• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI PERUBAHAN EKOLOGIS DAN PENGARUHNYA TERHADAP NELAYAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB VI PERUBAHAN EKOLOGIS DAN PENGARUHNYA TERHADAP NELAYAN"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB VI

PERUBAHAN EKOLOGIS DAN

PENGARUHNYA TERHADAP NELAYAN

6.1. Perubahan Ekologis

Kawasan pesisir merupakan suatu kawasan dengan ekosistem yang dinamis dan mempunyai habitat yang beragam, baik didarat maupun dilaut. Kawasan pesisir Pulau Panjang mengandung sumberdaya alam yang begitu besar. Sumberdaya alam tersebut berupa sumberdaya alam hayati (ikan, rumput laut, mangrove dan terumbu karang) dan non hayati (mineral, tambang, sumberdaya air, dan lain-lain) serta jasa-jasa lainnya seperti perhubungan laut dan pariwisata.

Sifat sumberdaya pesisir yang terletak diantara lautan dan daratan menjadikan kawasan ini sebagai ekosistem yang paling mudah terkena dampak dari kegiatan manusia. Dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia dengan segala cara berupaya untuk mendapatkan materi, energi dan informasi dari alam. Seiring meningkatnya populasi manusia yang kemudian menyebabkan peningkatan kebutuhan akan sumberdaya alam, membuat peluang terjadinya perubahan pada sistem alamiah dari pesisir dan lautan semakin besar. Menurut Satria (2009a), perubahan tersebut dapat mengakibatkan berbagai hal negatif, baik pada sumberdaya yang terkandung maupun aspek fisik dari lautan itu sendiri.

Perubahan ekologis merupakan perubahan yang terjadi pada keseluruhan komponen biotik dan abiotik yang terdapat pada laut dan pesisir sebagai akibat langsung maupun tidak langsung dari aktivitas manusia. Perubahan ekologis merupakan dampak yang tidak dapat dihindari dari interaksi manusia dan alam yang berlangsung dalam konteks pertukaran (exchange). Sistem alam dan sistem manusia saling memberikan energi, materi dan informasi dalam jumlah dan bentuk yang berbeda satu sama lain (Dharmawan, 2007). Manusia meminta materi, energi dan informasi dari alam dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidupnya. Sementara itu, alam lebih banyak mendapatkan materi, energi dan informasi dari manusia dalam bentuk limbah dan polutan yang lebih banyak mendatangkan kerugian bagi kehidupan organisme lainnya.

(2)

6.1.1. Konteks Historis

Jika ditinjau dari konteks historisnya, perubahan ekologis di kawasan Pulau Panjang berawal ketika para investor China masuk ke kawasan ini pada tahun 2003 untuk membuka usaha tambak udang dan bandeng secara besar-besaran. Kegiatan yang membutuhkan lahan yang cukup luas ini secara mengejutkan membabat habis puluhan hektar hutan mangrove yang ada di kawasan Pulau Panjang. Setelah satu tahun berjalan, usaha tambak tersebut tidak juga membuahkan hasil. Akhirnya, pada tahun 2004 lahan-lahan tambak yang semula menjadi tempat pembudidayaan ikan bandeng dan udang ditinggalkan oleh pemiliknya begitu saja, tanpa ada upaya untuk merehabilitasi lahan/hutan mangrove yang sudah rusak tersebut.

Perubahan ekologis di kawasan Pulau Panjang semakin berlanjut ketika terjadi pemekaran wilayah di tingkat kabupaten. Sebelum tahun 2003, Pulau Panjang merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Kotabaru. Akan tetapi, sejak ditetapkannya Undang-undang Nomor 2 tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Balangan dan Kabupaten Tanah Bumbu di Provinsi Kalimantan Selatan, wilayah Pulau Panjang menjadi bagian dari Kabupaten Tanah Bumbu. Kejadian ini menjadi babak baru pengelolaan sumberdaya alam di wilayah Tanah Bumbu, tidak terkecuali di kawasan Pulau Panjang.

