• Tidak ada hasil yang ditemukan

POTENSI PENGEMBANGAN WISATA DI KAWASAN TAHURA NGURAH RAI BALI BERDASARKAN KAJIAN HUKUM KEHUTANAN RI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "POTENSI PENGEMBANGAN WISATA DI KAWASAN TAHURA NGURAH RAI BALI BERDASARKAN KAJIAN HUKUM KEHUTANAN RI"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

67

POTENSI PENGEMBANGAN WISATA

DI KAWASAN TAHURA NGURAH RAI BALI BERDASARKAN KAJIAN

HUKUM KEHUTANAN RI

Oleh

I Nyoman Winia Politeknik Negeri Bali

nyomanwinia@pnb.ac.id

I Made Adi Widnyana

UHN I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar

adiwidnyana@uhnsugriwa.ac.id Abstract

Bali is famous as a world tourist destination, various developments are carried out by the Government to be able to optimize the tourism sector, so as to provide maximum regional revenue. With the rules of regional autonomy, each region is racing to innovate and creativity in developing the tourism potential of the region, so that many potentials that were initially considered unhelpful, began to be looked at and developed. Including the area of Forest Park Raya (Tahura), which was originally considered by the community as a protected area that serves to support, protect and as an ecosystem from the existence of habitats that live in it. Along with the development of the utilization of Tahura through tourism development can be done, but still with due regard to the provisions of the applicable law, so that not all areas of forest park can be developed for tourism potential. Similarly, in the area of Forest Park Raya (TAHURA) Ngurah Rai Bali which has Tahura area in the form of mangrove forests. Therefore, the desire of the local community to develop the Tahura Ngurah Rai area must still pay attention to the provisions of the law, so that the development of tourism is not illegal. Based on this problem formulated in this paper is about how to arrange tourism development in the Forest Park Area and How the status of the Tahura Ngurah Rai area and the potential for tourism development in the area. So the expected purpose is to be able to provide legality guarantees in the development of tourism conducted in the Tahura Ngurai Rai area based on the prevailing legal provisions From the analysis conducted resulted in that the arrangement of tourism development in the Tahura area, can be done using the legal basis of Natural Tourism Management that can only be done in areas that have the status of utilization blocks. While the status of the area Tahura ngurah rai not all are in the position of the utilization block, so not all areas Tahura ngurah rai can be developed for the development of tourism potential.

Keywords: Potential, Tourism, Tahura, Law, Forestry

Abstrak

Bali terkenal sebagai daerah destinasi wisata dunia, berbagai pengembangan dilakukan oleh Pemerintah untuk dapat mengoptimalkan sektor pariwisata, sehingga dapat memberikan pendapatan daerah yang maksimal. Dengan adanya aturan otonomi daerah, setiap daerah berpacu untuk melakukan inovasi dan krativitas dalam mengembangkan potensi wisata daerahnya, sehingga banyak potensi-potensi yang awalnya dianggap tidak bermanfaat, mulai dilirik dan dikembangkan. Termasuk adalah kawasan Taman Hutan Raya (Tahura), yang pada awalnya oleh masyarakat dianggap sebagai wilayah terlindung yang berfungsi untuk menyangga, melindungi serta sebagai ekosistem dari keberadaan habitat yang hidup di dalamnya. Seiring perkembangan pemanfaatan Tahura melalui pengembangan wisata dapat dilakukan, namun tetap dengan memperhatikan ketentuan hukum yang berlaku, sehingga tidak semua kawasan Taman Hutan

(2)

