• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Program Penanggulangan Tuberkulosis Paru 2.1.1. Tuberkulosis Paru dan Klasifikasi TB Paru - Pengaruh Koordinasi dan Kompetensi Pengelola Program Terhadap Kinerja Pengelola Program Penanggulangan Tuberkulosis Paru di Wilayah Ker

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Program Penanggulangan Tuberkulosis Paru 2.1.1. Tuberkulosis Paru dan Klasifikasi TB Paru - Pengaruh Koordinasi dan Kompetensi Pengelola Program Terhadap Kinerja Pengelola Program Penanggulangan Tuberkulosis Paru di Wilayah Ker"

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Program Penanggulangan Tuberkulosis Paru 2.1.1. Tuberkulosis Paru dan Klasifikasi TB Paru

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (Depkes RI, 2009a).

Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak, TB paru dibagi dalam 2 bagian yaitu ; (1) TBC paru BTA (Basil Tahan Asam) positif (sangat menular) yaitu sekurang-kurangnya 2 dari 3 pemeriksaan dahak, memberikan hasil yang positif. Satu pemeriksaan dahak memberikan hasil yang positif dan foto rontgen dada menunjukkan TBC aktif; (2) TBC paru BTA negatif, yaitu pemeriksaan dahak hasilnya masih meragukan. Jumlah kuman yang ditemukan pada waktu pemeriksaan belum memenuhi syarat positif dan hasil foto rontgen dada menunjukkan hasil positif (Depkes RI, 2009a).

2.1.2. Cara Penularan dan Risiko Penularan

(2)

langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab. 3.) Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut. 4.) Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak.

Pasien TB paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar dari pasien TB paru dengan BTA negatif. Seseorang dapat terpapar dengan TB hanya dengan menghirup sejumlah kecil kuman TB. Penderita TB dengan status TB BTA positif dapat menularkan sekurang-kurangnya kepada 10-15 orang lain setiap tahunnya. Sepertiga dari populasi dunia sudah tertular dengan TB (Depkes RI, 2009a). Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberkulin negative. menjadi positif. Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien. TB adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi buruk).

2.1.3. Gejala Klinis Pasien TB

(3)

bulan. Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain.

Mengingat prevalensi TB Paru di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke Unit Pelayanan Kesehatan dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang tersangka (suspek) pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung.

2.1.4. Tujuan Penangulangan TB Paru

Adapun tujuan program penanggulangan TB Paru meliputi tujuan jangka panjang dan tujuan jangka pendek. Tujuan jangka panjang adalah menurunkan angka kesakitan dan angka kematian yang diakibatkan penyakit TB paru dengan cara memutuskan rantai penularan,sehingga penyakit TB paru tidak lagi merupakan masalah kesehatan masyarakat Indonesia, sedangkan tujuan jangka pendek adalah (1) Tercapainya angka kesembuhan minimal 88% dari semua penderita baru BTA positif yang ditemukan,dan (2) tercapainya cakupan penemuan penderita secara bertahap sehingga pada tahun 2015 dapat mencapai 90% dari perkiraan semua penderita baru BTA positif, serta target ini diharapkan dapat menurunkan tingkat prevalensi dan kematian akibat TB hingga dan mencapai tujuan millenium development goal (MDG) pada tahun 2015

Kebijakan penanggulangan Tuberkulosis Paru mencakup:

(4)

perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi serta menjamin ketersediaan sumber daya (dana,tenaga, sarana dan prasarana).

2) Penanggulangan TB dilaksanakan dengan menggunakan strategi DOTS

3) Penguatan kebijakan untuk meningkatkan komitmen daerah terhadap program penanggulangan TB

4) Penguatan strategi DOTS dan pengembangannya ditujukan terhadap peningkatan mutu pelayanan, kemudahan akses untuk penemuan dan pengobatan sehingga mampu memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya Multi Drug Resistance Tuberculosis (MDR-TB).

5) Penemuan dan pengobatan dalam rangka penanggulangan TB dilaksanakan oleh seluruh Unit Pelayanan Kesehatan (UPK), meliputi Puskesmas, Rumah Sakit Pemerintah dan swasta, Rumah Sakit Paru (RSP), Balai Pengobatan Penyakit Paru Paru (BP4), Klinik Pengobatan lain serta Dokter Praktek Swasta (DPS). 6) Penanggulangan TB dilaksanakan melalui promosi, penggalangan kerja sama dan

kemitraan dengan program terkait, sektor pemerintah, non pemerintah dan swasta dalam wujud Gerakan Terpadu Nasional Penanggulangan TB (Gerdunas TB) 7) Peningkatan kemampuan laboratorium diberbagai tingkat pelayanan ditujukan

untuk peningkatan mutu pelayanan dan jejaring.

8) Obat Anti Tuberkulosis (OAT) untuk penanggulangan TB diberikan kepada pasien secara cuma-cuma dan dijamin ketersediaannya.

(5)

10)Penanggulangan TB lebih diprioritaskan kepada kelompok miskin dan kelompok rentan terhadap TB.

11)Pasien TB tidak dijauhkan dari keluarga, masyarakat dan pekerjaannya.

12)Memperhatikan komitmen internasional yang termuat dalam Millennium Development Goals (MDGs).

Sedangkan strategi yang digunakan untuk mencapai keberhasilan program P2 TB paru adalah melalui (1) Peningkatan komitmen politis yang berkesinambungan untuk menjamin ketersediaan sumberdaya dan menjadikan penanggulangan TB suatu prioritas, (2) Pelaksanaan dan pengembangan strategi DOTS yang bermutu dilaksanakan secara bertahap dan sistematis, (3) Peningkatan kerjasama dan kemitraan dengan pihak terkait melalui kegiatan advokasi, komunikasi dan mobilisasi sosial, (4) kerjasama dengan mitra internasional untuk mendapatkan komitmen dan bantuan sumber daya, dan (5) Peningkatan kinerja program melalui kegiatan pelatihan dan supervisi, pemantauan dan evaluasi yang berkesinambungan.

