• Tidak ada hasil yang ditemukan

Nilai High-Sensitivity C-Reactive Protein Terhadap Mortalitas 90 Hari Pada Pasien Gagal Jantung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Nilai High-Sensitivity C-Reactive Protein Terhadap Mortalitas 90 Hari Pada Pasien Gagal Jantung"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 Gagal Jantung 2.1.1 Definisi

Gagal jantung (GJ) merupakan sindroma klinis kompleks yang disebabkan gangguan struktur dan fungsi jantung sehingga mempengaruhi kemampuan jantung untuk memompakan darah sesuai dengan kebutuhan tubuh. Kondisi ini ditandai dengan gangguan hemodinamik berupa penurunan curah jantung dan peningkatan tekanan pengisian ventrikel.1,2,3,4,16,17

2.1.2 Etiologi

(2)

2.1.3 Patofisiologi

Penyebab tersering terjadinya gagal jantung adalah gangguan / kerusakan fungsi miokard ventrikel kiri disamping adanya penyakit pada perikardium, miokardium, endokardium, ataupun pembuluh darah besar. Penurunan fungsi ventrikel kiri mengakibatkan terjadinya penurunan curah jantung yang selanjutnya menyebabkan teraktivasinya mekanisme kompensasi neurohormonal yang bertujuan mengembalikan kinerja jantung dalam memenuhi kebutuhan jaringan. Aktivasi sistem simpatis menimbulkan peningkatan denyut jantung dan vasokonstriksi perifer sehingga curah jantung dapat meningkat kembali. Aktivasi RAAS menyebabkan vasokonstriksi dan peningkatan volume darah melalui retensi air dan natrium (gambar 2.1). Mekanisme kompensasi yang terus berlangsung ini akan menyebabkan stress pada miokardium sehingga menyebabkan remodeling yang progresif, dan pada akhirnya dengan mekanisme kompensasipun jantung tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan jaringan (dekompensasi).1,18,19

Gambar 2.1. Aktifasi Sistem Neurohormonal pada Gagal Jantung 1

(3)

Remodeling struktural ini dipicu dan diperberat oleh berbagai mekanisme kompensasi sehingga fungsi jantung terpelihara relatif normal (gagal jantung asimtomatik). Sindroma gagal jantung yang simtomatik akan tampak bila timbul faktor presipitasi seperti infeksi, aritmia, infark jantung, anemia, hipertiroid dan kehamilan, aktifitas berlebihan, emosi atau konsumsi garam berlebih, emboli paru, hipertensi, miokarditis, virus, demam reumatik, endokarditis infektif. Gagal jantung simtomatik juga akan tampak kalau terjadi kerusakan miokard akibat progresifitas penyakit yang mendasarinya (gambar 2.2).18,19

Gambar 2.2 Patogenesis Gagal Jantung18

2.1.4 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis utama dari gagal jantung adalah sesak nafas dan mudah lelah yang mengakibatkan toleransi aktivitas berkurang disamping itu dapat dijumpai edema paru dan edema perifer yang menandakan adanya retensi air dan natrium. 17

2.1.5 Diagnosis

(4)

Kriteria mayor:

1. Paroksismal nokturnal dispnu 2. Distensi vena leher

3. Ronki paru 4. Kardiomegali 5. Edema paru akut 6. Gallop S3

7. Peninggian tekanan vena jugularis 8. Refluks hepatojugular

Kriteria minor: 1. Edema ekstremitas 2. Batuk malam hari 3. Dispnea d'effort 4. Hepatomegali 5. Efusi pleura

6. Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal 7. Takikardia (>120 x/menit)

Kriteria mayor atau minor:

Penurunan BB 4,5 kg dalam 5 hari pengobatan.16,17

(5)

