• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. Bahwa untuk keperluan permohonan dimaksud, izinkan saya memberikan keterangan-keterangan sebagai berikut:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2. Bahwa untuk keperluan permohonan dimaksud, izinkan saya memberikan keterangan-keterangan sebagai berikut:"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Keterangan Ahli

Dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi Hari Rabu, 20 November 2013

Perkara No.82/PUU-XI/2013 Perihal Pengujian UU Ormas Disampaikan oleh:

Eryanto Nugroho

Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Kepada Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi, atas permintaan dari Pimpinan Pusat Persyarikatan Muhammadiyah selaku Pemohon dalam Pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bersama ini saya sampaikan keterangan tertulis saya sebagai ahli sebagai berikut.

1. Bahwa apabila Yang Mulia Majelis Hakim menganggap perlu keterangan tertulis ini dikuatkan dibawah sumpah, saya bersedia menghadiri sidang majelis untuk mengucapkan sumpah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2. Bahwa untuk keperluan permohonan dimaksud, izinkan saya memberikan keterangan-keterangan sebagai berikut:

Pertama: Tentang Proses Pembentukan UU No.17 Tahun 2013 tentang

Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas) dan Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang Baik

Sebelum memasuki keterangan mengenai substansi, perkenankanlah saya untuk menyampaikan keterangan dan pandangan saya mengenai proses pembentukan UU Ormas ini.

Perlu kita ingat kembali bahwa sejarah UU Ormas merupakan satu dari lima

undang-undang dalam “Paket Undang-Undang Politik” pada masa Orde Baru, bersama dengan RUU Pemilu, RUU Parpol, RUU MPR, DPR, dan DPRD, dan RUU Referendum. Melihat sejarah pembentukannya, UU Ormas memang lebih didasarkan pada pertimbangan politik dibanding hukum. UU Ormas pada saat itu dibentuk salah satunya untuk mengedepankan stabilitas politik.

Pasca reformasi 1998, upaya untuk merevisi UU No.8 Tahun 1985 telah mulai dilakukan oleh Pemerintah. Hal ini dapat dilihat dari masuknya RUU tentang Perubahan Atas UU No.8 Tahun 1985 tentang Ormas dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2005-2009. Walau pihak Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri, terus berupaya mendorong proses revisi ini, namun sampai berakhirnya periode DPR-RI di tahun 2009, RUU ini tidak dibahas dan tidak disahkan.

RUU Ormas kembali masuk ke dalam Prolegnas 2010-2014. Namun RUU Ormas baru mendapat momentumnya pasca terjadinya serentetan tindak kekerasan

(2)

yang diduga melibatkan Ormas. Pada 30 Agustus 2010, DPR-RI mengadakan rapat gabungan dengan Pemerintah untuk merespon maraknya berbagai tindak kekerasan tersebut. Rapat itu dihadiri antara lain oleh Wakil Ketua DPR, Menkopolhukam, Mendagri, Kapolri, Jaksa Agung, dan Kepala BIN. Rapat itu menghasilkan kesepakatan untuk bersama mendorong revisi UU Ormas. Sejak itu, mulai tahun 2011 RUU Ormas masuk dalam Prioritas Legislasi tahunan. RUU Ormas akhirnya resmi menjadi usul inisiatif DPR sejak 21 Juli 2011.

Kontroversi pembahasan RUU Ormas cukup alot dan berjalan panjang. DPR bahkan sampai memperpanjang periode pembahasan hingga 7 (tujuh) kali masa sidang.

Persetujuan RUU Ormas bahkan mengalami penundaan dalam dua kali Rapat Paripurna DPR (Rapat Paripurna tanggal 12 April dan 25 Juni 2013), suatu hal yang sangat khusus dalam sejarah proses legislasi di Indonesia.

UU Ormas akhirnya disetujui untuk menjadi Undang-Undang melalui voting dalam rapat paripurna pada tanggal 2 Juli 2013. Pilihan voting akhirnya diambil karena DPR tidak juga berhasil mencapai keputusan melalui musyawarah mufakat. Ditolak oleh 50 suara (PAN, Gerindra, Hanura), namun disetujui oleh 311 suara (Demokrat, Golkar, PDI-P, PKS, PPP, PKB).

