• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI. dan Gaver (1993), opsi investasi masa depan tidak semata-mata hanya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI. dan Gaver (1993), opsi investasi masa depan tidak semata-mata hanya"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

6

A. INVESTMENT OPPORTUNITY SET (IOS)

Munculnya istilah Investment Opportunity Set (IOS) dikemukakan oleh Myers (1977) dalam Imam Subekti dan I.W. Kusuma (2001) yang menguraikan pengertian perusahaan, yaitu sebagai satu kombinasi antara aktiva riil (assets in place) dan opsi investasi masa depan. Menurut Gaver dan Gaver (1993), opsi investasi masa depan tidak semata-mata hanya ditujukkan dengan adanya proyek proyek yang didukung oleh kegiatan riset dan pengembangan saja, tetapi juga dengan kemampuan perusahaan yang lebih dalam mengeksploitasi kesempatan mengambil keuntungan dibandingkan dengan perusahaan lain yang setara dalam suatu kelompok industrinya. Kemampuan perusahaan yang lebih tinggi ini bersifat tidak dapat diobservasi (unobservable).

Myers (1977) sebagaimana dikutip oleh Adi Prasetyo (2001) memperkenalkan istilah Investment Opportunity Set (IOS) yang menggambarkan tentang luasnya peluang investasi. Dalam hal ini, nilai perusahaan tergantung pada pilihan pembelanjaan (expenditure) perusahaan di masa yang akan dating. Jadi IOS tidak hanya menunjuk pada peluang investasi tradisional seperti eksplorasi mineral, tetapi juga pilihan pembelanjaan lainnya seperti periklanan, yang akan digunakan di

(2)

masa depan untuk menjamin keberhasilan perusahaan. Sama halnya dengan Gaver dan Gaver (1993), Adi Prasetyo (2001) menyatakan bahwa karena IOS perusahaan terdiri dari proyek-proyek yang memberikan pertumbuhan bagi perusahaan, maka IOS dapat menjadi pemikiran sebagai prospek pertumbuhan bagi perusahaan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pengertian IOS tidak dapat dijelaskan dengan pasti karena IOS merupakan hal yang tidak dapat di observasi. Karena itu diperlukan proksi agar dapat menjelaskan keterkaitan dengan variabel-variabel lain.

J.A. Saputro (2002) dalam penelitian menemukan bahwa proksi IOS berkorelasi positif dengan pertumbuhan, sehingga perusahaan yang memiliki nilai IOS tinggi juga memiliki peluang pertumbuhan yang tinggi. Hal yang sama juga ditemukan oleh Elluomi dan Gueyie (2001). Investasi di masa depan akan mempengaruhi nilai perusahaan, sehingga Myers (1977) dalam Fitri Ismiyanti dan M. Hanafi (2003) mengatakan bahwa nilai perusahaan merupakan gabungan dari aktiva dengan investasi masa depannya. Kesempatan investasi atau investment opportunity set (IOS) yang tinggi di masa depan membuat perusahaan dikatakan mempunyai tingkat pertumbuhan yang tinggi.

Tingkat pertumbuhan yang tinggi di asosiasikan dengan penurunan dividen (Rozeff, 1982). Perusahaan dengan pertumbuhan penjualan yang tinggi diharapkan memiliki kesempatan investasi yang tinggi. Untuk meningkatkan pertumbuhan penjualan, perusahaan memerlukan dana yang besar yang dibiayai dari sumber internal. Penurunan pembayaran dividen

(3)

menyebabkan perusahaan memiliki sumber dana internal untuk keperluan investasi (Myers dan Majluf, 1984). Masingmasing perusahaan mempunyai IOS yang berbeda-beda tergantung dari spesifik aktiva yang dimiliki (Kester, 1986). Dalam kaitannya dengan kebijakan dividen, Fitri Ismiyanti dan M.Hanafi (2003) menyatakan bahwa pengaruh IOS terhadap kebijakan dividen adalah negatif.