2.1.6 Klasifikasi Gagal Jantung

Saat ini ada dua klasifikasi stadium gagal jantung yang dikenal, yakni klasifikasi berdasarkan American College of Cardiology Foundation/American Heart Assiciation (ACCF/AHA) dan klasifikasi kapasitas fungsional berdasarkan NYHA. Kedua klasifikasi ini memberikan informasi berguna dan saling melengkapi mengenai kondisi dan keparahan gagal jantung. Stadium gagal jantung berdasarkan ACCF/AHA menekankan perkembangan dan progresi penyakit dan dapat digunakan untuk mendeskripsikan baik individu maupun populasi, dimana klasifikasi berdasarkan NYHA memfokuskan pada kapasitas latihan dan gejala yang dijumpai. 2

ACCF/AHA membagi klasifikasi untuk perkembangan dan progresifitas penyakit gagal jantung atas 4 stadium yaitu stadium A adalah berisiko tinggi untuk menjadi gagal jantung tanpa ditemukan adanya disfungsi jantung, stadium B adalah adanya disfungsi jantung tanpa gejala, stadium C adalah adanya disfungsi jantung dengan gejala, stadium D adalah adanya gejala yang berat dan refrakter terhadap terapi maksimal. Pembagian ini mengutamakan pada keberadaan faktor resiko dan abnormalitas struktural jantung, pengenalan progresifitasnya, dan strategi pengobatan pada upaya preventif. Penderita gagal jantung akan mengalami perjalanan penyakitnya dari stadium A ke D namun tidak dapat kembali lagi ke stadium A, hal yang mana dapat terjadi bila menggunakan klasifikasi menurut NYHA.2

(6)

2.2 High sentivity C-Reactive Protein (hsCRP)

CRP pertama kali ditemukan pada tahun 1930 oleh William Tillet dan Thomas Francis saat melakukan penelitian terhadap pasien dengan infeksi Streptokokus pneumonia. Serum yang didapatkan pada pasien dengan penyakit fae akut ditemukan mengandung protein yang mencetuskan Polisakarida “C” yang berasal dari dinding sel pneumokokus. 40 tahun kemudian, Volanakis dan Kaplan mengidentifikasi ligan spesifik untuk CRP pada polisakarida C Pneumokokus yang dikenal dengan phosphocoline, sebagai bagian dari asam techoic dari dinding sel pneumokokus. 20,21

Pada manusia, nilai CRP plasma dapat meningkat secara cepat lebih dari 1000 kali lipat, setelah terjadi rangsangan inflamasi akut, yang disintesis oleh hepatosit. CRP merupakan salah satu dari banyaknya ekspresi gen yang diekspresikan oleh hati selama proses inflamasi.20

Induksi CRP pada hepatosit diperantarai oleh sitokin seperti interleukin-6 (IL-6) dan interleukin-1 (IL-1). IL-6 dan IL-1 mengkontrol ekspresi berbagai

protein fase akut melalui aktifasi faktor transkripsi seperti STAT3, C/EBP dan protein Rel (NF-kB). Sintesis ekstrahepatik CRP juga dilaporkan dijumpai pada neuron, plak arterosklerotik, monosit, dan limfosit. Mekanisme regulasi sintesis pada daerah ini masih belum jelas diketahui, dan sepertinya dapat mempengaruhi nilai CRP dalam plasma.20

CRP yang secara dominan dihasilkan dihati ini dapat meningkat 4-6 jam setelah terjadi rangsangan yang kemudian akan berduplikasi setiap 8 jam dan mencapai puncak pada 36-50 jam. Waktu paruh plasmanya 19 jam, namun adanya rangsangan seperti trauma atau pembedahan, dibutuhkan beberapa hari untuk kembali ke nilai normal. Namun, perlu diketahui dalam penggunaannya pada pasien kritis, nilai CRP dijumpai rendah atau normal pada 12 jam pertama dalam proses infeksi. Sebaliknya, karna panjangnya waktu paruh, dapat dijumpai nilai CRP yang tinggi pada fase penyembuhan.21

