• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN MURDER TERHADAP PEMAHAMAN KONSEP IPA SISWA KELAS V SD DI GUGUS I KECAMATAN BULELENG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN MURDER TERHADAP PEMAHAMAN KONSEP IPA SISWA KELAS V SD DI GUGUS I KECAMATAN BULELENG"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN MURDER TERHADAP

PEMAHAMAN KONSEP IPA SISWA KELAS V SD

DI GUGUS I KECAMATAN BULELENG

1

Kadek Herdianto,

2

I Wayan Romi Sudhita,

3

Gede Sedanayasa

1

Jurusan PGSD,

2

TP,

3

BK, FIP

Universitas Pendidikan Ganesha

Singaraja, Indonesia

e-mail:

1

herdi54@yahoo.co.id,

2

romisudhita@yahoo.com,

3

gede_sedanayasa@yahoo.co.id

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan pemahaman konsep IPA antara kelompok siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran MURDER dan kelompok siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran konvensional pada siswa kelas V SD di gugus I Kecamatan Buleleng. Jenis penelitian ini adalah eksperimen semu dengan rancangan nonequivalent posttest only control group design. Populasi penelitian ini adalah kelas V SD di gugus I Kecamatan Buleleng yang berjumlah 11 kelas. Penentuan sampel dilakukan dengan teknik simple random

sampling. Pengumpulan data pemahaman konsep IPA siswa menggunakan tes uraian

yang dianalisis dengan teknik analisis statistik deskriptif dan statistik inferensial yaitu uji-t. Berdasarkan hasil perhitungan uji-t, diperoleh nilai thitung sebesar 11,14 dan ttabel

sebesar 2,000, pada taraf signifikansi 5% dan db=57. Hal ini berarti thitung lebih besar

daripada ttabel. Hasil tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan pemahaman

konsep IPA yang signifikan antara kelompok siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran MURDER dan kelompok siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran konvensional. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran MURDER berpengaruh terhadap pemahaman konsep IPA siswa kelas V di SD gugus I Kecamatan Buleleng, Kabupaten Buleleng tahun ajaran 2014/2015.

Kata-kata kunci: Model MURDER, Pemahaman Konsep IPA Abstract

The purpose of this research was to know the difference of the concept undertanding in natural science between the group of student who was taught by using MURDER teaching model and the group of student who was taught by using the conventional teaching model in the fifth grade students of elementary school in cluster one of Buleleng district. This was a quasi experimental research with nonequivalent posttest only control group design. The population of this research was fifth grade of elementary school in cluster one of Buleleng district which consisted of 11 classes. The sample was choosen by the use of simple random sampling technique. The data of concept undertanding in natural science were collected by using essay test which was analyzed by using descriptive statistics analysis and inferential statistics that was t-test. Based on the t-test calculation, the research result showed that tcount value was 11,14 and ttable was

2,000, on significance standard 5% and db=57. That meant that tcount is bigger than that

of ttable. The result showed that there was difference of concept undertanding in natural

science between group of students who were taught by using MURDER teaching model and group of students who were taught by using conventional teaching model. Thus, can concluded that MURDER teaching model influenced the concept undertanding in natural science of fifth grade students of elementary school in cluster one of Buleleng district, Buleleng regency in academic year 2014/2015.

(2)

PENDAHULUAN

Pendidikan pada dasarnya

merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan dirinya untuk memiliki kemampuan pengendalian diri,

kecerdasan, akhlak mulia serta

keterampilan yang diperlukan dirinya dalam bermasyarakat (Undang-Undang No.20 Tahun 2003). Tujuan pendidikan akan terwujud apabila proses pembelajaran berjalan dengan baik. Pembelajaran yang baik dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti faktor guru, siswa, lingkungan, kurikulum, sarana pra sarana dan lain sebagainya. Salah satu faktor yang memegang peranan penting dan vital dalam proses pembelajaran adalah faktor guru, yaitu bagaimana cara guru mengajar. Karena peran guru sangat penting dan vital dalam proses pembelajaran siswa, maka sangat diperlukan guru yang kompeten agar pembelajaran berjalan dengan baik. Tugas guru sekarang ini bukan hanya

menyampaikan informasi atau

pengetahuan, tapi guru juga harus bisa memupuk pengetahuan serta membimbing siswa untuk belajar sendiri, karena keberhasilan siswa sebagian besar bergantung pada kemampuannya untuk belajar secara mandiri (Karli & Yuliariatiningsih, 2002).

Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk meningkatkan kualitas tenaga pendidik di antaranya melalui sertifikasi guru, program Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) dan peningkatan kualitas pendidikan guru. Selain itu

pemerintah juga melakukan upaya

penyediaan sarana dan prasarana

pendidikan serta penyempurnaan

kurikulum. Kurikulum terbaru yang saat ini masih diberlakukan pada semua jenjang sekolah di Indonesia adalah kurikulum 2006 atau yang lebih dikenal dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). KTSP

dibuat dan diterapkan untuk

menyempurnakan Kurikulum Berbasis

Kompetensi (KBK). Seperti halnya KBK,

KTSP tetap menekankan pada

pengembangan kompetensi siswa. Dalam hal ini kompetensi yang dimaksud adalah pengetahuan, keterampilan dan nilai – nilai

dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Namun, mutu dan kualitas pendidikan di Indonesia tergolong masih rendah jika dibandingkan dengan negara – negara tetangga. Karena saat ini masih banyak guru yang menggunakan metode konvensional dalam mengajar.

Dalam pembelajaran konvensional,

penyampaian materi lebih banyak dilakukan melalui ceramah, tanya jawab, dan

penugasan (Rasana, 2009:20).

Pembelajaran dengan metode

konvensional, menempatkan guru sebagai pusat informasi sehingga guru yang lebih aktif dibandingkan siswa. Dengan lebih aktifnya guru dibandingkan siswa, maka akan membuat siswa cepat bosan dalam belajar dan materi pembelajaran akan sulit untuk dipahami.

Selain hasil penelitian beberapa pakar, hasil observasi awal dan wawancara pada guru bidang studi IPA yang telah dilakukan di 8 sekolah dasar di gugus I Kecamatan Buleleng juga menunjukkan hal yang sama. Pembelajaran di sekolah masih berorientasi pada pemberian pengetahuan langsung oleh guru kepada peserta didik yang masih bersifat konvensional. Prestasi belajar siswa juga tergolong masih rendah. Begitu pula dengan hasil tes pemahaman konsep IPA yang diberikan pada siswa, hasilnya cukup mengecewakan. Hal ini Hal ini terlihat dari total 11 kelas yang ada, hanya 5 kelas yang memenuhi KKM, diantaranya: SD No. 2 Banyuning (VA) (rata-rata 73,69; KKM 71), SD No. 4 Banyuning (rata-rata 68,05; KKM 64), SD No. 7 Banyuning (rata-rata 67,85; KKM 63), SD No. 8 Banyuning (VA dan VB) (rata-rata 70,17 dan 74,68; KKM 70). Selain kelima kelas tersebut, terdapat 6 kelas lainnya yang memiliki rata-rata di bawah KKM, diantaranya: SD No. 1 Banyuning (VA dan VB) (rata-rata 61,77 dan 62,66; KKM 63), SD No. 2 Banyuning (VB) (rata-rata 66,8; KKM 71), SD No. 3 Banyuning (rata-rata 62,82; KKM 63), SD No. 5 Banyuning (rata-rata 67,94; KKM 69), dan SD No. 6 Banyuning (rata-rata 63,75; KKM 65). Hal tersebut menandakan bahwa pemahaman konsep IPA siswa masih rendah. Padahal tujuan pendidikan IPA pada hakikatnya

(3)

menguasai konsep – konsep IPA untuk dapat memecahkan masalah terkait dengan kehidupan sehari – hari (KTSP,2006:2). Karena begitu pentingnya pemahaman konsep IPA sehingga harus ditingkatkan demi terciptanya SDM yang kompetitif.

Setelah dilakukan observasi dan wawancara dengan guru mata pelajaran IPA didapat faktor utama yang menjadi pemicu rendahnya pemahaman konsep IPA siswa, yaitu guru cenderung masih berpatokan pada model pembelajaran konvensional. Pada model pembelajaran konvensional, siswa cenderung hanya menghafalkan materi yang akan mudah terlupakan daripada memahami materi yang dapat terekam lebih lama di dalam ingatan siswa.

Salah satu solusi yang dapat dipilih

untuk mengatasi

permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam

pembelajaran berkaitan dengan

pemahaman konsep siswa adalah dengan menggunakan model pembelajaran inovatif

yang sesuai dengan karakteristik

pembelajaran IPA. Salah satu model pembelajaran yang dapat digunakan yaitu model pembelajaran kooperatif tipe MURDER. Model ini dipilih karena sangat

cocok dengan kondisi siswa yang

heterogen atau berbeda – beda, baik dari segi jenis kelamin maupun kemampuan siswa.

Dalam model pembelajaran

kooperatif tipe MURDER, guru membentuk kelompok dengan kemampuan dan jenis kelamin yang heterogen. Dengan model ini siswa diharapkan aktif dalam menemukan konsep – konsep yang didiskusikan dan guru berperan sebagai mediator, fasilitator dan motivator yang mengorganisasikan

siswa untuk dapat membangun

pengetahuannya. Selain itu, model pembelajaran ini juga bisa menjadikan pembelajaran IPA lebih bermakna, siswa akan dapat mengajukan ide – ide, pertanyaan – pertanyaan serta keberanian mempersoalkan sesuatu yang belum jelas.