Imam Subekti dan I.W. Kusuma (2001) dan Tarjo dan Jogiyanto Hartono (2003) mengemukakan bahwa proksi pertumbuhan perusahaan dengan nilai IOS yang telah digunakan oleh para peneliti seperti Gaver dan Gaver (1993), Jones dan Sharna (2001) dan Kallapur dan Trombley (2001) secara umum dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok berdasarkan faktor-faktor yang digunakan dalam mengukur nilai-nilai IOS tersebut. Klasifikasi IOS tersebut adalah sebagai berikut :

1. Proksi berdasarkan harga, proksi ini percaya pada gagasan bahwa prospek yang tumbuh dari suatu perusahaan sebagian dinyatakan dalam harga pasar. Perusahaan yang tumbuh akan mempunyai nilai pasar yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan aktiva riilnya (assets in place). 2. Proksi berdasarkan investasi, proksi ini percaya pada gagasan bahwa satu level kegiatan investasi yang tinggi berkaitan secara posistif pada nilai IOS suatu perusahaan. Kegiatan investasi ini diharapakan dapat memberikan peluang investasi di masa berikutnya yang semakin besar pada perusahaan yang bersangkutan.

(4)

opsi akan menjadi lebih bernilai jika menggunakan variabilitas ukuran untuk memperkirakan besarnya opsi yang tumbuh, seperti variabilitas return yang mendasari peningkatan aktiva.

Meskipun terdapat 3 klarifikasi proksi IOS, namun penelitian ini hanya akan menggunakan satu proksi IOS saja yaitu tobin’s Q.

Tobin’s Q atau biasa juga disebut Q ratio atau Q Teori diperkenalkan pertama kali oleh James Tobin pada tahun 1969. James Tobin adalah ekonom Amerika yang berhasil meraih nobel di bidang ekonomi dengan mengajukan hipotesis bahwa nilai pasar suatu perusahaan seharusnya sama dengan biaya penggantian aktiva perusahaan tersebut sehingga menciptakan keadaan ekuilibrium.

Pengertian Tobin’s Q ini menurut James Tobin sebagaimana yang dikutip oleh Carton dan Perluff dalam Juniarti (2009 : 22) adalah:

“Tobin’s Q is the ratio of the market value of a firm assets (as measured by the market value of the market value of its out standing stock and debt) to the replacement cost of the firm’s assets”

Tobin’s Q menawarkan penjelasan nilai dari suatu perusahaan. Tobin’s Q model mendefinisikan nilai perusahaan sebagai nilai kombinasi antara aktiva berwujud dan aktiva tak berwujud. Nilai Tobin’s Q perusahaan yang rendah (antara 0 dan 1) mengindikasikan bahwa biaya ganti aktiva perusahaan lebih besar daripada nilai pasar perusahaan tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa pasar menilai kurang perusahaan tersebut. Sedangkan jika nilai Tobin’s Q suatu perusahaan tinggi (lebih

(5)

dari 1), maka nilai perusahaan lebih besar daripada nilai aktiva perusahaan yang tercatat. Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat beberapa aktiva perusahaan yang tidak terukur atau tercatat.

Tobin’s Q atau Q ratio merupakan suatu model yang berguna dalam pembuatan keputusan investasi. Menurut Ricardo dalam Juniarti (2009 : 24), Tobin’s Q meringkas informasi yang akan datang yang relevan dengan keputusan investasi perusahaan. Perusahaan meningkatkan modal saham jika Q tinggi karena jika nilai Tobin’s Q di atas satu maka perusahaan akan menghasilkan rate of return yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang dikeluarkan oleh biaya aktiva.

Pengukuran kinerja dengan menggunakan Tobin’s Q tidak hanya memberikan gambaran pada aspek fundamental saja, tetapi juga sejauh mana pasar menilai perusahaan dari berbagai aspek yang dilihat oleh pihak luar termasuk investor. Tobin’s Q mewakili sejumlah variabel yang penting dalam pengukuran kinerja, antara lain aktiva tercatat perusahaan, kecenderungan pasar yang memadai seperti pandangan – pandangan analis mengenai prospek perusahaan, dan variabel modal intelektual atau intangible asset.

