BAB I
PENDAHULUAN
I.1. LATAR BELAKANG
Nyeri merupakan mekanisme pertahanan tubuh yang membantu
untuk memberikan tanda bahwa sedang terjadi kerusakan jaringan atau
akan terjadi kerusakan jaringan (Cohen dan Mao, 2014). Nyeri dapat
diklasifikasikan menjadi tiga jenis, yaitu nyeri nosiseptif, nyeri neuropatik,
dan nyeri campuran (Baron dkk, 2010). Berdasarkan The International
Association for The Study of Pain (IASP) nyeri neuropatik didefinisikan
sebagai nyeri yang diikuti oleh sebuah lesi primer atau disfungsi dari
sistem saraf somatosensorik (Gilron, 2014). Nyeri neuropatik merupakan
tantangan bagi klinisi karena karakteristik klinisnya yang non spesifik dan
tatalaksananya yang sulit (Mishra dkk, 2012).
Kejadian nyeri neuropatik telah dilaporkan sekitar 7 – 10% pada
populasi umum di negara berkembang. Beberapa kondisi klinis yang
termasuk nyeri neuropatik antara lain radikulopati lumbal atau servikal,
neuropati diabetika, post herpetic neuralgia, Human Immunodeficiency
Virus (HIV) – related neuropathy, neuralgia trigeminal, dan nyeri post
stroke (Baron dkk, 2010; Gilron dkk, 2005; Gilron, 2014), dimana nyeri
neuropatik memiliki efek yang nyata terhadap kualitas hidup serta
2
Akhir – akhir ini neuropati diabetika merupakan bentuk neuropati
yang paling umum di negara – negara industri (Said, 2001), dimana
secara umum prevalensi dari neuropati adalah sekitar 2%, sedangkan
pada penduduk dengan usia di atas 40 tahun prevalensi neuropati sekitar
15%, dengan penyebab paling umum adalah diabetes (Callaghan dkk,
2012). Sekitar 60% penderita diabetes berkembang menjadi polineuropati
diabetika (Spruce dkk, 2003), sedangkan literatur lainnya menyatakan
sekitar 50% penderita diabetes akan mengalami neuropati seiring
perjalanan penyakitnya, dimana 30% penderita neuropati diabetika
mengalami gejala berupa nyeri (Callaghan dkk, 2012; Said, 2001).
Prevalensi neuropati diabetika meningkat sesuai usia, dari 5% (pada
penderita diantara usia 20 sampai 29), menjadi 44% (pada penderita
diantara usia 70 sampai 79 tahun), dan dengan durasi penyakit, terutama
setelah 20 tahun. Prevalensi neuropati diabetika juga tinggi pada
penderita dengan kontrol pengobatan yang tidak adekuat (Said, 2001).
Peningkatan prevalensi dari diabetes tipe – 2 berhubungan dengan
peningkatan penyakit neuropati diabetika yang merupakan komplikasi dari
diabetes (Spruce dkk, 2003).
Neuropati diabetika berhubungan dengan perubahan mikrovaskular
yang berkembang seiring perjalanan penyakit diabetes melitus, dimana
Distal Symmetric Sensory Neuropathy (DSSN) merupakan bentuk paling
umum dari neuropati diabetika yang mempengaruhi anggota gerak bawah
3
tersetrum, parasthesia, atau kelemahan otot (Thisted dkk, 2006; Sadeli,
2008). Nyeri neuropati diabetika dapat mempengaruhi kemampuan
penderita untuk dapat melakukan aktivitas sehari – hari (Shankar dkk,
2013), dimana selain nyeri, penderita juga dapat mengalami gangguan
pada kualitas tidur, mood, dan aktivitas keseharian (Lindsay dkk, 2010).
Sebagai salah satu komplikasi jangka panjang paling umum dari
diabetes, neuropati diabetika juga merupakan faktor utama yang
menginisiasi terjadinya ulserasi kaki, Charcot neuropathy, dan amputasi
ekstremitas bawah. Namun, kualitas dan kuantitas dari data epidemiologi
neuropati diabetika simptomatik masih kurang dapat dipercaya (Abbott
dkk, 2011).
Mengurangi rasa nyeri merupakan hal yang penting untuk
memperbaiki kualitas hidup penderita dengan nyeri neuropati diabetika.