Menurut Jacob (dalam Tim

Pengembang Lembaga Penelitian

UNDIKSHA, 2009) model pembelajaran

MURDER adalah salah satu model

pembelajaran kolaboratif yang dihasilkan dari perspektif psikologi kognitif. Model

pembelajaran kooperatif tipe MURDER merupakan singkatan dari : 1. Mood

(Suasana Hati), 2. Understand

(Pemahaman), 3. Recall (Pengulangan), 4.

Detect (telaah), 5) Elaborate

(Pengembangan), 6) Review (Meninjau Kembali). Dengan diterapkannya model pembelajaran kooperatif tipe MURDER ini,

maka diharapkan akan memberikan

pengaruh positif terhadap pembelajaran

IPA. Berdasarkan langkah model

pembelajaran MURDER, Mood akan

menuntun anggota kelompok dalam

mempersiapkan diri sebaik mungkin dan guru berusaha mengkondisikan siswa pada kondisi belajar yang nyaman. Understand akan mengarahkan anggota kelompok untuk mecermati poin – poin dalam suatu masalah. Recall akan menuntun anggota kelompok untuk memberikan sajian lisan terhadap materi yang diberikan oleh anggota kelompok lain. Detect akan

menuntun anggota kelompok untuk

mendeteksi apa yang dilakukan oleh anggota kelompok lain terhadap munculnya kesalahan atau kealfaan catatan. Elaborate, anggota kelompok memberikan contoh atau aplikasi materi yang telah dibaca. Review

menuntun anggota kelompok untuk

melakukan peninjauan kembali terhadap langkah Mood, Uderstand, Recall, Detect, Elaborate, Review. Langkah Review akan memberikan kesempatan kepada masing –

masing anggota kelompok untuk

memperoleh struktur pengetahuan baru yang merupakan hasil refleksi pengetahuan sebelumnya.

Berdasarkan deskripsi masing-masing tahap dalam model pembelajaran

MURDER, terlihat bahwa model

pembelajaran MURDER memiliki banyak keunggulan. Salah satunya adalah dalam proses pembelajarannya yang membuat siswa aktif dalam proses pembelajaran, terlatih untuk memecahkan permasalahan yang ditemui, bekerja sama dengan siswa lainnya, menyampaikan pendapat, dan mengkomunikasikan sesuatu yang ada di pikirannya kepada guru dan

siswa lain.

Ilmu yang diperoleh siswa juga akan lebih lama diingat karena diperoleh tidak sekedar hapalan. Model pembelajaran MURDER efektif karena bersifat student centered

(4)

yang lebih mengutamakan peran peserta didik sebagai pusat pembelajaran. Dalam pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaraan MURDER siswa tidak hanya berpatokan pada pengetahuan yang ada, melainkan lebih mengutamakan proses

pemerolehan pengetahuan tersebut.

Dengan mengutamakan proses, siswa diharapkan tidak hanya sekedar menghafal ilmu, tetapi memahami lebih mendalam sehingga ilmu yang diperoleh terus melekat dan diingat siswa. Dengan demikian, pemahaman konsep siswa khususnya pada mata pelajaran IPA dapat ditingkatkan.

Berdasarkan uraian tersebut, maka dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui perbedaan yang signifikan pemahaman konsep IPA antara kelompok siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran MURDER dan kelompok siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran konvensional pada siswa kelas V SD di Gugus I Kecamatan Buleleng

Kabupaten Buleleng tahun ajaran

2014/2015.

METODE

Penelitian ini berjenis penelitian eksperimen semu (quasi eksperimen) karena bertujuan untuk memperoleh informasi dalam keadaan yang tidak memungkinkan untuk mengontrol dan memanipulasi semua variabel yang relevan. Tempat penelitian dilaksanakan di SD Gugus I Kecamatan Buleleng, Kabupaten Buleleng pada rentangan waktu semester genap pada tahun ajaran 2014/2015. Populasi dalam penelitian ini yaitu seluruh siswa kelas V SD di gugus I kecamatan Buleleng yang terdiri dari 11 kelas dengan jumlah siswa sebanyak 286 orang. Setelah dilakukan uji kesetaraan, kemudian dipilih dua kelas yang akan dijadikan sampel. Penentuan sampel menggunakan teknik

simple random sampling. Teknik ini

mencangkup subjek – subjek dalam

populasi sehingga semua subjek dianggap sama dan mendapat hak yang sama untuk memperoleh kesempatan dipilih menjadi anggota sampel (Agung, 2010). Paket kelas yang terpilih yaitu kelas VA dan kelas VB yang termasuk ke dalam SD No. 8 Banyuning, kemudian diundi kembali sehingga diperoleh kelas VA sebagai kelas eksoerimen yang dibelajarkan dengan model pembelajaran MURDER dan kelas VB sebagai kelas kontrol yang dibelajarkan dengan model pembelajaran konvensional. Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah nonequivalent posttest only control group design. Variabel yang diteliti yaitu variabel bebas berupa model pembelajaran MURDER dan variabel terikat berupa pemahaman konsep IPA. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode tes. Tes yang digunakan adalh tes pemahaman konsep IPA berupa soal uraian yang diberikan pada saat post-test.

Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis statistik deskriptif dan statistik inferensial. Hasil perhitungan statistik deskriptif berupa mean, median, modus, standar deviasi, dan varians kemudian disajikan dalam bentuk grafik poligon. Sebelum dilakukan analisis statistik inferensial, terlebih dahulu dilakukan uji prasyarat berupa uji normalitas dan uji homogenitas. Analisis statistik inferensial dilakukan setelah data yang yang diperoleh berdistribusi normal dan bersifat homogen. Pada analisis statistik inferensial, metode analisis data yang digunakan untuk menguji hipotesis dalam penelitian ini adalah independent sample t-test (uji-t) berupa polled varians.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil perhitungan analisis statistik deskriptif yang diperoleh dalam penelitian ini direkapitulasi seperti pada tabel berikut. Tabel 1. Rekapitulasi Hasil Perhitungan Skor Pemahaman Konsep IPA Siswa

Statistik Kelompok Eksperimen Kelompok Kontrol Mean 33,38

16,9

Median

30,75

16,5

Modus

33,4

15,83

(5)

Skor minimum

21

7

Skor maksimum

37

28

Rentangan

16

21

Mean (M), Median (Me), Modus (Mo) pemahaman konsep IPA siswa kelompok eksperimen dan kelompok kontrol selanjutnya disajikan ke dalam kurva polygon dengan tujuan untuk menafsirkan sebaran data pemahaman konsep IPA pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Adapun kurva polygon kedua kelompok seperti pada gambar 1 dan 2.

Gambar 1 Kurva Poligon Data Hasil

Pemahaman Konsep IPA

Siswa Kelompok Eksperimen

Berdasarkan Tabel 1 diketahui Mo>Me>M (33,4>30,75>30,38) menyebabkan kurva pada gambar 1 membentuk kurva juling negatif yang berarti sebagian besar skor cenderung tinggi.

Gambar 2 Kurva Poligon Data Hasil Pemahaman Konsep IPA Siswa Kelompok Kontrol Berdasarkan Tabel 1 diketahui Mo>Me>M (15,83<16,5<16,9) menyebabkan kurva pada gambar 2 membentuk kurva juling positif yang berarti sebagian besar skor cenderung rendah.

Sebelum dilanjutkan ke uji hipotesis, terlebih dahulu dilakukan uji prasyarat meliputi uji normalitas dan uji homogenitas. Hasil uji normalitas dengan menggunakan rumus Chi-Square (

2), menunjukkan bahwa data pemahaman konsep IPA siswa kelompok kontrol dan kelompok eksperimen berdistribusi normal. Demikian halnya pada uji

homogenitas dengan menggunakan

rumus uji F, diperoleh hasil bahwa data pemahaman konsep IPA kedua kelompok adalah homogen.

Setelah uji prasyarat terpenuhi, dilanjutkan dengan uji hipotesis menggunakan independent sample t-test (tidak berkorelasi) dengan rumus polled varians. Hipotesis yang diuji dalam penelitian ini adalah terdapat perbedaan yang signifikan pada pemahaman konsep

IPA antara kelompok siswa yang

dibelajarkan dengan model pembelajaran MURDER dan kelompok siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran Mo = 33,4 Me = 30,75 M = 30,38 Interval Fr ek u en si Mo = 15,83 Me = 16,5 M = 16,9 Interval Fre k u en si

(6)

konvensional. Kriteria pengujian hipotesis yaitu H0 ditolak jika thitung > ttabel.

Berdasarkan hasil perhitungan uji-t diperoleh bahwa terdapat perbedaan pemahaman konsep IPA antara kelompok siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran MURDER dan kelompok

siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran konvensional pada siswa kelas V SD di Gugus I Kecamatan Buleleng, Kabupaten Buleleng tahun ajaran 2014/2015. Ringkasan hasil uji hipotesis disajikan pada tabel 2.

