• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teori Feminisme dalam Penelitian Sastra

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Teori Feminisme dalam Penelitian Sastra"

Copied!
45
0
0

Teks penuh

(1)

Teori Feminisme dalam Penelitian Sastra

REP | 27 April 2013 | 07:45 Dibaca: 4738 Komentar: 6 0

Feminisme lahir awal abad ke 20, yang dipelopori oleh Virginia Woolf dalam bukunya

yang berjudul A Room of One’s Own (1929). Secara etimologis feminis berasal dari kata femme

(woman), berarti perempuan yang bertujuan untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan

(jamak), sebagai kelas sosial. Tujuan feminis adalah keseimbangan, interelasi gender. Dalam

pengertian yang lebih luas, feminis adalah gerakan kaum wanita untuk menolak segala sesuatu

yang dimarginalisasikan, disubordinasikan, dan direndahkan oleh kebudayaan dominan, baik

dalam bidang politik dan ekonomi maupun kehidupan sosial pada umumnya.

Teori feminis sebagai alat kaum wanita untuk memperjuangkan hak-haknya, erat berkaitan

dengan konflik kelas ras, khususnya konflik gender. Dalam teori sastra kontemporer, feminis

merupakan gerakan perempuan yang terjadi hampir di seluruh dunia. Gerakan ini dipicu oleh

adanya kesadaran bahwa hak-hak kaum perempuan sama dengan kaum laki-laki. Keberagaman

dan perbedaan objek dengan teori dan metodenya merupakan ciri khas studi feminis. Dalam

kaitannya dengan sastra, bidang studi yang relevan, diantaranya: tradisi literer perempuan,

pengarang perempuan, pembaca perempuan, ciri-ciri khas bahasa perempuan, tokoh-tokoh

perempuan, dan sebagainya.

(2)

kawin paksa, yang kemudian dilanjutkan pada periode 1930-an yang diawali dengan

Layar

Terkembang

karangan Sutan Takdir Aliajahbana.

Contoh-contoh dominasi laki-laki, baik dalam bentuk tokoh-tokoh utama karya fiksi yang

terkandung dalam karya sastra maupun tokoh faktual sebagai pengarang dapat dilihat baik dalam

sastra lama maupun sastra modern. Kesadaran berubah sejak tahun 1970-an, sejak lahirnya

novel-novel populer, yang diikuti dengan hadirnya sejumlah pengarang dan tokoh perempuan.

Sebagai pengarang wanita memang agak jarang. Sepanjang perjalanan sejarah sastra Indonesia

terdapat beberapa pengarang perempuan, antara lain: Sariamin, Hamidah, Suwarsih

Djojopuspito, Nh. Dini, Oka Rusmini, Ayu Utami, Dee, dan lain-lain.

Menurut Salden(1986: 130-131), ada lima masalah yang biasa muncul dalam kaitannya

dengan teori feminis, yaitu a) masalah biologis, b) pengalaman, c) wacana, d) ketaksadaran, dan

e) masalah sosioekonomi. Perdebatan terpentinag dalam teori feminis timbul sebagai akibat

masalah wacana sebab perempuan sesungguhnya termarginalisasikan melalui wacana yang

dikuasaioleh laki-laki. Pada dasarnya teori feminis dibawa ke Indonesia oleh A. Teeuw.

Kenyataan ini pun sekaligus membuktikan bahwa teori-teori Barat dapat dimanfaatkan untuk

menganalisis sastra Indonesia, dengan catatan bahwa teori adalah alat, bukan tujuan.

Pemikiran feminis tentang kesetaraan gender sudah banyak diterima dan didukung baik oleh

kalangan perempuan sendiri maupun oleh kalangan laki-laki. Dukungan ini terlihat melalui

penerimaan masyarakat terhadap kaum perempuan di bidang-bidang yang tadinya hanya

didominasi oleh kaum laki-laki, melalui tulisan dan media.

Daftar Pustaka:

(3)

Sardjon, Asmowati, dkk. 2008.

Estetika Sastra, Seni, dan Budaya

. Fakultas Bahasa & Seni

Universitas Negeri Jakarta

Feminisme

Penulis : Bagus Pramono, Herlianto

Sampai hari ini sebagian kaum perempuan masih aktif dalam perjuangan persamaan hak dengan

kaum laki-laki atau yang lazim disebut kesetaraan gender. Sebenarnya sebagian besar perempuan

yang sedang berjuang itu adalah para perempuan yang sudah "merdeka". Biasanya mereka itu

dari kalangan Wanita Karir yang sukses, punya prestasi, punya background pendidikan yang

tinggi. Dan mereka tetap giat berjuang atas nama semua perempuan yang masih "terpasung/

tidak memiliki hak setara dengan laki-laki/ perempuan yang tertindas".

Artikel Terkait

 Cinderella dan Alkitab

 Emansipasi Wanita dalam “Misycle Syelomoh”

 Ibu kita, Maria 'Perempuan yang Terlupakan'

 Peran Seorang Isteri

 Susanna Wesley

 Wanita

 Penolong Ideal

Masalah yang terus-menerus tentang emansipasi sebenarnya bukan karena laki-laki menjadikan

wanita sebagai objek, melainkan karena perempuan sendiri yang berlaku demikian. Selalu

berteriak akan persamaan hak. Dalam parlemen di Indonesia ada sekelompok pejuang

perempuan yang meminta "quota" 30% dalam keanggotaan legislatif, minta daftar nama

(4)

KKN. Sehingga kemudian kita mendapati bahwa iklan tersebut merupakan sebuah ironisme dari

perjuangan perempuan yang selama ini digembar-gemborkan.

Sebenarnya di Indonesia, kesetaraan gender sudah sangat baik, lihat saja Megawati, beliau

seorang perempuan yang menjadi Presiden, sebuah sukses dalam peraihan karir yang paling

tinggi di negeri ini. Ada Rini Suwandi seorang professional handal yang menjabat sebagai

menteri Perdagangan. Sangat mengherankan bahwa kaum feminis Indonesia tidak merasa

terwakili oleh prestasi yang diraih mereka ini. Dilain sisi ada banyak sekali wanita karir di

Indonesia yang merangkap menjadi ibu tetapi sukses dalam pekerjaannya. Profil-profil tersebut

sudah menggambarkan bahwa perempuan mempunyai andil hebat dalam politik dan

perekonomian Negara Indonesia.

Di negara Islam pun kita menjumpai banyak perempuan yang memegang kendali politik tertinggi

contohnya Benazir Butto pernah menjabat sebagai Perdana Meteri di Pakistan, Shirin Ebadi

perempuan Iran dengan kepribadian luar biasa memenangkan hadiah Nobel 2003. Chandrika

Bandaranaike Kumaratunga presiden Srilanka. Dua perempuan pintar di Philipina Cory Aquino

& Gloria Arroyo. Di belahan dunia lain juga kita kenal Margareth Tacher, Madeleine Albright,

dan Madonna perempuan genius dengan kepribadian yang kontraversial dan sangat sukses. Di

masa lalu kita mengenal Evita Peron dan masih banyak lagi. Selamat, kaum perempuan! Bahwa

kaum perempuan mampu membuktikan bahwa potensi karir dan intelektual antara perempuan

dan laki-laki adalah setara.

Lalu apa lagi yang harus diperjuangkan? Sampai kapan kaum perempuan berjuang untuk

kesetaraan gender? Saya rasa jawabannya gampang saja "sampai pada saat mereka tidak

teriak-teriak lagi soal kesetaraan gender".

Kaum Perempuan di-lain sisi sudah menggeser peran-peran laki-laki, begitupun tidak ada

golongan yang mengatasnamakan diri mereka "Man´s Lib" protes tentang hal-hal contohnya

sebagai berikut : Ada Ladies Bank (Bank Niaga sudah mempeloporinya) dimana semua staff

dalam beberapa cabang adalah perempuan. Ada Gereja yang semua/ sebagian besar pekerjanya

adalah perempuan, dari gembala sidang, majelis, pemusik dsb. Banyak pabrik-pabrik yang hanya

menerima pekerja perempuan daripada laki-laki, di pabrik rokok, sepatu, mainan anak-anak lebih

suka menerima pekerja perempuan. Kita lihat disini kaum lagi-laki sudah tergeser di ladang

pekerjaan dan karir. Batapa banyak manager/ direktur/ pebisnis/ guru perempuan. Kadang juga

saya sering mendapat keluhan dari laki-laki bahwa mereka lebih sulit mendapat ladang pekerjaan

dibanding perempuan.