Secara khusus, Tobin’s atau Q ratio sering digunakan sebagai alat pengukur nilai intangible asset atau modal intelektual suatu perusahaan seperti kekuatan monopoli, sistem manajerial dan peluang pertumbuhan. Karena adanya modal intelektual inilah suatu perusahaan sering dinilai lebih oleh pasar. Rupert dalam Juniarti (2009 : 23) mengungkapkan bahwa

(6)

hal tersebut tercermin dari banyaknya perusahaan yang memiliki aktiva berwujud yang tidak signifikan dalam laporan keuangan namun penghargaan pasar terhadap perusahaan – perusahaan tersebut sangat tinggi. Atas dasar itulah sehingga Tobin’s Q menjadi alat pengukuran kinerja yang populer.

Nilai Tobin’s Q atau Q ratio pada umumnya dapat dihitung dengan membagi nilai pasar suatu perusahaan (yang diukur dengan nilai pasar dari saham yang beredar dan utang) dengan biaya penggantian aktiva. Rumus dasar ini kemudian banyak dikembangkan lagi, diantaranya oleh Lindenberg dan Ross. Lindenberg dan Ross dalam Juniarti (2009 : 26) mengembangkan metode untuk mengukur Tobin’s Q dengan mengabaikan variabel intangible asset. Rumus Tobin’s Q ini kemudian menjadi:

Tobin’s Q = Market Value of The Firm / Replacement Value of Asset = Market Value (Equity + Debt + Preferred Stock)

Replacement Value of Asset (Plant + Equipment + Inventories)

Untuk perhitungan yang lebih akurat, Yan Liu dalam Juniarti (2009 : 27) menambahkan biaya iklan serta R & D sebagai proxy intangible asset, dengan rumus sebagai berikut:

Tobin’s Q = (ME + PS + DEBT) / (TA + Advertising + R & D) Analis keuangan lain yang mengembangkan rumus Tobin’s Q adalah Chung dan Pruitt dalam Darmawati dan Khomsiyah (2003). Mereka mengembangkan rumus Tobin’s Q karena pada kenyataannya

(7)

biaya penggantian aktiva seringkali tidak tersedia dan sulit diperhitungkan. Oleh karena itu mereka menyamakan biaya penggantian aktiva dengan nilai buku aktiva sehingga rumus Tobin’s Q menjadi:

Tobin’s Q = ME + PS + DEBT / TA Dimana:

ME = Jumlah saham biasa perusahaan yang beredar dikali dengan harga penutupan saham

PS = Nilai Likuidasi saham preferen perusahaan yang beredar. DEBT = (Total Utang + Persediaan – Aktiva Lancar)

TA = Nilai buku total aktiva perusahaan

Klapper dan Love dalam Darmawati dan Khomsiyah (2003) telah menyesuaikan rumus Tobin’s Q dengan kondisi transaksi keuangan perusahaan – perusahaan di Indonesia. Rumus tersebut sebagai berikut:

Tobin’s Q = ME + DEBT / TA

Sumber mengenai tobin’s Q tersebut diambil dari Darmawati dan Khomsiyah (2003) dalam Cincin Haosana (2012)

B. TEORI TRADE OFF

Brealey dan Myers (1991) dalam Hanindita (2008) teory trade off menjelaskan adanya hubungan antara pajak, resiko kebangkrutan dan penggunaan hutang yang disebabakan keputusan pendanaan yang diambil

(8)

perusahaan. Teori ini merupakan keseimbangan antara keuntungan dan penggunaan hutang, dimana pajak nilai perusahaan akan naik minimal dengan biaya modal yang minimal.

Modigliani dan Miller (1963) dalam John S. Howe dan Ravi Jain(2011) berteori tentang hubungan antara leverage keuangan dan pengembalian saham. Proposisi mereka (disebut sebagai MM II proposisi) yang menyatakan bahwa peningkatan leverage keuangan (utang) akan menyebabkan peningkatan nilai perusahaan karena keuntungan utang seperti tax shield.

Menurut Adler H. Manurung (2012) Teori Trade-off menyatakan bahwa perusahaan bisa meningkatkan hutang perusahaan bila tabungan pajak (tax shield) masih terus melebihi biaya financial distress. Timbul pertanyaan seberapa banyak hutang tersebut didapatkan atau adakah total hutang yang optimal perusahaan. Pertanyaan terus diajukan berbagai akademisi dan peneliti bahkan praktisi tapi tidak menimbulkan teori. Penelitian empiris untuk hutang yang optimal tidak terlalu banyak tetapi uraian secara matematis terus berkembang.