68 Raya dapat dikembangkan untuk potensi wisata. Begitupula di kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai Bali yang memiliki kawasan Tahura berupa hutan mangrove. Oleh karenanya adanya keinginan masyarakat daerah untuk mengembangkan kawasan Tahura Ngurah Rai harus tetap memperhatikan ketentuan hukum, sehingga pengembangan wisata yang dilakukan tidak illegal. Berdasarkan hal tersebut permasalahan yang dirumuskan dalam tulisan ini adalah tentang bagaimana pengaturan pengembangan wisata di Kawasan Taman Hutan Raya dan Bagaimana status kawasan Tahura Ngurah Rai serta potensi pengembangan wisata di daerah tersebut. Sehingga tujuan yang diharapkan adalah untuk dapat memberikan jaminan legalitas dalam pengembangan wisata yang dilakukan di kawasan Tahura Ngurai Rai berlandaskan ketentuan hukum yang berlaku. Dari analisis yang dilakukan menghasilkan bahwa pengaturan pengembangan wisata di kawasan Tahura, dapat dilakukan dengan menggunakan dasar hukum tentang Pengusahaan Pariwisata Alam yang hanya dapat dilakukan pada kawasan yang memiliki status blok pemanfaatan. Sedangkan status kawasan Tahura ngurah rai tidak semua ada dalam posisi blok pemanfaatan, sehingga tidak semua kawasan Tahura ngurah rai dapat dikembangkan untuk pengembangan potensi wisata.

Kata Kunci : Potensi, Wisata, Tahura, Hukum, Kehutanan A. Pendahuluan

Tidak dapat dipungkiri Pulau Bali mengandalkan sektor pariwisata, sebagai salah satu sumber pendapatan utama bagi daerah. Hal ini kian terasa ketika pandemi Covid-19 melanda hampir di seluruh Dunia, termasuk Indonesia dan Bali, maka pembatasan kegiatan, pembatasan personal, serta pembatasan keluar-masuk orang dalam suatu wilayah memberikan dampak yang begitu besar bagi pemasukkan di sektor Pariwisata Bali, sehingga masyarakat Bali secara umum mengharapkan kondisi ini cepat pulih, karena sebagian besar kehidupan mereka dan keluarganya bergantung dari sektor pariwisata. Dari masa ke masa berbagai pengembangan dilakukan baik oleh Pemerintah maupun sektor swasta di dunia pariwisata Bali, sehingga memberikan pemasukkan serta dampak yang baik bagi daerah mereka. Dengan adanya otonomi daerah, tiap-tiap daerah di Bali

bergeliat dalam mengembangkan daerah mereka, untuk dapat menambah pendapatan daerah melalui pengembangan-pengambangan usaha di sektor pariwisata, yang mereka masih yakini menjadi andalan untuk mewujudkan tujuan tersebut.

Kabupaten Badung yang merupakan daerah dengan pendapatan terbesar di Bali sangat memanfaatkan potensi daerahnya dalam pengembangan pariwisata yang termasuk lengkap dan disegani oleh para wisatawan, pengembangan wisata yang dilakukan oleh Kabupaten Badung meliputi: wisata pantai, wisata alam, wisata spiritual, dan wisata sosial budaya. Wisata pantai di Badung mengandalkan daya tarik pantainya yang berpasir putih dan ombak yang indah seperti di Kuta, Nusa Dua, Brawa, Jimbaran dan lainnya. Wisata alamnya yang menyajikan pemandangan alam yang mempesona seperti di daerah Petang, Uluwati, Mengwi, dan lainnya. Wisata

(3)

69 spiritual daerah Badung cukup diminati

karena banyak terdapat Pura-Pura yang kharismatik diantaranya Pura Uluwatu dan Pura Tamn Ayun. Serta potensi wisata sosial budaya yang dimiliki dengan adanya pasar-pasar tradisional, kesenian dan kebudayaan yang mendunia, serta masakan kuliner yang khas membuat Kabupaten Badung semakin sempurna sebagai sebuah destinasi wisata (Antara, I. K., 2011). Beberapa daerah lainnya di Bali juga turut mengandalkan potensi daerah mereka untuk meraih pendapatan di sektor pariwisata. Kota Denpasar juga mengandalkan potensi daerahnya dalam pengambangan wisata, utamanya adalah wisata pantai di daerah Sanur, dan wisata budaya melalui seni dan tradisi yang ada di tiap-tiap desa. Kabupaten Gianyar lebih mengandalkan wisata alam yang dimiliki dengan potensi alam ubud yang sudah mendunia. Kabupaten Tabanan mengandalkan potensi wisata alam dengan pendekatan agrowisata, karena merupakan daerah yang masih asri dengan budaya bercocok tanam serta menjadi lumbung beras Bali. Kabupaten Karangasem masih memanfaatkan sektor wisata spiritual dengan memanfaatkan magnet wilayah Besakih, begitupula dengan Kabupaten Bangli yang memanfaatkan potensi wisata alam dan spiritual di Batur serta keberadaan Danau batur sebagai Danau terbesar di Bali yang ada di kawasan Kintamani. Kabupaten Buleleng juga memiliki potensi dalam