Gambar 5 Bagan Historis Perubahan Ekologis

Sekitar tahun 2004an, yang merupakan masa transisi dan penyerahan kewenangan dari Kabupaten Kotabaru ke Kabupaten Tanah Bumbu, munculah

2003

2004

2005

Mulai munculnya Pelsus Batubara Kapal-kapal tongkang besar mulai beroperasi Berdirinya Kabupaten

Tanah Bumbu (UU No.2 tahun 2003)

Kewenangan dalam Pengelolaan SDA

berada dibawah Pemerintah Kab. Tanbu Pembukaan Tambak

Udang & Bandeng oleh Investor China Puluhan hektar hutan mangrove hancur akibat

pembukaan tambak udang & bandeng

(3)

berbagai macam perusahaan pertambangan di Tanah Bumbu. Kejadian tersebut berlanjut pada tahun 2005 sampai saat ini. Bermunculannya perusahaan pertambangan serta merta diikuti juga dengan pendirian-pendirian palabuhan khusus pengangkut hasil tambang tersebut. Di kawasan pesisir Pulau Panjang, muncul lima buah pelabuhan khusus batu bara yang memanfaatkan kawasan pesisir Pulau Panjang sebagai sarana transportasi utama untuk mengangkut hasil-hasil tambang.

Sektor pertambangan terutama pertambangan batubara merupakan salah satu sektor yang sangat berperan bagi perekonomian Kabupaten Tanah Bumbu. Dinas Pertambangan dan Energi (2009) mencatat ada 62 perusahaan/KUD yang mendapatkan izin penambangan batubara. Jumlah ini meningkat 33,9 persen menjadi 83 perusahaan/KUD pada tahun 2010. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Tanah Bumbu pada tahun 2009, tercatat sebanyak 45,11 persen berasal dari sektor pertambangan (BPS Tanah Bumbu, 2010).

6.1.2. Analisis Ekologi Politik

Bryant dan Bailey (2001) sebagaimana dikutip Satria (2007) mengemukakan bahwa perubahan lingkungan tidak dapat dipahami secara terpisah dari konteks politik dan ekonomi dimana masalah itu muncul. Dengan demikian masalah-masalah lingkungan yang terjadi di Pulau Panjang tidak hanya persoalan teknis pengelolaan semata, akan tetapi juga terdapat masalah-masalah sosial politik yang tercakup didalamnya.

Masalah-masalah sosial politik tersebut dibuktikan dengan adanya produk hukum yang saling meniadakan satu sama lain, baik pada tingkat lokal maupun nasional, yang kemudian menyebabkan kerusakan ekosistem. Pada tingkat lokal, kebijakan pemerintah daerah menetapkan kawasan ini sebagai desa melalui SK Bupati Tanah Bumbu nomor 336 tahun 2007 yang kemudian diperbaharui menjadi Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Bumbu nomor 7 tahun 2010 bertentangan dengan SK Menteri Kehutanan nomor 329/Kpts-II/1987 yang kemudian diperbaharui dengan Peraturan Pemerintah nomor 26 tahun 2008 dan SK Menteri Kehutanan nomor 435 tahun 2009 tentang penetapan kawasan ini sebagai kawasan suaka alam (cagar alam). Menurut Undang-undang nomor 5

(4)

tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekosistemnya, di kawasan suaka alam setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam, yang meliputi mengurangi, menghilangkan fungsi dan luas kawasan suaka alam, serta menambah jenis tumbuhan dan satwa lain yang tidak asli (pasal 19).

Sumber: Dinas Kehutanan Tanah Bumbu, 2010

Gambar 6 Lampiran SK Menhut Nomor 435/Menhut-II/2009 tentang Kawasan Hutan Kabupaten Tanah Bumbu

Selain itu, pemberian izin kepada perusahaan-perusahaan pertambangan, baik yang dilakukan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, berarti juga bertentangan dengan SK Menteri Kehutanan nomor 329/Kpts-II/1987 yang kemudian diperbaharui dengan SK Menteri Kehutanan nomor 435 tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah nomor 26 tahun 2008 tentang penetapan kawasan ini sebagai kawasan suaka alam (cagar alam). Hal ini menandakan bahwa pemerintah pusat maupun daerah, yang memberikan izin kepada perusahaan-perusahaan pertambangan untuk membangun pelabuhan khusus batubara yang ada di kawasan Pulau Panjang tidak memperhatikan kaidah konservasi sebagaiman tercantum

(5)

dalam pasal 18 Undang-undang nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

Paradigma pembangunan yang bertumpu pada penguatan ekonomi melahirkan berbagai kebijakan yang mendukung tujuan pembangunan yakni peningkatan kesejahteraan yang diukur melalui peningkatan pendapatan negara atau daerah. Dengan demikian nilai sumberdaya alam yang dimunculkan adalah nilai ekonomi semata. Padahal sumberdaya alam juga memiliki nilai sosial budaya.