Tabel 2 Ringkasan Hasil Uji Hipotesis

No. Data Pemahaman

Konsep

Standar

Deviasi n Db thitung ttabel Kesimpulan

1 Kelompok Eksperimen 16,81 29

57 11,14 2,000 thitung > ttabel H0 ditolak

2 Kelompok Kontrol 26,55 30

Model pembelajaran MURDER

yang digunakan pada kelompok

eksperimen dan model pembelajaran konvensional yang digunakan pada kelompok kontrol dalam penelitian ini menunjukkan pengaruh yang berbeda pada pemahaman konsep IPA siswa. Secara deskriptif, pemahaman konsep IPA siswa kelompok eksperimen lebih tinggi dibandingkan dengan siswa kelompok kontrol. Tinjauan ini didasarkan pada rata-rata skor pemahaman konsep IPA. Rata-rata skor pemahaman konsep IPA siswa kelompok eksperimen adalah 30,38 berada pada katagori tinggi, sedangkan rata-rata skor pemahaman konsep IPA siswa kelompok kontrol adalah 16,9 berada pada katagori sedang. Jika skor pemahaman konsep IPA siswa kelompok eksperimen digambarkan dalam grafik poligon tampak bahwa kurva sebaran data merupakan juling negatif yang artinya sebagian besar skor siswa cenderung tinggi. Pada kelompok kontrol, jika skor pemahaman konsep IPA siswa digambarkan dalam grafik poligon tampak bahwa kurva sebaran data merupakan juling positif yang artinya sebagian besar skor siswa cenderung rendah.

Berdasarkan analisis data

menggunakan uji-t, diperoleh nilai thitung sebesar 11,14 dan ttabel sebesar 2,000 (pada db = 57 dan taraf signifikansi 5%). Dengan demikian, thitung lebih besar dari ttabel yang menunjukkan bahwa hasil penelitian adalah signifikan. Artinya, terdapat perbedaan pemahaman konsep IPA yang signifikan antara kelompok siswa yang dibelajarkan dengan model

pembelajaran MURDER dan kelompok siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran konvensional pada siswa kelas V SD di gugus I Kecamatan Buleleng tahun ajaran 2014/2015. Adanya perbedaan yang signifikan menunjukkan

bahwa pembelajaran dengan model

pembelajaran MURDER berpengaruh

terhadap pemahaman konsep IPA siswa. Perbedaan pemahaman konsep IPA yang ditunjukkan oleh siswa

kelompok eksperimen dan siswa

kelompok kontrol disebabkan karena adanya perbedaan perlakuan antara kedua kelompok pada saat proses pembelajaran. Pembelajaran di kelas

kontrol yang menggunakan model

pembelajaran konvensional cenderung bersifat pasif. Hal ini disebabkan oleh proses pembelajaran yang didominasi dengan kegiatan ceramah, tanya jawab, dan penugasan. Penyampaian materi oleh

guru dilaksanakan dengan metode

ceramah yang memusatkan guru sebagai sumber informasi (teacher-centered). Dalam penyajian materi, guru juga jarang

mengaitkan kehidupan nyata dan

masalah-masalah siswa dalam

kehidupannya sehari-hari dengan materi yang dibahas, melainkan lebih cenderung berpatokan pada buku sumber. Disela-sela kegiatan penyampaian materi, terjadi tanya jawab antara guru dan siswa. Namun, kegiatan tanya jawab hanya didominasi oleh siswa tertentu saja. Setelah kegiatan tanya jawab, guru memberikan tugas yang dikerjakan siswa secara individu maupun berpasangan. Kegiatan pembelajaran yang demikian

(7)

dilakukan secara berulang-ulang dalam jangka waktu yang lama. Dalam kegiatan

pembelajaran dengan menggunakan

model pembelajaran konvensional, terlihat jelas bahwa siswa kurang dilibatkan secara aktif dalam proses pembelajaran dan antusiasme siswa dalam belajar juga rendah, sehingga semakin menambah kecenderungan siswa untuk menghapal materi. Temuan tersebut didukung oleh Suleman (dalam Rasana, 2009:18) yang mengungkapkan bahwa “pembelajaran konvensional merupakan metode yang paling efisien dalam mengajar yang bersifat hafalan (ingatan)”. Pembelajaran

yang demikian berdampak pada

kurangnya pemerolehan pemahaman

siswa terhadap konsep-konsep dan materi yang diberikan.

Berbeda halnya dengan

pembelajaran pada kelas eksperimen yang menggunakan model pembelajaran MURDER. Apabila dilihat dari segi antusiasme dan keaktifan siswa dalam belajar, siswa di kelas eksperimen memiliki antusiasme dan keaktifan yang tinggi dalam proses pembelajaran. Hal ini tidak terlepas dari peranan guru dan aktivitas siswa yang terjadi pada setiap langkah-langkah model pembelajaran MURDER yang meliputi mood (mengatur suasana hati), understand (membaca dalam hati), recall (mengulang materi), detect (menemukan kesalahan), elaborate

(menanggapi pendapat), dan yang

terakhir review (merangkum) (Lembaga Penelitian UNDIKSHA, 2009:9).