(7)

Gambar 2.3. Struktur Kompleks CRP dengan Phosphocholine 20,22

Secara umum, peradangan ringan dan infeksi virus dapat meningkat pada nilai 10-40 mg/L, namun pada peradangan berat dan infeksi bakteri dijumpai nilai 40-200 mg/L. Beberapa penelitian menunjukkan nilai serum 100 mg/L memiliki sensitifitas 80-85% untuk infeksi bakteri, namun pada infeksi virus berat juga dapat meningkatkan nilai serum CRP. 21

CRP juga secara umum digunakan untuk memantau penyakit rematik seperti lupus eritematosus sistemik dengan serositis, poliartritis kronis atau vaskulitis dengan infark jaringan. 21

(8)

Disease Control and Prevention (AHA/CDC) sebagai salah satu penanda dalam menentukan risiko kardiovaskular pada PJK.17,19,20,21,22,23,24

Data ini menunjukkan beberapa manfaat, keterbatasan CRP sehingga dapat digunakan oleh klinisi sehingga dapat diaplikasikan secara bijaksana dengan mengetahui dinamika CRP dalam menginterpretasi hasil CRP. Beberapa indikasi klinis, dan keterbatasannya dapat dilihat di Tabel 1.21

Tabel 2.1. Indikasi Klinis dan Keterbatasan Penggunaan CRP 21 Kondisi Klinis Infeksi akut, Infeksi kronis, Periode paska operasi,

Keganasan, Penyakit kardiovaskular akut,Inflamasi non infeksi ( artritis rheumatoid, lupus dengan serositis atau vaskulitis, trauma multipel, pankreatitis nekrosis)

Penggunaan Analisis Mendukung diagnosis, monitoring inflamasi, pemantauan efektifitas antibiotik dan anti inflamasi, komplikasi infeksi post operasi, prognostik PJK

Hasil yang diharapkan Inflamasi ringan dan infeksi virus 10-40 mg/L, Inflamasi berat dan infeksi bakteri 40-200 mg/L, Sepis >50 mg/L

Keterbatasan penggunaan

Tidak diindikasikan untuk mendeteksi penyakit pada pasien asimptomatik, Keterlambatan peningkatan mengakibatkan kesalahan interpretasi dan memperlambat pemberian antibiotic atau anti inflamasi, Nilai rendah (10-20 mg/L) dapat dijumpai pada ; skleroderma, dermatomiositis, kolitis ulseratif, lupus tanpa serositis atau vaskulitis

Meskipun 2/3 dari populasi di amerika memiliki nilai CRP plasma dibawah 3 g/ml, nilai dibawah 10 g/ml dinyatakan tidak signifikan secara klinis. Namun

akhir-akhir ini, beberapa hasil penelitian menunjukkan hubungan yang signifikan antara peningkatan plasma CRP antara 3-10 g/ml adanya dengan perkembangan

(9)

2.3 Peranan Mediator Inflamasi pada Gagal Jantung

Data awal yang menunjukkan adanya hubungan antara gagal jantung dan inflamasi tercatat pada tahun 1955, saat dijumpai adanya korelasi positif antara nilai CRP dan derajat keparahan gagal jantung kongestif.26 Pada tahun 1990, Levine dkk mendokumentasikan korelasi positif antara TNF- dan gagal jantung kronik.9

Penelitian terus berlanjut sejak saat itu dan data-data menunjukkan adanya hubungan antara berbagai sitokin dan gagal jantung. Sepertinya sindrom gagal jantung diakibatkan oleh adanya ketidakseimbangan antara peningkatan mediator inflamasi dan non inflamasi. Beberapa studi menunjukkan sensitifitas CRP yang rendah dan tinggi yang berhubungan dengan gagal jantung.Sebuah studi prospektif menunjukkan nilai CRP yang tinggi pada usia tua dapat memprediksi perkembangan gagal jantung. Akhir-akhir ini, sebuah studi yang melibatkan 4691 subjek dari populasi umum, menghasilkan data risiko relatif rawat inap akibat gagal jantung lebih tinggi dua kali lipat pada subjek yang memiliki nilai CRP >3mg/L. Studi lain juga menunjukkan adanya hubungan antara nilai CRP dalam memprediksi rawat inap akibat perburukan dalam stadium fungsional gagal jantung.14,26,27

