• Tidak ada hasil yang ditemukan

Data Kemiskinan dalam Perspektif APBN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Data Kemiskinan dalam Perspektif APBN"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

BIRO

ANALISA

ANGGARAN

DAN

PELAKSANAAN

APBN

– SETJEN

DPR

RI

Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR-RI | 30

Data Kemiskinan dalam Perspektif APBN

1. Simpang Siur Data Kemiskinan

Kemiskinan merupakan masalah yang kompleks dan multidimensional. Karakter ini menyebabkan diskusi mengenai kemiskinan hampir selalu menyinggung berbagai aspek. Dua diantaranya adalah : aspek kesehatan dan juga aspek pangan. Dalam APBN kedua aspek ini direpresentasikan - antara lain - dengan alokasi belanja untuk program Raskin dan Jamkesmas. Pada 1 Juli 2011, BPS merilis data kemiskinan di tingkat nasional pada posisi Maret 2011 sebesar 30,02 juta, atau setara dengan 12,49 persen dari total penduduk.

Sementara itu, pendataan yang dilakukan BPS pada September 2008 menghasilkan 17,5 juta Rumah Tangga Sasaran (RTS) dengan jumlah anggota rumah tangga sebesar 60,4 juta jiwa. Angka 17,5 juta RTS inilah yang digunakan sebagai acuan untuk kebijakan subsidi pangan/raskin dan Jamkesmas dalam APBN.1

Secara sekilas kedua data tersebut menggambarkan jumlah penduduk miskin di Indonesia. Namun yang menjadi pertanyaan, apakah kedua data tersebut merujuk pada orang miskin yang sama ? Mengapa ada perbedaan jumlah penduduk miskin yang begitu besar (29 juta jiwa) antaranya? Bagaimana sebenarnya BPS mendata penduduk miskin ? Apa dampak pemilihan data kemiskinan terhadap anggaran penanggulangan kemiskinan dalam APBN ?

Gambar 1. Perkembangan Kemiskinan di Indonesia, 2004 - 2011

Sumber: BPS, diolah dari Survey Sosial Ekonomi Nasional

2. Dua Data Kemiskinan

Menurut BPS, data yang digunakan untuk menggambarkan penduduk miskin dan penerima Raskin serta Jamkesmas, adalah data yang berbeda. Perbedaan data ini terjadi karena perbedaan metode penghitungan dan tujuan penggunaan.

1 Sebagian besar publik - termasuk para tokoh lintas agama - menggunakan angka 70 juta jiwa, dengan

(2)

BIRO

ANALISA

ANGGARAN

DAN

PELAKSANAAN

APBN

– SETJEN

DPR

RI

Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR-RI | 31 Berdasarkan metode penghitungan dan keperluan penggunaannya, data kemiskinan dapat dikategorikan menjadi dua kelompok, yaitu data kemiskinan makro dan data kemiskinan mikro. Kedua jenis data ini mempunyai metodologi penghitungan dan tujuan pemanfaatan yang berbeda sehingga tidak dapat dibandingkan.

Data kemiskinan makro didasarkan pada konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Konsep ini memandang kemiskinan sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan. Penghitungannya didasarkan pada data sampel sehingga hasilnya adalah estimasi.

Perhitungannya berdasarkan

ukuran garis kemiskinan

yang

didefinisikan sebagai rata-rata

pengeluaran makanan dan non makanan per kapita pada kelompok referensi yang telah ditetapkan.

Penduduk dikategorikan miskin apabila hanya memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan. Informasi apakah penduduk masuk dalam kelompok miskin atau tidak berdasarkan ukuran garis kemiskinan dihasilkan dari Survey Sosial dan Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilakukan setiap tahun pada bulan Februari atau Maret.

Data kemiskinan mikro didasarkan pada ciri-ciri rumah tangga miskin supaya pendataan bisa dilakukan secara cepat dan hemat biaya.

Berbeda dengan data kemiskinan makro yang hanya dihitung pada sample tertentu yang kemudian diagregasi, data kemiskinan mikro diperoleh melalui survey Pendataan Sosial Ekonomi tahun 2005 (PSE-05) yang kemudian telah diperbarui melalui Survey Pendataan Program Perlindungan Sosial tahun 2008 (PPLS-08). Kedua survey ini menggunakan pendekatan sensus, bukan sample, untuk mengidentifikasi keluarga miskin sampai pada identitas kepala rumah tangga dan alamat tempat tinggalnya.