6.1.3. Bentuk Perubahan Ekologis

Pada saat ini telah terdapat beberapa perubahan fisik yang mengindikasikan telah terjadinya kerusakan ekosistem di kawasan pesisir Pulau Panjang. Berbagai bentuk perubahan ekologis yang terjadi di kawasan pesisir Pulau Panjang tersebut antara lain: (1) perubahan pada ekosistem mangrove dan (2) perubahan pada ekosistem terumbu karang.

1) Perubahan pada Ekosistem Mangrove

Mangrove merupakan ekosistem utama yang mendukung kehidupan di wilayah pesisir dan laut. Sebagai suatu ekosistem khas wilayah pesisir dan laut, mangrove memiliki beberapa fungsi penting bagi ekosistem pesisir dan laut antara lain sebagai peredam gelombang, pelindung pantai dari abrasi, penahan lumpur dan perangkap sendimen yang diangkut oleh aliran permukaan/daratan, penghasil detritus dan mineral yang dapat menyuburkan perairan, daerah asuhan (nursery ground), daerah penyedia nutrien (feeding ground) dan pemijahan (spawning ground) bermacam biota perairan, pencegah intruisi air laut, serta habitat satwa liar. Selain memiliki fungsi ekologis, ekosistem mangrove juga memiliki fungsi ekonomis, yakni sebagai penyedia kayu, bahan bangunan, alat penangkap ikan, penyedia nipah (Dahuri et al., 1996; Wahyono et al., 2001; Bengen, 2004; Purwoko, 2005; Anwar, 2006; Mulyadi, 2007; Satria, 2009b).

Bagi masyarakat pesisir Pulau Panjang, keberadaan ekosistem mangrove ini sangat penting. Pasalnya areal hutan mangrove yang masih subur akan mengundang jenis-jenis kepiting, udang dan kerang-kerangan untuk menenpati

(6)

hutan mangrove tersebut. Akibatnya, nelayan akan mudah mendapatkan kepiting, udang dan kerang-kerangan lainnya di daerah tersebut.

Akan tetapi, berdasarkan Laporan Akhir Pemetaan Spasial dan Pulau-Pulau Kecil yang diterbitkan oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Kalimantan Selatan pada tahun 2010, ekosistem mangrove yang ada di kawasan pesisir Pulau Panjang mengalami kerusakan dan alih fungsi lahan. Hal ini dapat dilihat secara visual dengan adanya pembukaan lahan mangrove untuk pemukiman, tambak dan penambatan kapal-kapal tongkang batubara. Selain itu, kerusakan ekosistem mangrove juga dikarenakan adanya aktivitas penebangan pohon mangrove untuk kayu bakar, bahan bangunan, pasak bumi, tonggak-tonggak untuk budidaya rumput laut, serta tempat memasang jaring ikan. Kerusakan ekologis mangrove terlihat dengan adanya abrasi di ujung utara Pulau Panjang. Kondisi ekosistem mangrove di Pulau Hantu dan Pulau Tampakan yang merupakan bagian dari Pulau Panjang belum terjadi abrasi yang signifikan, namun mangrove yang berada di bagian pantai lebih jarang.

Secara ekologi, indikator kerusakan terlihat dari adanya tumbuhan Drujon/Jeruju (Acanthus ilicifolius L.). Drujon merupakan tumbuhan berduri yang dapat tumbuh di substrat lunak berlumpur sampai setinggi 2 meter. Tumbuhan ini dapat menjadi tumbuhan dominan di hutan mangrove yang rusak (Dinas Kelautan dan Perikanan Kalsel, 2010).

Selain itu, kerusakan ekosistem mangrove ini sendiri juga diakui oleh para nelayan. Sebanyak tiga puluh orang responden yang diwawancarai, 16 orang diantaranya atau 53,3 persen responden menyatakan bahwa kondisi ekosistem mangrove saat ini berada dalam kondisi yang buruk, 7 orang atau 23,3 persen responden menyatakan sangat buruk, 5 orang atau 16,7 persen responden yang menyatakan baik, dan hanya 2 orang atau 6,7 persen responden yang menyatakan sangat baik.