Masalah kesetaraan gender yang gencar didengungkan kaum perempuan itu akan selalu ada jika

kaum perempuan tidak pernah merasa bahwa laki-laki adalah "mitra" melainkan sebagai pesaing

dan musuh.

MACAM-MACAM ALIRAN FEMINISME

(5)

Apa yang disebut sebagai Feminis Liberal ialah pandangan untuk menempatkan perempuan yang

memiliki kebebasan secara penuh dan individual. Aliran ini menyatakan bahwa kebebasan dan

kesamaan berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Setiap

manusia -demikian menurut mereka- punya kapasitas untuk berpikir dan bertindak secara

rasional, begitu pula pada perempuan. Akar ketertindasan dan keterbelakngan pada perempuan

ialah karena disebabkan oleh kesalahan perempuan itu sendiri. Perempuan harus mempersiapkan

diri agar mereka bisa bersaing di dunia dalam kerangka "persaingan bebas" dan punya

kedudukan setara dengan lelaki.

Tokoh aliran ini adalah Naomi Wolf, sebagai "Feminisme Kekuatan" yang merupakan solusi.

Kini perempuan telah mempunyai kekuatan dari segi pendidikan dan pendapatan, dan perempuan

harus terus menuntut persamaan haknya serta saatnya kini perempuan bebas berkehendak tanpa

tergantung pada lelaki.

Feminisme liberal mengusahakan untuk menyadarkan wanita bahwa mereka adalah golongan

tertindas. Pekerjaan yang dilakukan wanita di sektor domestik dikampanyekan sebagai hal yang

tidak produktif dan menempatkab wanita pada posisi sub-ordinat. Budaya masyarakat Amerika

yang materialistis, mengukur segala sesuatu dari materi, dan individualis sangat mendukung

keberhasilan feminisme. Wanita-wanita tergiring keluar rumah, berkarier dengan bebas dan tidak

tergantung lagi pada pria.

4.2. FEMINISME RADIKAL

Trend ini muncul sejak pertengahan tahun 70-an di mana aliran ini menawarkan ideologi

"perjuangan separatisme perempuan". Pada sejarahnya, aliran ini muncul sebagai reaksi atas

kultur seksisme atau dominasi sosial berdasar jenis kelamin di Barat pada tahun 1960an,

utamanya melawan kekerasan seksual dan industri pornografi. Pemahaman penindasan laki-laki

terhadap perempuan adalah satu fakta dalam sistem masyarakat yang sekarang ada. Dan gerakan

ini adalah sesuai namanya yang "radikal".

4.3. FEMINISME POST MODERN

Ide Posmo - menurut anggapan mereka - ialah ide yang anti absolut dan anti otoritas, gagalnya

modernitas dan pemilahan secara berbeda-beda tiap fenomena sosial karena penentangannya

pada penguniversalan pengetahuan ilmiah dan sejarah. Mereka berpendapat bahwa gender tidak

bermakna identitas atau struktur sosial.

4.4. FEMINISME ANARKIS

Feminisme Anarkisme lebih bersifat sebagai suatu paham politik yang mencita-citakan

masyarakat sosialis dan menganggap negara dan laki-laki adalah sumber permasalahan yang

sesegera mungkin harus dihancurkan.

(6)

Sebuah faham yang berpendapat "Tak Ada Sosialisme tanpa Pembebasan Perempuan. Tak Ada

Pembebasan Perempuan tanpa Sosialisme". Feminisme sosialis berjuang untuk menghapuskan

sistem pemilikan. Lembaga perkawinan yang melegalisir pemilikan pria atas harta dan pemilikan

suami atas istri dihapuskan seperti ide Marx yang mendinginkan suatu masyarakat tanpa kelas,

tanpa pembedaan gender.

Dan lain sebagainya.

V. MENGAPA ADA FEMINISME?

* Herlianto

Gerakan Feminisme lahir dari sebuah ide yang diantaranya berupaya melakukan pembongkaran

terhadap ideologi penindasan atas nama gender, pencarian akar ketertindasan perempuan, sampai

upaya penciptaan pembebasan perempuan secara sejati. Feminisme adalah basis teori dari

gerakan pembebasan perempuan.

Pada awalnya gerakan ini memang diperlukan pada masa itu, dimana ada masa-masa

pemasungan terhadap kebebasan perempuan. Sejarah dunia menunjukkan bahwa secara umum

kaum perempuan (feminin) merasa dirugikan dalam semua bidang dan dinomor duakan oleh

kaum laki-laki (maskulin) khususnya dalam masyarakat yang patriachal sifatnya. Dalam

bidang-bidang sosial, pekerjaan, pendidikan, dan lebih-lebih politik hak-hak kaum ini biasanya memang

lebih inferior ketimbang apa yang dapat dinikmati oleh laki-laki, apalagi masyarakat tradisional

yang berorientasi Agraris cenderung menempatkan kaum laki-laki didepan, di luar rumah dan

kaum perempuan di rumah. Situasi ini mulai mengalami perubahan ketika datangnya era

Liberalisme di Eropah dan terjadinya Revolusi Perancis di abad ke-XVIII yang gemanya

kemudian melanda Amerika Serikat dan ke seluruh dunia.

Suasana demikian diperparah dengan adanya fundamentalisme agama yang cenderung

melakukan opresi terhadap kaum perempuan. Di lingkungan agama Kristen pun ada

praktek-praktek dan kotbah-kotbah yang menunjang situasi demikian, ini terlihat dalam fakta bahwa

banyak gereja menolak adanya pendeta perempuan bahkan tua-tua jemaat pun hanya dapat

dijabat oleh pria. Banyak kotbah-kotbah mimbar menempatkan perempuan sebagai mahluk yang

harus ´tunduk kepada suami!´ dalam Efesus 5:22 dengan menafsirkannya secara harfiah dan

tekstual seakan-akan mempertebal perendahan terhadap kaum perempuan itu.

Efesus 5:22 Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan

(7)

Gelombang feminisme di Amerika Serikat mulai lebih keras bergaung pada era reformasi dengan

terbitnya buku "The Feminine Mystique"; yang ditulis oleh Betty Friedan di tahun 1963. Buku

ini ternyata berdampak luas, lebih-lebih setelah Betty Friedan membentuk organisasi wanita

bernama ´National Organization for Woman´ (NOW) di tahun 1966 gemanya kemudian

merambat ke segala bidang kehidupan. Dalam bidang perundangan, tulisan Betty Fredman

berhasil mendorong dikeluarkannya ´Equal Pay Right´ (1963) sehingga kaum perempuan bisa

menikmati kondisi kerja yang lebih baik dan memperoleh gaji sama dengan laki-laki untuk

pekerjaan yang sama, dan ´Equal Right Act´ (1964) dimana kaum perempuan mempuntyai hak

pilih secara penuh dalam segala bidang.

Gerakan perempuan atau feminisme berjalan terus, soalnya sekalipun sudah ada

perbaikan-perbaikan, kemajuan yang dicapai gerakan ini terlihat banyak mengalami halangan. Di tahun

1967 dibentuklah ´Student for a Democratic Society´ (SDS) yang mengadakan konvensi nasional

di Ann Arbor kemudian dilanjutkan di Chicago pada tahun yang sama, dari sinilah mulai muncul

kelompok ´feminisme radikal´ dengan membentuk ´Women´s Liberation Workshop´ yang lebih

dikenal dengan singkatan ´Women´s Lib.´ Women´s Lib mengamati bahwa peran kaum

perempuan dalam hubungannya dengan kaum laki-laki dalam masyarakat kapitalis terutama

Amerika Serikat tidak lebih seperti hubungan yang dijajah dan penjajah. Di tahun 1968

kelompok ini secara terbuka memprotes diadakannya ´Miss America Pegeant´ di Atlantic City

yang mereka anggap sebagai ´pelecehan terhadap kaum wanita´ dan ´komersialisasi tubuh

perempuan.´ Gema ´pembebasan kaum perempuan´ ini kemudian mendapat sambutan di

mana-mana di seluruh dunia.