Pada data kemiskinan mikro, ukuran kemiskinan yang digunakan bukan lagi berdasarkan garis kemiskinan yang bersifat rata-rata agregat, namun menggunakan kriteria akses terhadap kebutuhan dasar yang terdiri dari 16 Kriteria Rumah Tangga Miskin. Dengan menggunakan kriteria ini, penduduk miskin dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM), Rumah Tangga Miskin (RTM), dan Rumah Tangga Hampir Miskin (RTHM). Tujuan pembagian adalah untuk mengetahui intensitas kemiskinan.

Tujuan penggunaan data kemiskinan makro dan mikro juga berbeda. Menurut Bappenas, data kemiskinan makro digunakan sebagai dasar untuk perencanaan, monitoring dan evaluasi pembangunan secara makro, yang antara lain dapat digunakan untuk mengetahui jumlah dan persentase penduduk miskin, poverty gap, dan severity index (absolute), serta ketimpangan/disparitas akses antar golongan masyarakat.

Data kemiskinan makro juga digunakan untuk melihat perkembangan jumlah penduduk miskin secara runtun waktu (time series) karena dapat diperbandingkan. Namun, data kemiskinan makro tidak bersifat operasional karena pengumpulannya yang berdasarkan sample tertentu sehingga tidak dapat menunjukkan identitas individu serta lokasi penduduk miskin. Dengan demikinan data kemiskinan makro tidak dapat digunakan sebagai data operasional pelaksanaan program-program pembangunan yang bersifat langsung ditujukan kepada masyarakat miskin (targeting), seperti misalnya program Raskin dan Jamkesmas.

Dalam hal ini, data kemiskinan mikro diperlukan karena ia menunjukkan identitas dan lokasi sasaran penerima program-program bantuan langsung pemerintah seperti Raskin, Jamkesmas,

(3)

BIRO

ANALISA

ANGGARAN

DAN

PELAKSANAAN

APBN

– SETJEN

DPR

RI

Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR-RI | 32 dan Bantuan Langsung Tunai (BLT). Selain itu, data kemiskinan mikro juga dibutuhkan dalam operasionalisasi sebuah program bantuan langsung karena membagi penduduk miskin ke dalam tiga kelompok, yaitu RTSM, RTM, dan RTHM. Klasifikasi penduduk miskin sangat diperlukan untuk menetapkan bentuk bantuan yang akan diberikan. Selain itu, mengingat di tingkat lapangan sangat sulit membedakan antara penduduk miskin dengan penduduk hampir miskin, maka data mikro kemiskinan akan memberikan informasi yang dibutuhkan untuk meningkatkan ketepatan program-program bantuan sosial.

Secara tersirat, BPS sebenarnya mengakui bahwa perubahan angka kemiskinan makro tidak berhubungan dengan program-program kemiskinan pemerintah seperti yang diyakini sebagian pihak selama ini. Kutipan Berita Resmi Statistik yang dirilis BPS pada 1 Juli 2011 hanya menyebutkan bahwa penurunan penduduk miskin (makro) sebanyak 1 juta jiwa pada periode 2010 – 2011 ternyata berkaitan dengan faktor-faktor diluar paket kebijakan penanggulangan kemiskinan pemerintah, seperti:

a. Inflasi umum periode Maret 2010 – Maret 2011 yang relatif rendah, yaitu sebesar 6,65 persen.

b. Naiknya rata-rata upah harian buruh bangunan sebesar 7,14 persen selama periode Maret 2010 – Maret 2011.

c. Produksi padi tahun 2011 (hasil Angka Ramalan/ARAM II) mencapai 68,06 juta GKG, naik sebesar 2,4 persen dari produksi padi tahun 2010 (Angka Tetap/ATAP) yang sebesar 66,47 juta ton GKG.

d. Perbaikan penghasilan petani yang ditunjukkan oleh kenaikan NTP (Nilai Tukar Petani) sebesar 2,09 persen dari 101,20 pada Maret 2010 menjadi 103,32 pada Maret 2011. e. Perekonomian Indonesia triwulan I – 2011 tumbuh sebesar 6,5 persen terhadap

triwulan I – 2010, pertumbuhan ini lebih tinggi dari Triwulan I - 2010 yang tumbuh sebesar 5,6 persen. Pada periode yang sama pengeluaran konsumsi rumah tangga meningkat sebesar 4,5 persen.