pengembangan wisata alam, wisata spiritual dan wisata pantai di daerah Lovina. Kabupaten Jembrana dapat mengandalkan potensi di sektor wisata alam, sedangkan Kabupaten Klungkung yang beberapa tahun ini sangat berkembang di sektor pariwisata dengan andalan destinasi mereka adalah Pulau Nusa Penida, Lembongan dan Ceningan yang sangat diminati wisatawan asing, sebagai wilayah dengan wisata alam dan pantai yang mendunia (Evita R.,dkk., 2012).

Perkembangan pariwisata ini menyebabkan daerah-daerah berpacu dalam mengembangkan potensi yang dimiliki. Berbagai ide-ide kreatif serta inovasi mulai muncul sehingga potensi yang dianggap awalnya terpendam mulai dilirik dan dikembangkan. Salah satunya adalah kawasan Taman Hutan Raya atau Tahura, yang merupakan kawasan yang sesungguhnya eksotik namun sedikit diabaikan. Kawasan Tahura sesungguhnya adalah kawasan observatif yang berfungsi sebagai pelindung dan penyangga bagi keberlangsungan ekosistem. Kawasan Tahura yang mendapat perhatian dalam pengembangan saat ini adalah kawasan Tahura Ngurah Rai yang terdapat di Bali Selatan, dengan potensi Hutan Mangrove yang berada di tepi Pantai dan muara sungai. Hutan mangrove yang berada di kawasan Tahura Ngurah Rai, beberapa tahun ini memang menjadi daya tarik bagi pelaku

(4)

70 usaha fotografi dengan pemandangan

alamnya yang menarik sebagai objek maupun tempat melakukan sesi foto. Pengembangan awal yang dilakukan terhadap Hutan Mangrove di kawasan Tahura Ngurah Rai adalah sebagai wisata tracking (susur hutan), dengan membuat jalur jalan setapak di tengah-tengah hutan mangrove yang membuat wisatawan dapat masuk ke kawasan hutan dan menikmati suasana hutan mangrove. Namun belakangan ini dari pengamatan langsung yang dilakukan, mulai ramai perkembangan yang terjadi di kawasan Tahura Ngurah Rai Bali, dengan munculnya beberapa tempat atau objek pendukung pariwisata dengan basis desa. Sebagai contoh di Desa Sesetan muncul pengembangan tempat penyebrangan laut bagi wisatawan di kawasan Tahura Ngurah Rai untuk melayani penyebrangan Denpasar ke Pulau Nusa Penida, Desa Pedungan mengembangkan tempat pemelastian (upacara melasti) dan tempat sandaran perahu tradisional di kawasan Tahura Ngurah Rai, Desa Pemogan juga mengembangkan wisata spiritual di kawasan Tahura, sedangkan di Desa Serangan masyarakatnya memanfaatkan kawasan Tahura Ngurah Rai untuk mengembangkan wisata kuliner tepi pantai dengan membuat tempat makan terapung ataupun tempat makan yang berisi tiang pemancang. Desa Kedonganan juga berpaya mengembangkan kawasan Tahura Ngurah

Rai untuk tempat sandaran perahu nelayan tradisional, sedangkan Desa Sidakarya mulai melirik kawasan Tahura Ngurah Rai untuk pengembangan wisata pantai yang potensial mereka garap, namun belum memiliki akses jalan menuju pantai tersebut.