Gerakan ini adalah itikad baik kaum perempuan, dan semestianya mendapat dukungan bukan

saja dari kaum perempuan tetapi juga seharusnya dari kaum laki-laki, tetapi mengapa kemudian

banyak kritik diajukan kepada mereka?

5.A. SASARAN KRITIK TERHADAP FEMINISME

Sebenarnya awal bangkitnya gerakan kaum perempuan itu banyak mendapat simpati bukan saja

dari kaum perempuan sendiri tetapi juga dari banyak kaum laki-laki, tetapi perilaku kelompok

feminisme radikal yang bersembunyi di balik "women´s liberation" telah melakukan usaha-usaha

yang lebih radikal yang berbalik mendapat kritikan dan tantangan dari kaum perempuan sendiri

dan lebih-lebih dari kaum laki-laki. Organisasi-organisasi agama kemudian juga menyatakan

sikapnya yang kurang menerima tuntutan "Women´s Lib" itu karena mereka kemudian banyak

mengusulkan pembebasan termasuk pembebasan kaum perempuan dari agama dan moralitasnya

yang mereka anggap sebagai kaku dan buah dari ´agama patriachy´ atau ´agama kaum laki-laki.´

(8)

Bagaimanapun kehidupan modern, kaum perempuan harus tetap menjadi ibu rumah tangga. Ini

tidak berarti bahwa kaum perempuan harus selalu berada di rumah, ia dapat mengangkat

pembantu atau suster bila penghasilan keluarga cukup dan kepada mereka dapat didelegasikan

beberapa pekerjaan rumah tangga, tetapi sekalipun begitu seorang isteri harus tetap menjadi ibu

rumah tangga yang bertanggung jawab dan rumah tangga tidak dilepaskan begitu saja.

Bila semula gerakan kaum perempuan "feminisme" itu lebih mengarah pada perbaikan nasib

hidup dam kesamaan hak, kelompok radikal "Women´s Lib" telah mendorongnya untuk

mengarah lebih jauh dalam bentuk kebebasan yang tanpa batas dan telah menjadikan feminisme

menjadi suatu "agama baru."

Sebenarnya halangan yang dihadapi ´feminisme´ bukan saja dari luar tetapi dari dalam juga.

Banyak kaum perempuan memang karena tradisi yang terlalu melekat masih lebih senang

´diperlakukan demikian,´ atau bahkan ikut mengembangkan perilaku ´maskulinisme´ dimana

laki-laki dominan Sebagai contoh dalam soal pembebasan kaum perempuan dari ´pelecehan

seksual´ banyak kaum perempuan yang karena dorongan ekonomi atau karena kesenangannya

pamer justru mendorong meluasnya prostitusi dan pornografi. Banyak kaum perempuan memang

ingin cantik dan dipuji kecantikannya melalui gebyar-gebyar pemilihan ´Miss´ ini dan ´Miss" itu,

akibatnya usaha menghentikan yang dianggap ´pelecehan´itu terhalang oleh sikap sebagian kaum

perempuan sendiri yang justru ´senang berbuat begitu.´

Halangan juga datang dari kaum laki-laki. Kita tahu bahwa secara tradisional masyarakat pada

umumnya menempatkan kaum laki-laki sebagai ´penguasa masyarakat,´ (male dominated

society) bahkan masyarakat agama dengan ajaran-ajarannya yang orthodox cenderung

mempertebal perilaku demikian.

Dalam agama-agama sering terjadi ´pelacuran kuil´ dimana banyak gadis-gadis harus mau

menjadi ´pengantin´ para pemimpin agama seperti yang dipraktekkan dalam era modern oleh

´Children of God´ dan ´Kelompok David Koresy´, dan di kalangan Islam fundamentalis banyak

dipraktekkan disamping poligami juga bahwa kaum perempuan dihilangkan identitas rupanya

dengan memakai kerudung sekujur badannya atau bahwa kaum perempuan tidak boleh menjadi

pemimpin yang membawahi laki-laki, dan bukan hanya itu ada kelompok agama di Afrika yang

yang mengharuskan kaum perempuan di sunat hal mana tentu mendatangkan penderitaan yang

tak habis-habisnya bagi kaum perempuan. Di segala bidang jelas kesamaan hak kaum perempuan

sering diartikan oleh kaum laki-laki sebagai pengurangan hak kaum laki-laki, dan kaum

perempuan kemudian menjadi saingan bahkan kemudian ingin menghilangkan dominasi kaum

laki-laki di masyarakat!

Kritikan prinsip yang dilontarkan pada feminisme khususnya yang radikal (Women´s Lib) adalah

bahwa mereka dalam obsesinya kemudian ´mau menghilangkan semua perbedaan yang ada

antara perempuan dan laki-laki.´ Jelas sikap radikal yang mengabaikan perbedaan kodrat antara

kaum perempuan dan laki-laki itu tidak realistis karena faktanya toh berbeda dan menghasilkan

dilema, sebab kalau kaum perempuan dilarang meminta cuti haid karena kaum laki-laki tidak

haid pasti timbul protes, sebaliknya tentu pengusaha akan protes kalau kaum laki-laki

(9)

Dalam etika kehidupan-pun, sebagian besar masyarakat kita masih menganggap kaum

perempuan adalah kaum yang lebih lemah. Kita jumpai dalam setiap kejadian emergency,

kebakaran, kecelakaan dan bencana lainnya. Para "team penolong" selalu akan menolong

"women and children" lebih dahulu. Ini sebenarnya didasari atas rasa kemanusiaan saja bukan

atas diskriminasi gender.

Kesalahan fatal feminisme radikal ini kemudian menjadikan laki-laki bukan lagi sebagai mitra

atau partner tetapi sebagai ´saingan´ (rival) bahkan ´musuh ´ (enemy)!´ Sikap feminisme yang

dirusak citranya oleh kelompok radikal sehingga menjadikannya ´sangat eksklusif´ itulah yang

kemudian mendapat kritikan luas.

Kritikan lain juga diajukan adalah karena dalam membela kaum perempuan dari sikap

´pelecehan seksual;´ mereka kemudian ingin melakukan kebebasan seksual tanpa batas, seperti

´Women´s Lib´ mendorong kebebasan seksual sebebas-bebasnya termasuk melakukan

masturbasi, poliandri, hubungan seksual antara orang dewasa dan anak-anak, lesbianisme,

bahkan liberalisasi aborsi dalam setiap tahap kehamilan. Kebebasan ini tidak berhenti disini

karena ada kelompok radikal yang ´menolak peran kaum perempuan sebagai ibu rumah tangga´

dan menganggap ´perkawinan´ sebagai belenggu. Andrea Dworkin bahkan menganggap

&380361hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan tidak beda dengan perkosaan!´.

Dalam hal yang demikian sikap ´Women´s Lib´ sudah melenceng jauh terhadap hubungan

normal cinta-kasih antara laki-laki dan perempuan.

Di kalangan agama Kristen, feminisme itu lebih lanjut mempengaruhi beberapa

teolog-perempuan yang menghasilkan usulan agar sejarah Yesus yang sering disebut sebagai ´History´

diganti dengan ´Herstory´ dan lebih radikal lagi agar semua kata ´Bapa´ untuk menyebut Allah

dalam Alkitab harus diganti dengan kata ´Ibu.´ Ibadah dan pengakuan iman (Credo) tidak lagi

menyebut ´Allah Bapa tetapi Allah Ibu´ atau the ´Mother Goddess,´ bahkan lambang salib perlu

diganti dengan meletakkan tanda O (bulatan) tepat diatas lambang salib Kristus sehingga

menjadi lambang kaum perempuan.