Asumsi dasar yang digunakan dalam teori static trade off adalah adanya informasi simetris yang menjelaskan keputusan pendanaan yang diambil oleh suatu perusahaan, yaitu adanya informasi yang dimiliki oleh pihak manajemen suatu perusahaan dimana perusahaan dapat menyampaikan informasi kepada publik.

(9)

C. PENDANAAN PERUSAHAAN (CORPORATE FINANCE)

Pendanaan perusahaan atau dengan kata lain Kebijakan pendanaan dalam perusahaan adalah suatu kebijakan yang membahas mengenai sumber dana yang akan digunakan untuk membiayai suatu investasi yang sudah dianggap layak. Masalah penarikan dana (raising of fund) dianggap menarik karena setiap dana yang akan digunakan pasti mempunyai biaya yang sering disebut biaya dana (cost of fund).

Kebijakan investasi berhubungan dengan pendanaan apabila investasi sebagian besar didanai dengan internal equity maka akan mempengaruhi besarnya deviden yang dibagikan. Semakin besar investasi maka semakin berkurang deviden yang dibagikan. Dan apabila dana internal equity kurang mencukupi dari dana yang dibutuhkan untuk investasi maka bisa dipenuhi dari dana external khususnya dari utang.

Perusahaan yang cenderung menggunakan sumber dana eksternal untuk mendanai tambahan investasi akan membagikan deviden yang lebih besar. Jika pendanaan diperoleh melalui hutang berarti rasio hutang terhadap equity akan meningkat, sehingga akhirnya akan meningkatkan risiko. Beberapa investor mempunyai pandangan bahwa semakin tinggi tingkat risiko perusahaan akan semakin tinggi pula tingkat profitabilitas yang diharapkan sebagai hasil dari risiko terebut. Jika dividen payout ratio dibayarkan terlalu tinggi maka akan mengakibatkan free cash flow pada perusahaan akan menjadi kecil sehingga dana cadangan perusahaan untuk melakukan ekspansi akan berkurang. Investor beranggapan bahwa

(10)

dividen yang akan diterima pada saat ini lebih menguntungkan dari pada capital gain maupun capital loss yang diterima pada masa yang akan datang, karena para investor tersebut tidak berani untuk berspekulasi, oleh sebab itu mereka lebih menyukai dividen. Disamping itu stabilitas dividen yang dibayarkan juga akan mengurangi ketidakpastian dari profitabilitas perusahaan, sehingga stabilitas dividen juga merupakan faktor penting yang harus dipertimbangkan oleh manajemen perusahaan. Selain itu keputusan kebijakan pembayaran dividen juga merupakan hal yang sangat penting, karena menyangkut apakah arus kas (cash Flow) yang diperoleh oleh perusahaan akan dibagikan kepada para investor atau akan di tahan untuk dana cadangan perusahaan.

Keuangan perusahaan didefinisikan sebagai keputusan yang menyangkut komposisi keuangan yang di kendalikan oleh perusahan. Keuangan perusahaan dalam penelitian ini menggunaka pengukuran Debt to Equity Ratio (DER). Debt to Equity Ratio (DER) merupakan rasio yang digunakan untuk menilai utang dengan ekuitas. Rasio ini dicari dengan membandingkan seluruh utang, termasuk utang lancar dengan seluruh ekuitas (Harahap, 2006) dalam Linhan (2010). Adapun formula untuk DER (Sofyan, 2006) adalah sebagai berikut:

D

DEERR== TToottaallHHuuttaanngg T

ToottaallEEkkuuiittaas s

Debt to Equity Ratio (DER) merupakan rasio hutang terhadap modal yang menerangkan sejauh mana modal pemilik menutupi

(11)

utang-utang terhadap pihak luar, semakin kecil rasio ini semakin baik. Rasio ini dimaksudkan untuk mengukur sampai seberapa jauh aset perusahaan yang dibiayai oleh hutang. DER berguna untuk mengetahui setiap rupiah modal sendiri yang akan digunakan sebagai jaminan hutang. Bagi kreditur, semakin besar DER akan semakin tidak menguntungkan. Hal ini dikarenakan jika DER semakin besar maka resiko yang ditanggung atas kegagalan yang mungkin terjadi pada perusahaan juga akan semakin besar. Bagi perusahaan, semakin besar DER maka akan semakin baik, hal ini dikarenakan tingginya DER menunjukan semakin besar jumlah pinjaman yang diperoleh untuk digunakan dala mendanai kegiatan operasional perusahaan.