Pengembangan pariwisata di kawasan Tahura sesungguhnya dapat saja dilakukan, namun perlu diingat fungsi utama dari kawasan Tahura sebagai penyangga dan pelindung bagi keberlangsungan hidup hayati yang ada di ekosistem tersebut, sehingga jangan sampai pengembangan wisata yang dilakukan dapat merusak dan menghilangkan ekosistem tersebut. Hendaknya dalam melakukan pengembangan wisata di kawasan Tahura perlu memperhatikan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku, sebagai konsekuensi dari Negara kita adalah Negara hukum, sehingga setiap tata kehidupan masyarakatnya harus berlandaskan hukum. Dalam hal pengembangan wisata di Kawasan Tahura maka perlu memperhatikan ketentuan hukum yang mengatur tentang bidang tersebut dalam hal ini adalah ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang kehutanan, khususnya ketentuan hukum tentang Pemanfaatan Taman Hutan Raya serta ketentuan lainnya yang spesifik mengatur tentang kawasan Tahura Ngurah Rai yang menjadi kajian dalam tulisan ini.

Dengan mengetahui dan memperhatikan ketentuan hukum yang berlaku di kawasan

(5)

71 Tahura Ngurah Rai, maka setiap pihak yang

akan melakukan pengembangan wisata di kawasan Tahura lebih hati-hati, sehingga pengembangan yang dilakukan tidak melanggar aturan dan dianggap sebagai pengembangan wisata illegal yang justru dapat memberikan preseden buruk bagi pengambangan pariwisata Bali secara umum di mata dunia.

B. Metodelogi

Penulisan ini tergolong penulisan yang disusun dari penelitian normatif, dengan menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach). Pendekatan perundang-undangan adalah pendekatan yang dilakukan dengan menelaah semua peraturan perundang-undangan dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang ditangani (Peter Machmud. 2011: 93). Permasalahan dalam penulisan ini dianalisis dengan ketentuan hukum yang berlaku, sehingga didapatkan suatu penyelesaian dan simpulan. Bahan hukum primer yang digunakan sebagai pisau analisis dalam penulisan ini adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 tahun 2010 Tentang Pengusahaan Pariwisata Alam Di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.76/Menlhk-Setjen/2015 Tentang Kriteria Zona Pengelolaan Taman Nasional Dan Blok Pengelolaan Cagar Alam, Suaka

Margasatwa, Taman Hutan Raya Dan Taman Wisata Alam, SK No. 43/Kpts/DJ-VI/1994 Dirjen Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam tentang peraturan Pembentukan Tahura, serta Keputusan Direktur Jendral Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Nomor SK.255/KSDAE-SET/2015, tanggal 6 Nopember 2015

C. Hasil Dan Pembahasan

1. Pengaturan Pengembangan Wisata di Kawasan Tahura

Sebelum melihat pengaturan pengembangan wisata di Kawasan Tahura, perlu diketahui bahwa pengertian kawasan Taman Hutan Raya (TAHURA) berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya adalah suatu kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau bukan alami, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata dan rekreasi. Suatu kawasan dapat ditetapkan menjadi TAHURA haruslah memenuhi beberapa persyaratan yang terdapat di Undang-Undang No 5 Tahun 1990. Kriterianya antara lain berupa kawasan yang mempunyai ciri khas asli atau buatan manusia, memiliki panorama alam seperti sumber air panas atau mata air, serta luas lahan yang cukup dan potensi sumber

(6)

72 alam yang dapat dimanfaatkan. Selain itu,

peraturan pembentukan TAHURA juga terdapat dalam SK No. 43/Kpts/DJ-VI/1994 Dirjen Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam, yaitu pengelolaan Taman Hutan Raya (Tahura) adalah upaya terpadu dalam penataan, pemeliharaan, pengendalian, pemuliaan, serta pengembangan pemanfaatan suatu kawasan