Terhadap proses ini, saya ingin menyampaikan keterangan mengenai kuatnya reaksi penolakan pengesahan RUU Ormas ini yang datang dari para pemangku kepentingan utama dari RUU ini.

Persyarikatan Muhammadiyah, sebuah organisasi berbadan hukum Perkumpulan berdiri sejak 1912 dengan perkiraan lebih dari 15 juta pengikut, tegas menolak lahirnya UU Ormas ini. Muhammadiyah menilai RUU Ormas memiliki paradigma totaliter dan menganut paham kekuasaan yang absolut. Muhammadiyah menolak dan menyarankan kepada pemerintah/DPR RI untuk menyusun RUU Perkumpulan sebagaimana yang diperintahkan oleh Pasal 28 UUD 1945.1

Walau tidak setegas Muhammadiyah dalam penolakan, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang diperkirakan memiliki lebih dari 40 juta pengikut juga memberikan catatan kritis atas pembahasan RUU Ormas dan meminta DPR untuk menunda pengesahannya. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama tidak menolak, namun memberikan 6 (enam) pokok pandangan kritis dan meminta DPR untuk menunda pengesahan, untuk menghindari berbagai dampak negatif yang ditimbulkan dari pengesahan RUU ini. PBNU yang merupakan organisasi berbadan

hukum Perkumpulan yang berdiri sejak tahun 1926 ini menghargai rumusan baru tentang penggunaan asas Pancasila namun mengkritisi soal definisi Ormas yang dianggap menggeneralisasi dan tidak membedakan antara Yayasan, Perkumpulan, dan Organisasi Kemasyarakatan yang sudah berurat-akar di dalam kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan bangsa Indonesia.2

Selain Muhammadiyah, masih banyak lagi organisasi yang tegas menolak RUU

1 http://www.tribunnews.com/nasional/2013/07/02/dinilai-otoriter-muhammadiyah-tolak-ruu-ormas 2

Seluruhnya ada 6 (enam) pokok pandangan dan sikap PBNU terhadap RUU Ormas. Lihat http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,6-id,43562-lang,id-c,taushiyah-t,Pokok+pokok+Pandangan+PBNU+terhadap+RUU+Ormas-.phpx

(3)

Ormas. Antara lain Majelis Taklim Alqur'an (MTA), Forum Masyarakat Katolik Indonesia (FMKI), Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI), Media Umat Kristen Indonesia (MUKI), Walubi, Forum Komunikasi Kristen Jakarta (FKKJ), Nasyiatul Aisyiah, Dewan Dakwah Islamiah, PGI Wilayah, Persatuan Intelegensia Kristen Indonesia (PIKI) DKI dan Parmusi tegas menyatakan menolak RUU Ormas.3Koalisi Kebebasan Berserikat yang merupakan koalisi dari berbagai organisasi masyarakat sipil, tegas menolak RUU Ormas. Kelompok buruh seperti dari elemen

FSPNI, FSP, KEP, PPMI, FSP, dan KSPSI bahkan tidak hanya menyatakan tegas penolakannya tapi juga beberapa kali melakukan unjuk rasa besar di gedung DPR.4 Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang merupakan Lembaga Pemerintah Non Departemen yang berfokus pada bidang penelitian juga melakukan konferensi pers untuk menyampaikan penolakannya atas RUU Ormas. Kepala Bidang Politik Nasional LIPI, Irin Gayatri dalam konferensi pers menyatakan: "RUU Ormas

dibangun berdasarkan kerangka pikir yang cenderung sesat, yakni tidak percaya pada masyarakat, sehingga semua aktivitas masyarakat perlu dicurigai, serta perlu diatur, dibina dan diawasi oleh negara…" .5

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) bahkan mendesak DPR untuk tidak mengesahkan RUU Ormas karena dinilai bertentangan dengan nilai-nilai HAM. Komnas HAM memandang bahwa RUU Ormas itu dapat menjadi ancaman terhadap kebebasan berserikat. Komnas HAM Komnas HAM merekomendasikan agar segera dibentuk dan disahkan UU Perkumpulan, bukan UU Ormas, sebagai pendamping UU Yayasan6

