumerator banyak menentukan. Bila usia calon responden sedikit melebihi batas-atas (65 tahun), namun responden terlihat dan terdengar masih cakap untuk merespon pertanyaan-pertanyaan dari pewawancara, maka calon responden itu dipertimbangkan masuk dalam daftar prioritas responden. Sebaliknya, meskipun usia responden belum mencapai 65 tahun, namun bila performa komunikasinya kurang memadai, maka ibu itu dapat dikeluarkan dari daftar calon responden.

(6)

Pokja Sanitasi Pesisir Selatan III - 6 Grafik III-1

Usia Responden Survey EHRA Kabupaten Pesisir Selatan

Dari sisi aspek usia, kebanyakan adalah Ibu yang berusia > 45 tahun, yakni sekitar 26,5% dari total responden. Sekitar 14,2% berada di usia 41 – 45 tahun. Sementara, mereka yang berada di rentang 36 – 40 tahun mencakup sekitar 17,3% dari total responden. Untuk 31 – 35 tahun jumlah responden sebanyak 16,9%. Sebanyak 16,8% berada pada rentang umur 26 – 30 tahun, sedang antara umur 21 – 25 tahun sebanyak 6,9%. Proporsi yang paling kecil adalah yang berusia paling muda, yakni 20 tahun. Proporsi mereka hanya mencakup sekitar 1,5% dari total responden yang terpilih.

Studi EHRA juga mengidentifikasi keberadaan balita di sebuah rumah tangga. Keberadaan balita menjadi penting sebab dibandingkan kelompok lain, balita adalah segmen populasi yang paling rentan terhadap penyakit-penyakit yang terkait dengan sanitasi. Diare, misalnya, adalah pembunuh balita nomor dua di Indonesia setelah ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) dengan korban sekitar 40.000 balita per tahun. Karena itu, sebaran balita dapat memberi gambaran tentang kerentanan wilayah tertentu.

Grafik III-2

(7)

Pokja Sanitasi Pesisir Selatan III - 7 Berkenaan dengan usia anak termuda dalam rumah, studi ini menemukan sekitar 48,76% rumah tangga memiliki anak termuda yang tergolong balita (bawah lima tahun). Sebanyak 51,24% melaporkan memiliki anak yang lebih tua dari 5 tahun atau tidak ada anak yang tinggal di rumah. Proposi anak balita ditonjolkan di sini karena merekalah at-risk population terkait dengan penyakit-penyakit yang disebabkan oleh sanitasi yang kurang memadai.

Terkait dengan status rumah yang ditempati responden, survai EHRA menjumpai mayoritas atau sekitar 68,2% dari total populasi menyatakan bahwa rumah yang ditempati adalah rumah yang dimiliki sendiri. Sekitar 2% yang melaporkan rumahnya adalah rumah dinas, sebesar 1,6% adalah berbagi dengan keluarga lain, sedang untuk sewa sebesar 0,6%. Sekitar 1,6% menyatakan bahwa rumah yang ditempati adalah rumah yang dimiliki orang tua atau keluarganya. Sebanyak 25,1% masih menempati rumah milik orang tua serta lainnya sebesar 0,9%.

Grafik III-3

(8)

Pokja Sanitasi Pesisir Selatan III - 8

4 SUMBER AIR MINUM

Bab ini menyajikan informasi mengenai kondisi akses sumber air untuk minum bagi rumah tangga di Kabupaten Pesisir Selatan. Hal yang diteliti dalam EHRA terdiri dari 2 (dua) hal utama, yakni 1) jenis sumber air minum yang digunakan rumah tangga, dan 2) kelangkaan air yang dialami rumah tangga dari sumber itu. Kedua aspek ini memiliki hubungan yang sangat erat dengan tingkat risiko kesehatan bagi anggota di suatu rumah tangga. Dari sisi jenis sumber diketahui bahwa sumber-sumber air memiliki tingkat keamanannya tersendiri. Ada jenis-jenis sumber air minum yang secara global dinilai sebagai sumber yang relatif aman, seperti air ledeng/ PDAM, sumur bor, sumur gali terlindungi dan mata air terlindungi. Di lain pihak, terdapat sumber-sumber yang memiliki risiko yang lebih tinggi sebagai media transmisi patogen ke dalam tubuh manusia, di antaranya adalah, sumur atau mata air yang tidak terlindungi dan air permukaan, seperti air kolam, sungai dan waduk.