2.1.5. Kegiatan Program TB Paru

(6)

dengan passive promotive case finding (penemuan penderita secara pasif dengan promosi yang aktif).

Pengobatan TB Paru dilakukan dalam dua tahap/ kriteria, yaitu tahap awal (intensif, 2 bulan) dan tahap lanjutan. Lama pengobatan 6-8 bulan, tergantung berat ringannya penyakit. Penderita harus minum obat secara lengkap dan teratur sesuai jadwal berobat sampai dinyatakan sembuh. Dilakukan tiga kali pemeriksaan ulang dahak untuk mengetahui perkembangan kemajuan pengobatan, yaitu pada akhir pengobatan tahap awal, sebulan sebelum akhir pengobatan dan pada akhir pengobatan (Biyanti, 2002)

Pengobatan TB Paru Kriteria I (Tidak pernah terinfeksi, ada riwayat kontak, tidak menderita TB) dan II (Terinfeksi TB/test tuberkulin (+), tetapi tidak menderita TB (gejala TB tidak ada, radiologi tidak mendukung dan bakteriologi negatif) memerlukan pencegahan dengan pemberian INH 5–10 mg/kgbb/hari.

Pengobatan TB Paru dengan menggunakan strategi DOTS atau Directly Observed Treatment Short-course adalah strategi penyembuhan TB jangka pendek dengan pengawasan secara langsung. Dengan menggunakan strategi DOTS, maka proses penyembuhan TB dapat secara tepat. DOTS menekankan pentingnya pengawasan terhadap penderita TB agar menelan obatnya secara teratur sesuai ketentuan sampai dinyatakan sembuh (WHO, 2006)

(7)

pengambil keputusan, termasuk dukungan dana, (b) diagnosa penyakit TB melalui pemeriksaan dahak secara mikroskopis, (c), kesinambungan persediaan OAT jangka pendek untuk penderita, dan (d) Pengobatan TB dengan paduan obat anti-TB jangka pendek, diawasi secara langsung oleh PMO (Pengawas Menelan Obat) (WHO, 2000).

WHO telah merekomendasikan strategi DOTS sebagai upaya pendekatan yang paling tepat saat ini untuk menanggulangi masalah TB di Indonesia. Pengobatan TB tanpa didukung oleh kualitas dan persediaan OAT yang baik akan menyebabkan kegagalan pengobatan dan Multi Drug Resistance yang dapat memperparah keadaan penderita TB. OAT yang tersedia saat ini harus dikonsumsi penderita dalam jumlah tablet yang cukup banyak dan dapat menyebabkan kelalaian pada penderita, oleh sebab itu banyak ahli berusaha untuk mengembangkan OAT-Fixed Dose Combination (FDC), yaitu kombinasi OAT dalam jumlah tablet yang lebih sedikit dimana jumlah kandungan masing-masing komponen sudah disesuaikan dengan dosis yang diperlukan. Diharapkan dengan penggunaan OAT-FDC dapat menyederhanakan proses pengobatan, meminimalkan kesalahan pemberian obat, dan mengurangi efek samping (WHO, 2003).

2.1.6. Evaluasi Program Penanggulangan TB Paru

(8)

biasanya setiap 6 bulan s/d 1 tahun. Dengan evaluasi dapat dinilai sejauhmana tujuan dan target yang telah ditetapkan sebelumnya dicapai. Dalam mengukur keberhasilan tersebut diperlukan indikator. Hasil evaluasi sangat berguna untuk kepentingan perencanaan program. Masing-masing tingkat pelaksana program (UPK, Kabupaten/Kota, Propinsi, dan Pusat) bertanggung jawab melaksanakan pemantauan kegiatan pada wilayahnya masing-masing. Seluruh kegiatan harus dimonitor baik dari aspek masukan (input), proses, maupun keluaran (output). Cara pemantauan dilakukan dengan menelaah laporan, pengamatan langsung dan wawancara dengan petugas pelaksana maupun dengan masyarakat sasaran.

Dalam pelaksanaan monitoring dan evaluasi, diperlukan suatu sistem pencatatan dan pelaporan baku yang dilaksanakan dengan baik dan benar. Evaluasi hasil kegiatan penanggulangan TB didasarkan pada indikator–indikator program penanggulangan TB yang dilakukan pada tahap akhir program dilakukan. Indikator merupakan alat yang paling efektif untuk melakukan evaluasi dan merupakan variabel yang menunjukkan keadaan dan dapat digunakan untuk mengukur terjadinya perubahan. Indikator yang baik harus memenuhi syarat – syarat tertentu antara lain : valid, sensitive dan specific, dapat dimengerti, dapat diukur dan dapat dicapai.

(9)

seperti: Sahih (valid), Sensitif dan Spesifik (sensitive and specific), Dapat dipercaya (realiable), Dapat diukur (measureable), Dapat dicapai (achievable).

2.1.7. Indikator Keberhasilan Program TB Paru

Berdasarkan serangkaian kegiatan penanggulangan Tuberkulosis Paru yang meliputi pencegahan, penemuan kasus dan pengobatan, maka berikut dapat dijabarkan indikator keberhasilan Program TB paru, pada tabel berikut:

Tabel 2.1. Indikator Keberhasilan Program Penanggulangan TB Paru

No Indikator Sumber 1. Angka Penjaringan

Suspek

5. Angka Konversi Kartu Pengobatan Register TB Kab/Kota Laporan Konversi

Triwulan    

(10)

Tabel 2.1. (Lanjutan) 8. Angka Notifikasi

Kasus

Sumber : Kemenkes (2011)

Adapun penjelasan dari seluruh indikator tersebut adalah: 1) Angka Penjaringan Suspek :

Adalah jumlah suspek yang diperiksa dahaknya diantara 100.000 penduduk pada suatu wilayah tertentu dalam 1 tahun. Angka ini digunakan untuk mengetahui akses pelayanan dan upaya penemuan pasien dalam suatu wilayah tertentu, dengan memperhatikan kecenderungannya dari waktu ke waktu (triwulan/tahunan).