Meskipun target yang ideal adalah penderita benar – benar 100% bebas
dari nyeri, pada kenyataannya banyak penderita yang hanya berkurang
sekitar 30 – 50% saja rasa nyerinya (Argoff dkk, 2006; Shankar dkk,
2013). Oleh sebab itu pengukuran terhadap rasa nyeri yang di alami oleh
penderita memiliki peranan, karena berapa banyak penurunan dari rasa
nyeri yang di alami penderita akan berkontribusi terhadap kemampuan
penderita untuk kembali bekerja atau bersosialisasi dan pada akhirnya
akan memperbaiki kualitias hidup serta mood penderita (Shankar dkk,
4
Selain neuropati diabetika, salah satu bentuk nyeri neuropatik
adalah neuralgia trigeminal, dimana bersifat fokal yang mengenai saraf
trigeminal (Baron dkk, 2010). Dikarakteristikkan berupa nyeri hebat pada
salah satu wajah atau unilateral yang timbul secara spontan, seperti
tersengat listrik, yang terbatas pada satu atau lebih cabang dari saraf
trigeminal. Nyeri umumnya dicetuskan oleh stimulus seperti, mencuci
wajah, menggosok gigi, bercukur, merokok, atau berbicara. Onsetnya
cepat dan durasi serangan singkat (Denny dkk, 2010; Suryamiharja dkk,
2011).
Menurut Benneto dkk, (2007) insiden neuralgia trigeminal di Inggris
adalah 27 per 100.000 penduduk per tahun, dimana berdasarkan
penelitian sebelumnya diestimasikan 4 – 13 per 100.000 penduduk per
tahun, dengan insiden pada wanita hampir dua kali lebih banyak dari pria.
Sedangkan menurut Obermann, (2010) insiden neuralgia trigeminal
adalah 4,3 per 100.000 penduduk per tahun, dengan insiden pada
perempuan sedikit lebih tinggi (5,9/100.000) dibandingkan pada laki – laki
(3,4/100.000). Hal serupa juga di utarakan oleh Bangsah, (2011) yang
menyatakan insiden neuralgia trigeminal adalah 4,5 per 100.000
penduduk per tahun.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Tӧlle dkk, (2006)
menunjukkan adanya suatu beban yang subtansial akibat nyeri yang
dialami oleh penderita neuralgia trigeminal, dimana hal ini ditunjukkan
5
berkaitan dengan tingkat keparahan nyeri. Penyebabnya adalah
manajemen strategi yang kurang optimal dan seringnya terjadi resistensi
nyeri neuropatik terhadap terapi yang diberikan, sehingga dibutuhkan
manajeman strategi nyeri yang lebih efektif.
Terapi nyeri neuropatik pada umumnya bertujuan untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien dengan melakukan pendekatan
secara holistik, berupa pengobatan terhadap pain triad, yaitu nyeri,
gangguan tidur, dan gangguan mood yang dilakukan oleh tim multidisiplin.
Terapi farmakologis yang umum diberikan pada penderita nyeri neuropatik
adalah analgetik, analgetik adjuvan, dan farmakologis intervensi
(Suryamiharja dkk, 2011). Beberapa terapi yang berbeda untuk nyeri
neuropatik telah di teliti. Berdasarkan penelitian klinis tersebut, obat –
obatan yang direkomendasikan sebagai terapi lini pertama untuk nyeri
neuropatik termasuk antidepresan (tricyclic antidepressant (TCA) dan
serotonin-norepinephrin reuptake inhibitor (SSRI)), calcium channel α2-δ
ligands (gabapentin dan pregabalin), dan lidokain topikal (O’Connor dan
Dworkin, 2009). Hal ini didukung oleh penelitian yang menunjukkan bahwa
obat – obatan dalam mengobati nyeri neuropati diabetika dan neuralgia
trigeminal termasuk TCA, antikonvulsan, SSRI, opiat dan senyawa mirip
opiat, serta obat – obatan topikal (Argoff dkk, 2006; Lindsay dkk, 2010;
Callaghan dkk, 2012; Zakrzewska, 2010).
Perkembangan dari obat antikonvulsan generasi kedua seperti
6
mengatasi nyeri neuropatik (Gilron dan Flatters, 2006; Maizels dan
Mccarberg, 2005). Kedua obat ini dapat digunakan sebagai terapi lini
pertama pada penderita nyeri neuropati diabetika yang kontraindikasi
dengan pemakaian TCA atau tidak memberikan respon (Callaghan dkk,
2012).
Gabapentin dan pregabalin bekerja melalui beberapa mekanisme
yang dapat memiliki efek yang dapat mengurangi rasa nyeri pada
penderita nyeri neuropatik. Pertama, kedua jenis obat ini merupakan
analog sintetis dari gamma-aminobutyric acid (GABA) yang berikatan atau
bekerja secara selektif pada subunit α2δ dari kanal kalsium (Gilron dan
Flatters, 2006). Sebagai efeknya adalah inhibisi dari pelepasan
neurotransmitter eksitatorik seperti glutamat dan noradrenalin, serta
memodulasi pelepasan substansi P (Banday dkk, 2013; Sadeli, 2008).