Sikap-sikap penolakan ini saya masukan dalam keterangan ini, untuk dapat menggambarkan betapa besarnya penolakan dilakukan oleh berbagai pemangku kepentingan yang sangat penting. Penolakan Muhammadiyah dan usulan penundaan dari PBNU tentunya tidak bisa dipandang sebelah mata. Walau keduanya berbadan hukum Perkumpulan namun sejak masa rezim Orde Baru, Muhammadiyah dan NU secara politik lebih dikenal sebagai Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) yang didasarkan pada UU No.8 Tahun 1985 tentang Ormas. Dengan jumlah pengikut yang demikian besar, bisa dikatakan bahwa keduanya merupakan bagian dari pemangku kepentingan yang sangat penting bagi RUU ini.

Pasal 5 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mengatur tentang Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Perundang-undangan yang baik. Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang meliputi: 3 http://news.detik.com/read/2013/06/24/144316/2282461/10/15-ormas-tolak-pengesahan-ruu-ormas?nd771104bcj 4 http://www.tribunnews.com/nasional/2013/07/02/tolak-ruu-ormas-ribuan-buruh-demo-di-dpr-ri 5 http://news.detik.com/read/2013/07/01/153637/2289130/10/lipi-tolak-pengesahan-ruu-ormas-ini-alasannya?9922022 6 http://www.komnasham.go.id/informasi/images-portfolio-6/rekam-media/454-komnas-ham-menolak-pengesahan-ruu-ormas

(4)

a. kejelasan tujuan;

b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat; c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan; d. dapat dilaksanakan;

e. kedayagunaan dan kehasilgunaan; f. kejelasan rumusan; dan

g. keterbukaan.

Asas “dapat dilaksanakan" mengatur bahwa setiap Pembentukan Peraturan undangan harus memperhitungkan efektivitas Peraturan Perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis. Sementara asas "kedayagunaan dan kehasilgunaan" adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Saya berpandangan bahwa kenyataan RUU Ormas tetap disahkan walaupun masif terjadi penolakan dari berbagai pemangku kepentingan utama, membuat proses pembentukan UU Ormas menjadi tidak memenuhi Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik. UU Ormas bisa jadi memiliki “daya laku” karena dibentuk oleh lembaga yang berwenang, namun tidak dapat memenuhi asas “kehasilgunaan” dan asas “dapat dilaksanakan” karena mengabaikan sekian banyak suara penolakan dari berbagai pemangku kepentingan.

Kedua: Tentang Substansi Pengaturan yang Menimbulkan Kerancuan Kerangka Hukum dan Menciderai Kebebasan Berserikat Berkumpul

1. Kerancuan Kerangka Hukum

Definisi Ormas yang diberikan oleh Pasal 1 UU No.17 Tahun 2013 tentang Ormas (selanjutnya disebut “UU Ormas”) sangatlah luas.7 Kerancuan semakin menjadi ketika Pasal 11 UU Ormas memasukkan juga badan hukum Yayasan dalam kategori Ormas. Hal ini merupakan kesalahkaprahan karena seharusnya pembuat undang-undang paham bahwa badan hukum Yayasan adalah suatu badan hukum yang tidak mempunyai anggota (non membership legal entity) sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 UU Yayasan. Sementara konsep Ormas, melihat pada sejarah pembentukannya pada tahun 1985, jelas menyasar organisasi berbasis anggota (membership based organization).

Kerangka hukum di Indonesia, sebagaimana di negara civil law lainnya, memang mengenal pembagian bentuk hukum organisasi sosial menjadi dua yaitu Yayasan (Foundation/Stichting) dan Perkumpulan (Association/Vereneging). Yang pertama merupakan sekumpulan kekayaan yang dipisahkan untuk tujuan sosial, berikutnya

7 Pasal 1 angka 1 UU No.17 Tahun 2013: “Organisasi Kemasyarakatan yang selanjutnya disebut

Ormas adalah organisasi yang didirikan dan dibentuk oleh masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan aspirasi, kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dan tujuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila”.