Dari pengertian di atas, sesungguhnya ada celah yang dapat dilakukan dalam mengambangkan kawasan TAHURA untuk hal yang bermanfaat. Karena sesuai dengan pngertian Dirjen Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam, selain untuk fungsi perlindungan dan pengendalian, ada fungsi kemanfaatan yang dapat diupayan dari keberadaan kawasan asalkan tidak sampai menganggu keberlangsungan ekosistem di dalamnya. Peluang inilah yang dapat ditangkap oleh wilayah atau desa-desa yang memiliki kawasan TAHURA dalam lingkup wilayah mereka. Titik terang pengembangan wisata yang dapat dikembangkan dan diupayakan oleh daerah atau desa melalui Badan Hukum yang dimiliki adalah Pengusahaan Pariwisata Alam, dengan menggunakan dasar hukum Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2010, tentang Pengusahaan Pariwisata Alam Di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam. Pengusahaan Pariwisata Alam dalam pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 36

Tahun 2010 berbunyi: “Kegiatan untuk menyelenggarakan usaha pariwisata alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam berdasarkan rencana pengelolaan. Dalam Pasal 1 ayat (2) disebutkan Usaha pariwisata alam adalah usaha yang menyediakan barang dan/atau jasa bagi pemenuhan kebutuhan wisatawan dan penyelenggaraan pariwisata alam. Lebih lanjut dalam ayat (3) disebutkan bahwa Pariwisata alam adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata alam, termasuk pengusahaan obyek dan daya tarik serta usaha yang terkait dengan wisata alam. Dengan melihat pengertian dari ketentuan hukum tersebut maka pengembangan wisata yang diupayakan oleh daerah ataupun desa-desa yang memiliki badan hukum di dalam kawasan Tahura dapat direalisasikan, dan hal ini dapat dimohonkan kepada Pemerintah melalui ijin pengusahaan pariwisata alam. Namun, perlu diperhatikan lebih lanjut sesuai dasar hukum tentang syarat perijinan pengusahaan pariwisata alam pada kawasan Taman Hutan raya (Tahura). Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2010 Pasal 9 Ayat (3) tentang perizinan pengusahaan pariwisata alam di Tahura disebutkan bahwa untuk usaha penyediaan sarana wisata alam hanya dapat diberikan pada kawasan Tahura yang termasuk kategori blok Pemanfaatan. Ketentuan pasal inilah yang sujatinya menjadi kunci tentang boleh atau tidaknya suatu wilayah atau desa

(7)

73 yang memiliki kawasan TAHURA

mengembangkan potensi wisata di wilayahnya.

Sehingga apabila suatu wilayah atau desa yang memiliki kawasan TAHURA di dalamnya serta ingin mengembangkan kawasan Tahura yang dimiliki untuk pengembangan wisata alam, maka keadaan status dari blok kawasan TAHURA yang dimiliki haruslah dalam posisi status blok pemanfaatan, maka barulah dapat dikembangkan dan dimohonkan untuk pengusahaan pariwisata alam. Namun jika status kawasan Tahura yang dimiliki belum atau bukan blok pemanfaatan, maka daerah atau desa yang berbadan hukum tersebut belum boleh mengajukan pengembangan pariwisata alam di kawasannya TAHURAnya.

2. Status Kawasan TAHURA Ngurah Rai serta Potensi Pengembangan Wisata

a. Status Kawasan TAHURA Ngurah Rai

Untuk melihat ruang lingkup kawasan Tahura Ngurah Rai, maka kami sajikan dalam gambar peta berikut:

Gambar 1. Kawasan Tahura Ngurah Rai (berwarna ungu)

Berdasarkan Keputusan Direktur Jendral Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Nomor SK.255/KSDAE-SET/2015, tanggal 6 Nopember 2015. Luas kawasan Hutan Tahura Ngurah Rai seluruhnya di tahun 2015 terbagi atas: • Luas Kawasan Konservasi Mangrove = 1.203,55 Ha

• Luas Kawasan HPK = 169,95 Ha Luas Kawasan Hutan Konservasi Mangrove Tahura Ngurah Rai yang sebesar 1.203,55 Ha terbagai dalam:

1) Blok Perlindungan sebesar : 546,566 Ha

2) Blok Pemanfaatan sebesar : 298,202 Ha

3) Blok Lainnya sebesar : 358,782 Ha 4) Blok Rehabilitasi : 150,30 Ha (di

Nusa dua dan telaga waja)