D. TEORI KEBIJAKAN DEVIDEN

Berbagai pendapat atau teori tentang kebijakan dividen antara lain : Teori Tidak Relevan dari Modigliani dan Miller :

Modigliani dan Miller (MM) berpendapat bahwa, nilai suatu perusahaan tidak ditentukan oleh besar kecilnya Dividend Payout Ratio, tapi ditentukan oleh laba bersih sebelum pajak (EBIT) dan tingkat risiko perusahaan. Jadi menurut MM, dividen tidak relevan untuk diperhitungkan karena tidak akan meningkatkan kesejahteraan pemegang saham. Menurut MM kenaikan nilai perusahaan dipengaruhi oleh kemampuan perusahaan untuk mendapatkan keuntungan atau earning power dari asset perusahaan. Pernyataan MM ini didasarkan pada beberapa asumsi penting yang lemah seperti :

(12)

a. Pasar modal sempurna dimana para investor rasional.

b. Tida ada biaya emisi saham baru jika perusahaan menerbitkan saham baru.

c. Tidak ada pajak baik perorangan maupun pajak penghasilan perusahaan.

Beberapa ahli menentang pendapatan MM tentang dividen tidak relevan dengan menunjukkan adanya biaya emisi saham baru yang akan mempengaruhi nilai perusahaan. Modal sendiri dapat berasal dari laba ditahan dan menerbitkan saham biasa baru. Jika modal sendiri berasal dari laba ditahan, biaya modal sendiri sebesar Ks (Biaya modal sendiri dari laba ditahan). Tapi bila berasal dari saham biasa baru, biaya modal sendiri adalah Ke (biaya modal sendiri dari saham biasa baru).

Jika ada pajak maka penghasilan investor dari dividen dan dari capital gains (kenaikan harga saham) akan dikenai pajak. Seandainya tingkat pajak untuk dividen dan capital gains adalah sama, investor cenderung lebih suka menerima capital gains dari pada dividen karena pajak pada capital gains baru dibayar saat saham dijual dan keuntungan diakui.

E. KEBIJAKAN PEMBAYARAN DIVIDEN (DIVIDEND PAYOUT POLICY)

Kebijakan pembayaran dividen pada hakikatnya adalah menentukan porsi keuntungan yang akan dibagikan kepada para pemegang saham dan yang akan ditahan sebagai bagian dari laba ditahan (Levy dan Sarnat, 1990).

(13)

Kebijakan dividen pada perusahaan-perusahaan publik sangat diperhatikan oleh para investor. Kebijakan tersebut dapat mengundang investor untuk membeli / mempertahankan saham perusahaan atau sebaliknya mereka akan memutuskan untuk tidak membeli / menjual saham perusahaan.

Dividen merupakan salah satu keputusan penting untuk memaksimumkan nilai perusahaan disamping keputusan investasi dan struktur modal (keputusan pemenuhan dana). Manajemen mempunyai 2 alternatif perlakuan terhadap penghasilan bersih sesudah pajak (Earning After Tax) perusahaan yaitu :

1. Dibagi kepada para pemegang saham perusahaan dalam bentuk dividen.

2. Diinvestasikan kembali ke perusahaan sebagai laba ditahan (retained earning).

Biasanya sebagian EAT (Earning After Tax) dibagi dalam bentuk dividen dan sebagian lagi diinvestasikan kembali, olehkarena itu manajemen harus membuat kebijakan (dividen policy) tentang besarnya EAT yang dibagikan sebagai dividen.

Apabila perusahaan memutuskan untuk membagi laba yang diperoleh sebagai dividen berarti akan mengurangi jumlah laba ditahan yang akhirnya mengurangi sumber dana intern yang akan mengurangi sumber dana intern yang akan digunakan untuk mengembangkan perusahaan. Apabila perusahaan tidak membagikan labanya sebagai dividen akan bisa memperbesar sumber dana intern dan akan

(14)

meningkatkan kemampuan perusahaan untuk mengembangkan perusahaan.