Beberapa penelitian juga mendokumentasikan peranan inflamasi dalam patogenesis gagal jantung. Hipotesis yang dikenal “cytokine hypothesis

memberikan gambaran peranan inflamasi yang bersifat merusak dan sekuel patogenik dari gagal jantung akibat sitokin inflamasi (gambar 2.4).26,27,28

(10)

2.3.1 Efek Sitokin pada Fungsi Ventrikel

Temuan dari beberapa penelitian menunjukkan peranan sitokin proinflamasi dan mediator inflamasi pada fungsi ventrikel kiri. Data terbaru menunjukkan sitokin proinflamasi seperti TNF-, TNF-R1 dan IL-6 berhubungan dengan

indeks ekokardiografi fungsi ventrikel kiri baik sistolik maupun diastolik. Sebuah penelitian eksperimental menunjukkan dengan mengurangi efek sitokin inflamasi pada miokardium akan menghambat progresifitas gagal jantung. 26,27

2.3.2 Efek Sitokin pada Remodeling Ventrikel Kiri

Istilah “remodelling” pada gagal jantung adalah perubahan yang didapati pada bentuk, ukuran dan komposisi miokard sebagai respon terhadap zat yang berbahaya. Sitokin inflamasi menimbulkan efek yang signifikan pada proses remodeling ventrikel. Data umumnya menunjukkan efek dari IL-1 dan TNF-. Data eksperimental menunjukkan berkurangnya nilai IL-1 dan IL-18 akan

mengurangi dilatasi ventrikel setelah infark miokard. 26,27

2.3.3 Efek Sitokin pada Endotel

Pasien gagal jantung dikarakteristikkan dengan adanya disfungsi endotel yang bukan hanya disebabkan oleh gangguan fungsi miokard, namun juga bertanggung jawab terhadap berkurangnya aliran darah ke organ perifer. Sitokin inflamasi mengakibatkan disfungsi endotel dalam berbagai cara. Pertama, sitokin inflamasi menginduksi adhesi molekul dan sel endotel, yang akan mengakibatkan peningkatan respon inflamasi dari dinding pembuluh darah dan mengakibatkan siklus yang mengaktifasi sel endothelium secara berlebihan pada GJ. Kedua, sitokin merubah kesimbangan antara vasodilator endogen (nitrit oksida) dan vasokonstriktor (endothelin-1) sehingga menyebabkan vasokonstriksi. Mekanisme ini penting, oleh Karen intervensi dari obat-obatan seperti statin, yang meningkatkan bioavaibilitas dari nitrit oksida akan memperbaiki fungsi endotel pada pasien gagal jantung. Ketiga, beberapa studi menunjukkan molekul dari famili TNF-, yang diketahui meningkat pada GJ, dapat menginduksi apoptosis

(11)

merangsang produksi spesies oksigen reaktif, yang pada akhirnya akan menambah gangguan pada fungsi endotel. Terapi statin meningkatkan jumlah progenitor endotel yang bersirkulasi pada pasien GJ.26,27

Karena terapi GJ dapat menurunkan kadar TNF- dan CRP maka strategi

untuk menurunkan kadar plasma CRP dapat dilakukan secara efektif dengan memperbaiki bioavailabititas nitrit oksida dan fungsi endotel. Faktor ini dapat menjadi target potensial dalam pengobatan GJ.27