(5)

adalah sekumpulan orang. Di Indonesia, UU Yayasan telah lahir pada tahun 2001 dan direvisi pada tahun 2004. Sementara peraturan mengenai badan hukum Perkumpulan hingga kini masih berdasar Stb.

Hukum (Rechtpersoonlijkheid van Verenegingen)

Secara sederhana, kerancuan contoh bagan di bawah ini:

Pasal 10 dan Pasal 11 UU Ormas yang terkesan

Ormas yang dapat berbadan hukum/tidak, ataupun dapat berbentuk Perkumpulan/Yayasan, berpotensi menimbulkan kerancuan, seakan seluruh bentuk organisasi di bidang sosial/altruisme adalah Ormas.

UU Ormas seakan menempatkan bentuk

bentuk organisasi sosial. Kerancuan ini berpotensi dapat membuat organisasi yang bergerak di ranah sosial, akan didekati dengan pendekatan politik dengan menjadi Ormas yang berada di bawah pembinaan Kementerian Dalam Neg lebih khususnya Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol). Masuknya Yayasan dalam pe

tingkat praktek yang berdampak besar digunakan oleh Rumah Sakit, Kampus, pendidikan/kesehatan/sosial lainnya.

mereka kemudian menjadi Ormas?

Kerancuan ini mengakibatkan penentuan organisasi mana yang masuk dalam kategori Ormas akan ditentukan sepihak oleh Pemerintah.

Dampak dibangkitkannya UU Ormas memang besar dan kompleks. DPR dan Pemerintah seharusnya mencabut UU Ormas dan m

kepada kerangka hukum yang benar, yaitu badan hukum Yayasan (untuk organisasi sosial tanpa anggota) dan badan hukum Perkump

organisasi sosial dengan anggota). dalam Prolegnas 2010-1014 No.228.

adalah sekumpulan orang. Di Indonesia, UU Yayasan telah lahir pada tahun 2001 dan direvisi pada tahun 2004. Sementara peraturan mengenai badan hukum Perkumpulan hingga kini masih berdasar Stb.1870-64 tentang Perkumpulan-Perkumpulan Berbadan

(Rechtpersoonlijkheid van Verenegingen).

Secara sederhana, kerancuan kerangka hukum yang timbul dapat dilihat pada bagan di bawah ini:

Pasal 10 dan Pasal 11 UU Ormas yang terkesan mencampuradukkan pengertian Ormas yang dapat berbadan hukum/tidak, ataupun dapat berbentuk Perkumpulan/Yayasan, berpotensi menimbulkan kerancuan, seakan seluruh bentuk organisasi di bidang sosial/altruisme adalah Ormas.

UU Ormas seakan menempatkan bentuk “Ormas” sebagai payung dari seluruh bentuk organisasi sosial. Kerancuan ini berpotensi dapat membuat organisasi yang bergerak di ranah sosial, akan didekati dengan pendekatan politik dengan menjadi Ormas yang berada di bawah pembinaan Kementerian Dalam Neg lebih khususnya Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol). Masuknya Yayasan dalam pengertian Ormas dapat menimbulkan kerancuan di

yang berdampak besar. Badan hukum Yayasan banyak digunakan oleh Rumah Sakit, Kampus, dan berbagai lembaga pendidikan/kesehatan/sosial lainnya. Dengan adanya UU Ormas ini, apakah mereka kemudian menjadi Ormas?

mengakibatkan penentuan organisasi mana yang masuk dalam kategori Ormas akan ditentukan sepihak oleh Pemerintah.

pak dibangkitkannya UU Ormas memang besar dan kompleks. DPR dan Pemerintah seharusnya mencabut UU Ormas dan mengembalikan pengaturan kepada kerangka hukum yang benar, yaitu badan hukum Yayasan (untuk organisasi sosial tanpa anggota) dan badan hukum Perkump

organisasi sosial dengan anggota). Terlebih lagi, RUU Perkumpulan telah masuk 1014 No.228.