Dalam pelaksanaannya pada

tahap mood, guru berusaha mengatur suasana hati yang tepat dengan cara

mengaitkan pembelajaran dengan

fenomena-fenomena dalam kehidupan sehari-hari sambil menggali sejauh mana pengetahuan awal siswa mengenai materi yang akan diberikan. Kegiatan tersebut dilakukan pada awal pembelajaran tepatnya pada apersepsi. Setelah mood

siswa terbentuk, guru kemudian

mengarahkan siswa untuk membentuk kelompok yang terdiri dari empat orang. Para siswa dalam kelompok empat orang tersebut kemudian dibagi lagi menjadi dua pasang dyad, yaitu dyad 1 dan dyad 2. Dyad adalah pertemuan antara du orang

yang berkomunikasi secara lisan atau tertulis (Sujana,2005)

Selanjutnya pada tahap

understand, guru menyuruh masing-masing dyad membaca bagian materi yang di dapat tanpa menghapalkan. Siswa tidak diharapkan untuk menghapalkan materi yang diberikan tetapi mehamani,

dengan memahami siswa dapat

memberikan penjelasan atau memberi uraian yang lebih rinci tentang hal itu

dengan menggunakan kata-katanya

sendiri (Sudijono, 2007). Setelah siswa memahami isi materi yang diberikan, guru kemudian memberikan siswa LKS yang nantinya akan didiskusikan oleh masing-masing pasangan dyad.

Tahap ketiga adalah recall, pada tahap ini masing-masing pasangan dyad mendiksusikan dan menjawab soal yang terdapat pada LKS. Masing-masing pasangan dyad bekerja sama dalam menjawab soal pada LKS. Salah satu

anggota dyad bertugas untuk

mengemukakan pendapat, sedangkan

pasangannya bertugas menulis jawaban yang ditemukan sambil ikut mengoreksi jika terjadi kekeliruan. Selanjutnya, masing-masing pasangan dyad dalam kelompok empat orang, saling bertukar jawaban sehingga terbentuklah laporan yang lengkap untuk tugas hari itu. Langkah pembelajaran tersebut sesuai dengan pendapat Santyasa (2006) yang menyatakan bahwa, setelah pasangan dyad-1 dan dyad-2 selesai mengerjakan tugas masing-masing, selanjutnya antar pasangan dyad saling bertukar jawaban agar tercipta laporan yang utuh.

Kesiapan siswa pun diuji ketika guru menunjuk salah satu anggota dyad secara acak untuk menyampaikan laporan yang telah dibuat di depan kelas. Pada tahap ini guru berperan sebagai fasilitator, mengamati aktivitas siswa dan membantu siswa jika mengalami kesulitas.

Langkah selanjutnya adalah

detect, pada tahap ini siswa dituntut untuk tanggap mencermati penyampaian materi dari kelompok penyaji. Siswa boleh mengajukan pendapat atau pertanyaan

apabila ada ketidakcocokan atau

ketidaksesuaian terhadap penyampaian dari kelompok penyaji.

(8)

Kemudian tahap berikutnya adalah elaborate, pada tahap ini siswa kelompok penyaji diberikan kesempatan untuk menanggai dan memberikan sanggahan terkait dengan pertanyaan dari anggota kelompok lain pada tahan detect. Perdebatan sering kali muncul antara kelompok penyaji dan kelompok yang bertanya pada tahap ini. Disinilah guru berperan sebagai fasilitator yang menembatani berbagai pendapat yang

muncul sehingga tercapai suatu

kesepakatan. Guru juga memberikan penguatan baik secara verbal maupun non verbal kepada kelompok yang jawabannya keliru tidak patah semangat dan bagi kelompok yang jawabannya tepat menjadi semakin termotivasi untuk belajar. Pada tahap ini, sebagian besar

siswa sudah berani mengajukan

pertanyaan, bersikap kritis, serta mampu

beragumen untuk mempertahankan

pendapatnya dengan tetap menghargai pendapat orang lain.

Tahap terakhir dalam kegiatan pembelajaran ini adalah tahan review. pada tahap ini siswa dibawah bimbingan guru merangkum hasil pembelajaran yang telah dipelajari. Sebagian besar siswa

sudah mampu mengemukakan

kesimpulan dari pelajaran yang didapat dengan benar. Hal ini membuktikan bahwa sebagian besar siswa mengerti

dan memahami materi yang telah

dipelajarinya. Temuan tersebut juga diperkuat oleh hasil evaluasi yang dilakukan pada akhir pembelajaran yang sebagian besar siswa memperoleh skor tinggi. Langkah-langkah pembelajaran dan cara penyampaian materi inilah yang menyebabkan tingginya sebagian besar skor pemahaman konsep IPA pada kelompok eksperimen.

Perbedaan proses pembelajaran yang terjadi pada kelompok eksperimen

dan kelompok kontrol memberikan

dampak yang berbeda pula pada

pemahaman konsep yang dimiliki siswa. Pembelajaran dengan model MURDER menyebabkan siswa aktif dalam proses pembelajaran. Siswa terlatih untuk mampu memecahkan permasalahan yang ditemui, bekerja sama dengan siswa lainnya, menyampaikan pendapat, dan mengkomunikasikan sesuatu yang ada di

pikirannya kepada guru dan siswa lain. Ilmu yang diperoleh siswa juga akan lebih lama diingat karena diperoleh tidak sekedar hapalan, sehingga pemahaman siswa terhadap konsep juga akan

meningkat. Dengan demikian,

pemahaman konsep IPA pada kelompok siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran koperatif tipe MURDER lebih baik dibandingkan kelompok siswa

yang dibelajarkan dengan model

pembelajaran konvensional.

Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian mengenai penggunaan model pembelajaran MURDER yang dilakukan oleh Ni Ketut Sri Dewi (2011) dengan judul “Implementasi Model Pembelajaran Kooperatif Tipe MURDER Untuk Meningkatkan Aktivitas dan Hasil Belajar Siswa Mata Pelajaran IPA Kelas IV SD No. 1 Pulukan Tahun Pelajaran 2010/2011”. Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa model pembeljaaran kooperatif tipe MURDER dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa. pada siklus I rata-rata skor aktivitas belajar siswa 8,37. Pada siklus II, rata-rata skor aktivitas belajar siswa meningkat sebesar 1,67 menjadi 10,04 dengan kategori aktif. Rata-rata hasil belajar siswa pada siklus I sebesar 63,33 dengan ketuntasan belajar secara klasikal 52,38%. Pada akhir siklus II, rata-rata kelas meningkat sebesar 12,86% menjadi 76,19% dengan ketuntasan belajar secara klasikal meningkat sebesar 47,62% menjadi 100%.

Penelitian lain juga dilakukan oleh Ni Wayan Nita (2011) dengan judul

”Implementasi Model Pembelajaran

MURDER Berbantuan Pertanyaan

Metakognitif untuk Meningkatkan Motivasi dan Prestasi Belajar Matematika Siswa Kelas VIII G SMP Negeri 2 Sukawati”. Penelitian yang dilakukan menunjukkan peningkatan yang signifikan terhadap motivasi dan prestasi belajar matematika siswa. Rata-rata prestasi belajar siswa mengalami peningkatan sebesar 12,9 poin, yaitu dari 58,3 pada siklus I menjadi 71,2 pada siklus III. Rata-rata skor prestasi belajar matematika siswa pada siklus III sebesar 71,2 sudah memenuhi KKM yang ditetapkan dengan daya serap

(9)

mencapai 78,57%. Rata-rata skor motivasi belajar matematika siswa meningkat sebesar 8,94 poin dari 82,14 pada refleksi awal menjadi 91,07 pada akhir siklus III tergolong dalam kategori tinggi. Oleh karena itu, hasil penelitian ini berhasil memperkuat penelitian-penelitian tentang penerapan model pembelajaran kooperatif tipe MURDER sebelumnya.

Hasil penelitian ini memberikan implikasi bahwa model pembelajaran kooperatif tipe MURDER telah mampu memberikan kontribusi yang positif terhadap pemahaman konsep IPA siswa

dibandingkan dengan model

pembelajaran konvensional. Maka dari itu, pemebelajaran kooperatif tipe MURDER dapat dijadikan alternatif pembelajaran yang kreatif dan inovatif dalam upaya peningkatan mutu pendidikan khususnya dalam mata pelajaran IPA di Gugus I Kecamatan Singaraja.

PENUTUP

Berdasarkan paparan hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada pemahaman konsep

IPA antara kelompok siswa yang

dibelajarkan dengan model pembelajaran kooperatif tipe MURDER dan kelompok

siswa yang dibelajarkan dengan

pembelajaran konvensional pada siswa kelas V Sekolah Dasar di Gugus I

Kecamatan Buleleng tahun ajaran

2014/2015. Hasil tersebut dibuktikan dari hasil uji-t yang menunjukkan bahwa thitung = 11,14 lebih besar dari ttabel = 2,000, pada taraf signifikansi 5% dan db = 57. Selain itu, perbandingan perhitungan rata-rata pemahaman konsep IPA siswa kelompok eksperimen lebih besar dari rata-rata pemahaman konsep IPA siswa kelompok kontrol (30,38 > 16,9). Adanya perbedaan yang signifikan menunjukkan bahwa

pembelajaran menggunakan model

pembelajaran kooperatif tipe MURDER

berpengaruh terhadap pemahaman

konsep IPA siswa dibandingkan dengan model konvensional.