Pada suplai air minum, studi EHRA mempelajari kelangkaan yang dialami rumah tangga dalam rentang waktu dua minggu terakhir. Kelangkaan diukur dari tidak tersedianya air dari sumber air minum utama rumah tangga atau tidak bisa digunakannya air yang keluar dari sumber air minum utama. Data ini diperoleh dari pengakuan verbal responden.

Hasil Survey EHRA terlihat bahwa sebagian besar responden mendapatkan air bersih dari sumur sebanyak 46,75 %, serta banyak juga yang mendapatkan air bersih dari layanan PDAM yaitu sebanyak 26,69 % selanjutnya dari Air Botol Kemasan/Air isi ulang sebanyak 10,29 %, sedang yang berasal dari mata air sebanyak 6,95 %.

Seperti dapat disimak pada tabel di bawah ini, sumber-sumber air minum bagi rumah tangga di Kabupaten Pesisir Selatan didominasi oleh air Sumur dan PDAM. Selain kedua sumber itu, proporsinya relatif kecil, yang agak menonjol adalah air botol kemasan (10,29%), mata air (6,95%), air sungai (4,92%) dan air hujan (2,98%) . Kategori lainnya cakupannya kurang dari 1%.

Grafik IV-1

Akses Terhadap Air Bersih pada Lokasi EHRA di Kabupaten Pesisir Selatan Tahun 2011

(9)

Pokja Sanitasi Pesisir Selatan III - 9 Terkait dengan keamanan, hasil analisis data EHRA menunjukkan bahwa mayoritas atau sekitar 74,53 % rumah tangga di Kabupaten Pesisir Selatan memiliki sumber air minum yang relatif aman. Sekitar 26,47 % yang diidentifikasi memiliki sumber yang relatif tidak aman antara lain sumur yang tidak terlindungi, mata air yang tidak terlindungi, sungai dan waduk/danau.

Grafik IV-2

Akses Terhadap Air Bersih pada Lokasi EHRA di Kabupaten Pesisir Selatan Tahun 2011

(10)

Pokja Sanitasi Pesisir Selatan III - 10

5 CUCI TANGAN PAKAI SABUN

Gejala diare seringkali dipandang sepele. Di beberapa daerah, balita yang terkena diare malah dipandang positif. Katanya, diare adalah tanda akan berkembangnya anak, seperti akan segera bisa berjalan, bertambah tinggi badan, atau tumbuhnya gigi baru di rahangnya. Meski tidak dijumpai istilah khusus, sejumlah kelompok masyarakat di Sumatera pun mempercayai hal-hal semacam itu (Laporan ESP Formative Research, 2007).

Sekitar 40.000 anak Indonesia meninggal setiap tahun akibat diare (Unicef, 2002; dikutip dari

facts sheet ISSDP, 2006). Bukan hanya itu, diare juga ikut menyumbang pada angka kematian

balita yang disebabkan faktor gizi buruk. Dalam studi global disimpulkan bahwa dari 3,6 juta kematian akibat gizi buruk, sekitar 23% ternyata disebabkan oleh diare (Fishman, dkk., 2004). Diare sebetulnya dapat dicegah dengan cara yang mudah. Sekitar 42-47% risiko terkena diare dapat dicegah bila orang dewasa, khususnya pengasuh anak mencuci tangan pakai sabun pada waktu-waktu yang tepat. Bila dikonversikan, sekitar 1 juta anak dapat diselamatkan hanya dengan mencuci tangan pakai sabun (Curtis & Cairncross, 2003).