Sebuah studi skala kecil yang dilakukan oleh Anand IS dkk menunjukkan bahwa nilai CRP meningkat pada gagal jantung.14 Dalam beberapa studi komunitas, kadar CRP plasma mampu memprediksi perkembangan GJ dan prognosis GJ. 28 Hasil penelitian yang dilakukan oleh Galal Haitham dkk sejalan dengan hasil studi lainnya oleh Yin dkk (2004) dan Kozdag dkk (2010) yang menunjukkan bahwa hsCRP merupakan prediktor independen yang kuat dalam menentukan prognosis GJ sehingga dapat dipertimbangkan untuk digunakan dalam menentukan stratifikasi risiko dan penanganan pasien GJ.30,31,33 Penelitian yang dilakukan oleh J.L Alonso-Martinez dkk (2002) menunjukkan peningkatan CRP pada pasien yang meninggal selama periode follow up.32 Hubungan antara mortalitas dan nilai CRP mungkin diakibatkan perburukan fungsi jantung. 14,29,30,31,32

2.4 Kematian pada GJ

(12)

Di AS, dari tiap 8 kasus kematian didapatkan 1 kasus mencantumkan GJ sebagai salah satu diagnosis dalam sertifikat kematian, dan 20% dari kelompok tersebut memiliki diagnosis GJ sebagai penyebab primer kematian.38 Risiko kematian meningkat secara stabil setelah pasien didiagnosis dengan GJ. Studi Framingham (1993) menemukan, mortalitas 30 hari berkisar 10%, mortalitas 1 tahun 20-30%, dan mortalitas 5 tahun berkisar 45-60%.39 Riwayat rawat inap juga didapati berkaitan dengan prognosis yang semakin buruk. Dari suatu studi oleh Goldberg dkk (2007) di Massachusets didapati, angka kematian 5 tahun lebih dari 75% setelah episode pertama rawat inap oleh karena GJ.40

Meskipun didapati perbaikan yang cepat dan signifikan dari gejala dan tanda gagal jantung dengan menggunakan diuretik intravena dan vasodilator, kondisi paska rawatan pada pasien-pasien yang dirawat karena GJ masih tetap buruk. Sekitar 25% pasien yang dirawat dengan GJ akan kembali dirawat dalam 30 hari setelah pasien pulang, dan tingkat mortalitas selama periode ini berkisar sebesar 10%. Pada periode awal paska rawatan ini pasien berisiko tinggi mengalami perburukan klinis, fase ini dikenal dengan istilah fase rentan. Secara sederhana fase rentan didefinisikan sebagai periode segera setelah pasien pulang dari perawatan.8,41 Durasi pasti dari fase rentan sendiri masih belum pasti, namun berbagai studi menunjukkan fase rentan ini berlangsung berkisar 2 – 3 bulan.42,43,44

Secara umum pasien yang dirawat inap akibat gagal jantung, meninggal dan menjalani rehospitalisasi oleh karena berbagai penyebab, baik kardiak maupun non kardiak. Namun, dari suatu kelompok pasien – pasien gagal jantung dengan outcome

yang buruk pasca perawatan, terutama yang menjalani rehospitalisasi, didapatkan perburukan terjadi terkait dengan kondisi patofisiologi yang mendasari yang secara khas berkaitan dengan peningkatan tekanan ventrikel kiri. Gejala dan tanda kongesti (seperti, sesak nafas, orthopnea, edema perifer) merupakan alasan tersering rawat inap pada pasien – pasien gagal jantung. Lebih dari 60% pasien didapati ronki paru dan edema perifer. Kongesti hemodinamik persisten pada saat pasien pulang tampaknya merupakan faktor penting pada patofisiologi yang mendasari tingginya angka kematian dan rehospitalisasi selama fase rentan.45,46