5) Blok Religi, Budaya, dan sejarah: 3,95 Ha (Pura, Tempat Melasti)

(8)

74 6) Blok Khusus : 204,53 Ha (TPA,

estuary DAM, PLN, Lagoon) 7) Blok Tradisional: 0,002 Ha

Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.76/Menlhk-Setjen/2015 Tentang Kriteria Zona Pengelolaan Taman Nasional Dan Blok Pengelolaan Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Taman Hutan Raya Dan Taman Wisata Alam disebutkan tentang pengertian tiap blok sebagai berikut: Ketentuan Pasal 1 Ayat (19), Blok Perlindungan adalah bagian dari kawasan yang ditetapkan sebagai areal untuk perlindungan keterwakilan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya pada kawasan selain taman nasional. Kriteria blok perlindungan/perlindungan bahari, meliputi: 1) Tempat perlindungan jenis tumbuhan dan satwa; dan/atau

2) Tingkat ancaman manusia rendah.

Ketentuan Pasal 1 Ayat (20), Blok Pemanfaatan adalah bagian dari SM, TWA dan TAHURA yang ditetapkan karena letak, kondisi dan potensi alamnya yang terutama dimanfaatkan untuk kepentingan pariwisata alam dan kondisi lingkungan lainnya. Kriteria blok pemanfaatan, meliputi :

a) Merupakan wilayah yang memiliki obyek dan daya tarik wisata;

b) Merupakan wilayah yang memiliki potensi kondisi lingkungan berupa

penyimpanan dan/atau penyerapan karbon, masa air, energi air, energi panas dan energi angin;

c) Merupakan wilayah yang memungkinkan dibangunnya sarana prasarana bagi kegiatan pemanfaatan kondisi lingkungan, penelitian dan pendidikan, dan wisata alam;

d) Merupakan wilayah yang memiliki nilai sejarah atau wilayah dengan aksesibilitas yang mampu mendukung aktivitas wisata alam.

Ketentuan Pasal 1 Ayat (23), Zona/Blok Tradisional adalah bagian dari KPA yang ditetapkan sebagai areal untuk kepentingan pemanfaatan tradisional oleh masyarakat yang secara turun-temurun mempunyai ketergantungan dengan sumber daya alam. Kriteria blok tradisional merupakan wilayah yang memenuhi kriteria sebagai blok perlindungan/ perlindungan bahari atau blok pemanfaatan yang telah dimanfaatkan untuk kepentingan tradisional masyarakat secara turun temurun.

Ketentuan Pasal 1 Ayat (23), Zona/Blok Rehabilitasi adalah bagian dari KSA/KPA yang ditetapkan sebagai areal untuk pemulihan komunitas hayati dan ekosistemnya yang mengalami kerusakan. Kriteria blok rehabilitasi merupakan wilayah

(9)

75 yang telah mengalami kerusakan sehingga

perlu dilakukan kegiatan pemulihan ekosistem.

Ketentuan Pasal 1 Ayat (25), Zona/Blok Religi, Budaya dan Sejarah adalah bagian dari KSA/KPA yang ditetapkan sebagai areal untuk kegiatan keagamaan, kegiatan adat-budaya, perlindungan nilai-nilai budaya atau sejarah. Kriteria blok religi, budaya dan sejarah merupakan wilayah yang memenuhi kriteria sebagai blok perlindungan/perlindungan bahari atau blok pemanfaatan yang telah dimanfaatkan untuk kepentingan religi, adat budaya, perlindungan nilai-nilai budaya atau sejarah.