Persentase dividen yang dibagi dari EAT disebut Dividend Payout Ratio (DPR) dengan formula sebagai berikut:

Persentase laba ditahan dari EAT adalah 1-DPR

Rasio pembayaran dividen (dividend payout ratio) menentukan jumlah laba yang dibagi dalam bentuk dividen kas dan laba yang ditahan sebagai sumber pandanaan. Kebijakan dividen merupakan bagian yang menyatu dengan keputusan pendanaan perusahaan. Rasio pembayaran dividen (dividend payout ratio) menentukan jumlah laba yang dapat ditahan sebagai sumber pendanaan. Semakin besar laba ditahan semakin sedikit jumlah laba yang dialokasikan untuk pembayaran dividen.

Pengertian rasio pembayaran dividen (dividend payout ratio) menurut Agus Sartono (2001:491) menyatakan bahwa :

“Rasio pembayaran dividen adalah persentase laba yang dibayarkan dalam bentuk dividen, atau rasio antara laba yang dibayarkan dalam bentuk dividen dengan total laba yang tersedia bagi pemegang saham”.

DPR = Dividen yang dibagi EAT

(15)

1. Investment Opportunity Set terhadap Dividend Payout Policy

Peluang investasi (investment opportunity) yang tersedia bagi perusahaan merupakan komponen penting dari nilai pasar. Set kesempatan investasi (Investment Opportunity Set = IOS) dari perusahaan mempengaruhi jalannya perusahaan yang dilihat oleh manajer, pemilik, investor, dan kreditor (penelitian Kallapur dan Trombley, 2001). Literatur memberikan perhatian yang cukup besar dalam beberapa tahun terakhir untuk meneliti hubungan antara set kesempatan investasi (Investment Opportunity Set = IOS) dan pilihan kebijakan perusahaan, termasuk kebijakan pendanaan, dividen, dan kompensasi (Smith dan Watts, 1992; Gaver dan Gaver, 1993; penelitian Kallapur dan Trombley, 1999; Jones dan Sharma, 2001; Abbott, 2001). Menurut Jones (2001), set kesempatan investasi (Investment Opportunity Set = IOS) merupakan investasi perusahaan atau pilihan untuk pertumbuhan perusahaan tetapi untuk Myers (1977) nilainya tergantung pada discretional pengeluaran manajer. Myers (1977) menjelaskan peluang investasi (investment opportunity) yang sebagian belum direalisasikan akan berpotensi menguntungkan proyek dimana perusahaan dapat memanfaatkan pada sewa ekonomi. Dengan demikian, ini merupakan komponen nilai perusahaan yang dihasilkan jika memilih melakukan investasi masa depan (Smith dan Watts, 1992).

(16)

Peluang pertumbuhan juga diwakili oleh fraksi nilai relatif perusahaan yang dicatat dengan aset tetap (pabrik, peralatan, dan aset berwujud lainnya), dan bahwa semakin rendah fraksi nilai perusahaan yang diwakili oleh aset tetap, semakin tinggi peluang pertumbuhan (Gul dan Kealey, 1999). Penelitian Kallapur dan Trombley (2001) menunjukkan bahwa, gagasan konvensional set kesempatan investasi (Investment Opportunity Set = IOS) modal baru yang pengeluarannya dilakukan untuk memperkenalkan produk baru atau memperluas produksi yang ada. Mungkin ini termasuk pilihan untuk membuat pengeluaran yang dapat mengurangi biaya selama restrukturisasi perusahaan. Peluang investasi (investment opportunity) telah diukur dalam berbagai cara oleh penulis lain. Termasuk market to book value of equity (Collins dan Kothari, 1989; Chung dan Charoenwong, 1991), book to market value of assets (Smith dan Watts, 1992), dan Tobin’s Q (Skinner, 1993).