(13)

baik pada saat dirawat inap maupun pasca perawatan yang dikaitkan dengan risiko kematian dan rehospitalisasi dalam 90 hari dari awal pasien dirawat mendapatkan kejadian mortalitas dini dan rehospitalisasi terkait kondisi kardiovaskular memiliki karakteristik usia yang lebih tua, memiliki riwayat rawat inap yang lebih banyak sebelumnya, dan memiliki jumlah komorbid yang lebih banyak seperti, riwayat infark miokard, penyakit katup mitral, penyakit ginjal kronis, dan penyakit paru obstruksi kronis yang berat. Pemeriksaan penunjang menunjukkan pasien dengan kejadian mortalitas dini dan rehospitalisasi memiliki fraksi ejeksi yang lebih rendah, durasi kompleks QRS yang lebih panjang, kadar natrium serum yang lebih rendah, peninggian blood urea nitrogen (BUN) dan kreatinin serta kadar albumin yang lebih rendah. Berdasarkan profil neurohormonal, didapati kelompok dengan kematian dini dan rehospitalisasi memilki kadar aldosteron dan peptida natriuretik yang lebih tinggi.44

Memastikan penyebab kematian pada gagal jantung merupakan suatu tantangan. Perubahan pada distribusi penyebab kematian, dimana kematian akibat kejadian kardiovaskular mengalami penurunan sejalan dengan beban besar berbagai kondisi komorbid pada gagal jantung serta pentingnya tatalaksana

menyeluruh pada gagal jantung dan pemantauan hasil terapi.47

2.4.1 Hubungan Usia dengan Mortalitas pada Gagal Jantung

Usia merupakan faktor terpenting yang menentukan kondisi kesehatan kardiovaskular individu. Pada tahun 2030 ada sekitar 20% populasi akan berusia 65 tahun atau lebih. Pada kelompok usia ini, tingkat kematian akibat penyakit kardiovaskular adalah sebesar 40% dari seluruh penyebab kematian dan merupakan penyebab mortalitas terbanyak.48,49

(14)

proliferasi dari fibroblast, yang kemudian menyebabkan penurunan curah jantung dan peningkatan jaringan fibrotik.50,51

Seiring peningkatan usia, tingkat pengisian pada fase diastolik ventrikel kiri mulai mengalami penurunan, yang dikompensasi dengan peningkatan kontraksi atrial untuk menyokong isi sekuncup dan beban kerja jantung sehingga fraksi ejeksi tetap terjaga baik. Namun akibat penuaan, kontraktilitas ventrikel kiri dan fraksi ejeksi, demikian juga dengan modulasi aktivitas simpatis pada frekuensi jantung, dan respons terhadap aktivasi reseptor adrenergik mengalami penurunan. Pengurangan curah jantung oleh karena penurunan fungsi akibat penuaan mestimulasi miokardium melakukan kompensasi dengan meningkatkan massa otot melalui hipertrofi jantung, dengan mekanisme ini curah jantung dapat ditingkatkan untuk sementara waktu namun efek jangka panjang dari hipertrofi menyebabkan penurunan fungsi jantung. Disamping itu terjadi juga gangguan pada sistem konduksi jantung.49

Efek penuaan pada pembuluh darah menyebabkan peningkatan ketebalan dan kekakuan pembuluh darah serta disfungsi endotel. Disfungsi vaskular akibat penuaan menyebabkan berbagai perubahan patologis yang memicu terjadinya iskemia, hipertensi dan degenerasi makular terkait usia.49

Keseluruhan proses diatas menjadi faktor yang mendasari adanya pola eksponensial prevalensi gagal jantung yang meningkat seiring pertambahan usia. Disamping itu akibat proses menua, terjadi kemunduran struktur anatomi dan fungsional secara menyeluruh akibat proses degenerasi. Kerapuhan serta adanya penyakit komorbid menjadi ciri khas pada kelompok usia ini, dan berkontribusi pada kejadian – kejadian tidak diharapkan pada saat rawatan maupun pasca rawatan. 49