Kita sekarang menghadapi era informasi dimana kedudukan kaum perempuan dibanyak segi bisa

lebih unggul dari kedudukan kaum laki-laki. Dalam hal dimana kedudukan isteri lebih baik

daripada suami memang keadaanya bisa sukar dipecahkan, tetapi keluarga Kristen tentunya

harus memikirkan dengan serius pentingnya peran ibu rumah tangga demi menjaga

kelangsungan keturunan yang ´takut akan Tuhan´ (Maz.78:1-8), dan disinilah pengorbanan

seorang ibu perlu dipuji. Dalam hal seorang ibu berkorban untuk mendahulukan keluarga

sehingga bagi mereka karier dinomor duakan atau dijabat dengan ´paruh waktu´ lebih-lebih

selama anak-anak masih kecil, seharusnya para suami bisa lebih toleran menjadi ´penolong´ bagi

isteri dalam tugas ini.

(10)

Pernah ketika ada kunjungan Gorbachev, presiden Rusia waktu itu, yang berkunjung ke Amerika

Serikat, isterinya "Raisa" bersama "Barbara", isteri presiden Amerika Serikat George Bush Sr. ,

diundang untuk berbicara disuatu "Universitas perempuan yang terkenal." Ketika keduanya

berbicara, sekelompok perempuan yang bergabung dengan "women"s lib" meneriakkan yel-yel

bahkan membawa poster yang mencemooh mereka karena mereka hanya menjadi ibu rumah

tangga yang tidak bisa mempunyai karier sendiri. Bahkan, beberapa profesor perempuan

menolak hadir karena merasa direndahkan bila mendengar pembicara perempuan yang hanya

seorang ibu rumah tangga. Pembawa Acara, menanggapi kritikan-kritikan itu kemudian

berkomentar bahwa "memang keduanya adalah ibu rumah tangga, tetapi karena dampingan

keduanya, dua orang paling berkuasa di dunia dapat menciptakan kedamaian di dunia, suatu

profesi luhur yang tiada taranya!"

5.B.SEBUAH INTROSPEKSI

Dibalik kritikan yang ditujukan terhadap "Women"s Lib" khususnya dan "Feminisme"

umumnya, kita perlu melakukan introspeksi karena sebenarnya "feminisme" itu timbul sebagai

reaksi atas sikap kaum laki-laki yang cenderung dominan dan merendahkan kaum perempuan.

Ini terjadi bukan saja di kalangan umum tetapi lebih-lebih di kalangan yang meng "atas

namakan" agama memang sering berperilaku menekan kepada kaum perempuan.

Dalam menyikapi "feminisme" sebagai suatu gerakan, kita harus berhati-hati untuk tidak

menolaknya secara total, sebab sebagai "gerakan persamaan hak" harus disadari bahwa usaha

gerakan itu baik dan harus didukung bahkan diusahakan oleh kaum-laki-laki yang dianggap

bertanggung jawab atas kepincangan sosial-ekonomi-hukum-politis di masyarakat itu khususnya

yang menyangkut gender. Yang perlu diwaspadai adalah bila feminisme itu mengambil bentuk

radikal melewati batas kodrati sebagai "gerakan pembebasan kaum perempuan" seperti yang

secara fanatik diperjuangkan oleh "Women"s Lib."

Bagi umat Kristen, baik umat yang tergolong kaum perempuan maupun kaum-laki-laki,

keberadaan "sejarah Alkitab" harus diterima sebagai "History" dan data-data para patriach

(bapa-bapa Gereja) tidak perlu diubah karena masa primitif dan agraris memang mendorong terjadinya

dominasi kaum laki-laki, tetapi sejak masa industri lebih-lebih masa informasi, kehadiran peran

kaum perempuan memang diperlukan dalam masyarakat selain peran mereka yang terpuji dalam

rumah tangga dan Alkitab tidak menghalanginya. Tetapi sekalipun begitu, Alkitab dengan jelas

menyebutkan adanya perbedaan kodrati dalam penciptaan kaum laki-laki dan kaum perempuan.

Kaum laki-laki memang diberi perlengkapan otot yang lebih kuat dan daya juang yang lebih

besar, tetapi kaum perempuan diberi tugas sebagai "penolong" yang sejodoh yang sekaligus

menjadi ibu anak-anak yang dilahirkan dari rahimnya.

Kita harus sadar bahwa arti "penolong" bukanlah berarti "budak" tetapi sebagai "mitra" atau

"tulang rusuk yang melengkapi tubuh." Kesamaan hak harus dilihat dalam rangka tidak

(11)

pengertian "kasih Kristus" yang "rela berkorban demi jemaat" (Efs.5:25) dan seperti "laki-laki

mengasihi" dirinya sendiri" (Efs.5:33). Tentu kita sadar bahwa "berkorban" itu jauh lebih besar

dan sulit dilakukan daripada "tuntuk" bukan?

Gerakan feminisme sudah berada di tengah-tengah kita, peran kaum perempuan yang cenderung

dimarginalkan dalam masyarakat "patriachy" sekarang sudah mulai menunjukkan ototnya.

Semua perlu terbuka akan kritik kaum perempuan yang dikenal sebagai penganut "feminisme"

tetapi feminisme harus pula mendengarkan kritikan dari kaum perempuan sendiri maupun kaum

laki-laki agar "persamaan" (equality) tidak kemudian menjurus pada "kebebasan" (liberation)

yang tidak bertanggung jawab.

* Diambil dari tulisan Bp. Herlianto/ Yabina

KAJIAN AWAL TENTANG TEORI-TEORI GENDER

Oleh: Marzuki (PKn dan Hukum FISE UNY)

Abstract

Gender is a characteristic used as the basis for identifying the differences between men and women in terms of social and cultural conditions, values and behavior, mentality, emotions, and other nonbiologis factors. To understand and resolve the issue of gender, we can study various theories of gender. Gender theories adopted many of the theories of sociology and psychology. Among of gender theories is the Structural-Functional Theory, Social-Conflict Theory, Theory of Liberal Feminism, Theory of Marxist-Socialist Feminism, Theory of Radical Feminism, Ekofeminisme Theory, and Theory of Psychoanalysis.

Kata Kunci: Gender, Feminisme, dan Teori-teori Gender.

Pendahuluan

Persoalan gender bukanlah persoalan baru dalam kajian-kajian sosial, hukum,

keagamaan, maupun yang lainnya. Namun demikian, kajian tentang gender masih

tetap aktual dan menarik, mengingat masih banyaknya masyarakat khususnya di

Indonesia yang belum memahami persoalan ini dan masih banyak terjadi berbagai

ketimpangan dalam penerapan gender sehingga memunculkan terjadinya

ketidakadilan gender.

(12)

berbagai kajian yang bisa mengantarkan pada pemahaman yang benar tetang gender.

Kajian-kajian yang sering digunakan untuk memahami persoalan gender adalah

kajian-kajian dalam ilmu-ilmu sosial, terutama sosiologi. Dari berbagai kajian sosial

inilah muncul berbagai teori sosial yang kemudian dijadikan sebagai teori-teori

gender atau sering juga disebut teori-teori feminisme. Sebenarnya masih banyak lagi

kajian yang bisa digunakan untuk mendekati persoalan gender di samping

2

kajian sosial, misalnya kajian antropologis dan kajian psikologis, kajian ekonomis,

meskipun tidak sedominan kajian-kajian sosial.

Tulisan singkat ini mencoba memaparkan beberapa teori gender yang dibangun

berdasarkan teori-teori yang berkembang dalam sosiologi dan psikologi. Tulisan ini

diharapkan memberi penjelasan awal tentang berbagai teori gender yang dapat

dijadikan sebagai dasar untuk melakukan analisis gender terhadap berbagai persoalan

yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Teori-teori ini juga diharapkan dapat

mendasari para pengkaji dan para pengambil kebijakan dalam persoalan gender

untuk memecahkan persoalan ketimpangan gender yang masih terus muncul di

tengah-tengah kehidupan kita di Indonesia. Sebelum dibahas teori-teori gender, ada

baiknya dibahas dulu pengertian gender.

Pengertian Gender

Gender sering diidentikkan dengan jenis kelamin ( sex ), padahal gender berbeda

dengan jenis kelamin. Gender sering juga dipahami sebagai pemberian dari Tuhan

atau kodrat Ilahi, padahal gender tidak semata-mata demikian. Secara etimologis kata

‘gender’ berasal dari bahasa Inggris yang berarti ‘jenis kelamin’ (John M. Echols dan

(13)

tampak antara laki-laki dan perempuan dalam hal nilai dan perilaku (Victoria

Neufeldt (ed.), 1984: 561).