Pernyataan responden tersebut menandakan bahwa telah terjadi perubahan ekosistem mangrove di kawasan pesisir Pulau Panjang. Sebanyak 16 orang atau 53,3 persen responden yang menyatakan kondisi ekosistem mangrove saat ini berada dalam kondisi yang buruk, dan 7 orang atau 23,3 persen responden yang menyatakan sangat buruk berpendapat bahwa kerusakan tersebut diakibatkan oleh

(7)

adanya pelabuhan khusus batubara (30%), pembukaan lahan tambak (20%), penebangan oleh masyarakat untuk bahan bangunan (13,3%), dan karena penyebab lainnya berupa pencarian kayu bakar, tonggak-tonggak untuk budidaya rumput laut (13,3%).

Gambar 7 Sebaran Persepsi Responden terhadap Kondisi Ekosistem Mangrove

Persepsi responden mengenai kondisi ekosistem mangrove yang ada di kawasan pesisir Pulau Panjang tersebut didasari oleh dampak yang dirasakannya saat ini. Selain itu, hal ini juga didasarkan pada pengalaman dan pengetahuan lokal mereka, seperti yang diungkapkan oleh Bapak USM (75 thn):

“... kalau dulu kita bisa cari kepiting dan undang enak, kada (tidak) seperti sekarang, mangrove sudah tipis, habis ditebangi, semua sudah ditutup sama tambak. Belum lagi tugboat-tugboat itu suka ikat kapal di mangrove. Mereka suka seenaknya aja ikat-ikat itu...”

Persepsi tentang kondisi ekosistem mangrove ini juga dilakukan oleh para responden di wilayah kerjanya sambil menunjukan bukti bahwa telah terjadi perubahan ekologis di kawasan pesisir Pulau Panjang. Ukuran-ukuran yang dipakai untuk menilai kondisi lingkungan pun tidak jauh dari rutinitasnya. Perubahan warna, rasa, dan kebiasaan hidup satwa, jumlah, perubahan bentuk fisik alam menjadi indikator yang dipakai dalam menilai kondisi ekosisitem pesisir (mangrove dan terumbu karang).

6,7%

16,7%

53% 23,3%

Kondisi Ekosistem Mangrove

(8)

Jika persepsi nelayan ini dilihat lebih jauh berdasarkan pengalaman nelayan melaut, ditemukan bahwa semua nelayan yang pengalaman tinggi (23,3%) mempersepsikan diri bahwa di kawasan ini kondisi ekosistem mangrove semakin buruk. Hal ini seperti yang terlihat pada gambar 8.

Gambar 8 Sebaran Persepsi Responden terhadap Ekosistem Mangrove berdasarkan Pengalaman Melaut

Berbeda dengan nelayan yang berpengalaman tinggi, nelayan dengan pengalaman rendah dan sedang justru memiliki sebaran persepsi yang beragam. Dari responden dengan pengalaman rendah, sebanyak 10 persen mempersepsikan kondisi ekosistem mangrove sangat buruk, 16,7 persen buruk, 10 persen baik, dan 3,3 persen sangat baik. Sedangkan dari responden dengan pengalaman sedang, sebanyak 13,3 persen berpendapat bahwa kondisi ekosistem mangrove sangat buruk, 13,3 persen buruk, 6,7 persen baik, dan 3,3 persen mengatakan kondisinya masih sangat baik.

Beragamnya persepsi nelayan terhadap perubahan ekologis di kawasan ini merupakan sesuatu yang wajar terjadi. Hal ini dikarenakan tingkat pengetahuan nelayan yang berbeda-beda tentang ekosistem mangrove. Selain itu, perbedaan ini juga disebabkan oleh seberapa penting peranan mangrove dalam menunjang kehidupannya. Nelayan yang tidak pernah memanfaatkan mangrove merasa bahwa kondisi ekosistem mangrove tidak berubah atau baik-baik saja, akan tetapi nelayan sering memanfaatkan mangrove dalam rangka menunjang

10 13,3 0 16,7 13,3 23,3 10 6,7 0 3,3 3,3 0 0 5 10 15 20 25

Pengalaman Rendah Pengalaman Sedang Pengalaman Tinggi

Persepsi Nelayan berdasarkan Pengalaman Melaut

(9)

kehidupannya akan berpendapat bahwa mangrove saat ini kondisinya sudah mengalami perubahan atau semakin buruk.