adalah sekumpulan orang. Di Indonesia, UU Yayasan telah lahir pada tahun 2001 dan direvisi pada tahun 2004. Sementara peraturan mengenai badan hukum Perkumpulan Perkumpulan Berbadan

dapat dilihat pada

mencampuradukkan pengertian Ormas yang dapat berbadan hukum/tidak, ataupun dapat berbentuk Perkumpulan/Yayasan, berpotensi menimbulkan kerancuan, seakan seluruh

“Ormas” sebagai payung dari seluruh bentuk organisasi sosial. Kerancuan ini berpotensi dapat membuat organisasi yang bergerak di ranah sosial, akan didekati dengan pendekatan politik dengan menjadi Ormas yang berada di bawah pembinaan Kementerian Dalam Negeri, lebih khususnya Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol).

menimbulkan kerancuan di . Badan hukum Yayasan banyak dan berbagai lembaga Dengan adanya UU Ormas ini, apakah

mengakibatkan penentuan organisasi mana yang masuk dalam

pak dibangkitkannya UU Ormas memang besar dan kompleks. DPR dan engembalikan pengaturan kepada kerangka hukum yang benar, yaitu badan hukum Yayasan (untuk organisasi sosial tanpa anggota) dan badan hukum Perkumpulan (untuk RUU Perkumpulan telah masuk

(6)

2. Rezim Pendaftaran yang Menciderai Kebebasan Berserikat Berkumpul

UU Ormas secara berlebihan mengatur juga organisasi yang tidak berbadan hukum. Pendaftaran Ormas yang tidak berbadan hukum dilakukan dengan pemberian Surat Keterangan Terdaftar dari Menteri/Gubernur/Bupati/Walikota sesuai lingkupnya (lihat Pasal 16 ayat (1) dan (3)).

Padahal Organisasi tidak berbadan hukum sesungguhnya sudah cukup dijamin dalam konstitusi UUD 1945. Kalaupun diperlukan pendaftaran, di berbagai negara civil law lainnya pendaftaran dilakukan ke Pengadilan (seperti di Indonesia sebelum ada UU Yayasan Tahun 2001), sehingga pendekatannya tetap dengan pendekatan hukum.

Bahkan UU Ormas juga mengatur proses pendataan oleh Camat. UU Ormas mengatur bahwa bagi Ormas tidak berbadan hukum yang tidak memenuhi syarat untuk diberi Surat Keterangan Terdaftar, akan dilakukan pendataan oleh Camat atau sebutan lain (Pasal 18). Pengaturan seperti ini berlebihan dan justru berpeluang menciderai kebebasan berserikat berkumpul dalam penerapannya. Potensi terciderainya kebebasan berserikat berkumpul bukanlah sesuatu yang mengawang-awang. Sudah ada beberapa contoh yang mengkonfirmasi potensi kerancuan pengertian Surat Keterangan Terdaftar, antara lain:

1. Beberapa bulan sebelum UU Ormas disahkan DPR, terbit Surat Edaran Gubernur Lampung No. 045.2/0427/11.03/2013 tentang Ormas/LSM yang terdaftar pada pemerintah provinsi Lampung. Angka 5 dari Surat Edaran tersebut menyatakan bahwa Ormas, LSM, atau Lembaga Nirlaba di Lampung yang tidak memiliki Surat Keterangan Terdaftar (SKT) dari Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) dianggap illegal.

Kerancuan dan multitafsir mengenai Surat Keterangan Terdaftar (SKT) ini berpotensi menciderai kebebasan berserikat berkumpul.

2. Hasil pemeriksaan lapangan yang dilakukan Kesbangpol Lombok Tengah menemukan bahwa 47 LSM, termasuk yang sering melaksanakan hearing ke sejumlah dinas maupun DPRD ternyata tidak memiliki izin. “Kalau

sudah tidak memiliki kantor ditambah tidak mengantongi izin, artinya sebagian besar LSM kita ini ilegal” demikian penjelasan HM Suhardi,

Kepala Kesbangpol Lombok Tengah (lihat Lombok Post, Senin 16 September 2013, dan Harian Umum Nurani Rakyat 23 Agustus 2013). Pernyataan pejabat Kesbangpol tersebut memang perlu dielaborasi lebih jauh. Namun pernyataan itu mengindikasikan adanya kerancuan dalam penafsiran mengenai izin ataupun Surat Keterangan Terdaftar.