Secara terminologis, ‘gender’ bisa didefinisikan sebagai harapan-harapan

budaya terhadap laki-laki dan perempuan (Hilary M. Lips, 1993: 4). Definisi lain

tentang gender dikemukakan oleh Elaine Showalter. Menurutnya, ‘gender’ adalah

pembedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari konstruksi sosial budaya (Elaine

Showalter (ed.), 1989: 3). Gender bisa juga dijadikan sebagai konsep analisis yang

3

dapat digunakan untuk menjelaskan sesuatu (Nasaruddin Umar, 1999: 34). Lebih

tegas lagi disebutkan dalam Women’s Studies Encyclopedia bahwa gender adalah

suatu konsep kultural yang dipakai untuk membedakan peran, perilaku, mentalitas,

dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam

masyarakat (Siti Musdah Mulia, 2004: 4).

Dari beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa gender adalah suatu sifat

yang dijadikan dasar untuk mengidentifikasi perbedaan antara laki-laki dan

perempuan dilihat dari segi kondisi sosial dan budaya, nilai dan perilaku, mentalitas,

dan emosi, serta faktor-faktor nonbiologis lainnya. Gender berbeda dengan sex ,

meskipun secara etimologis artinya sama sama dengan sex , yaitu jenis kelamin (John

M. Echols dan Hassan Shadily, 1983: 517). Secara umum sex digunakan untuk

mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologis,

sedang gender lebih banyak berkonsentrasi kepada aspek sosial, budaya, dan

aspek-aspek nonbiologis lainnya. Kalau studi sex lebih menekankan kepada perkembangan

aspek biologis dan komposisi kimia dalam tubuh seorang laki-laki dan seorang

(14)

maskulinitas dan femininitas seseorang.

Sejarah perbedaan gender antara seorang pria dengan seorang wanita terjadi

melalui proses yang sangat panjang dan dibentuk oleh beberapa sebab, seperti

kondisi sosial budaya, kondisi keagamaan, dan kondisi kenegaraan. Dengan proses

yang panjang ini, perbedaan gender akhirnya sering dianggap menjadi ketentuan

Tuhan yang bersifat kodrati atau seolah-olah bersifat biologis yang tidak dapat

diubah lagi. Inilah sebenarnya yang menyebabkan awal terjadinya ketidakadilan

gender di tengah-tengah masyarakat.

4

Gender memiliki kedudukan yang penting dalam kehidupan seseorang dan

dapat menentukan pengalaman hidup yang akan ditempuhnya. Gender dapat

menentukan akses seseorang terhadap pendidikan, dunia kerja, dan sektor-sektor

publik lainnya. Gender juga dapat menentukan kesehatan, harapan hidup, dan

kebebasan gerak seseorang. Jelasnya, gender akan menentukan seksualitas,

hubungan, dan kemampuan seseorang untuk membuat keputusan dan bertindak

secara otonom. Akhirnya, genderlah yang banyak menentukan seseroang akan

menjadi apa nantinya.

Teori-teori Gender

Secara khusus tidak ditemukan suatu teori yang membicarakan masalah gender.

Teori-teori yang digunakan untuk melihat permasalahan gender ini diadopsi dari

teori-teori yang dikembangkan oleh para ahli dalam bidang-bidang yang terkait

dengan permasalahan gender, terutama bidang sosial kemasyarakatan dan kejiwaan.

Karena itu teori-teori yang digunakan untuk mendekati masalah gender ini banyak

diambil dari teori-teori sosiologi dan psikologi. Cukup banyak teori yang

(15)

masalah gender, tetapi dalam kesempatan ini akan dikemukakan beberapa saja yang

dianggap penting dan cukup populer.

1. Teori Struktural-Fungsional

Teori atau pendekatan struktural-fungsional merupakan teori sosiologi yang

diterapkan dalam melihat institusi keluarga. Teori ini berangkat dari asumsi bahwa

suatu masyarakat terdiri atas beberapa bagian yang saling memengaruhi. Teori ini

mencari unsur-unsur mendasar yang berpengaruh di dalam suatu masyarakat,

mengidentifikasi fungsi setiap unsur, dan menerangkan bagaimana fungsi

5

unsur tersebut dalam masyarakat. Banyak sosiolog yang mengembangkan teori ini

dalam kehidupan keluarga pada abad ke-20, di antaranya adalah William F. Ogburn

dan Talcott Parsons (Ratna Megawangi, 1999: 56).

Teori struktural-fungsional mengakui adanya segala keragaman dalam

kehidupan sosial. Keragaman ini merupakan sumber utama dari adanya struktur

masyarakat dan menentukan keragaman fungsi sesuai dengan posisi seseorang dalam

struktur sebuah sistem. Sebagai contoh, dalam sebuah organisasi sosial pasti ada

anggota yang mampu menjadi pemimpin, ada yang menjadi sekretaris atau

bendahara, dan ada yang menjadi anggota biasa. Perbedaan fungsi ini bertujuan

untuk mencapai tujuan organisasi, bukan untuk kepentingan individu. Struktur dan

fungsi dalam sebuah organisasi ini tidak dapat dilepaskan dari pengaruh budaya,

norma, dan nilai-nilai yang melandasi sistem masyarakat (Ratna Megawangi, 1999:

56).

Terkait dengan peran gender, pengikut teori ini menunjuk masyarakat pra

(16)

pemburu ( hunter ) dan perempuan sebagai peramu ( gatherer ). Sebagai pemburu,

laki-laki lebih banyak berada di luar rumah dan bertanggung jawab untuk membawa

makanan kepada keluarga. Peran perempuan lebih terbatas di sekitar rumah dalam

urusan reproduksi, seperti mengandung, memelihara, dan menyusui anak. Pembagian

kerja seperti ini telah berfungsi dengan baik dan berhasil menciptakan kelangsungan

masyarakat yang stabil. Dalam masyarakat ini stratifikasi peran gender sangat

ditentukan oleh sex (jenis kelamin).

Menurut para penganutnya, teori struktural-fungsional tetap relevan diterapkan

dalam masyarakat modern. Talcott Parsons dan Bales menilai bahwa pembagian

6

peran secara seksual adalah suatu yang wajar (Nasaruddin Umar, 1999: 53). Dengan

pembagian kerja yang seimbang, hubungan suami-isteri bisa berjalan dengan baik.

Jika terjadi penyimpangan atau tumpang tindih antar fungsi, maka sistem keutuhan

keluarga akan mengalami ketidakseimbangan. Keseimbangan akan terwujud bila

tradisi peran gender senantiasa mengacu kepada posisi semula.

Teori struktural-fungsional ini mendapat kecaman dari kaum feminis, karena

dianggap membenarkan praktik yang selalu mengaitkan peran sosial dengan jenis

kelamin. Laki-laki diposisikan dalam urusan publik dan perempuan diposisikan

dalam urusan domistik, terutama dalam masalah reproduksi. Menurut Sylvia Walby

teori ini akan ditinggalkan secara total dalam masyarakat modern. Sedang Lindsey

menilai teori ini akan melanggengkan dominasi laki-laki dalam stratifikasi gender di

tengah-tengah masyarakat (Nasaruddin Umar, 1999: 53).

Meskipun teori ini banyak memeroleh kritikan dan kecaman, teori ini masih

(17)

tetap memertahankan prinsip-prinsip ekonomi industri yang menekankan aspek

produktivitas. Jika faktor produksi diutamakan, maka nilai manusia akan tampil tidak

lebih dari sekedar alat produksi. Nilai-nilai fundamental kemanusiaan cenderung

diabaikan. Karena itu, tidak heran dalam masyarakat kapitalis, “industri seks” dapat

diterima secara wajar. Yang juga memerkuat pemberlakuan teori ini adalah karena

masyarakat modern-kapitalis, menurut Michel Foucault dan Heidi Hartman

(Nasaruddin Umar, 1999: 60), cenderung mengakomodasi sistem pembagian kerja

berdasarkan perbedaan jenis kelamin. Akibatnya, posisi perempuan akan tetap lebih

rendah dan dalam posisi marginal, sedang posisi laki-laki lebih tinggi dan menduduki

posisi sentral.