2) Perubahan Ekosistem Terumbu Karang

Terumbu karang berfungsi sebagai habitat beragam jenis ikan, penyedia nutrisi bagi biota perairan, pelindung garis pantai dari gelombang laut, tempat mengasuh dan membesarkan biota perairan, serta pendukung pertumbuhan mangrove dan lamun. Terumbu karang juga memiliki fungsi ekonomi sebagai penghasil berbagai produk perikanan dan kelautan, sebagai aset yang berharga bagi kegiatan pariwisata bahari dan merupakan habitat produktif bagi sumberdaya rumput laut.

Laporan Akhir Pemetaan Spasial dan Pulau-Pulau Kecil yang diterbitkan oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Kalimantan Selatan pada tahun 2010, memaparkan bahwa di sekitar pulau ditemukan pula adanya gugusan terumbu karang yaitu di bagian utara Pulau Tampakan (Gusung Payung), dan dibagian barat Pulau Hantu (Tunurappu).

Keberadaan terumbu karang tersebut diakui oleh para nelayan sangat penting untuk menjamin ketersediaan sumberdaya ikan. Keberadaan karang-karang tersebut dimanfaatkan oleh para nelayan untuk menentukan daerah penangkapan, khususnya oleh para nelayan dengan alat tangkap berupa pancing. Sebelum memancing, para nelayan tersebut mencari karang terlebih dahulu agar usahanya dalam mencari ikan tidak sia-sia.

Akan tetapi, kondisi terumbu karang di kawasan Pulau Panjang saat ini menurut pengakuan nelayan sudah jauh berbeda dengan beberapa tahun belakangan. Sebanyak 30 orang responden yang diwawancarai terkait dengan kondisi ekosistem terumbu karang yang ada di wilayah Pulau Panjang, 15 orang (50%) diantaranya mengatakan saat ini kondisinya sudah sangat buruk, 13 orang nelayan (43,3%) mengatakan buruk, dan hanya dua (6,7%) yang mengatakan baik. Adapun persepsi nelayan tersebut dapat dilihat dalam gambar 9.

(10)

Gambar 9 Sebaran Persepsi Responden terhadap Kondisi Ekosistem Terumbu Karang

Kerusakan ekosistem terumbu karang menurut para responden yang menjawab buruk dan sangat buruk (93,3%) disebabkan oleh jangkar kapal (70%), dan perubahan iklim/pemanasan global (23,3%). Sejak maraknya pembangunan pelabuhan pertambangan batubara di Kabupaten Tanah Bumbu sekitar tahun 2000, diakui oleh para nelayan berpengaruh terhadap kondisi ekosistem terumbu karang. Sebagaimana diungkapkan oleh salah seorang nelayan Bapak YUD (29 tahun):

“..memang sih kalau kita ngomong begini orang tidak percaya, tapi kan kita yang merasai..kapal-kapal itu (kapal tongkang batubara, red.) suka seenaknya berjangkar, akibatnya karang-karang disini pada rusak dan larut kebawa kapal tongkang itu...kalau sudah begini kita-kita (nelayan, red.) juga yang repot. Ikan sudah sulit dicari, kita mancing sudah tidak bisa lagi karena karangnya sudah habis..”

Maraknya pembangunan pelabuhan khusus batubara tersebut secara otomatis juga mengundang kapal-kapal tongkang yang bermuatan besar. Kawasan pesisir Pulau Panjang yang berada ditengah-tengah Selat Laut menjadi salah satu kawasan yang paling sering dilalui kapal-kapal tongkang bermuatan besar tersebut. Kerusakan ekosistem terumbu karang terjadi apabila kapal pengangkut batubara tidak mengindahkan alur dan pemetaan yang sudah ditetapkan oleh

6,7%

43,3%

50%

Kondisi Ekosistem Terumbu Karang

(11)

instansi terkait, yakni Dinas Kelautan dan Perikanan serta Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Tanah Bumbu Kalimantan Selatan.