Mencuci tangan pakai sabun di waktu yang tepat dapat memblok transmisi patogen penyebab diare. Pencemaran tinja/ kotoran manusia (feces) adalah sumber utama dari virus, bakteri, dan patogen lain penyebab diare. Jalur pencemaran yang diketahui sehingga cemaran dapat sampai ke mulut manusia, termasuk balita, adalah melalui 4F (Wagner & Lanoix, 1958) yakni fluids (air),

fields (tanah), flies (lalat), dan fingers (jari/tangan). Cuci tangan pakai sabun adalah prevensi

cemaran yang sangat efektif dan efisien khususnya untuk memblok transmisi melalui jalur fingers. Waktu-waktu cuci tangan pakai sabun yang perlu dilakukan seorang ibu/ pengasuh untuk mengurangi risiko balita terkena penyakit-penyakit yang berhubungan dengan diare mencakup 5 (lima) waktu penting yakni,

1. Sesudah buang air besar (BAB), 2. Sebelum menyantap makanan,

3. Sebelum menyuapi/memberi makan, pada bayi/balita 4. Sebelum menyiapkan makanan bagi keluarga.

5. Sesudah memegang unggas/hewan.

Hasil Survey EHRA memperlihatkan bahwa kebiasaan masyarakat Kabupaten Pesisir Selatan pada umumnya belum melakukan praktek cuci tangan pakai sabun pada 5 waktu penting pada keluarga. Pada Grafik berikut terlihat hanya 16,83 % saja yang melakukan praktek cuci tangan pakai sabun di lima waktu penting, bahkan ada 6,73 % yang melakukan praktek cuci tangan pakai sabun selain waktu utama antara lain setelah makan dan setelah melakukan pekerjaan rumah.

(11)

Pokja Sanitasi Pesisir Selatan III - 11 Grafik V-1

Praktek CTPS Pada keluarga Berdasarkan Survey EHRA Kabupaten Pesisir Selatan Tahun 2011

Pada keluarga yang memiliki balita hendaknya melakukan praktek cuci tangan pakai sabun setidaknya di tiga waktu utama antara lain :

1. Setelah BAB

2. Sebelum menyiapkan makanan 3. Sebelum Makan

Berdasarkan Survey EHRA kebiasaan mencuci tangan pakai sabun pada keluarga yang mempunyai balita belum membudaya, umumnya Hanya 16,8 % saja yang melakukan cuci tangan pakai sabun di tiga waktu utama, sedang cuci tangan pakai sabun di dua waktu utama sebanyak 19,75 % dan sebanyak 24,5 % yang melakukan cuci tangan pakai sabun pada satu waktu utama. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada grafik berikut:

(12)

Pokja Sanitasi Pesisir Selatan III - 12 Grafik V-2

Praktek CTPS Pada keluarga yang mempunyai Balita Berdasarkan Survey EHRA Kabupaten Pesisir Selatan Tahun 2011

Lokasi Praktek cuci tangan pakai sabun berdasarkan survey EHRA di Kabupaten Pesisir Selatan Tahun 2011 paling banyak berada di Sumur yaitu 39,8 %, Kemudian di Kamar Mandi sebanyak 25,99 %, sedangkan yang melakukan praktek cuci tangan pakai sabun di dapur sebanyak 23,97 % dan untuk lokasi tempat jamban sebanyak 6,63 %. Selanjutnya untuk lebih lengkapnya lokasi praktek cuci tangan pakai sabun dapat dilihat pada grafik 3.9.

Grafik V-3

Lokasi Cuci Tangan Pakai Sabun (CTPS) berdasarkan Survey EHRA Kabupaten Pesisir Selatan Tahun 2011

(13)

Pokja Sanitasi Pesisir Selatan III - 13

6 PEMBUANGAN SAMPAH

EHRA mempelajari sejumlah aspek terkait dengan masalah penanganan sampah, yakni: 1) cara pembuangan sampah yang utama, 2) frekuensi & pendapat tentang ketepatan pengangkutan sampah bagi rumah tangga yang menerima layanan pengangkutan sampah, 3) praktik pemilahan sampah, dan 4) penggunaan wadah sampah sementara di rumah.