Mekanisme lainnya adalah kedua jenis obat ini bersifat antagonis dengan
reseptor N-methyl-D-aspartate (NMDA) dan
alpha-amino-3-hydroxy-5-methyl-4-isoxazolepropionic acid (AMPA). (Gilron dan Flatters, 2006;
Várkonyi dan Kempler, 2007).
Hal tersebut didukung oleh beberapa penelitian yang telah
dilakukan dengan menggunakan gabapentin dan pregabalin terhadap
penderita nyeri neuropati diabetika maupun neuralgia trigeminal, seperti
penelitian yang dilakukan Serpel dkk, (2002) yang membandingkan antara
gabapentin dengan plasebo pada penderita nyeri neuropati diabetika,
7
dengan plasebo pada penderita nyeri neuropati diabetika, dimana
berdasarkan kedua penelitian tersebut didapatkan bahwa kedua jenis obat
lebih superior dibandingkan dengan plasebo dalam mengurangi rasa
nyeri. Hal serupa juga dijumpai pada penelitian yang dilakukan oleh
Obermann dkk, (2007), dimana 74% dari 53 penderita neuralgia trigeminal
yang diberikan pregabalin mengalami perbaikan. Penggunaan gabapentin
juga menunjukkan manfaat dalam mengurangi intensitas nyeri pada
penderita neuralgia trigeminal seperti yang ditunjukkan dalam penelitian
Qazi dkk, (2012) yang membandingkan antara gabapentin dengan
carbamazepin terhadap 56 pasien, dimana 55% penderita yang
menggunakan gabapentin mengalami penurunan intensitas nyeri.
Beberapa penelitian lainnya membandingkan antara amitriptilin
dengan gabapentin atau dengan pregabalin dalam mengatasi nyeri
neuropati diabetika, seperti penelitian yang dilakukan oleh Dallocchio dkk,
(2000) yang membandingkan amitriptilin dengan gabapentin dimana
didapatkan gabapentin lebih superior di bandingkan dengan amitriptilin
dalam hal mengurangi rasa nyeri dan gejala parasthesia. Sedangkan
Bansal dkk, (2009) meneliti perbandingan antara amitriptilin dengan
pregabalin pada penderita nyeri neuropati diabetika, dimana hasilnya tidak
ada perbedaan yang signifikan antara efikasi kedua obat berdasarkan
pemeriksaan Visual Analog Scale (VAS), likert pain scale dan McGill pain
8
I.2. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang penelitian – penelitian terdahulu seperti
yang telah dijelaskan di atas maka dirumuskan masalah sebagai berikut :
Bagaimanakah perbedaan efek antara amitriptilin, gabapentin, dan
pregabalin terhadap perubahan intensitas nyeri pada penderita nyeri
neuropati diabetika dan neuralgia trigeminal?
I.3. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan :
I.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui perbedaan efek amitriptilin, gabapentin, dan
pregabalin terhadap perubahan intensitas nyeri pada penderita nyeri
neuropati diabetika dan neuralgia trigeminal.
I.3.2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui perbedaan efek antara amitriptilin,
gabapentin, dan pregabalin terhadap perubahan intensitas nyeri
pada penderita nyeri neuropati diabetika dan neuralgia trigeminal
di Poliklinik Neurologi dan Endokrinologi RSUP Haji Adam Malik
Medan dan rumah sakit jejaring.
2. Untuk mengetahui perbedaan rerata efek amitriptilin terhadap
perubahan intensitas nyeri berdasarkan Numeric Rating Scale
9
neuropati diabetika di Poliklinik Neurologi dan Endrokrinologi
RSUP Haji Adam Malik Medan dan rumah sakit jejaring.
3. Untuk mengetahui perbedaan rerata efek amitriptilin terhadap
perubahan intensitas nyeri berdasarkan NRS sebelum dan
setelah pemberian obat pada penderita neuralgia trigeminal di
Poliklinik Neurologi RSUP Haji Adam Malik Medan dan rumah
sakit jejaring.
4. Untuk mengetahui perbedaan rerata efek gabapentin terhadap
perubahan intensitas nyeri berdasarkan NRS sebelum dan
setelah pemberian obat pada penderita nyeri neuropati diabetika
di Poliklinik Neurologi dan Endrokrinologi RSUP Haji Adam Malik
Medan dan rumah sakit jejaring.
5. Untuk mengetahui perbedaan rerata efek gabapentin terhadap
perubahan intensitas nyeri berdasarkan NRS sebelum dan
setelah pemberian obat pada penderita neuralgia trigeminal di
Poliklinik Neurologi RSUP Haji Adam Malik Medan dan rumah
sakit jejaring.