(11)

2) Proporsi Pasien TB BTA Positif Diantara Suspek.

Proporsi Pasien BTA (+) adalah persentase pasien BTA positif yang ditemukan diantara seluruh suspek yang diperiksa dahaknya. Angka ini menggambarkan mutu dari proses penemuan sampai diagnosis pasien, serta kepekaan menetapkan kriteria suspek.

3) Proporsi Pasien TB Paru BTA Positif Diantara Semua Pasien TB Paru Tercatat. Adalah persentase pasien Tuberkulosis paru BTA positif diantara semua pasien Tuberkulosis paru tercatat. Indikator ini menggambarkan prioritas penemuan pasien Tuberkulosis yang menular diantara seluruh pasien Tuberkulosis paru yang diobati.

(12)

4) Proporsi Pasien TB Anak Diantara Seluruh Pasien TB

Adalah persentase pasien TB anak (<15 tahun) diantara seluruh pasien TB Tercatat dengan rumus:

Angka ini sebagai salah satu indikator untuk menggambarkan ketepatan dalam mendiagnosis TB pada anak. Angka ini berkisar 15%. Bila angka ini terlalu besar dari 15%, kemungkinan terjadi overdiagnosis.

5) Angka Konversi (Conversion Rate)

Angka konversi adalah persentase pasien TB paru BTA positif yang mengalami konversi menjadi BTA negatif setelah menjalani masa pengobatan intensif. Angka konversi dihitung tersendiri untuk tiap klasifikasi dan tipe pasien, BTA postif baru dengan pengobatan kategori-1, atau BTA positif pengobatan ulang dengan kategori-2. Indikator ini berguna untuk mengetahui secara cepat kecenderungan keberhasilan pengobatan dan untuk mengetahui apakah pengawasan langsung menelan obat dilakukan dengan benar.

(13)

Angka minimal yang harus dicapai adalah 80 %. Angka konversi yang tinggi akan diikuti dengan angka kesembuhan yang tinggi pula. Selain dihitung angka konversi pasien baru TB paru BTA positif, perlu dihitung juga angka konversi untuk pasien TB paru BTA positif yang mendapat pengobatan dengan kategori dua.

6) Angka Kesembuhan (Cure Rate)

Angka kesembuhan adalah angka yang menunjukkan persentase pasien TB BTA positif yang sembuh setelah selesai masa pengobatan, diantara pasien TB BTA positif yang tercatat. Angka kesembuhan dihitung tersendiri untuk pasien baru BTA positif yang mendapat pengobatan kategori 1/pasien BTA positif pengobatan ulang dengan kategori 2. Angka ini dihitung untuk mengetahui keberhasilan program dan masalah potensial, dengan rumus:

(14)

kesembuhan pasien baru TB paru BTA positif, perlu dihitung juga angka kesembuhan pasien TB paru BTA positif yang mendapat pengobatan ulang dengan kategori dua. 7) Kesalahan Laboratorium

Indikator kesalahan laboratorium menggambarkan mutu pembacaan sediaan secara mikroskopis langsung laboratorium pemeriksa pertama. Cara menilai kesalahan pembacaan sediaan, yaitu:

Hasil Pembacaan sediaan di UPK

Hasil Pembacaan di laboratorium uji silang Negatif 1-9 BTA/100

LP

KKNP : Kesalahan Kecil Positif Palsu Kesalahan Kecil KBNP : Kesalahan Besar Negatif Palsu Kesalahan Besar KBPP : Kesalahan Besar Positif Palsu Kesalahan Besar KG adalah perbedaan baca pada sediaan positf yaitu minimal 2 gradasi.

Kesalahan yang tidak dapat diterima ádalah sebagai berikut: 1. Setiap kesalahan besar negatif palsu (KBNP)

(15)

Pada dasarnya kasalahan laboartorium dihitung pada masing-masing laboratorium pemeriksa, di tingkat kabupaten/kota. Kabupaten/kota harus menganalisa jumlah laboratorium pemeriksa yang ada di wilayahnya yang melaksanakan uji silang, disamping menganalisa kesalahan pembacaan sediaan setiap laboratorium baik pada PRM/PPM/RS/BP4 maupun UPK yang lain, supaya dap atmengetahui mutu pemeriksaan sediaan dahak secara mikroskopis. Bagi laboratorium yang memiliki kesalahan yang tidak dapat diterima, maka perlu dilakukan tindakan perbaikan.

8) Angka Notifikasi Kasus (Case Notification Rate = CNR)

Adalah angka yang menunjukkan jumlah pasien baru yang ditemukan dan tercatat diantara 100.000 penduduk di suatu wilayah tertentu. Angka ini apabila dikumpulkan serial, akan menggambarkan kecenderungan penemuan kasus dari tahun ke tahun di wilayah tersebut, dengan rumus:

Angka ini berguna untuk menunjukkan "trend" atau kecenderungan meningkat atau menurunnya penemuan pasien pada wilayah tersebut.

9) Angka Penemuan Kasus (Case Detection Rate = CDR)

(16)

jumlah pasien baru BTA positif yang diperkirakan ada dalam wilayah tersebut. Case Detection Rate menggambarkan cakupan penemuan pasien baru BTA positif pada wilayah tersebut,dengan rumus:

Target Case Detection Rate Program Penanggulangan Tuberkulosis Nasional minimal 90%.