6.2. Dampak Sosial-Ekonomi Perubahan Ekologis

Berbagai macam bentuk perubahan ekologis yang terjadi di kawasan pesisir Pulau Panjang seperti yang telah diuraikan pada sub bab sebelumnya, tentu akan mempengaruhi kehidupan nelayan. Hal ini dikarenakan nelayan merupakan bagian dari masyarakat pesisir yang menggantungkan hidupnya pada ekosistem pesisir dan laut. Pengaruh perubahan ekologis tersebut semakin besar karena nelayan Pulau Panjang merupakan nelayan dengan pola penangkapan ikan tradisional yang melakukan kegiatan pencarian ikan dengan alat tangkap seadanya.

Tabel 9 Matriks Perubahan Ekologis akibat Kegiatan Manusia

Kegiatan Perubahan

Ekologis Dampak Sosial, Ekonomi dan Ekologi*

Penebangan Mangrove

Kerusakan ekosistem mangrove

Hilangnya tempat mencari makan (feeding

ground) dan daerah pengasuhan (nursery ground)

ikan, kepiting dan udang. Sehingga mengganggu ketersediaan stok ikan, udang, dan kepiting. Pembukaan lahan

tambak

Kerusakan ekosistem mangrove

Berkurangnya keragaman tangkapan nelayan. Kepiting, udang, dan karang-karang sulit ditemui. Berkurangnya jumlah tangkapan nelayan, akibat akses nelayan untuk memasuki wilayah hutan mangrove tersebut telah ditutup oleh para petambak. Pengerukan dan pengurugan yang berkaitan dengan pembangunan pelabuhan khusus batubara, industri lainnya Kerusakan ekosistem mangrove

Pendangkalan pantai karena pengendapan

sendimen yang sebelum hutan mangrove

dikonversi mengendap di hutan mangrove Erosi garis pantai

Mengganggu regenerasi stok-stok ikan

Mengganggu pertumbuhan rumput laut dan ketersediaan kepiting Penggundulan hutan di lahan atas Kerusakan ekosistem mangrove dan terumbu karang

Sendimen hasil erosi berlebihan dapat mencapai terumbu karang yang letaknya sekitar muara sungai pengangkut sendimen sehingga akan

meningkatkan kadar kekeruhan air yang

selanjutnya akan menghambat pertumbuhan terumbu karang

Jangkar kapal Kerusakan

terumbu karang

Kerusakan fisik terumbu karang batu oleh jangkar kapal

Hilangnya daerah penangkapan ikan dan

peralihan pola migrasi ikan

Keterangan :

(12)

Berbagai tekanan pembangunan ekonomi yang sistematis dan terus menerus serta dampak dari pertumbuhan jumlah penduduk menyebabkan terjadinya degradasi dan kerusakan ekosistem mangrove dan terumbu karang di wilayah pesisir. Terganggu atau rusaknya kedua ekosistem tersebut jelas akan mempengaruhi kegiatan melaut nelayan yang bermuara pada jumlah dan variasi hasil tangkapannya. Beberapa kegiatan yang menimbulkan perubahan ekologis di kawasan pesisir Pulau Panjang disajikan dalam tabel 9.

Dampak yang ditimbulkan dari berbagai bentuk perubahan tersebut tidak hanya mempengaruhi kondisi ekonomi nelayan, namun juga berpengaruh terhadap kehidupan sosial nelayan. Adapun dampak sosial-ekonomi yang ditimbulkan dari perubahan ekologis dibagi kedalam dua kluster penyebab, yaitu (1) dampak perubahan pada ekosistem mangrove; dan (2) dampak perubahan pada ekosistem terumbu karang.

1) Dampak Perubahan Ekosistem Mangrove

a) Penurunan jumlah dan keragaman hasil tangkapan nelayan

Kerusakan atau degradasi ekosistem mangrove menyebabkan hilangnya substrat yang menjadi sumber pakan ikan, rusaknya habitat terbiak, hilangnya tempat mengasuh dan membesarkan ikan, serta rusaknya tempat perlindungan bagi biota laut di kawasan pesisir (Purwoko, 2005). Hal ini berakibat pada berkurangnya stok ikan yang kemudian mempengaruhi kehidupan ekonomi nelayan.