6. Untuk mengetahui perbedaan rerata efek pregabalin terhadap
perubahan intensitas nyeri berdasarkan NRS sebelum dan
setelah pemberian obat pada penderita nyeri neuropati diabetika
di Poliklinik Neurologi dan Endrokrinologi RSUP Haji Adam Malik
10
7. Untuk mengetahui perbedaan rerata efek pregabalin terhadap
perubahan intensitas nyeri berdasarkan NRS sebelum dan
setelah pemberian obat pada penderita neuralgia trigeminal di
Poliklinik Neurologi RSUP Haji Adam Malik Medan dan rumah
sakit jejaring.
8. Untuk mengetahui perbedaan efek antara amitriptilin dengan
gabapentin terhadap perubahan intensitas nyeri berdasarkan
NRS sebelum dan setelah pemberian obat pada penderita nyeri
neuropati diabetika di Poliklinik Neurologi dan Endrokrinologi
RSUP Haji Adam Malik Medan dan rumah sakit jejaring.
9. Untuk mengetahui perbedaan efek antara amitriptilin dengan
gabapentin terhadap perubahan intensitas nyeri berdasarkan
NRS sebelum dan setelah pemberian obat pada penderita
neuralgia trigeminal di Poliklinik Neurologi RSUP Haji Adam
Malik Medan dan rumah sakit jejaring.
10. Untuk mengetahui perbedaan efek antara amitriptilin dengan
pregabalin terhadap perubahan intensitas nyeri berdasarkan
NRS sebelum dan setelah pemberian obat pada penderita nyeri
neuropati diabetika di Poliklinik Neurologi dan Endrokrinologi
RSUP Haji Adam Malik Medan dan rumah sakit jejaring.
11. Untuk mengetahui perbedaan efek antara amitriptilin dengan
pregabalin terhadap perubahan intensitas nyeri berdasarkan
11
neuralgia trigeminal di Poliklinik Neurologi RSUP Haji Adam
Malik Medan dan rumah sakit jejaring.
12. Untuk mengetahui perbedaan efek antara gabapentin dengan
pregabalin terhadap perubahan intensitas nyeri berdasarkan
NRS sebelum dan setelah pemberian obat pada penderita nyeri
neuropati diabetika di Poliklinik Neurologi dan Endrokrinologi
RSUP Haji Adam Malik Medan dan rumah sakit jejaring.
13. Untuk mengetahui perbedaan efek gabapentin dengan
pregabalin terhadap perubahan intensitas nyeri berdasarkan
NRS sebelum dan setelah pemberian obat pada penderita
neuralgia trigeminal di Poliklinik Neurologi dan RSUP Haji Adam
Malik Medan dan rumah sakit jejaring.
14. Untuk mengetahui distribusi karakteristik penderita nyeri
neuropati diabetika dan neuralgia trigeminal di Poliklinik
Neurologi dan Endrokrinologi RSUP Haji Adam Malik Medan dan
rumah sakit jejaring.
I.4. HIPOTESIS
Ada perbedaan efek antara amitriptilin, gabapentin, dan
pregababalin terhadap perubahan intensitas nyeri pada penderita nyeri
12
I.5. MANFAAT PENELITIAN
I.5.1. Manfaat Penelitian untuk Penelitian
Dengan mengetahui perbedaan efek antara amitriptilin,
gabapentin, dan pregabalin terhadap perubahan intensitas nyeri pada
penderita nyeri neuropati diabetika dan neuralgia trigeminal dapat
dijadikan sebagai dasar untuk penelitian selanjutnya tentang perbedaan
efek amitriptilin, gabapentin, dan pregabalin terhadap kualitas hidup
pada penderita nyeri neuropati diabetika dan neuralgia trigeminal.
I.5.2. Manfaat Penelitian untuk Ilmu Pengetahuan
Dengan mengetahui adanya perbedaan efek antara amitriptilin,
gabapentin, dan pregabalin terhadap perubahan intensitas nyeri pada
penderita nyeri neuropati diabetika dan neuralgia trigeminal, maka
dapat menjadi dasar dalam memilih pengobatan yang tepat untuk
mengatasi nyeri neuropati diabetika dan neuraliga trigeminal sehingga
didapatkan perbaikan kualitas hidup bagi penderita.
I.5.3. Manfaat Penelitian untuk Masyarakat
Dengan mengetahui perbedaan efek antara amitriptilin,
gabapentin, dan pregabalin terhadap perubahan intensitas nyeri pada
penderita nyeri neuropati diabetika dan neuralgia trigeminal, maka
penderita dan keluarga akan dapat mempunyai pilihan dalam
13
dapat mengontrol keluhan nyeri dan meningkatkan kualitas hidup
penderita, mengurangi biaya perawatan dan menurunkan tingkat