10) Angka Keberhasilan Pengobatan

Angka kesembuhan adalah angka yang menunjukkan persentase pasien TB BTA positif yang menyelesaikan pengobatan (baik yang sembuh maupun pengobatan lengkap) diantara pasien TB BTA positif yang tercatat. Dengan demikian angka ini merupakan penjumlahan dari angka kesembuhan dan angka pengobatan lengkap.

2.2. Kinerja Petugas TB Paru

(17)

secara menyeluruh untuk memenuhi kebutuhan yang ditetapkan dari setiap kelompok yang berkenaan melalui usaha-usaha yang sistematik dan meningkatkan kemampuan organisasi secara terus menerus untuk mencapai kebutuhannya secara efektif.

Menurut Nawawi (1997) kinerja adalah hasil pelaksanaan suatu pekerjaan baik bersifat fisik (material) maupun non fisik (non material) dalam suatu tenggang waktu tertentu. Berdasarkan pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa kinerja adalah prestasi kerja karena diartikan sebagai hasil pelaksanaan pekerjaan dalam periode tertentu merupakan prestasi yang dicapai oleh karyawan terhadap target atau sasaran yang telah ditentukan dengan berbagai persyaratannya, yang dibebankan kepada karyawan tersebut, dan untuk mengetahui prestasi atau hasil yang telah dicapai oleh karyawan tersebut, tentunya harus dilaksanakan penilaian kinerja, yaitu dengan membandingkan kinerja aktual dengan standar-standar yang telah ditetapkan.

Dari beberapa pengertian diatas, disimpulkan bahwa kinerja adalah proses yang dilakukan dan hasil yang dicapai oleh seseorang dalam melaksanakan suatu fungsi pekerjaan dalam suatu periode waktu tertentu. Dengan demikian indikator pengukuran kinerja dapat dikembangkan dari hasil yang dicapai (kinerja hasil) dan proses dalam mencapai hasil (kinerja proses).

Menurut Ilyas (2001) yang mengutip pendapat Gibson (1987) ada tiga faktor yang memengaruhi kinerja seseorang, yaitu faktor individu, faktor psikologis dan organisasi.

(18)

yang mempengaruhi perilaku dan kinerja individu, variabel demografis mempunyai efek tidak langsung pada perilaku dan kinerja individu.

2. Faktor Psikologis terdiri dari persepsi, sikap, kepribadian dan motivasi. Variabel ini banyak dipengaruhi oleh keluarga, tingkat sosial, pengalaman kerja sebelumnya dan variabel demografis. Variabel seperti persepsi, sikap, kepribadian dan belajar merupakan hal yang kompleks yang sulit untuk diukur. 3. Faktor organisasi berefek tidak langsung terhadap perilaku dan kinerja individu

terdiri dari sumber daya, kepemimpinan, imbalan, struktur dan desain pekerjaan.

Menurut Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia (2003) indikator kinerja adalah ukuran kuantitatif dan kualitatif yang menggambarkan tingkat pencapaian suatu kegiatan yang telah ditetapkan dengan dikategorikan dalam beberapa kelompok antara lain :

a. Masukan (input) adalah sesuatu yang dibutuhkan agar pelaksanaan kegiatan dan program dapat berjalan atau dalam rangka menghasilkan output, misalnya sumber daya manusia, dana, material, waktu, dan lain sebagainya.

b. Keluaran (output) adalah sesuatu berupa produk /jasa (fisik dan atau non fisik) sebagai hasil langsung dari pelaksanaan suatu kegiatan dari program berdasarkan masukan yang digunakan.

(19)

seberapa jauh setiap oleh masyarakat produk / jasa dapat memenuhi kebutuhan dan harapan masyarakat.

d. manfaat (benefits) adalah kegunaan suatu keluaran (outputs) yang dirasakan langsung oleh masyarakat,dapat berupa tersedianya fasilitas yang dapat diakses oleh publik.

e. Dampak (impacts) adalah ukuran tingkat pengaruh sosial ekonomi, lingkungan atau kepentingan umum lainnya yang dimulai oleh capaian kinerja setiap indikator dalam suatu kegiatan.

Indikator – indikator tersebut secara langsung atau tidak langsung dapat mengidentifikasikan sejauh mana keberhasilan pencapaian sasaran. Penetapan indikator harus didasarkan pada perkiraan yang nyata dengan memperhatikan tujuan dan sasaran yang ditetapkan serta data dana pendukung yang harus diorganisasi. Indikator kinerja yang dimaksud hendaknya 1) spesifik dan jelas, 2) dapat diukur secara objektif, 3) relevan dengan tujuan dan sasaran yang ingin dicapai,dan 4) tidak bias.

2.3. Manajemen P2 TB Paru

(20)

bekerja sama dan bekerja secara ikhlas serta bergerak untuk mencapai tujuan. Pemantauan adalah pengamatan terus menerus terhadap masukan, waktu pelaksanaan kegiatan P2 TB dan masalah – masalah yang timbul serta upaya mengatasinya. Pengendalian merupakan kegiatan untuk mengikuti kemajuan pelaksanaan kegiatan P2TB agar sesuai dengan rencana yang telah dibuat sebelumnya. Hal ini dilakukan oleh petugas TB dengan cara melakukan supervisi ke unit pelayanan kesehatan. Evaluasi atau penilaian merupakan suatu cara yang sistematis untuk memperbaiki kegiatan – kegiatan yang sedang berjalan serta untuk meningkatkan perencanaan yang lebih baik dengan menyeleksi alternatif – alternatif tindakan yang akan datang.