Cara utama pembuangan sampah di tingkat rumah tangga diidentifikasi melalui jawaban verbal yang disampaikan responden. Dalam kuesioner tersedia 22 (duapuluh dua) opsi jawaban. Duapuluh dua opsi itu dapat dikategorikan dalam 4 (empat) kelompok besar, yakni 1) Dikumpulkan di rumah lalu diangkut keluar oleh pihak lain, 2) Dikumpulkan di luar rumah/ di tempat bersama lalu diangkut oleh pihak lain, 3) Dibuang di halaman/ pekarangan rumah, dan 4) Dibuang ke luar halaman/ pekarangan rumah. Di antara empat kelompok itu, cara-cara yang berada di bawah kategori 1 dan 2 atau yang mendapat layanan pengangkutan merupakan cara-cara yang memiliki risiko kesehatan paling rendah. Beberapa literatur menyebutkan bahwa cara-cara pembuangan sampah di lobang sampah khusus, baik di halaman atau di luar rumah, merupakan cara yang aman pula. Namun, dalam konteks wilayah perKabupatenan, di mana kebanyakan rumah tangga memiliki keterbatasan dalam hal lahan, penerapan cara-cara itu dinilai dapat mendatangkan risiko kesehatan yang cukup besar.

Dari sisi layanan pengangkutan, EHRA melihat aspek frekuensi atau kekerapan dan ketepatan waktu dalam pengangkutan. Meskipun sebuah rumah tangga menerima pelayanan, risiko kesehatan tetap tinggi bila frekuensi pengangkutan sampah terjadi lebih lama dari satu minggu sekali. Sementara, ketepatan pengangkutan digunakan untuk menggambarkan seberapa konsisten ketetapan/ kesepakatan tentang frekuensi pengangkutan sampah yang berlaku.

Di banyak Kabupaten di Indonesia, penanganan sampah merupakan masalah yang memprihatinkan. Dalam banyak kasus, beban sampah yang diproduksi rumah tangga ternyata tidak bisa ditangani oleh sistem persampahan yang ada. Untuk mengurangi beban di tingkat Kabupaten, banyak pihak mulai melihat pentingnya pengelolaan/ pengolahan di tingkat rumah tangga, yakni dengan pemilahan sampah dan pemanfaatan atau penggunaan ulang sampah, misalnya sebagai bahan untuk kompos. Dengan latar belakang semacam ini, EHRA kemudian memasukan pertanyaan-pertanyaan yang terkait dengan kegiatan pemilahan sampah di tingkat rumah tangga serta melakukan pengamatan yang tertuju pada kegiatan-kegiatan pengomposan. kebiasaan membuang sampah masyarakat di Kabupaten Pesisir Selatan juga masih menimbulkan pencemaran tanah dan air. Rata-rata masyarakat membuang sampah di halaman, kali/sungai kecil, di lubang sampah tetapi tidak melakukan pengolahan selanjutnya. Kebiasaan masyarakat membuang sampah dapat dilihat selengkapnya pada grafik berikut:

(14)

Pokja Sanitasi Pesisir Selatan III - 14 Grafik VI-1

Kebiasaan Masyarakat Membuang Sampah Berdasarkan Survey EHRA di Kabupaten Pesisir Selatan Tahun 2011

Dari hasil survey EHRA diatas sebagian besar masyarakat di Kabupaten Pesisir Selatan membuang sampah dengan cara di bakar yaitu sebanyak 66 %, kemudian yang dibuang ke sungai sebanyak 13,2 % dan yang dibuang ke lahan kosong sebanyak 9,5 %. Pembuangan sampah yang diangkut oleh tukang sampah hanya sebanyak 5,8 %, ini menunjukkan pelayanan sampah di Kabupaten Pesisir Selatan masih sangat minim. Selanjutnya yang dibuang dan dikubur dilobang sebanyak 4,3 %, sedangkan yang dibiarkan saja sebanyak 1,1 %.

Penanganan sampah yang aman adalah apabila sampah dari rumah tangga mendapat layanan pengangkutan yang memadai. Untuk kepentingan identifikasi tingkat risiko kesehatan lingkungan, rincian cara pembuangan di atas kemudian disederhanakan utamanya berdasarkan dua kategori besar, yakni 1) penerima layanan sampah dan 2) non penerima layanan sampah. Berdasarkan Survey EHRA dapat digambarkan bahwa sebagian besar yaitu 78,3 % total rumah tangga belum mendapatkan layanan pengangkutan. Hanya 21,7 % yang mendapatkan layanan pengangkutan.