Jenis ikan atau biota laut yang menjadi incaran para nelayan Pulau Panjang adalah kakap merah, kakap putih, kerapu, kepiting dan udang. Kakap merah merupakan salah satu jenis ikan karang yang hidup di daerah mangrove dan muara sungai yang kadar garamnya mendekati air tawar. Pada akhirnya kerusakan ekosistem mangrove akan berdampak juga pada persediaan ikan kakap merah tersebut. Selain kakap merah, yang dirasakan sudah mulai hilang adalah kepiting bakau. Menurut para nelayan keberadaan kepiting saat ini jauh berbeda dengan beberapa tahun lalu sebelum mangrove di daerah Pulau Panjang tersebut rusak.

(13)

Hal ini diungkapkan oleh Bapak SUD (35 tahun):

“..sekarang tuh lain sudah waktunya, perkembangan ikan kayak kakap merah, kerapu, undang itu pang sudah buruk perkembangannya.. kita sebelum ada batubara (pelsus-red) enak aja kita cari ikan. Tapi sekarang mana bisa kita cari, sulit sudah...”

Sulitnya nelayan menangkap ikan pasca rusaknya ekosistem pesisir akibat aktivitas industri skala besar diperburuk oleh persoalan perubahan iklim. Sebagai negara kepulauan, Indonesia amat rentan terhadap persoalan perubahan iklim. Kementeriaan Kelautan dan Perikanan (KKP) menyebutkan bahwa telah terjadi pertumbuhan negatif jumlah nelayan tangkap pada periode 2004-2008, hingga menyisakan kurang dari 2,8 juta nelayan. Jika dilakukan perhitungan dalam rentang waktu tersebut, maka ditemukan fakta bahwa setiap tahun Indonesia kehilangan sebanyak 31 ribu nelayan atau rata-rata 116 nelayan setiap harinya.

b) Hilangnya/berkurangnya pasokan kayu bakar, kayu bangunan, nipah dan bahan baku obat-obatan

Perubahan ekologis yang terjadi pada ekosistem mangrove menurut Anwar dan Gunawan (2006) akan menyebabkan berkurangnya pasokan kayu bakar, bahan bangunan, nipah dan bahan baku obat-obatan. Kerusakan mangrove yang terjadi di Pulau Panjang, dimana salah satunya disebabkan oleh pembukaan tambak dan penebangan liar oleh masyarakat sendiri ternyata berpengaruh pada kehidupan masyarakat Pulau Panjang.

Sebagian masyarakat Pulau Panjang menggunakan kayu mangrove untuk bahan bangunan pembuatan rumah dan kayu bakar. Letak pulau yang relatif sulit dijangkau oleh para penjual material bahan bangunan, menyebabkan masyarakat lebih memilih untuk menabang pohon mangrove untuk membangun rumah. Hal ini mengakibatkan mangrove yang ada di Pulau Panjang mengalami degradasi yang cukup parah.

Penebangan-penebangan mangrove tersebut tidak diimbangi oleh upaya-upaya rehabilitasi yang sistematis untuk mengatasi kerusakan ekosistem mangrove. Hal ini mengakibatkan kelangkaan ekosistem mangrove yang

(14)

kemudian menyebabkan berkurangnya pasokan kayu bakar, kayu bangunan, nipah dan bahan baku obat-obatan.

2) Dampak Perubahan Ekosistem Terumbu Karang a) Sulitnya menentukan daerah penangkapan ikan

Nelayan di kawasan Pulau Panjang telah memiliki wilayah penangkapan tertentu yang menjadi areanya mencari ikan selama bertahun-tahun. Perubahan ekologis menyebabkan perubahan pola migrasi ikan di perairan Selat Laut. Hal ini kemudian menimbulkan kendala di kalangan nelayan tradisional yang masih mengandalkan pengetahuan lokal dan pengalamannya dalam mencari ikan. Hal ini diungkapkan oleh Bapak SUD (35 tahun):

“..biasanya kita mancing dibatu-batu karang, ikan kan banyak disitu, sebelum ada batubara ikan enak aja kita cari, mancing aja semalam bisa dapat dua ratus ribu, tapi sekarang ini paling-paling cuma dapat duapuluh ribu semalam, itupun sudah untung kalau dapat...itulah kita jadi sulit cari ikan...batu-batu (karang-red) sudah hancur terbawa tongkang..”