Evaluasi program dapat dilakukan pada setiap tahap pelaksanaan program. Evaluasi secara umum dibedakan atas tiga jenis yaitu:

a. Evaluasi pada tahap awal program

Evaluasi ini dilakukan pada saat merencanakan program. Evaluasi ini bertujuan untuk meyakinkan bahwa rencana yang disusun benar – benar sesuai dengan masalah yang ditemukan.

b. Evaluasi pada tahap pelaksanaan

Evaluasi ini dilakukan pada saat program dilaksanakan dan mempunyai tujuan utama yaitu mengukur apakah program yang sedang dilakukan tersebut telah sesuai dengan rencana atau tidak, apakah terjadi penyimpangan– penyimpangan. c. Evaluasi pada tahap akhir program

(21)

program yaitu: memperbaiki manajemen program, mempertimbangkan penyediaan dana, memperluas cakupan program, mengetahui hasil program, sebagai alat untuk memperbaiki kebijaksanaan pelaksanaan program dan perencanaan program yang akan datang. Hasil evaluasi akan memberikan pengalaman mengenai hambatan atau pelaksanaan program yang lalu, dan selanjutnya dipergunakan untuk memperbaiki kebijaksanaan dan pelaksanaan program yang akan datang.

2.4. Koordinasi

Salah satu unsur penting dalam manajemen pelaksanaan program kesehatan seperti program penanggulangan TB paru adalah koordinasi. Menurut Robbin (2006) koordinasi adalah pengetahuan sekelompok orang secara teratur untuk menciptakan kesatuan tindakan dalam mengusahakan tercapainya suatu tujuan bersama, sedangkan menurut Sondang (2006) lebih lanjut menekankan bahwa koordinasi dalam suatu organisasi akan tercapai melalui (1) Konfirmasi lengkap, (2) Pertemuan berkala, (3) Pembentukan panitia gabungan, (4) Wawancara dengan bawahan/pihak terlibat, dan (5) Memorandum berantai.

(22)

penyesuaian bersama. Penyesuaian bersama juga disebut integrasi horisontal, melibatkan susunan struktural dan integrasi proses, yang didasarkan pada pemahaman bersama ( Robbin, 2006).

Hasibuan (2006) berpendapat bahwa: “Koordinasi adalah kegiatan mengarahkan, mengintegrasikan, dan mengkoordinasikan unsur-unsur manajemen dan pekerjaan-pekerjaan para bawahan dalam mencapai tujuan organisasi”. Koordinasi adalah proses pengintegrasian tujuan-tujuan dan kegiatan-kegiatan pada satuan-satuan yang terpisah (departemen-departemen atau bidang-bidang fungsional) pada suatu organisasi untuk mencapai tujuan secara efisien dan efektif (Handoko 2003).

Menurut G.R Terry dalam Hasibuan (2006) berpendapat bahwa koordinasi adalah suatu usaha yang sinkron dan teratur untuk menyediakan jumlah dan waktu yang tepat, dan mengarahkan pelaksanaan untuk menghasilkan suatu tindakan yang seragam dan harmonis pada sasaran yang telah ditentukan.

(23)

koordinasi secara efektif maka ada beberapa manfaat yang didapatkan. Handoko (2003) berpendapat bahwa Adapun manfaat koordinasi antara lain:

a. Dengan koordinasi dapat dihindarkan perasaan terlepas satu sama lain, antara satuan-satuan organisasi atau antara pejabat yang ada dalam organisasi.

b. Menghindari suatu pendapat atau perasaan bahwa satuan organisasi atau pejabat merupakan yang paling penting.

c. Menghindari kemungkinan timbulnya pertentangan antara bagian dalam organisasi.

d. Menghindari terjadinya kekosongan pekerjaan terhadap suatu aktifitas dalam organisasi.

e. Menimbulkan kesadaran diantara para pegawai untuk saling membantu.

Hasibuan (2006) berpendapat bahwa koordinasi penting dalam suatu organisasi, yakni:

a. Untuk mencegah terjadinya kekacauan, percecokan, dan kekembaran atau kekosongan pekerjaan.

b. Agar orang-orang dan pekerjaannya diselaraskan serta diarahkan untuk pencapaian tujuan perusahaan.

c. Agar sarana dan prasarana dimanfaatkan untuk mencapai tujuan.

d. Supaya semua unsur manajemen dan pekerjaan masing-masing individu pegawai harus membantu tercapainya tujuan organisasi.

(24)

2.5. Kompetensi Pengelola Program P2 TB Paru

Kompetensi adalah suatu kemampuan untuk melaksanakan atau melakukan suatu pekerjaan atau tugas yang dilandasi atas keterampilan dan pengetahuan serta didukung oleh sikap kerja yang dituntut oleh pekerjaan tersebut (Wibowo, 2008). Ruky (2003) mengutip pendapat Spencer & Spencer dari kelompok konsultan Hay & Mac Ber bahwa kompetensi adalah “an underlying characteristic of an individual that is casually related to criterion – referenced effective and/or superior performance in a job or situation” (karakteristik dasar seseorang yang mempengaruhi cara berpikir dan bertindak, membuat generalisasi terhadap segala situasi yang dihadapi, serta bertahan cukup lama dalam diri manusia)

Menurut Boyatzis (Thoha, 2008), kompetensi didefenisikan sebagai “kapasitas yang ada pada seseorang yang bisa membuat orang tersebut mampu memenuhi apa yang diisyaratkan oleh pekerja dalam suatu organisasi sehingga orang tersebut mampu mencapai hasil yang diharapkan Kompetensi adalah kemampuan dan karakter yang harus dimiliki oleh seorang pegawai negeri sipil berupa pengetahuan, keterampilan dan sikap perilaku yang diperlukan dalam pelaksanaan tugasnya secara profesional, efektif dan efisien (Depkes, 2008).

Ada lima karakteristik dasar yang mempengaruhi kompetensi seseorang, menurut Spencer dan Spencer (Thoha, 2008), yaitu:

(25)

laku seperti mengendalikan, mengarahkan, membimbing dan memilih untuk menghadapi kejadian atau tujuan tertentu.