(15)

Pokja Sanitasi Pesisir Selatan III - 15 Grafik VI-2

Penanganan sampah oleh Pemerintah Daerah Berdasarkan Survey EHRA di Kabupaten Pesisir Selatan Tahun 2011

Kebiasaan masyarakat dalam mengelola sampah dapat dilihat dari grafik di bawah ini: Grafik VI-3

Kebiasaan Masyarakat Membuang Sampah Berdasarkan Survey EHRA Di Kabupaten Pesisir Selatan Tahun 2011

Pada grafik diatas terlihat bahwa sebagian besar masyarakat membuang sampah dengan cara di bakar yaitu sebesar 66,0 %, kemudian yang dibuang ke sungai sebesar 13,2 % dan yang dibuang kelahan kosong sebesar 9,5 %. Hanya sebesar 5,8 % yang diangkut tukang sampah untuk dibawa ke TPS serta yang dibuang dan dikubur dilobang sebesar 4,3 %.

(16)

Pokja Sanitasi Pesisir Selatan III - 16

7 JAMBAN DAN BAB

Praktik BAB (buang air besar) di tempat yang tidak aman adalah salah satu faktor risiko bagi turunnya status kesehatan masyarakat. Selain mencemari tanah (field), praktik semacam itu dapat mencemari sumber air minum warga. Yang dimaksud dengan tempat yang tidak aman bukan hanya tempat BAB di ruang terbuka, seperti di sungai/ kali/ got/ kebun, tetapi juga penggunaan sarana jamban di rumah yang mungkin dianggap nyaman, namun sarana penampungan dan pengolahan tinjanya tidak memadai, misalnya yang tidak kedap air dan berjarak terlalu dekat dengan sumber air minum.

Bagian ini memaparkan fasilitas sanitasi rumah tangga beserta beberapa perilaku yang terkait dengannya. Fasilitas sanitasi difokuskan pada fasilitas buang air besar (BAB) yang mencakup jenis jamban yang tersedia, penggunaan, pemeliharaan, dan kondisinya.

Berdasarkan hasil Study EHRA jumlah keluarga yang memilliki jamban septik di Kabupaten Pesisir Selatan hanya 31,5 %, paling banyak di Kecamatan Bayang sebesar 60,2 % dan paling sedikit ada di Kecamatan Sutera dengan Prosentase 2,4 %. Hasil lengkap tempat BAB di Kabupaten Pesisir Selatan dan per Kecamatan dapat dilihat pada grafik 2.1 dan grafik 2.2 berikut :

Grafik VII-1 :

(17)

Pokja Sanitasi Pesisir Selatan III - 17 Grafik VII-2

Tempat BAB Per Kecamatan di Lokasi EHRA Tahun 2011

Secara umum kondisi keluarga yang menggunakan jamban berdasarkan Survey EHRA dengan suspect aman sekitar 29,25 %, dan masih ada sekitar 61,22 % dengan suspeck tidak aman. Artinya walaupun telah menggunakan jamban septik tetapi secara kualitas belum menjamin kondisinya aman atau tidak mencemari lingkungan. Ada sekitar 9,53 % tidak dapat diketahui apakah menggunakan tangki septik atau tidak.

Grafik VII. 3

Prosentase Keluarga Yang Menggunakan Tangki Septic Suspeck aman dan tidak aman di Kabupaten Pesisir Selatan pada lokasi Survey EHRA Tahun 2011

(18)

Pokja Sanitasi Pesisir Selatan III - 18 Kriteria suspek aman adalah sebagai berikut:

1. Dibangun kurang dari lima tahun lalu

2. Dibangun lebih dari lima tahun lalu dan pernah dikuras/ dikosongkan kurang dari lima tahun lalu

Kriteria suspek tidak aman adalah sebagai berikut:

1. Dibangun lebih dari lima tahun lalu dan tidak pernah dikuras

2. Dibangun lebih dari lima tahun lalu dan pernah dikuras lebih dari lima tahun lalu Grafik VII. 4

Kondisi Tangki Septik Per Kecamatan di Kabupaten Pesisir Selatan pada lokasi survey EHRA Tahun 2011

Pada grafik 3.14 dapat dilihat kecamatan yang tertinggi menggunakan jamban dengan suspeck aman ada di Kecamatan Lengayang sebanyak 54,87 % dan kecamatan terendah ada di Kecamatan Bayang Utara sebanyak 17,26 %.