Saran yang dapat disampaikan berdasarkan hasil penelitian ini adalah sebagai berikut. 1) Siswa-siswa di sekolah dasar di Gugus 1 Kecamatan Buleleng

hendaknya lebih aktif dalam proses pembelajaran dan terus mengembangkan daya nalar, kemampuan berpikir kritis,

kreatifitas, serta keterampilan

berkomunikasi yang telah dimiliki melalui kegiatan pemecahan masalah sehingga dapat meningkatkan pemahaman konsep IPA siswa. 2) Guru-guru di Gugus 1

Kecamatan Buleleng sebaiknya

meminimalisir pembelajaran yang

mengutamakan ketercapaian materi dan cenderung mengabaikan proses yang berdampak pada pembelajaran yang terkesan hapalan bagi siswa. Para guru disarankan untuk menggunakan model-model pembelajaran inovatif dengan beberapa modifikasi agar sesuai dengan karakteristik peserta didik dan kondisi sekolah. Salah satunya yaitu penggunaan model pembelajaran MURDER, yang dapat meningkatkan pemahaman konsep

siswa melalui tahapan-tahapan

pembelajarannya. Model pembelajaran MURDER terdiri dari 6 langkah yaitu,

Mood

,

Understand, Recall, Detect,

Elaborate dan Review. 3) Peneliti yang ingin melakukan penelitian lebih lanjut dalam skala luas dan variabel yang beragam mengenai model pembelajaran MURDER agar dapat memperhatikan kendala-kendala yang dihadapi seperti keterbatasan waktu dan biaya yang menyebabkan penelitian hanya dilakukan pada mata pelajaran IPA saja. Dengan demikian, penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk menyempurnakan penelitian selanjutnya.

DAFTAR RUJUKAN

Agung, A. A. Gede. 2010. Pengantar Evaluasi Pendidikan. Singaraja : Jurusan Teknologi Pendidikan

Fakultas Ilmu Pendidikan

Universitas Pendidikan Ganesha. Dewi, Ni Ketut Sri. 2011. Implementasi

Model Pembelajaran Kooperatif

Tipe MURDER Untuk

Meningkatkan Aktivitas dan Hasil Belajar Siswa Mata Pelajaran IPA Kelas IV SD No. 1 Pulukan Tahun Pelajaran 2010/2011.Singaraja. Skripsi (tidak diterbitkan). Jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Pendidikan Ganesha.

(10)

Karli, H dan Yuliariatiningsih. 2002.

Implementasi Kurikulum

Kompetensi Jilid 2. Jakarta : Bina Media Informasi.

Kurikulum 2006 Kurikulum Tingkat Satuan

Pendidikan (KTSP) Standar

Kompetensi Mata Pelajaran

SAINS. 2006. Jakarta:

Departemen Pendidikan Nasional. Nita, Ni Wayan. 2011. Implementasi

Model Pembelajaran MURDER

Berbantuan Pertanyaan

Metakognitif untuk Meningkatkan Motivasi dan Prestasi Belajar Matematika Siswa Kelas VIII G SMP Negeri 2 Sukawati.Singaraja. Skripsi (tidak diterbitkan). Jurusan

Pendidikan Fisika Fakultas

Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Pendidikan Ganesha.

Rasana, I D. P. R. 2009. Model-model

Pembelajaran. Singaraja:

Universitas Pendidikan Ganesha. Santyasa, I Wayan. 2009. Pengembangan

Pemahaman Konsep dan

Kemampuan Pemecahan Masalah Fisika Bagi Siswa SMA Dengan Pemberdayaan Model Perubahan Konseptual Berseting Investigasi Kelompok, (Online) tersedia pada http://www.freewebs.com/santyasa /pdf2/PENGEMBANGAN_PEMAH

AMAN_KONSEP.pdf (diakses

tanggal 12 November 2013). Sudjana. 2005. Metode dan Teknik

Pembelajaran Partisipatif.

Bandung: Falah Production.

Tim Pengembang Lembaga Penelitian

UNDIKSHSA. 2009. Model

Model Komunitas Belajar.

Kementrian Pendidikan Nasional Universitas Pendidikan Ganesha.

Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. 2003. Jakarta

Gambar

Gambar  1  Kurva  Poligon  Data  Hasil  Pemahaman  Konsep  IPA  Siswa Kelompok Eksperimen

Referensi

Dokumen terkait

Kebijakan untuk membuat peraturan- peraturan hukum pidana (UU K3) yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan tindak pidana

PDRB per Kapita Kota Semarang berpengaruh positif signifikan terhadap Realisasi Penerimaan Pajak Hotel, dikarekan kenaikan pendapatan masyarakat dapat mempengaruhi

Workshop Standarisasi Peningkatan Kompetensi dan Pendidikan Pelayanan KB bagi Tenaga Kesehatan.. Peningkatan Promosi

Berkaitan dengan ruang lingkup laporan Transparansi Commodity Trading, maka Johnny West (open oil), selaku Konsultan penyusunan laporan Transparansi Commodity Trading

Analisis data dilakukan dengan menggunakan model kebijakan pengelolaan sungai berbasis pada

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif korelasi yaitu merupakan penelitian atau penelaahan hubungan antara dua variabel pada

Merupakan keterbatasan penelitian, diantaranya cara memperoleh data dari penelitian tersebut, peneliti harus mengamati secara langsung dengan cermat penerapan program

Pemilu 1999 diikuti oleh 48 partai politik, yaitu: Partai Indonesia Baru, Partai Kristen Nasional Indonesia, Partai Nasional Indonesia – Supeni, Partai Aliansi Demokrat