BPS sama sekali tidak menyebut peran kebijakan pemerintah secara eksplisit. BPS justru menyatakan bahwa angka kemiskinan makro turun akibat pengaruh perbaikan indikator makroekonomi yang dinamikanya tidak hanya dipengaruhi oleh pemerintah, tetapi juga tingkat konsumsi, investasi, iklim ekonomi internasional serta kekuatan pasar. Pemerintah tidak bisa serta merta mengklaim bahwa penurunan angka kemiskinan makro terjadi karena kinerja paket kebijakan penanggulangan kemiskinan pemerintah.

Hal ini tentu mengundang rasa penasaran terkait seberapa efektif program penanggulangan kemiskinan pemerintah. Bila pemerintah yakin kebijakannya telah menurunkan angka kemiskinan, pemerintah harusnya mampu menjelaskan mekanisme transmisi serta besaran pengaruh kebijakan tesebut. Untuk itu pemerintah perlu mempublikasikan evaluasi atas program penanggulangan kemiskinan serta pengaruhnya terhadap perubahan data mikro kemiskinan.

Sayangnya, data kemiskinan yang mendapat publikasi luas selama ini adalah data kemiskinan makro. Data kemiskinan mikro malahan relatif sepi dari pemberitaan. Ini menyebabkan informasi yang diterima publik tidak komprehensif.

Selama ini BPS selalu melakukan survei SUSENAS setiap tahunnya sehingga basis data makro kemiskinan terus diperbarui. Akan tetapi sensus PSE dan PPLS yang menjadi basis data mikro kemiskinan hanya dilakukan pada tahun 2005 dan 2008. Akibatnya muncul kesan bahwa data kemiskinan mikro mengalami stagnansi. Seharusnya pemerintah - dalam hal ini BPS –juga merilis data kemiskinan yang bersumber dari PPLS secara luas dan berkala. Bahkan kalau bisa, pendataannya juga diadakan tiap tahun seperti SUSENAS. Hal ini penting untuk menghindari polemik dan salah persepsi soal penanggulangan kemiskinan.

(4)

BIRO

ANALISA

ANGGARAN

DAN

PELAKSANAAN

APBN

– SETJEN

DPR

RI

Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR-RI | 33 3. Perspektif APBN

Dengan menggunakan ukuran garis kemiskinan (makro), jumlah penduduk miskin pada tahun 2011 mencapai 30,02 juta jiwa atau 12,49 persen dari total penduduk. Sementara itu, dengan menggunakan kriteria kemiskinan berdasarkan akses terhadap kebutuhan dasar (mikro), jumlah penduduk miskin berdasarkan Survey PPLS-08 yang dijadikan basis dalam program Raskin dan Jamkesmas adalah 17,5 juta RTS. Sedangkan Jumlah individu yang menerima bantuan adalah 60,4 juta jiwa. 2

Untuk tahun RAPBN-P TA 2011, DPR dan pemerintah menganggarkan dana sebesar untuk pembiayaan subsidi pangan sebesar Rp 15,3 triliun untuk 17,5 juta RTS.

Perkembangan Subsidi Pangan (Raskin), 2005 – 2011

Sumber: Nota Keuangan RAPBN 2011, Kemenkeu

Perumusan APBN ditentukan oleh DPR dan Pemerintah yang diwakili oleh Kemenkeu. DPR memiliki peran besar dalam proses penganggaran program penanggulangan kemiskinan melalui fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan. Selain itu , anggota DPR acap bersentuhan dengan isu kemiskinan melalui interaksi dengan konstituennya baik di skala nasional maupun di daerah pilihan mereka.