Perlu kita catat bahwa tidak ada norma “Harus/Wajib” dalam UU Ormas mengenai kepemilikan SKT ini.

(7)

3. Kembali Bangkitnya “Ormas” Sebagai Sebuah Konsep yang Mengedepankan Pendekatan Politik

Disahkannya UU Ormas baru pada tahun 2013 ini merupakan suatu kebangkitan kembalinya suatu konsep dan pendekatan politik kepada organisasi masyarakat sipil di Indonesia. Pendekatan politik berupa politik pendisiplinan memang

mewarnai perjalanan seja

bahwa sempat terjadi kontroversi pada 10 Desember 1987. Melalui SK Mendagri No.120 dan No.121 Tahun 1987, Pelajar Islam Indonesia (PII) dan Gerakan Pemuda Marhaen (GPM) tidak diakui keberadaannya dan kegiatan

dilarang karena tidak menyesuaikan dengan UU Ormas 1985.

Maret 1988 menuliskan berita tersebut dengan judul “Pembubaran dengan SK Misterius”, karena SK Mendagri tersebut memang belum pernah dipublikasi dan tidak pernah disampaikan kepada PII maupun GPM.

Pendekatan politik ini pula yang menjelaskan kenapa istilah “Ormas”, yang sebenarnya berarti “Organisasi Kemasyarakatan”, kerap diartikan dengan salah kaprah menjadi “Organisasi Massa”.

UU Politik “ jelas sekali bahwa logika dan struktur Partai Politik ataupun Organisasi Sayap Parpol (onderbouw) sangat diterapkan dalam pengaturan Ormas ini.

Ormas lingkup nasional memiliki struktur organisasi dan kepengurusan paling sedikit 25% (dua puluh lima persen) dari jumla

Ormas). Ormas lingkup provinsi memiliki struktur organisasi dan kepengurusan paling sedikit 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah kabupat

provinsi (Pasal 24 UU Ormas). organisasi dan kepengurusan paling s

Ormas). Struktur ini jelas lebih tepat untuk Partai Politik ataupun Parpol (onderbouw).

Struktur ini punya potensi masalah jika diterapkan kepada Organisasi Masyarakat Sipil. Banyak Organisasi Masyarakat Sipil (Perkumpulan/Yayasan/Organisasi Tidak Berbadan Hukum) tidak berbasiskan struktur seperti ini.

Kembali Bangkitnya “Ormas” Sebagai Sebuah Konsep yang Mengedepankan Pendekatan Politik

Disahkannya UU Ormas baru pada tahun 2013 ini merupakan suatu kebangkitan kembalinya suatu konsep dan pendekatan politik kepada organisasi masyarakat sipil

Pendekatan politik berupa politik pendisiplinan memang

mewarnai perjalanan sejarah UU Ormas sejak tahun 1985. Sejarah mencatat sempat terjadi kontroversi pada 10 Desember 1987. Melalui SK Mendagri No.120 dan No.121 Tahun 1987, Pelajar Islam Indonesia (PII) dan Gerakan Pemuda Marhaen (GPM) tidak diakui keberadaannya dan kegiatan

dilarang karena tidak menyesuaikan dengan UU Ormas 1985. Majalah TEMPO 19 Maret 1988 menuliskan berita tersebut dengan judul “Pembubaran dengan SK Misterius”, karena SK Mendagri tersebut memang belum pernah dipublikasi dan

an kepada PII maupun GPM.

Pendekatan politik ini pula yang menjelaskan kenapa istilah “Ormas”, yang sebenarnya berarti “Organisasi Kemasyarakatan”, kerap diartikan dengan salah kaprah menjadi “Organisasi Massa”. Sebagai salah satu dari lima UU dalam “Pak UU Politik “ jelas sekali bahwa logika dan struktur Partai Politik ataupun Organisasi Sayap Parpol (onderbouw) sangat diterapkan dalam pengaturan Ormas ini.