(15)

pendek dilakukan dalam 30 hari dan jangka panjang dalam 5 tahun. Dari studi ini didapati bahwa usia adalah prediktor independen mortalitas jangka pendek dengan

risk ratio (RR) meningkat 1.23% setiap peningkatan usia 10 tahun (95% CI 1.04 –

1,47). Peningkatan usia juga secara signifikan meningkatkan mortalitas jangka panjang (RR 1.55 CI 1.50 – 1.61) pada pasien – pasien gagal jantung yang dirawat inap. Pengaruh usia tetap ada walaupun berbagai faktor lain telah terkontrol dan merupakan faktor penting dalam kejadian mortalitas jangka pendek dan jangka panjang pada pasien - pasien gagal jantung.52

Suwaidi dkk (2012) juga melaporkan temuan serupa mengenai pengaruh usia terhadap outcome pada pasien – pasien gagal jantung yang dirawat inap. Dari 7066 pasien gagal jantung yang dirawat inap dari tahun 1991 -2010 didapatkan tingkat mortalitas sebanyak 7% pada kelompok usia <50 tahun, 7.2% pada kelompok usia 51 – 70 tahun dan 10.6% pada kelompok usia >70 tahun dengan p value 0.001.53

2.4.2 Hubungan Kondisi Patofisiologi dan Kematian pada Gagal Jantung Dalam klasifikasi lebih lanjut dari gagal jantung, dibutuhkan pemahaman mengenai parameter fungsi ventrikel kiri. Dengan mengetahui fraksi ejeksi ventrikel kiri, memungkinkan untuk mengklasifikasikan gagal jantung ke dalam kelompok preserved atau reduced fraksi ejeksi. Ada berbagai nilai cut off fraksi ejeksi berbeda yang direkomendasikan dalam pengklasifikasian gagal jantung, kesemuanya berdasarkan variasi dari studi – studi yang ada. Nilai ambang 55% direkomendasikan oleh American Society of Echocardiography guidelines. The Organized Program to Initiate Lifesaving Treatment in Hospitalized Patients with

Heart Failure (OPTIMIZE-HF) dan Acute Decompensated Heart Failure

National Registry (ADHERE) menggunakan nilai ambang 40% sebagai cut off. Meskipun dengan berbagai variasi yang ada, hampir separuh dari keseluruhan gagal jantung dikomunitas adalah dengan pEF.3,54

(16)

vs 22.16%), dan probablitias kematian dalam 1 tahun setelah terdiagnosis gagal jantung adalah 2,67 kali lebih tinggi pada kelompok dengan disfungsi sistolik (Left ventricular ejection fraction (LVEF) <40%, OR 2,67, 95% Confidence interval (CI) 1,36 – 5,23).9

Dari studi lain juga didapatkan adanya disfungsi ventrikel meningkatkan mortalitas selama rawatan di rumah sakit,38 mortalitas jangka pendek (30 hari)39 dan mortalitas jangka panjang (1 tahun).55,56,67

Pada studi The Candesartan in Heart Failure: Assessment of Reduction in Mortality and morbidity (CHARM), didapatkan lebih seperempat populasi studi

memiliki fraksi ejeksi >50%. Didapatkan fraksi ejeksi merupakan prediktor kuat

terhadap outcome yakni mortalitas jangka pendek maupun jangka panjang.