Untuk mendukung DPR dalam melaksanakan fungsinya - khususnya penganggaran dan pengawasan terhadap program penanggulangan kemiskinan - DPR membutuhkan data yang terkini, akurat dan representatif. Hal ini krusial karena anggaran negara tidak hanya digelontorkan untuk program penanggulangan kemiskinan semata. APBN masih harus membiayai belanja lain seperti belanja pegawai, subsidi BBM, transfer daerah, pembayaran bunga utang dan pembangunan infrastruktur.

2

Berbeda dengan survey PSE-05 yang mengasumsikan jumlah anggota keluarga dalam 1 (satu) RTS adalah 4 orang sehingga jumlah penduduk miskin terhitung 70 juta jiwa (4 x 17,5 jiwa). Dalam PPLS - 08, rata-rata jumlah anggota dalam satu RTS pada RTSM, RTM, dan RTHM tidak sama, dimana rata-rata jumlah anggota pada RTSM lebih besar dibanding RTM dan RTHM, serta jumlah anggota RTM lebih besar dibanding RTHM. (BPS, Penjelasan Data Kemiskinan,

2011)

Uraian 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

Realisasi Realisasi Realisasi Realisasi Realisasi APBN APBN-P RAPBN

Subsidi Pangan (Rp triliun) 6,4 5,3 6,6 12,1 13 11,4 13,9 15,3 Asumsi dan Parameter Kuantum (ton) 1.991.133 1.624.089 1.731.805 3.342.500 330.000 2.727.502 2.972.278 3.147.841 RTS (juta KK) 11,1 12,7 16,7 19,1 18,5 17,5 17,5 17,5 Durasi (bulan) 12 10 11 12 12 12 12 12 Alokasi (kg/RTS/bulan) 14,9 12,8 9,4 10--15 15 13 13--15 15 Subsidi Harga (RP/kg) 2494 3275 3620 3483 3900 4175 4685 4850 HPB (Rp/kg) 3494 4275 4620 5083 5500 5775 6285 6450 Harga jual (Rp/kg) 1000 1000 1000 1600 1600 1600 1600 1600

(5)

BIRO

ANALISA

ANGGARAN

DAN

PELAKSANAAN

APBN

– SETJEN

DPR

RI

Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR-RI | 34

Dari perspektif APBN, data mikro kemiskinan jelas lebih tepat dijadikan benchmark kinerja pemerintah karena data ini memang didesain untuk program seperti Raskin dan Jamkesmas. Karakternya operasional dan berorientasi target . Data mikro mampu menunjukkan nama dan domisili penduduk miskin sehingga memudahkan proses monitoring dan evaluasi program penanggulangan kemiskinan.

Selain itu, data mikro memotret spektrum penduduk miskin dari mereka yang « sangat miskin » hingga «hampir miskin ». Perspektif kemiskinan yang diperluas dengan meliputi penduduk « hampir miskin » wajar digunakan agar kita tidak cepat berpuas diri ketika kemiskinan berhasil dikurangi, karena bisa jadi penduduk miskin tersebut hanya naik kelas dari « miskin » ke « «hampir miskin ». Mereka ini pula yang pertama kali kembali jatuh miskin ketika harga sembako melejit tak terkendali.

4. Kesimpulan

Informasi penting yang dirangkum baik dari data kemiskinan makro maupun data kemiskinan mikro adalah amunisi berharga bagi penyusunan anggaran dana program dalam mengentaskan kemiskinan. Demi mencapai pemahaman yang komprehensif mengenai kompleksitas isu kemiskinan, data kemiskinan mikro perlu diperbarui setiap tahunnya. Publikasi data-data kemiskinan secara luas dan berkala juga penting. Dengan dukungan data yang tepat guna , optimalitas dan efektivitas kebijakan fiskal dalam penanggulangan kemiskinan niscaya akan tercapai.