Ormas lingkup nasional memiliki struktur organisasi dan kepengurusan paling sedikit (dua puluh lima persen) dari jumlah provinsi di seluruh Indonesia (Pasal 23 UU Ormas lingkup provinsi memiliki struktur organisasi dan kepengurusan paling sedikit 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah kabupaten/kota dalam 1 (satu) 24 UU Ormas). Ormas lingkup kabupaten/kota memiliki struktur organisasi dan kepengurusan paling sedikit dalam 1 (satu) kecamatan (Pasal 25 UU

Struktur ini jelas lebih tepat untuk Partai Politik ataupun Orga

r ini punya potensi masalah jika diterapkan kepada Organisasi Masyarakat Sipil. Banyak Organisasi Masyarakat Sipil (Perkumpulan/Yayasan/Organisasi Tidak Berbadan Hukum) tidak berbasiskan struktur seperti ini.

Kembali Bangkitnya “Ormas” Sebagai Sebuah Konsep yang

Disahkannya UU Ormas baru pada tahun 2013 ini merupakan suatu kebangkitan kembalinya suatu konsep dan pendekatan politik kepada organisasi masyarakat sipil

Pendekatan politik berupa politik pendisiplinan memang sempat rah UU Ormas sejak tahun 1985. Sejarah mencatat sempat terjadi kontroversi pada 10 Desember 1987. Melalui SK Mendagri No.120 dan No.121 Tahun 1987, Pelajar Islam Indonesia (PII) dan Gerakan Pemuda Marhaen (GPM) tidak diakui keberadaannya dan kegiatannya sempat Majalah TEMPO 19 Maret 1988 menuliskan berita tersebut dengan judul “Pembubaran dengan SK Misterius”, karena SK Mendagri tersebut memang belum pernah dipublikasi dan

Pendekatan politik ini pula yang menjelaskan kenapa istilah “Ormas”, yang sebenarnya berarti “Organisasi Kemasyarakatan”, kerap diartikan dengan salah Sebagai salah satu dari lima UU dalam “Paket UU Politik “ jelas sekali bahwa logika dan struktur Partai Politik ataupun Organisasi Sayap Parpol (onderbouw) sangat diterapkan dalam pengaturan Ormas ini.

Ormas lingkup nasional memiliki struktur organisasi dan kepengurusan paling sedikit h provinsi di seluruh Indonesia (Pasal 23 UU Ormas lingkup provinsi memiliki struktur organisasi dan kepengurusan en/kota dalam 1 (satu) Ormas lingkup kabupaten/kota memiliki struktur edikit dalam 1 (satu) kecamatan (Pasal 25 UU Organisasi Sayap

r ini punya potensi masalah jika diterapkan kepada Organisasi Masyarakat Sipil. Banyak Organisasi Masyarakat Sipil (Perkumpulan/Yayasan/Organisasi Tidak

(8)

Pengaturan lingkup ini juga berpotensi menimbulkan kerancuan mengenai lingkup kegiatan. Apakah suatu organisasi lingkup kabupaten/kota dapat melakukan kegiatan di tingkat nasional? Pasal 27 yang mengatur “Ormas dapat melakukan kegiatan di

seluruh wilayah Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” tidaklah cukup menghilangkan potensi kerancuan itu karena

mengatur wilayah (bukan “lingkup”), dan ada frasa “sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” yang dapat berarti sesuai dengan ketentuan UU Ormas ini juga.

Kalau UU Ormas tetap dibiarkan berlaku seperti sekarang, maka pendekatan politik akan mengemuka dalam relasi antara Pemerintah dan Organisasi Masyarakat Sipil di Indonesia ke depannya.

Ada berbagai larangan misalnya yang diatur dalam Pasal 59 UU Ormas berpotensi multi tafsir seperti:

- Dilarang melakukan penyalahgunaan, penistaan, atau penodaan terhadap agama yang dianut di Indonesia

- Dilarang melakukan kegiatan separatis yang mengancam kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia

- Dilarang melakukan kegiatan yang menjadi tugas dan wewenang penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Potensi masalah bisa terjadi bukan karena larangannya, melainkan karena ruang penafsiran dalam hal ini diberikan bukan kepada Penegak Hukum melainkan kepada Pemerintah untuk dapat memberikan sanksi administratif yang dapat berupa peringatan tertulis, ataupun penghentian hibah.