2) Traits, adalah naluri yang secara konsisten dapat memberikan respon yang cepat dan tepat terhadap keadaan atau informasi yang diterima, atau karakteristik fisik dan tanggapan yang konsisten terhadap informasi atau situasi tertentu.

3) Self concept, adalah sikap perilaku, sistem nilai atau persepi diri atau imajinasi seseorang yang dianut dan dipercayai dapat menguatkan dan meyakinkan sesuai dengan harapannya, serta dapat menuntun menjadi individu yang efektif diberbagai lingkungan kerja, jika keyakinan tersebut didukung rasa percaya diri yang besar.

4) Knowledge, yaitu sekumpulan informasi dan pengetahuan yang dimiliki seseorang dalam bidang tertentu.

5) Skill, adalah kemampuan untuk mengerjakan atau menyelesaikan tugas – tugasfisik atau mental tertentu secara nyata dilakukan.

(26)

penerapan dari pengetahuan dan keterampilan tersebut dalam suatu pekerjaan atau perusahaan atau lintas industri, sesuai dengan standar kinerja yang disyaratkan.

2.5.1 Pengetahuan (Knowledge)

(27)

orang melakukan penginderaan terhadap sesuatu objek tertentu. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behaviour). Dari pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan.

Menurut Roger (1974) dalam Notoatmodjo (2007) mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru atau berperilaku baru, maka dalam diri orang tersebut telah terjadi proses yang berurutan yaitu : (1) Awareness (kesadaran) dimana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus atau objek. (2) Interest yaitu merasa tertarik terhadap suatu stimulus. (3) Evaluation yaitu menimbang-nimbang terhadap baik dan tidaknya stimulus tersebut terhadap dirinya. (4) Trial dimana subjek sudah mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh stimulus. (5) Adoption yaitu dimana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus. Pengetahuan yang dicakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan yaitu :

(28)

dipelajari antara lain : menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan, dan sebagainya.

2) Memahami (comprehension), suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau mengerti harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan dan sebagainya terhadap objek yang telah dipelajari.

3) Aplikasi (application), kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi riil (sebenarnya). Aplikasi di sini dapat diartikan sebagai penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain. Misalnya dapat menggunakan prinsip-prinsip siklus pemecahan masalah (problem solving cycle) didalam pemecahan masalah kesehatan dari kasus yang diberikan.

4) Analisis (analysis), suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih didalam satu struktur organisasi dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja; dapat menggambarkan (membuat bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokan dan sebagainya.

(29)

meringkaskan, menyesuaikan dan sebagainya terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan yang telah ada.

6) Evaluasi (evaluation), kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada.

2.5.2 Sikap (Attitude)

Sikap merupakan reaksi atau respons seseorang yang sifatnya masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap secara nyata menunjukan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu, dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial. Menurut Notoatmodjo (2008) bahwa sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi baru merupakan “pre-disposisi” tindakan atau perilaku. Sikap itu masih merupakan reaksi yang sifatnya masih tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka dan tingkah laku yang terbuka.

(30)

penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan berfikir, keyakinan dan emosional memegang peranan yang sangat penting. Sikap terdiri dari beberapa tingkatan, yaitu : 1) Menerima (Receiving), diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan

stimulus yang diberikan (objek).

2) Merespons (Responding), memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, terlepas dari pekerjaan itu benar atau salah, berarti orang tersebut telah menerima ide.

3) Menghargai (Valuing), mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan dengan orang lain terhadap suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.

4) Bertanggungjawab (Responsible), bertanggung jawab terhadap segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko merupakan sikap yang paling tinggi. 2.5.3 Keterampilan atau Tindakan (Practice)

Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (over behaviour). Untuk terwujudnya sikap menjadi suatu perbedaan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain fasilitas. Disamping faktor fasilitas juga diperlukan faktor dukungan (support) dari pihak lain. Ada empat tingkatan dalam praktik atau tindakan, yakni :

(31)

2) Respon terpimpin (Guided Respons), dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar sesuai dengan contoh adalah indikator praktik tingkat dua. 3) Mekanisme (Mechanism), apabila seseorang telah melakukan sesuatu dengan

benar secara otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan maka ia sudah mencapai praktik tingkat tiga.

4) Adaptasi (adaptation), adalah suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik, artinya tindakan itu sudah dimodifikasi sendiri tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut.

Pengukuran perilaku dapat dilakukan secara tidak langsung, yakni dengan wawancara terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan beberapa jam, hari, atau bulan yang lalu (recal). Pengukuran juga dapat dilakukan secara langsung yakni dengan mengobservasi tindakan atau kegiatan responden. Keterampilan adalah kemampuan dan penguasaan teknis operasional mengenai bidang tertentu yang bersifat kekaryaan, berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan atau menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang bersifat teknis yang diperoleh melalui proses belajar dan berlatih. Dengan keterampilan yang dimiliki seorang pegawai diharapkan mampu menyelesaikan pekerjaan secara produktif. (Sulistiyani dan Rosidah, 2003).