7

2. Teori Sosial-Konflik

Menurut Lockwood, suasana konflik akan selalu mewarnai masyarakat,

terutama dalam hal distribusi sumber daya yang terbatas. Sifat pementingan diri,

menurutnya, akan menyebabkan diferensiasi kekuasaan yang ada menimbulkan

sekelompok orang menindas kelompok lainnya. Perbedaan kepentingan dan

pertentangan antar individu pada akhirnya dapat menimbulkan konflik dalam suatu

organisasi atau masyarakat (Ratna Megawangi, 1999: 76).

Dalam masalah gender, teori sosial-konflik terkadang diidentikkan dengan teori

Marx, karena begitu kuatnya pengaruh Marx di dalamnya. Marx yang kemudian

dilengkapi oleh F. Engels, mengemukakan suatu gagasan menarik bahwa perbedaan

dan ketimpangan gender antara laki-laki dan perempuan tidak disebabkan oleh

perbedaan biologis, tetapi merupakan bagian dari penindasan kelas yang berkuasa

dalam relasi produksi yang diterapkan dalam konsep keluarga. Hubungan

laki-laki-perempuan (suami-isteri) tidak ubahnya dengan hubungan ploretar dan borjuis,

(18)

peran gender dalam masyarakat bukan karena kodrat dari Tuhan, tetapi karena

konstruksi masyarakat. Teori ini selanjutnya dikembangkan oleh para pengikut Marx

seperti F. Engels, R. Dahrendorf, dan Randall Collins.

Asumsi yang dipakai dalam pengembangan teori sosial-konflik, atau teori

diterminisme ekonomi Marx, bertolak belakang dengan asumsi yang mendasari teori

struktural-fungsional, yaitu: 1) walaupun relasi sosial menggambarkan karakteristik

yang sistemik, pola relasi yang ada sebenarnya penuh dengan

kepentingan-kepentingan pribadi atau sekelompok orang. Hal ini membuktikan bahwa sistem

sosial secara sistematis menghasilkan konflik; 2) maka konflik adalah suatu yang

8

takterhindarkan dalam semua sistem sosial; 3) konflik akan terjadi dalam aspek

pendistribusian sumber daya yang terbatas, terutama kekuasaan; dan 4) konflik

adalah sumber utama terjadinya perubahan dalam masyarakat (Ratna Megawangi,

1999: 81).

Menurut Engels, perkembangan akumulasi harta benda pribadi dan kontrol

laki-laki terhadap produksi merupakan sebab paling mendasar terjadinya subordinasi

perempuan. Seolah-olah Engels mengatakan bahwa keunggulan laki-laki atas

perempuan adalah hasil keunggulan kaum kapitalis atas kaum pekerja. Penurunan

status perempuan mempunyai korelasi dengan perkembangan produksi perdagangan

(Nasaruddin Umar, 1999: 62).

Keluarga, menurut teori ini, bukan sebuah kesatuan yang normatif (harmonis

dan seimbang), melainkan lebih dilihat sebagai sebuah sistem yang penuh konflik

yang menganggap bahwa keragaman biologis dapat dipakai untuk melegitimasi relasi

(19)

konstruksi budaya, sosialisasi kapitalisme, atau patriarkat. Menurut para feminis

Marxis dan sosialis institusi yang paling eksis dalam melanggengkan peran gender

adalah keluarga dan agama, sehingga usaha untuk menciptakan perfect equality

(kesetaraan gender 50/50) adalah dengan menghilangkan peran biologis gender, yaitu

dengan usaha radikal untuk mengubah pola pikir dan struktur keluarga yang

menciptakannya (Ratna Megawangi, 1999: 91.

Teori sosial-konflik ini juga mendapat kritik dari sejumlah pakar, terutama

karena teori ini terlalu menekankan faktor ekonomi sebagai basis ketidakadilan yang

selanjutnya melahirkan konflik. Dahrendorf dan R. Collins, yang tidak sepenuhnya

setuju dengan Marx dan Engels, menganggap konflik tidak hanya terjadi karena

9

perjuangan kelas dan ketegangan antara pemilik dan pekerja, tetapi juga disebabkan

oleh beberapa faktor lain, termasuk ketegangan antara orang tua dan anak, suami dan

isteri, senior dan yunior, laki-laki dan perempuan, dan lain sebagainya (Nasaruddin

Umar, 1999: 64). Meskipun demikian, teori ini banyak diikuti oleh para feminis

modern yang kemudian banyak memunculkan teori-teori baru mengenai feminisme,

seperti feminisme liberal, feminisme Marxis-sosialis, dan feminisme radikal.

3. Teori Feminisme Liberal

Teori ini berasumsi bahwa pada dasarnya tidak ada perbedaan antara laki-laki

dan perempuan. Karena itu perempuan harus mempunyai hak yang sama dengan

laki-laki. Meskipun demikian, kelompok feminis liberal menolak persamaan secara

menyeluruh antara laki-laki dan perempuan. Dalam beberapa hal masih tetap ada

(20)

organ reproduksi bagi perempuan membawa konsekuensi logis dalam kehidupan

bermasyarakat (Ratna Megawangi, 1999: 228).

Teori kelompok ini termasuk paling moderat di antara teori-teori feminisme.

Pengikut teori ini menghendaki agar perempuan diintegrasikan secara total dalam

semua peran, termasuk bekerja di luar rumah. Dengan demikian, tidak ada lagi suatu

kelompok jenis kelamin yang lebih dominan. Organ reproduksi bukan merupakan

penghalang bagi perempuan untuk memasuki peran-peran di sektor publik.

4. Teori Feminisme Marxis-Sosialis

Feminisme ini bertujuan mengadakan restrukturisasi masyarakat agar tercapai

kesetaraan gender. Ketimpangan gender disebabkan oleh sistem kapitalisme yang

menimbulkan kelas-kelas dan division of labour , termasuk di dalam keluarga.

10

Gerakan kelompok ini mengadopsi teori praxis Marxisme, yaitu teori penyadaran

pada kelompok tertindas, agar kaum perempuan sadar bahwa mereka merupakan

‘kelas’ yang tidak diuntungkan. Proses penyadaran ini adalah usaha untuk

membangkitkan rasa emosi para perempuan agar bangkit untuk merubah keadaan

(Ratna Megawangi, 1999: 225). Berbeda dengan teori sosial-konflik, teori ini tidak

terlalu menekankan pada faktor akumulasi modal atau pemilikan harta pribadi

sebagai kerangka dasar ideologi. Teori ini lebih menyoroti faktor seksualitas dan

gender dalam kerangka dasar ideologinya.

Teori ini juga tidak luput dari kritikan, karena terlalu melupakan pekerjaan

domistik. Marx dan Engels sama sekali tidak melihat nilai ekonomi pekerjaan

domistik. Pekerjaan domistik hanya dianggap pekerjaan marjinal dan tidak produktif.

Padahal semua pekerjaan publik yang mempunyai nilai ekonomi sangat bergantung

pada produk-produk yang dihasilkan dari pekerjaan rumah tangga, misalnya

(21)

memengaruhi pekerjaan publik tidak produktif. Kontribusi ekonomi yang dihasilkan

kaum perempuan melalui pekerjaan domistiknya telah banyak diperhitungkan oleh

kaum feminis sendiri. Kalau dinilai dengan uang, perempuan sebenarnya dapat

memiliki penghasilan yang lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki dari sektor

domistik yang dikerjakannya (Ratna Megawangi, 1999: 143).

5. Teori Feminisme Radikal

Teori ini berkembang pesat di Amerika Serikat pada kurun waktu 1960-an dan

1970-an. Meskipun teori ini hampir sama dengan teori feminisme Marxis-sosialis,

teori ini lebih memfokuskan serangannya pada keberadaan institusi keluarga dan

sistem patriarki. Keluarga dianggapnya sebagai institusi yang melegitimasi dominasi

11

laki-laki (patriarki), sehingga perempuan tertindas. Feminisme ini cenderung

membenci laki-laki sebagai individu dan mengajak perempuan untuk mandiri,

bahkan tanpa perlu keberadaan laki-laki dalam kehidupan perempuan. Elsa Gidlow

mengemukakan teori bahwa menjadi lesbian adalah telah terbebas dari dominasi

laki-laki, baik internal maupun eksternal. Martha Shelley selanjutnya memperkuat

bahwa perempuan lesbian perlu dijadikan model sebagai perempuan mandiri (Ratna

Megawangi, 1999: 226).