Daftar pustaka

Badan Pusat Statistik (2011) , Berita Resmi Statistik No.45/07/Th. XIV, 1 Juli 2011,

www.bps.go.id

Badan Pusat Statistik (2011) , Penjelasan Data Kemiskinan,

http://www.bps.go.id/brs_file/Penjelasan_Data_Kemiskinan.pdf

Harsono, Yuli (2011), Salah Tafsir Data Kemiskinan,

http://mentawaikab.bps.go.id/index.php/berita/52-salah-tafsir-data-kemiskinan

Iswono, TJ (2011) , Kebohongan atau Kesalahan Menafsirkan Data Kemiskinan?,

http://politik.kompasiana.com/2011/02/08/kebohongan-atau-kesalahan-menafsirkan-data kemiskinan/

(6)

BIRO

ANALISA

ANGGARAN

DAN

PELAKSANAAN

APBN

– SETJEN

DPR

RI

Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR-RI | 35 Lampiran : Bagaimana BPS mengukur kemiskinan (makro)3

Untuk mengukur kemiskinan, BPS menggunakan konsep pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Dengan pendekatan ini, dapat dihitung Headcount Index, yaitu persentase penduduk miskin terhadap total penduduk. Metode yang digunakan pada Maret 2011 sama sejak Maret 1998, yaitu dengan menghitung Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Bukan-Makanan (GKBM) dari paket komoditi dan referensi populasi yang sama. Penghitungan Garis Kemiskinan dilakukan secara terpisah untuk daerah perkotaan dan perdesaan. Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan dibawah Garis Kemiskinan.

Garis Kemiskinan Makanan (GKM) merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2011 kkalori per kapita per hari untuk «populasi referensi », yaitu 20 persen penduduk di atas garis kemiskinan sementara (garis kemiskinan tahun sebelumnya disesuaikan dengan tingkat inflasi tahun ke tahun selama periode Maret 2010 – Maret 2011). Paket komoditi kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditi (padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak dll).

Garis Kemiskinan Bukan Makanan (GKBM) adalah rata-rata pengeluaran « populasi referensi » untuk perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan. Paket komoditi kebutuhan dasar nonmakanan diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi perdesaan.

Untuk keterbandingan antar wilayah, pengeluaran makanan dan non makanan, harga-harga komoditi makan dan non makanan distandarkan dengan harga-harga-harga-harga komoditi yang sama di Kotamadya Jakarta Selatan.

Sumber dana utama yang dipakai untuk menghitung tingkat kemiskinan tahun 2011 adalah data SUSENAS (Survei Sosial Ekonomi Nasional) Modul Konsumsi Maret 2011. Jumlah sampel sebesar +/- 75000 rumah tangga dimaksudkan supaya data kemiskinan dapat disajikan sampai tingkat provinsi. Sebagai informasi tambahan, juga digunakan hasil survei SPKKD (Survei Paket Komoditi Kebutuhan Dasar, yang dipakai untuk memperkirakan proporsi dari pengeluaran masing-masing komoditi pokok bukan makanan.

3

Gambar

Gambar 1. Perkembangan Kemiskinan di Indonesia, 2004 - 2011

Referensi

Dokumen terkait

Fakultas Teknik Informatika Universitas Bhayangkara Jakarta Raya, Judul Skripsi “Perancangan Sistem Informasi Pengarsipan Data Surat Masuk Dan Surat Keluar Pada Pelayanan

Simpulan dalam penelitian ini adalah faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi belajar siswa kelas IV SDN Se-Gugus IV Kecamatan Limapuluh Kota Pekanbaru terbagi

Maka dapat dikatakan latihan ini sangat baik sekali digunakan dalam latihan dalam permainan bola voli guna untuk meningkatkan lompat yaitu daya ledak otot tungkai dari

Namun proses dari metode latihan yang dapat memberikan stimulus lebih baik pada sistem saraf pusat, saraf sensorik hingga respon saraf motorik yang akan mengaktifkan

Selain pengaruh dari konstruksi wind tunnel, fan dan motor pun ikut berperan penting untuk menghasilkan aliran / flow stabil yang digunakan untuk pengujian, oleh karena itu

Dengan alasan tersebut, maka dilakukan penelitian dengan judul "Analisis dan Perancangan Sistem Pakar untuk Diagnosa Kerusakan Pada Kendaraan Roda Empat dengan

Breksi autoklastik pada Pantai Lumpue berwarna abu-abu kehijauan, memperlihatkan struktur blocky yang terbentuk akibat adanya gumpalan-gumpalan gas pada saat

Analisis komponensial adalah penguraian unsur-unsur yang membentuk makna kosakata tertentu.. dalam analisis komponensional adalah penemuan kandungan makna kata atau