(32)

2.6. Uraian Tugas Pengelola Program Tuberkulosis Paru

Petugas pengelola program TB paru adalah petugas yang bertangungjawab dan mengkoordinir seluruh kegiatan dari mulai perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi dalam program TB di Puskesmas. Adapun Tugas Pokok dan Fungsi Petugas Program TB paru di Puskesmas yaitu : (Depkes RI, 2009)

a. Menemukan Penderita

Adapun tugas pokok petugas pengelola program penanggulangan TB paru, antara lain

1. Memberikan penyuluhan tentang TBC kepada masyarakat umum 2. Menjaring suspek (penderita tersangka) TBC

3. Mengumpul dahak dan mengisi buku daftar suspek Form Tb 06 4. Membuat sediaan hapus dahak

5. Mengirim sediaan hapus dahak ke laboratorium 6. Menegakkan diagnosis TB sesuai protap

7. Membuat klasifikasi penderita 8. Mengisi kartu penderita

9. Memeriksa kontak terutama kontak dengan penderita TB BTA (+)

10. Memantau jumlah suspek yang diperiksa dan jumlah penderita TBC yang ditemukan.

b. Memberikan Pengobatan

(33)

3. Mencatat pemberian obat tersebut dalam kartu penderita (form TB 01) 4. Menentukan PMO (bersama penderita)

5. Memberi KIE (penyuluhan) kepada penderita, keluarga dan PMO 6. Memantau keteraturan berobat

7. Melakukan pemeriksaan dahak ulang untuk follow-up pengobatan

8. Mengenal efek samping obat dan komplikasi lainnya serta cara penanganannya

9. Menentukan hasil pengobatan dan mencatatnya di kartu penderita c. Penanganan Logistik

1. Menjamin ketersediaan OAT di puskesmas

2. Menjamin tersedianya bahan pelengkap lainnya (formolir, reagens, dll) 3. Jaga mutu pelaksanaan semua kegiatan a s/d c

Tenaga pelaksana teknis laboratorium puskesmas adalah 1 (satu) orang Pembantu analis atau lulusan SMA yang sudah diangkat menjadi pegawai negeri di puskesmas yang bersangkutan yang mempunyai minat di laboratorium, kemudian dilatih khusus dibidang labortorium. Apabila tidak memungkinkan dapat dilakukan pelatihan dengan sistem modul, atau dengan training yang terpogram.

Adapun Tugas dan tanggung jawab tenaga pelaksana teknis laboratorium puskesmas, antara lain:

(34)

2. Menjaga kebersihan dan kerapihan ruang tunggu loket penerimaan spesimen, ruang kerja sepanjang hari.

3. Mengatur penyediaan alat tulis, formulir untuk penerimaan pasien.

4. Mengatur penyediaan peralatan untuk pengambilan atau pengumpulan spesimen, seperti pot sputum, spuit, lanset, kapas, alkohol, tabung reaksi, kaca obyek dan lain-lain.

5. Mengatur penyediaan peralatan untuk pemeriksaan, seperti pipet, reagen, lampu spirtus dan formulir-formulir hasil.

6. Melayani pasien, mencatat identitas dan permintaan pemeriksaan yang diperlukan.

7. Mengambil/mengumpulkan spesimen sesuai dengan kebutuhan pemeriksaan yang diminta.

8. Menangani pesimen sesuai dengan kebuuhan pemeriksaan.

9. Melakukan pemeriksaan dengan baik dan benar sesuai dengan prosedur kerja serta menjaga mutu hasil pemeriksaannya.

10.Mencatat hasil pemeriksaan, dan mengontrol dan mencek hasil pemeriksaan.

11.Bersama-sama penanggung jawab laboratorium, berusaha mencari dan memecahkan persoalan-persoalan apabila ada hasil pemeriksaan yang kurang baik.

12.Melaksanakan dan mencatat penyerahan hasil pemeriksaan.

(35)

14.Mengambil dan mencatat hasil pemeriksaan spesimen rujukan dan menyampaikannya kepada yang berwenang atau berkepentingan.

15.Menjaga keamanan kerja maupun lingkungan kerja.

16.Meningkatkan pelayanan melalui peningkatkan kecepatan kerja tanpa meninggalkan ketelitian dan keamanan.

17.Membimbing dan mengawasi tugas pembantu laboratorium.

18.Merawat dan memelihara peralatan laboratorium sesuai dengan petunjuk yang digariskan.

19.Melaporkan hal-hal yang menyangkut pemeriksaan laboratorium yang perlu segera dilaporkan kepada penanggung jawab laboratorium.

20.Menyusun usulan kebutuhan laboratorium untuk diajukan kepada penanggung jawab laboratorium.

21.Membantu membuat reagen untuk keperluan laboratorium puskesmas.

(36)

dalam wilayah puskesmas yang bersangkutan (puskesmas pembatu posyandu). Dapat dilakukan bersama perawat/bidan, meliputi : (a) Melakukan tes screening HB, (b) Melakukan pengambilan spesimen yang kemudian dikirim ke laboratorium puskesmas, (2) Memberikan penyuluhan sehubungan dengan laboratorium dan (3) kegiatan dilapangan dalam rangka program kesehatan lain, dapat dilakukan oleh tenaga laboratorium bersama petugas lain dalam kegiatan bersangkutan.

(37)

Ketenagaan dalam program penanggulangan TB memiliki standar-standar yang menyangkut kebutuhan minimal (jumlah dan jenis tenaga) untuk terselenggaranya kegiatan program TB di suatu unit pelaksana. Pada Unit Pelayanan Kesehatan UPK) puskesmas yang terdiri dari (1) Puskesmas Rujukan Mikroskopis dan Puskesmas Pelaksana Mandiri: kebutuhan minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri dari 1 dokter, 1 perawat/petugas TB, dan 1 tenaga laboratorium, (2) Puskesmas satelit : kebutuhan minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri dari 1 dokter dan 1 perawat/petugas TB, dan (3) Puskesmas Pembantu: kebutuhan minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri dari 1 perawat/petugas TB. Sedangkan jenis pelatihan yang wajib dalam program TB, terdiri dari : (1) Pendidikan/pelatihan sebelum bertugas (pre service training), dengan memasukkan materi program penanggulangan tuberkulosis strategi DOTS`dalam pembelajaran/kurikulum Institusi pendidikan tenaga kesehatan. (Fakultas Kedokteran, Fakultas Keperawatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Fakultas Farmasi dan lain-lain), (2) Pelatihan dalam tugas (in service training), Dapat berupa aspek klinis maupun aspek manajemen program Pelatihan dasar program TB (initial training in basic DOTS implementation),dan Pelatihan lanjutan (continued training/advanced training): pelatihan untuk mendapatkan pengetahuan dan keterampilan program yang lebih tinggi (Depkes RI, 2009).