Ketentuan Pasal 1 Ayat (26), Zona/Blok Khusus adalah bagian dari KSA/KPA yang ditetapkan sebagai areal untuk pemukiman kelompok masyarakat dan aktivitas kehidupannya dan/atau bagi kepentingan pembangunan sarana telekomunikasi dan listrik, fasilitas transportasi dan lain-lain yang bersifat strategis. Kriteria blok khusus, meliputi :

a) Terdapat bangunan yang bersifat strategis yang tidak dapat dielakkan; b) Merupakan pemukiman masyarakat yang bersifat sementara yang keberadaannya telah ada sebelum penetapan kawasan tersebut sebagai TAHURA; dan/atau

c) Memenuhi kriteria sebagai wilayah pembangunan strategis yang tidak

dapat dielakkan yang keberadaannya tidak mengganggu fungsi utama kawasan

Berdasarkan Keputusan Direktur Jendral Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Nomor SK.255/KSDAE-SET/2015, wilayah Tahura yang masuk ke blok perlindungan ada di daerah. Tahura dikawasan Desa Sesetan, Sidakarya, sebagian Pedungan, sebagian tuban dan jimbaran, sebagian tanjung benoa. Status kawasan Tahura yang memiliki blok khusus ada di daerah Sebagian Pedungan (Psanggaran), sebagian pemogan, dan sebagian Tuban. Sedangkan kawasan Tahura Ngurah Rai yang berstatus blok pemanfaatan ada di daerah Sanur Intaran, sebagian Pedungan, Desa Serangan, sebagian Desa Pemogan, dan sebagian Jimbaran.

b. Potensi Pengembangan Wisata oleh Daerah yang memiliki Kawasan Tahura Ngurah Rai

Dengan melihat status kawasan Tahura Ngurah Rai sesuai dengan Keputusan Direktur Jendral Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Nomor SK.255/KSDAE-SET/2015, maka tidak semua wilayah dapat mengembangkan potensi wisata khususnya pengusaan pariwisata alam di wilayahnya. Hal ini dikarenakan tidak semua status kawasan Tahura Ngurah Rai ada dalam posisi blok pemanfaatan, sehingga sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2010

(10)

76 Pasal 9 Ayat (3) tentang perizinan

pengusahaan pariwisata alam di Tahura, daerah atau wilayah Tahura yang belum masuk stuatus blok pemanfaatan maka belum dapat mengajukan ijin pengusaan pariwisata alam. Apalagi terhadap wilayah kawasan Tahura Ngurah Rai yang berstatus blok perlindungan, maka tidak dapat dilakukan pengembangan di wilayah ini selain untuk tujuan konservatif dan perlindungan hayati.

Maka dengan melihat ketentuan tersebut, maka potensi pengembangan wisata di kawasan Tahura Ngurah Rai Bali sampai masih berlakunya Keputusan Direktur Jendral Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Nomor SK.255/KSDAE-SET/2015, hanya bisa dimiliki oleh beberapa wilayah atau desa yang memiliki badan hukum saja. Adapun potensi pengembangan wisata di kawasan Tahura dengan pengajuan ijin Pengusahaan pariwisata alam dapat dilakukan oleh Desa Serangan dan Desa Sanur (Intaran). Hal ini disebabkan karena seluruh wilayah Tahura di Desa Serangan dan Desa Sanur (Intaran) masuk dalam status blok pemanfaatan. Begitupula dengan sebagaian wilayah Tahura yang ada di Desa Pedungan, Pemogan dan Jimbaran dapat dilakukan pengembangan wisata alam. Apalagi melihat daya dukung potensi alam disana yang memang mendukung untuk pengembangan tersebut. Sedangkan untuk wilayah atau desa yang memiliki kawasan

Tahura namun status bloknya perlindungan dan lainnya, belum dapat dikembangkan untuk wisata alam, seperti Sesetan dan Sidakarya. Namun demikian, melihat fakta di lapangan ternyata banyak daerah atau desa yang justru wilayah Tahuranya masuk blok perlindungan memiliki potensi untuk berkembang menjadi destinasi wisata. Untuk itu disinilah memerlukan perhatian dari Pemerintah untuk dapat melakukan kajian dan perevisian dari status blok kawasan Tahura Ngurah Rai, sehingga wilayah atau daerah yang memiliki potensi untuk dikembangkan tidak terhambat, dengan tetap memperhatikan keberlangsungan keberadaan hayati di dalam kawasan Tahura.