Maraknya pendirian pelabuhan khusus batubara di kawasan ini mengundang kapal-kapal bermuatan besar untuk berlalu-lalang di perairan Pulau Panjang (Selat Laut). Ada enam pelabuhan khusus batubara yang berada di kawasan pesisir Pulau Panjang. Keenam pelabuhan khusus tersebut sebenarnya sudah memiliki alur dan pemetaan yang telah ditetapkan oleh instansi terkait (Dinas ESDM dan Dinas Kelautan Perikanan), akan tetapi dari keenam pelabuhan tersebut lima diantaranya tidak mematuhi alur yang sudah ditetapkan. Hal ini kemudian menimbulkan kerusakan dan kamatian karang sehingga nelayan menjadi sulit untuk menentukan wilayah penangkapan ikan.

b) Menurunnya kesempatan berusaha

Selain sulit untuk menentukan daerah penangkapan ikan, kerusakan terumbu karang juga berdampak pada menurunnya kesempatan berusaha para nelayan. Pasalnya, selain aktivitasnya sebagai pencari ikan di laut, hampir semua nelayan di Pulau Panjang merupakan pembudidaya rumput laut

(15)

sebagai mata pencaharian tambahan. Bengen (2004) mengemukakan bahwa terumbu karang merupakan habitat yang produktif bagi rumput laut. Dengan demikian kerusakan terumbu karang juga akan berpengaruh terhadap produktivitas rumput laut yang dibudidayakan oleh para nelayan.

Hal ini diakui oleh Bapak MAD (60 tahun):

“...sejak hancurnya batu-batu karang disini, sulit sudah mengandalkan rumput laut, perkembangannya sudah buruk, banyak tahi air (lumut-red), kita pang sudah serba sulit disini.. iwak (ikan-red) sulit didapat, kebun sudah tercemar debu-debu, itu pang di pulau, ya keadaannya seperti ini ...”

Saat ini ada 40 rumah tangga nelayan yang mengikuti kegiatan budidaya rumput laut, dan saat ini usaha pembudidayaan rumput laut tersebut merupakan salah satu mata pencaharian alternatif bagi nelayan. Dengan demikian kerusakan terumbu karang tersebut sangat jelas berdampak pada mata pencaharian alternatif nelayan.

Gambar

Gambar 5 Bagan Historis Perubahan Ekologis
Gambar 6  Lampiran SK Menhut Nomor 435/Menhut-II/2009 tentang  Kawasan Hutan Kabupaten Tanah Bumbu
Gambar  7  Sebaran  Persepsi  Responden  terhadap  Kondisi  Ekosistem   Mangrove
Gambar  8  Sebaran  Persepsi  Responden  terhadap  Ekosistem  Mangrove  berdasarkan Pengalaman Melaut

Referensi

Dokumen terkait

Apabila proses fotosintesis berjalan dengan baik maka pengisian polong pada masa generatif juga akan berjalan optimal, dan hasil benih yang dihasilkan tanaman

Alhamdulillah, segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat sehingga kami dapat

Untuk menjawab apakah kasus abortus yang relatif tinggi berhubungan dengan seropositif Brucellosis, maka dilakukan Uji Chi Square dan pengukuran asosiasi antara

Dokumen Renop ini memuat rumusan rencana dan target pencapaian yang bersifat kuantitatif dan operasional dari masing-masing indikator kinerja pencapaian tujuan dan

Prinsip utama dari pengendalian genetik cacat resesif sangat sederhana terlepas dari setinggi apa frekuensi alel resesif yang tidak diinginkan itu terjadi, frekuensi

(2) Apabila Panitia Pemilihan tidak menetapkan dan tidak melaporkan hasil pemilihan kepala desa serta BPD tidak melaporkan dan mengusulkan pengesahan sebagaimana dimaksud pada ayat

Prestasi belajar siswa sebelum mengkonsumsi biskuit diperoleh melalui observasi awal atau pengambilan data awal, bahwa prestasi belajar siswa SD di kecamatan

Proses pengolahan data barang yang menjadi tanggungjawab sekolah, atau biasa disebut dengan barang inventaris, mulai dari pendataan barang masuk dan barang keluar,