Untuk sanksi penghentian sementara Ormas lingkup nasional, Mendagri wajib meminta pertimbangan hukum dari MA. Apabila dalam jangka waktu 14 hari MA tidak memberikan pertimbangan hukum, Mendagri berwenang menjatuhkan sanksi penghentian sementara.

Untuk sanksi penghentian sementara Ormas lingkup provinsi atau kabupaten/kota, Kepala Daerah wajib minta pertimbangan Pimpinan DPRD, Kejaksaan, dan Kepolisian.

Pendekatan seperti UU Ormas ini rentan disalahgunakan bagi oknum pejabat pemerintah di berbagai daerah yang anti-perubahan dan mencoba melakukan represi kepada Organisasi Masyarakat Sipil yang kritis dalam isu Anti-Korupsi, Hak Asasi Manusia, advokasi lingkungan dlsb.

UU Ormas tahun 2013 tentu akan punya dampak yang berbeda dengan UU Ormas tahun 1985. Namun ada satu hal yang belum juga berubah, yaitu dalam hal cara pandang. Prof. Syamsuddin Haris dari LIPI dalam opininya di harian Kompas (13 Maret 2013) berpendapat bahwa: “Naskah RUU tersebut masih menganut cara pandang keliru rezim otoriter yang melihat masyarakat sebagai ancaman…”

(9)

Cara pandang yang melihat masyarakat sebagai ancaman pastinya akan berdampak pada pendekatan yang digunakan dalam relasi hubungan antara Pemerintah dan Organisasi Masyarakat Sipil ke depannya.

Patut disesalkan dibangkitkannya UU Ormas pada tahun 2013 ini. DPR dan Pemerintah seharusnya mencabut UU Ormas dan mengembalikan pengaturan kepada kerangka hukum yang benar, yaitu badan hukum Yayasan (untuk organisasi sosial tanpa anggota) dan badan hukum Perkumpulan (untuk organisasi sosial dengan anggota). Saat ini, harapan bagi ketersediaan ruang yang kondusif bagi Organisasi Masyarakat Sipil dalam mendukung demokrasi di Indonesia sedang diletakkan pada Mahkamah Konstitusi melalui permohonan pengujian UU Ormas.

Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi, demikianlah keterangan yang saya berikan. Terimakasih.

Jakarta 20 November 2013 Eryanto Nugroho

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan Gambar 4.20 – – – 4.28 untuk sistem Fouad dan 4.28 untuk sistem Fouad dan Anderson 3 Generator 9 Bus, menunjukkan bahwa metode ini mampu untuk menentukan CUEP

1) Motive , adalah konsistensi berfikir mengenai sesuatu yang diinginkan dan dikehendaki oleh seseorang, sehingga menyebabkan suatu kejadian.. laku seperti mengendalikan,

Metode Fluiditas Strip mould Terhadap Sifat Mekanis Dan Struktur Mikro” adalah untuk mengetahui Struktur komposisi besi cor kelabu dengan variasi campuran Silikon

pembelajaran, tinjauan perancangan kawasan pembelajaran yang terdiri dari tinjauan perancangan ruang dan tinjauan mengenai bentuk bangunan, Kemudian dilakukan

yaitu, jika membaca berhenti pada akhir sebuah kata maka huruf terakhir pada kata itu dimatikan.. menjadi seperti bertanda sukun

Untuk mengatasi masalah tersebut, perlu diupayakan penyelesaiannya, dan menurut penulis, Bagian Prodi Kampus STMIK Bina Sarana Global perlu mengembangkan suatu

Rata-rata persentase rempela ayam broiler umur 5 minggu dengan level pemberian tepung temulawak yang berbeda berkisar antara 1,26±0,05%- 1,46±0,25% dari bobot potong,

Sedangkan analisis data yang digunakan yaitu menggunakan model Miles dan Hurberman, yang terbagi dalam beberapa tahap yaitu reduksi data (data reduction), penyajian data