Kondisi aman dan tidak aman dilihat dari praktik pembuangan kotoran balita antara lain: 1) praktik pembuangan yang aman yang mencakup

a. anak yang diantar untuk BAB di jamban

b. anak yang BAB di penampung (popok sekali pakai/ pampers, popok yang dapat dicuci, gurita, ataupun celana), kotoran di buang ke jamban, dan penampung dibersihkan di Watter Closed

2) praktik pembuangan yang relatif tidak aman

a. anak BAB di ruang terbuka (lahan di rumah atau diluar rumah)

b. anak yang BAB di penampung (popok sekali pakai/ pampers, popok yang dapat dicuci, gurita, ataupun celana), kotoran di buang ke ruang terbuka/ tidak di jamban dan

(19)

Pokja Sanitasi Pesisir Selatan III - 19 dibersihkan bukan di jamban

Selain cemaran akibat tangki septik yang tidak aman, risiko lingkungan juga dapat meningkat akibat pembuangan isi tinja yang tidak tepat, seperti membuang kotoran ke sungai atau lahan di rumah yang tidak diolah lebih lanjut. Sebelum melihat tempat-tempat pembuangan tinja yang telah dikumpulkan di tangki septik, EHRA terlebih dahulu mengidentifikasi cara pengurasan/ pengosongan tangki septik. Seperti dapat dilihat pada Grafik di bawah, dari mereka yang melaporkan pernah mengosongkan tangki septik, mayoritas meminta jasa layanan pengosongan sedot tangki/ truk tinja, yakni sekitar 27,4%. Sementara, proporsi yang melaporkan menyuruh tukang untuk melakukannya sebesar 18,4 %, sedangkan pengosongan septik yang disebabkan bersih karena banjir sebesar 1,5 %. Pada umumnya masyarakat masih belum tahu tentang adanya layanan sedot tinja, yakni sebesar 52,6 %.

Grafik VII-15

Praktek Pembuangan Isi Tangki Septik Pada Lokasi EHRA Kabupaten Pesisir Selatan Tahun 2011

(20)

Pokja Sanitasi Pesisir Selatan III - 20

8 Saluran Air (Drainase)

Bagian ini menyediakan informasi mengenai kondisi saluran air rumah tangga di Kabupaten Pesisir Selatan. Saluran air merupakan salah satu objek yang diperhatikan EHRA karena saluran yang tidak memadai berisiko memunculkan berbagai penyakit, termasuk polio yang sempat merebak kembali di satu Kabupaten di Indonesia beberapa tahun lalu.

EHRA mengamati keberadaan saluran air di sekitar rumah terpilih. Saluran yang dimaksud adalah saluran yang digunakan untuk membuang air bekas penggunaan rumah tangga (grey water), seperti air dapur (bekas cuci piring/ bahan makanan), air cuci pakaian maupun air bekas mandi. Seperti kebanyakan terjadi di Kabupaten-Kabupaten di Indonesia, saluran grey water dapat pula berfungsi menjadi saluran bagi pengaliran air hujan (drainage).

Bila suatu rumah didapati memiliki saluran, akan mengamati lebih dekat apakah air di saluran itu mengalir, warna airnya, dan melihat apakah terdapat tumpukan sampah di dalam saluran air itu. Saluran yang memadai ditandai dengan aliran airnya yang lancar atau tidak ada air, warna airnya yang cenderung bening atau bersih, dan tidak adanya tumpukan sampah di dalamnya.

Sementara itu berdasarkan hasil survey EHRA menyebutkan bahwa sebanyak 56 % masyarakat Kabupaten Pesisir Selatan memiliki SPAL dan 43,6 % tidak memiliki SPAL serta 0,4 % tidak ada data tentang keluarga yang memiliki SPAL.