Literatur yang ada menunjukkan hubungan antara peluang investasi (investment opportunity) dan kebijakan dividen (dividend policy). Smith dan Watts (1992) berpendapat bahwa perusahaan dengan set kesempatan investasi (Investment Opportunity Set = IOS) yang tinggi cenderung mengejar kebijakan pembayaran dividen (dividend payout policy) yang rendah, karena dividen dan investasi menggunakan potensi bersaing sumber daya kas suatu perusahaan (Gaver dan Gaver, 1993). Jones (2001), memperluas dan

(17)

memodifikasi karya yang dibuat oleh Gaver dan Gaver (1993), dan menemukan bahwa pertumbuhan perusahaan yang tinggi, hasil dividen secara signifikan lebih rendah.

Gul dan Kealey (1999) juga menemukan hubungan negatif antara pertumbuhan perusahaan dan dividen. Abbott (2001) berpendapat bahwa perusahaan-perusahaan yang mengalami penurunan IOS pada umumnya akan mengurangi kebijakan pembayaran dividen mereka. Lainnya mendukung fakta bahwa perusahaan-perusahaan dengan market-to-book value yang tinggi cenderung memiliki peluang investasi yang baik, dan akan mempertahankan dana lebih banyak untuk membiayai investasi tersebut, sehingga merekam rendah Dividend Payout Ratio (DPR) (Rozeff, 1982; Lloyd et al, 1985;. Collins et al, 1996;. Amidu dan aborsi, 2006). Riahi-Belkaoui dan Picur (2001) juga divalidasi fakta bahwa perusahaan dengan IOS yang tinggi atas "PE Valued" dimana perusahaan yang IOSnya rendah dari "dividend yield valued". Hal ini menyiratkan bahwa bagi perusahaan-perusahaan yang IOSnya rendah, dividennya memiliki relevansi lebih besar dari pendapatan sementara sebaliknya berlaku bagi perusahaan-perusahaan yang IOSnya tinggi. Dengan menggunakan market-to-book ratio sebagai proxy untuk set kesempatan investasi (Investment Opportunity Set = IOS), Aivazian dan Booth (2003), menemukan hubungan positif antara market-to-book value ratio dan pembayaran dividen, menunjukkan bahwa

(18)

perusahaan dengan peluang investasi yang lebih tinggi akan membayar dividen yang lebih tinggi.

2. Corporate Finance terhadap Dividend Payout Policy

Memilih pendanaan perusahaan mungkin merupakan bagian yang paling banyak diteliti di bidang keuangan dalam dekade ini setelah artikel mani dari Modigliani dan Miller (1958) yang meningkatkan masalah hubungan antara memilih pedanaan perusahaan dan nilainya. Baru-baru ini, terdapat peningkatan penelitian dan pencarian bukt-buktii baru untuk relevansi atau sebaliknya berdasarkan teori yang dimulai oleh Modigliani dan Miller. Teorema Engsel pada prinsip sempurna pasar modal. Hal ini menegaskan bahwa nilai perusahaan benar-benar independen dari aset produktif yang dibiayai. Penelitian berikutnya telah menyarankan hubungan antara memilih pembiayaan dan nilai perusahaan meskipun beberapa peneliti dikuatkan oleh temuan teori relevan Modigliani andMiller ini (Fama, 1974; Pruitt dan Gitman, 1991). Namun, penelitian byAnderson (1983), Peterson dan Benesh (1983) telah membuktikan bahwa dalam ketidaksempurnaan "dunia nyata" secara efektif pasar melarang kemandirian investasi perusahaan dan keputusan pembiayaan. Ketidaksempurnaan pasar ini terutama berasal dari fakta bahwa terdapat pajak, biaya transaksi, asimetri informasi, dan kebangkrutan biaya. Hal ini menunjukkan hubungan antara memilih pembiayaan dan nilai perusahaan. Tingkat rata-rata

(19)