Karena keradikalannya, teori ini mendapat kritikan yang tajam, bukan saja dari

kalangan sosiolog, tetapi juga dari kalangan feminis sendiri. Tokoh feminis liberal

tidak setuju sepenuhnya dengan teori ini. Persamaan total antara laki-laki dan

perempuan pada akhirnya akan merugikan perempuan sendiri. Laki-laki yang tidak

terbebani oleh masalah reproduksi akan sulit diimbangi oleh perempuan yang tidak

bisa lepas dari beban ini.

6. Teori Ekofeminisme

(22)

ekologi dunia yang semakin bobrok. Teori ini mempunyai konsep yang bertolak

belakang dengan tiga teori feminisme modern seperti di atas. Teori-teori feminisme

modern berasumsi bahwa individu adalah makhluk otonom yang lepas dari pengaruh

lingkungannya dan berhak menentukan jalan hidupnya sendiri. Sedang teori

ekofeminisme melihat individu secara lebih komprehensif, yaitu sebagai makhluk

yang terikat dan berinteraksi dengan lingkungannya (Ratna Megawangi, 1999: 189).

Menurut teori ini, apa yang terjadi setelah para perempuan masuk ke dunia

maskulin yang tadinya didominasi oleh laki-laki adalah tidak lagi menonjolkan

kualitas femininnya, tetapi justeru menjadi male clone (tiruan laki-laki) dan masuk

12

dalam perangkap sistem maskulin yang hierarkhis. Masuknya perempuan ke dunia

maskulin (dunia publik umumnya) telah menyebabkan peradaban modern semakin

dominan diwarnai oleh kualitas maskulin. Akibatnya, yang terlihat adalah kompetisi,

self-centered , dominasi, dan eksploitasi. Contoh nyata dari cerminan memudarnya

kualitas feminin (cinta, pengasuhan, dan pemeliharaan) dalam masyarakat adalah

semakin rusaknya alam, meningkatnya kriminalitas, menurunnya solidaritas sosial,

dan semakin banyaknya perempuan yang menelantarkan anak-anaknya (Ratna

Megawangi, 1999: 183).

7. Teori Psikoanalisa

Teori ini pertama kali diperkenalkan oleh Sigmund Freud (1856-1939). Teori

ini mengungkapkan bahwa perilaku dan kepribadian laki-laki dan perempuan sejak

awal ditentukan oleh perkembangan seksualitas. Freud menjelaskan kepribadian

seseorang tersusun di atas tiga struktur, yaitu id, ego, dan superego. Tingkah laku

seseorang menurut Freud ditentukan oleh interaksi ketiga struktur itu. Id sebagai

pembawaan sifat-sifat fisik biologis sejak lahir. Id bagaikan sumber energi yang

(23)

rasional dan berupaya menjinakkan keinginan agresif dari id . Ego berusaha mengatur

hubungan antara keinginan subjektif individual dan tuntutan objektif realitas sosial.

Superego berfungsi sebagai aspek moral dalam kepribadian dan selalu mengingatkan

ego agar senantiasa menjalankan fungsinya mengontrol id (Nasaruddin Umar, 1999:

46).

Menurut Freud kondisi biologis seseorang adalah masalah takdir yang tidak

dapat dirubah. Pada tahap phallic stage , yaitu tahap seorang anak memeroleh

kesenangan pada saat mulai mengidentifikasi alat kelaminnya, seorang anak

13

memeroleh kesenangan erotis dari penis bagi anak laki-laki dan clitoris bagi anak

perempuan. Pada tahap ini (usia 3-6 tahun) perkembangan kepribadian anak laki-laki

dan perempuan mulai berbeda. Perbedaan ini melahirkan pembedaan formasi sosial

berdasarkan identitas gender, yakni bersifat laki-laki dan perempuan (Nasaruddin

Umar, 1999: 41).

Pada tahap phallic seorang anak laki-laki berada dalam puncak kecintaan

terhadap ibunya dan sudah mulai mempunyai hasrat seksual. Ia semula melihat

ayahnya sebagai saingan dalam memeroleh kasih sayang ibu. Tetapi karena takut

ancaman dari ayahnya, seperti dikebiri, ia tidak lagi melawan ayahnya dan

menjadikannya sebagai idola (model). Sebaliknya, ketika anak perempuan melihat

dirinya tidak memiliki penis seperti anak laki-laki, tidak dapat menolak kenyataan

dan merasa sudah “terkebiri”. Ia menjadikan ayahnya sebagai objek cinta dan

menjadikan ibunya sebagai objek irihati.

Pendapat Freud ini mendapat protes keras dari kaum feminis, terutama karena

(24)

psikoanalisa Freud sudah banyak yang didramatisasi kalangan feminis. Freud sendiri

menganggap kalau pendapatnya masih tentatif dan masih terbuka untuk dikritik.

Freud tidak sama sekali menyudutkan kaum perempuan. Teorinya lebih banyak

didasarkan pada hasil penelitiannya secara ilmiah. Untuk itu teori Freud ini justeru

dapat dijadikan pijakan dalam mengembangkan gerakan feminisme dalam rangka

mencapai keadilan gender. Karena itu, penyempurnaan terhadap teori ini sangat

diperlukan agar dapat ditarik kesimpulan yang benar.

Itulah beberapa teori-teori gender yang dapat digunakan untuk memahami

berbagai persoalan gender dalam kehidupan kita. Tentu saja masih banyak lagi

14

teori atau pendekatan-pendekatan lain yang bisa digunakan untuk memahami

persoalan gender, misalnya pendekatan fenomenologis, pendekatan agama,

teori-teori ekonomi, dan teori-teori-teori-teori sosial lainnya.

Kesimpulan

Dari kajian singkat tentang teori-teori gender di atas dapat dikemukakan

beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Secara etimologis makna gender identik dengan makna sex yang berarti jenis

kelamin. Sedang secara terminologis gender dan sex memiliki makna yang sangat

berbeda, meskipun masih memiliki keterkaitan yang tidak bisa dipisahkan.

2. Tidak ada satu pun teori yang khusus digunakan untuk mengkaji permasalahan

gender. Teori-teori yang dikembangkan untuk gender ini diadopsi dari teori-teori

yang dikembangkan oleh para ahli dalam bidang-bidang yang terkait dengan

permasalahan gender, terutama teori-teori sosiologi dan teori psikologi.

Teori-teori dimaksud adalah Teori Struktural-Fungsional, Teori Sosial-Konflik, Teori

Feminisme Liberal, Teori Feminisme Marxis-Sosialis, Teori Feminisme Radikal,

(25)

Daftar Pustaka

Echols, John M. dan Hassan Shadily (1983). Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: Gramedia. Cet. XII.

Lips, Hilary M. (1993). Sex and Gender: An Introduction. London: Myfield Publishing Company.

Megawangi, Ratna (1999). Membiarkan Berbeda: Sudut Pandang Baru tentang Relasi Gender. Bandung: Mizan. Cet. I.

Mulia, Siti Musdah (2004). Islam Menggugat Poligami. Jakarta: Gradedia Pustaka Utama. Cet. I.

15

Teori Feminisme dalam Penelitian Sastra

REP | 27 April 2013 | 07:45 Dibaca: 4738 Komentar: 6 0
(26)

Teori feminis sebagai alat kaum wanita untuk memperjuangkan hak-haknya, erat berkaitan dengan konflik kelas ras, khususnya konflik gender. Dalam teori sastra kontemporer, feminis merupakan gerakan perempuan yang terjadi hampir di seluruh dunia. Gerakan ini dipicu oleh adanya kesadaran bahwa hak-hak kaum perempuan sama dengan kaum laki-laki. Keberagaman dan perbedaan objek dengan teori dan metodenya merupakan ciri khas studi feminis. Dalam kaitannya dengan sastra, bidang studi yang relevan, diantaranya: tradisi literer perempuan, pengarang perempuan, pembaca perempuan, ciri-ciri khas bahasa perempuan, tokoh-tokoh perempuan, dan sebagainya.