(38)

sektor seperti kecamatan, kelurahan tentang stratgei pendekatan dengan masyarakat dalam penanggulangan TB Paru.

Penelitian Samsuarsyah (2006) tentang Komitmen dan kinerja petugas Pengelola TB- paru pada puskesmas Di Kabupaten Solok dan Kabupaten Solok Selatan, menjelaskan bahwa komitmen petugas pengelola TB paru sangat berpengaruh terhadap hasil kerja penanggulangan TB Paru.

Penelitian Tirtana Tanggab B (2011), di Wilayah Jawa Tengah, menjelaskan bahwa keteraturan dan lama berobat pasien Tuberkulosis Paru dengan Resistensi Obat Tuberkulosis berpengaruh terhadap keberhasilan pengobatan.

2.7. Landasan Teori

Menurut Anderson dan Newman (1968) dalam Sarwono (2004), bahwa salah satu faktor penting yang mempengaruhi pelayanan kesehatan adalah faktor petugas kesehatan, mencakup karakteristik petugas kesehatan dan kompetensi petugas kesehatan, termasuk didalam pelayanan imunisasi.

Menurut Ilyas (2006) yang mengutip pendapat Gibson (1987) beberapa faktor yang mempengaruhi kinerja petugas adalah kemampuan, ketrampilan, latar belakang pendidikan, motivasi kerja, sikap dan kepribadian, dukungan organisasi berupa kompensasi, kebijakan, insentif, gaya kepemimpinan dan desain pekerjaan.

(39)

mempengaruhi perilaku kerja dan kinerja yaitu variabel individu, variabel organisasi dan variabel psikologis. Ketiga variabel tersebut mempengaruhi perilaku kerja yang pada akhirnya berpengaruh pada kinerja adalah yang berkaitan dengan tugas-tugas pekerjaan yang harus diselesaikan untuk mencapai sasaran suatu jabatan atau tugas. Kinerja yang dimaksud dalam penelitian ini adalah tingkat prestasi kerja petugas pengelola program TB paru dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya dalam program penanggulangan TB paru.

Menurut Wibowo (2008), kompetensi adalah suatu kemampuan untuk melaksanakan atau melakukan suatu pekerjaan atau tugas yang dilandasi atas keterampilan dan pengetahuan serta didukung oleh sikap.

Menurut Thoha (2008), kompetensi ada 3 (tiga) jenis yaitu : (1) kompetensi teknis, lebih menekankan kepada pencapaian efektifitas kerja, (2) kompetensi perilaku (konsep diri, ciri diri dan motif individu), yang lebih menekankan kepada perilaku produktif yang harus dimiliki dan diperagakan oleh petugas agar dapat berprestasi, dan (3) kompetensi pengetahuan dan keterampilan individu, yang lebih ditujukan kepada pelatihan dan pendidikan.

Menurut G.R Terry dalam Hasibuan (2006) berpendapat bahwa koordinasi adalah suatu usaha yang sinkron dan teratur untuk menyediakan jumlah dan waktu yang tepat, dan mengarahkan pelaksanaan untuk menghasilkan suatu tindakan yang seragam dan harmonis pada sasaran yang telah ditentukan.

(40)

organisasi cenderung timbul kekuasaan memisahkan diri dari tujuan organisasi secara keseluruhan, maka dengan adanya koordinasi akan terdapat keselarasan aktivitas diantara unit-unit atau bagian-bagian organisasi untuk mencapai tujuan organisasi (Hasibuan, 2006).

Koordinasi adalah perwujudan kerjasama, saling membantu, menghargai serta menggambarkan penghayatan tugas fungsi dan kewenangan masing-masing unsur dalam organisasi. Artinya dengan adanya koordinasi maka akan berdampak terhadap efektivitas kerja dan prestasi kerja (Malthis, 2004).

(41)

2.8. Kerangka Konsep

Kerangka konsep dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Variabel Independen Variabel Dependen

Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian KOORDINASI

KOMPETENSI

Gambar

Tabel 2.1. Indikator Keberhasilan Program Penanggulangan TB Paru
Tabel 2.1. (Lanjutan)
Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Ketiga, memperbaiki diri peserta didik dari berbagai sifat dan amal tidak terpuji (amal al- syai‟at) yang telah dilakukannya, baik dipandang dari perspektif agama

Penelitian untuk mengetahui jenis-jenis tumbuhan yang dimanfaatkan sebagai obat tradisional, cara meramu, cara pengobatan, khasiatnya, dan upaya masyarakat

Yang menjadi hipotesis secara riset dalam penelitian ini adalah terdapat pengaruh yang signifikan antara musik dengan kenyamanan belajar pengguna pustaka

Dari pengertian-pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa manajemen pendidikan dimasa depan merupakan manajemen pendidikan yang dirancang atau disusun

Distribusi Responden menurut Tingkat Kepuasan terhadap Layanan Ditjen Anggaran Berdasarkan Jenis Layanan Tahun 2013. Sedangkan jika dilihat bagaimana layanan DJA

Sebuah balok bermasa 2 kg terletak pada bidang datar licin ditarik oleh gaya F1, dan F2 (lihat gambar) besar dan arah percepatan yang berkerja pada benda adalah ...

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa skripsi saya dengan judul : ”PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEKERJA KONTRAK YANG DI PHK DALAM MASA KONTRAK (Studi Kasus Putusan