D. Simpulan

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:

1. Pengaturan pengembangan wisata di kawasan Tahura, dapat dilakukan dengan menggunakan dasar hukum Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2010, tentang Pengusahaan Pariwisata Alam Di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam. Khusus di kawasan Tahura penngusahaan pariwisata alam itu dapat dilakukan pada kawasan Tahura yang memiliki status blok pemanfaatan.

(11)

77 2. Status kawasan Tahura Ngura Rai

berdasarkan ketentuan yang berlaku dibagi dalam beberapa blok status, yang menggambarkan aktivitas yang dapat dilakukan di blok tersebut. Adapun status blok yang dimiliki oleh kawasan Tahura Ngurah Rai meliputi: blok perlindungan, blok pemanfaatan, blok tradisional, blok religi,sosial, budaya, blok rehabilitasi, dan blok khusus. Akibat dari perbedaan status blok tersebut di kawasan Tahura Ngurah Rai, maka tidak semua kawasan Tahura Ngurah Rai dapat dikembangkan untuk pengembangan wisata. Potensi pengembangan wisata di Tahura Ngurah Rai, hanya dimiliki oleh daerah atau desa yang status kawasan Tahuranya masuk dalam blok pemanfaatan, seperti di Desa Serangan, Desa Sanur (Intaran), sebagian Desa Pedungan, sebagian Desa Pemogan, dan sebagaian Desa Jimbaran.

Daftar Pustaka

Antara, I. K. (2011). Strategi pengembangan pariwisata alternatif di Desa Pelaga Kecamatan Petang Kabupaten Badung. Jurnal Ilmiah Hospitality Management, 2(1).

Evita, R., Sirtha, I. N., & Sunartha, I. N. (2012). Dampak perkembangan pembangunan sarana akomodasi

wisata terhadap pariwisata berkelanjutan di bali. Jurnal Ilmiah Pariwisata, 2(1), 109-222.

Peter Mahmud Marzuki. (2011). Penelitian Hukum, Cet.7. Jakarta: Kencana.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419); Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999

tentang Kehutanan, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412);

Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam (Lembaran Negara Republik

(12)

78 Indonesia Tahun 1998 Nomor 132,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1776);

Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 146, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4452); Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007

tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4696) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2008 Nomor 16, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4814); Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007

tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);

Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.13/Menhut-II/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kehutanan, sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.64/Menhut-II/2008;

SK No. 43/Kpts/DJ-VI/1994 Dirjen Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam tentang peraturan Pembentukan Tahura.

Gambar

Gambar  1.  Kawasan  Tahura  Ngurah  Rai  (berwarna ungu)

Referensi

Dokumen terkait

(2) Hak-hak tersebut dalam ayat (1) kepunyaan orang asing, warganegara yang di samping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing dan badan hukum

26 Dalam melakukan penemuan hukum berpedoman kepada asas hukum, 27 terutama asas-asas hukum universalitas sebagai norma yang berlaku dalam setiap sistem hukum, 28

(Winarsunu, 2006:14) Dalam penelitian ini kelas yang diambil sebagai sampel adalah siswa kelas VIII A yang terdiri dari 35 siswa sebagai kelompok kontrol dengan

Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan rata-rata nilai kepercayaan diri pada kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol sebesar 2,092, yang berarti pendampingan psikologi

Berdasarkan homogenitas/heterogenitas dan karakteristik semua partisipan yang terkait pada kelembagaan, pihak yang menjadi pelaku utama kemitraan adalah (1) petani cluster

(1) Inspektur Pembantu Wilayah II sebagaimana dimaksud dalam Pasal 507 ayat (4) huruf c, mempunyai tugas pokok membantu Inspektur dalam melakukan pengawasan

Guo (2005) menjelaskan bahwa manfaat pelatihan keterampilan bermain ini lebih menekankan pada peningkatan nilai afeksi antara ibu dan anak, sehingga perlu

Meminta siswa untuk menggambar sesuai dengan kaidah penggambaran yang sesuai dengan aturan pada perusahaan.. Mengingatkan siswa untuk lebih