Hubungan antara perburukan outcome dengan rendahnya nilai fraksi ejeksi

terlihat jelas pada fraksi ejeksi < 45%, dengan peningkatan risiko mortalitas

jangka pendek dan jangka panjang untuk setiap penurunan 5% fraksi ejeksi.55

2.4.3 Hubungan hsCRP dengan Mortalitas pada GJ

Akhir-akhir ini, aktivasi sistem imun telah diimplikasikan dalam pathogenesis GJ kongestif. Kadar beberapa sitokin seperti TNF  dan IL-6 meningkat secara signifikan, dan kadar sitokin ini berhubungan secara negatif terhadap prognosis pada pasien GJ kongestif. Dalam beberapa tahun terakhir, banyak data penelitian menunjukkan implikasi CRP sebagai penanda inflamasi pada PJK, dan CRP dapat memberikan prediksi yang kuat terhadap penyakit kardiovaskular pada laki-laki maupun perempuan. Konsentrasi CRP juga meningkat pada pasien GJ iskemik maupun non iskemik, khususnya pada pasien dengan GJ akut yang berat. Gottdiener dkk (2000) melaporkan peningkatan CRP sebagai prediktor independent untuk gagal jantung pada populasi usia tua.15,30

(17)

yang mengalami perburukan memiliki nilai hsCRP yang meningkat dan peningkatan nilai hsCRP di dari ke 30 setelah dirawat dirumah sakit berhubungan

dengan kematian dalam 180 hari dengan HR: 1.23; 95% CI 1.01-1.45; P=0.016.58

Penelitian lain yang dilakukan oleh Windram JD dkk (2007) pasien GJ dengan disfungsi sistolik ventrikel kiri memiliki nilai hsCRP yang tinggi yang difollow up selama 36 bulan sebanyak 163 (17%) dari 957 pasien meninggal. Pasien dengan nilai quartil hsCRP >11 pg/ml memiliki prognosis yang paling jelek dengan HR 3.0 (2.1-4.1); P=<0.001.59

Studi lainnya yang menilai hubungan hsCRP dengan kematian pada GJ adalah dari Kozdag G dkk (2010) dari 258 pasien, 71 pasien yang meninggal memiliki nilai hsCRP yang meningkat secara signifikan disbanding pasien yang masih hidup dengan nilai hsCRP 4.57±5.35 versus. 1.88±2.75 mg/dl, p<0.001.60

2.5 Kerangka Teori Penelitian

Gambar 2.5 Kerangka Teori Penelitian

Gagal Jantung

Aktifasi neurohormonal

Sitokin proinflamasi IL-6 hsCRP

Disfungsi miokard, kerusakan endotel

Gambar

Gambar 2.1. Aktifasi Sistem Neurohormonal pada Gagal Jantung 1
Gambar 2.2 Patogenesis Gagal Jantung18
Gambar 2.3. Struktur Kompleks CRP dengan Phosphocholine 20,22
Tabel 2.1. Indikasi Klinis dan Keterbatasan Penggunaan CRP 21
+3

Referensi

Dokumen terkait

“Analisis Pengaruh Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja terhadap Kinerja Masinis dan Asisten Masinis, dengan Kepuasan Kerja dan Komitmen Organisasi sebagai

Proses ini dilakukan dengan cara mencari parameter optimal untuk sistem yang nantinya akan digunakan untuk melakukan klasifikasi, yang didapatkan dengan merubah

JOM Fakultas Hukum Volume III nomor 1, Februari 2016 Page 1 IMPLEMENTASI PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 27 TAHUN 2012 TENTANG IZIN LINGKUNGAN SEBAGAI INSTRUMEN DALAM

Tujuan Metode kunjungan wisata yaitu hubungan negatif dengan daya tarik, positif dengan pendapatan keluarga, positif dengan ketersediaan kendaraan, negatif dengan

Hasil Penelitian menunjukkan bahwa penerapan PBL dengan stimulus handout pedoman merancang eksperimen IPA SD dapat meningkatkan kreativitas mahasiswa dalam merancang eksperimen IPA

Dari hasil wawancara dari ketiganya yaitu Bapak K.H Kalimi, Bapak Rian Sulistyohadi, M.Pd.I dan Saudari Tiara Cahya Megawati, S.Pd, peneliti dapat menganalisa tentang

guru fiqh dalam mengatasi gangguan komunikasi pembelajaran

berkembang dewasa ini adalah bahwa penyakit jiwa ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain keturunan, pola asuh yang salah, maladaptasi, tekanan jiwa, dan