(21)

Pokja Sanitasi Pesisir Selatan III - 21 Grafik VIII-1

Porsentase Keluarga yang memiliki SPAL di Kabupaten Pesisir Selatan Berdasarkan Survey EHRA Tahun 2011

Sedangkan untuk perkecamatan keluarga yang memiliki SPAL berdasarkan hasil survey EHRA Tahun 2011, Kecamatan Linggo Sari Baganti paling banyak yaitu 75,25 % sedangkan Kecamatan paling sedikit memiliki SPAL adalah Kecamatan Bayang sebanyak 13,81%. Untuk selengkapnya Prosentase Keluarga yang Memiliki SPAL per Kecamatan di Kabupaten Pesisir Selatan adalah sebagai berikut :

(22)

Pokja Sanitasi Pesisir Selatan III - 22 Grafik VIII-2

Prosentase Keluarga yang memiliki SPAL Per Kecamatan di Kabupaten Pesisir Selatan Berdasarkan Survey EHRA Tahun 2011

Penanganan grey water (air cucian, air mandi) di Kabupaten Pesisir Selatan pada umumnya langsung memanfaatkan saluran pembuangan air drainase sekunder ke tersier yang menampung limpasan air hujan. Untuk Pengelolaan Sistim Saluran Pembuangan Air Limbah (SPAL) belum ada penanganan sistim pengelolaan di lakukan hanya masih bersifat individual. Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Pesisir Selatan jumlah keluarga yang memiliki pengelolaan jamban sehat sebanyak 52,87%. Kondisi pengolahan limbah yang ada berdasarkan survey EHRA dapat dilihat pada grafik berikut ini :

(23)

Pokja Sanitasi Pesisir Selatan III - 23 Grafik VIII-3

Presentase Keluarga yang mempunyai SPAL di Kabupaten Pesisir Selatan Berdasarkan survey EHRA Tahun 2011

Jumlah keluarga sebanyak 56,0 % memiliki pengolahan limbah tetapi sebagian kondisinya tidak terpelihara dengan baik, berdasarkan pengamatan ada 25,64% yang airnya tidak mengalir artinya ada penyumbatan, biasanya oleh sampah. Sedangkan keluarga yang tidak mempunyai SPAL sebanyak 43,6 % dan sebanyak 0,4 % tidak ada data mengenai kepemilikan SPAL.

Pengamatan sanitarian terhadap lingkungan rumah menemukan bahwa sekitar 28,6 % rumah tangga di Kabupaten Pesisir Selatan memiliki lingkungan yang terdapat genangan air kurang dari satu jam,antara satu jam sampai tiga jam mencapai 26,0 %, dan hanya sebanyak 3,5 % yang mempunyai genangan air lebih dari satu hari. Di sini, secara umum kondisi lokasi genangan air di sekitar lingkungan rumah berdasarkan survey EHRA di Kabupaten Pesisir tahun 2011 dapat dilihat pada grafik berikut.

(24)

Pokja Sanitasi Pesisir Selatan III - 24 Grafik VIII-4

Lamanya Genangan di Sekitar Lingkungan Rumah Berdasarkan Survey EHRA di Kabupaten Pesisir Selatan Tahun 2011

Gambar

Grafik III-2
Grafik III-3
Grafik IV-1
Grafik IV-2
+6

Referensi

Dokumen terkait

Sfingter bagian atas akan berelaksasi pada proses menelan agar makanan dan saliva dapat masuk ke dalam bagian atas dari badan esofagus.. Kemudian, otot dari

Konsep pencegahan DBD melalui metode PSN 3M Plus adalah tindakan yang dilakukan secara teratur untuk memberantas jentik dan menghindari gigitan nyamuk

Objek persepsi yang Berdasarkan hasil survei awal terhadap mahasiswa dinilai tidak menyenangkan, maka perilakunya Fakultas Psikologi Universitas Hang Tuah negatif, seperti

Pada kegiatan penelitian ini sekaligus akan diketahui manfaat ubi kayu dalam menggantikan pakan sumber energi yang berasal dari impor yaitu wheat pollard;

Aktivitas pertama adalah pengambilan variabel input, input yang diambil adalah citra warna dan garis lintasan, aktivitas kedua adalah pemrosesan, pemrosesan pertama dilakukan

Pembukaan booth ketika hari keluarga Kolej Ungku Omar dan sudut info di kafetaria pula lebih menekankan aspek konsep pemakaian ketika majlis dengan harapan

Upacara nontoni yang dilakukan oleh pihak calon pengantin laki- laki secara tidak langsung menjebak perempuan dalam posisi yang pasif, yaitu ”dipilih”, sedangkan pihak laki-laki