pembiayaan dikatakan memainkan peranan penting dalam mengurangi biaya agensi yang timbul dari pemegang saham sampai pada konflik manager dan diyakini memainkan peran penting pemantauan manajer (Jensen dan Meckling, 1976; Jensen, 1986; Stulz, 1988). Farinha (2003) berpendapat bahwa utang kemungkinan akan mempengaruhi keputusan dividen karena perjanjian utang dan pembatasan terkait yang mungkin digunakan oleh debtholders. Dan juga, perusahaan dengan rata-rata pembiayaan yang tinggi dan risiko keuangan yang tersirat cenderung menghindari pembayaran dividen yang tinggi, sehingga mereka dapat mengakomodasi risiko yang berkaitan dengan penggunaan keuangan utang. Rozeff (1982), Easterbrook (1984) dan Collins et al. (1996) memperluas teori keagenan dengan mengamati bahwa perusahaan membayar dividen dan meningkatkan modal secara bersamaan. Dalam pandangan Easterbrook (1984), dividen yang meningkat akan menimbulkan kemungkinan bahwa tambahan modal eksternal harus ditingkatkan secara periodik. Pandangan ini juga dimiliki oleh Green et al. (1993) yang berpendapat bahwa tingkat pembayaran dividen tidak benar-benar diputuskan setelah pembiayaan suatu perusahaan selesai dibuat. Higgins (1972) menunjukkan bahwa rasio pembayaran dividen perusahaan bisa negatif karena dipengaruhi oleh kebutuhan mereka dalam hal keuangan. Dengan demikian, keputusan dividen diambil bersama oleh keputusan pembiayaan. Higgins (1981) menyatakan bahwa hubungan langsung antara

(20)

pertumbuhan dan kebutuhan pendanaan, dengan cepat perusahaan akan tumbuh dan memiliki kebutuhan pendanaan eksternal karena kebutuhan modal biasanya melebihi tambahan arus kas dari penjualan baru. Aivazian dan Booth (2003) mendukung fakta bahwa kendala keuangan dapat mempengaruhi keputusan dividen, oleh karena itu, perusahaan dengan utang yang relatif kurang memiliki financial yang lebih besar dan lebih cenderung untuk membayar dividen dan mempertahankan investor.

F. PENELITIAN TERDAHULU

Joshua Abor (2010) mengenai set kesempatan investasi dan keuangan perusahaan terhadap kebijakan dividen di perusahaan pasar negara berkembang. Hasil penelitiannya menunjukan bahwa set kesempatan investasi merupakan penentu utama kebijakan pembayaran perusahaan dividen. Temuan mereka juga menunjukkan bahwa perusahaan dengan potensi investasi yang tinggi akan mengejar dengan sangat rendah kebijakan pembayaran dividen untuk mempertahankan dana untuk membiayai investasi mereka.

Hutria Angelina Mamentu (2011) mengenai pengaruh Return On Asset (ROA) dan Debt to Equity Ratio (DER) terhadap kebijakan pembayaran dividen. Hasil penelitiannya menunjukan bahwa Return On Asset (ROA) dan Debt to Equity Ratio (DER) berpengaruh positif terhadap kebijakan pembayaran dividen baik secara parsial maupun secara simultan.

(21)

Adi Gunawan (2012) mengenai profitabilitas, likuiditas, dan hutang perusahaan terhadap kebijakan dividen. Hasil penelitiannya menunjukan bahwa profitabilitas, likuiditas, dan hutang perusahaan mempunyai pengaruh yang positif terhadap kebijakan dividen baik secara parsial maupun secara simultan.

Referensi

Dokumen terkait

Pada salah satu publikasi di about-elearning.com dalam Rusman (2012: 263) mengemukakan definisi e-learning adalah proses dan kegiatan penerapan pembelajaran berbasis

Untuk itu, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah mengeluarkan aturan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah

(6) Tarif retribusi pelayanan medik dokter spesialis tamu, komponen jasa sarana sesuai dengan jenis dan klasifikasi pelayanan yang diatur dalam Peraturan Daerah tentang

Littlejohn dan Domenici (2007), membagi dua kondisi konflik yaitu perilaku konflik yang bersifat langsung dan tidak langsung serta bentuk perilaku yang dapat bekerjasama

Kelainan bicara dan/atau bahasa adalah adanya masalah dalam komunikasi dan bagian-bagian yang berhubungan dengannya seperti fungsi organ bicara Keterlambatan dan

Hasil pemeriksaan sifat-sifat fisis aspal yang digunakan yaitu aspal emulsi CMS-2 dengan merujuk kepada standar SNI, maka aspal yang digunakan memenuhi

Penelitian Thanh Hai, (2013) menunjukkan hasil bahwa terdapat hubungan yang positif antara perlindungan secara teknis dengan persepsi kepercayaan dalam menggunakan sistem