Dalam kaitannya dengan kajian budaya, permasalahan perempuan lebih banyak berkaitan dengan kesetaraan gender. Feminis, khususnya masalah-masalah mengenai wanita pada umumnya dikaitkan dengan emansipasi, gerakan kaum perempuan untuk menuntut persamaan hak dengan kaum laki-laki, baik dalam bidang politik dan ekonomi, maupun gerakan sosial budaya pada umumnya. Dalam sastra emansipasi sudah dipermasalahkan sejak tahun 1920-an, ditandai dengan hadirnya novel-novel Balai Pustaka, dengan mengemukakan masalah-masalah kawin paksa, yang kemudian dilanjutkan pada periode 1930-an yang diawali dengan

Layar Terkembang karangan Sutan Takdir Aliajahbana.

(27)

Menurut Salden(1986: 130-131), ada lima masalah yang biasa muncul dalam kaitannya dengan teori feminis, yaitu a) masalah biologis, b) pengalaman, c) wacana, d) ketaksadaran, dan e) masalah sosioekonomi. Perdebatan terpentinag dalam teori feminis timbul sebagai akibat masalah wacana sebab perempuan sesungguhnya termarginalisasikan melalui wacana yang dikuasaioleh laki-laki. Pada dasarnya teori feminis dibawa ke Indonesia oleh A. Teeuw. Kenyataan ini pun sekaligus membuktikan bahwa teori-teori Barat dapat dimanfaatkan untuk menganalisis sastra Indonesia, dengan catatan bahwa teori adalah alat, bukan tujuan.

Pemikiran feminis tentang kesetaraan gender sudah banyak diterima dan didukung baik oleh

kalangan perempuan sendiri maupun oleh kalangan laki-laki. Dukungan ini terlihat melalui

penerimaan masyarakat terhadap kaum perempuan di bidang-bidang yang tadinya hanya

didominasi oleh kaum laki-laki, melalui tulisan dan media.

Daftar Pustaka:

Kutha Ratna, Nyoman. 2004.

Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.

Denpasar: Pustaka

Pelajar

Sardjon, Asmowati, dkk. 2008. Estetika Sastra, Seni, dan Budaya. Fakultas Bahasa & Seni Universitas Negeri Jakarta

KAJIAN AWAL TENTANG TEORI-TEORI GENDER

Oleh: Marzuki (PKn dan Hukum FISE UNY)

Abstract

(28)

Theory of Marxist-Socialist Feminism, Theory of Radical Feminism, Ekofeminisme Theory, and Theory of Psychoanalysis.

Kata Kunci: Gender, Feminisme, dan Teori-teori Gender.

Pendahuluan

Persoalan gender bukanlah persoalan baru dalam kajian-kajian sosial, hukum,

keagamaan, maupun yang lainnya. Namun demikian, kajian tentang gender masih

tetap aktual dan menarik, mengingat masih banyaknya masyarakat khususnya di

Indonesia yang belum memahami persoalan ini dan masih banyak terjadi berbagai

ketimpangan dalam penerapan gender sehingga memunculkan terjadinya

ketidakadilan gender.

Memahami persoalan gender bukanlah hal yang mudah, tetapi diperlukan

berbagai kajian yang bisa mengantarkan pada pemahaman yang benar tetang gender.

Kajian-kajian yang sering digunakan untuk memahami persoalan gender adalah

kajian-kajian dalam ilmu-ilmu sosial, terutama sosiologi. Dari berbagai kajian sosial

inilah muncul berbagai teori sosial yang kemudian dijadikan sebagai teori-teori

gender atau sering juga disebut teori-teori feminisme. Sebenarnya masih banyak lagi

kajian yang bisa digunakan untuk mendekati persoalan gender di samping

2

kajian sosial, misalnya kajian antropologis dan kajian psikologis, kajian ekonomis,

meskipun tidak sedominan kajian-kajian sosial.

Tulisan singkat ini mencoba memaparkan beberapa teori gender yang dibangun

berdasarkan teori-teori yang berkembang dalam sosiologi dan psikologi. Tulisan ini

diharapkan memberi penjelasan awal tentang berbagai teori gender yang dapat

dijadikan sebagai dasar untuk melakukan analisis gender terhadap berbagai persoalan

(29)

mendasari para pengkaji dan para pengambil kebijakan dalam persoalan gender

untuk memecahkan persoalan ketimpangan gender yang masih terus muncul di

tengah-tengah kehidupan kita di Indonesia. Sebelum dibahas teori-teori gender, ada

baiknya dibahas dulu pengertian gender.

Pengertian Gender

Gender sering diidentikkan dengan jenis kelamin ( sex ), padahal gender berbeda

dengan jenis kelamin. Gender sering juga dipahami sebagai pemberian dari Tuhan

atau kodrat Ilahi, padahal gender tidak semata-mata demikian. Secara etimologis kata

‘gender’ berasal dari bahasa Inggris yang berarti ‘jenis kelamin’ (John M. Echols dan

Hassan Shadily, 1983: 265). Kata ‘gender’ bisa diartikan sebagai ‘perbedaan yang

tampak antara laki-laki dan perempuan dalam hal nilai dan perilaku (Victoria

Neufeldt (ed.), 1984: 561).

Secara terminologis, ‘gender’ bisa didefinisikan sebagai harapan-harapan

budaya terhadap laki-laki dan perempuan (Hilary M. Lips, 1993: 4). Definisi lain

tentang gender dikemukakan oleh Elaine Showalter. Menurutnya, ‘gender’ adalah

pembedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari konstruksi sosial budaya (Elaine

Showalter (ed.), 1989: 3). Gender bisa juga dijadikan sebagai konsep analisis yang

3

dapat digunakan untuk menjelaskan sesuatu (Nasaruddin Umar, 1999: 34). Lebih

tegas lagi disebutkan dalam Women’s Studies Encyclopedia bahwa gender adalah

suatu konsep kultural yang dipakai untuk membedakan peran, perilaku, mentalitas,

dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam

masyarakat (Siti Musdah Mulia, 2004: 4).

Dari beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa gender adalah suatu sifat

(30)

perempuan dilihat dari segi kondisi sosial dan budaya, nilai dan perilaku, mentalitas,

dan emosi, serta faktor-faktor nonbiologis lainnya. Gender berbeda dengan sex ,

meskipun secara etimologis artinya sama sama dengan sex , yaitu jenis kelamin (John

M. Echols dan Hassan Shadily, 1983: 517). Secara umum sex digunakan untuk

mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologis,

sedang gender lebih banyak berkonsentrasi kepada aspek sosial, budaya, dan

aspek-aspek nonbiologis lainnya. Kalau studi sex lebih menekankan kepada perkembangan

aspek biologis dan komposisi kimia dalam tubuh seorang laki-laki dan seorang

perempuan, maka studi gender lebih menekankan kepada perkembangan aspek

maskulinitas dan femininitas seseorang.

Sejarah perbedaan gender antara seorang pria dengan seorang wanita terjadi

melalui proses yang sangat panjang dan dibentuk oleh beberapa sebab, seperti

kondisi sosial budaya, kondisi keagamaan, dan kondisi kenegaraan. Dengan proses

yang panjang ini, perbedaan gender akhirnya sering dianggap menjadi ketentuan

Tuhan yang bersifat kodrati atau seolah-olah bersifat biologis yang tidak dapat

diubah lagi. Inilah sebenarnya yang menyebabkan awal terjadinya ketidakadilan

gender di tengah-tengah masyarakat.

4

Gender memiliki kedudukan yang penting dalam kehidupan seseorang dan

dapat menentukan pengalaman hidup yang akan ditempuhnya. Gender dapat

menentukan akses seseorang terhadap pendidikan, dunia kerja, dan sektor-sektor

publik lainnya. Gender juga dapat menentukan kesehatan, harapan hidup, dan

kebebasan gerak seseorang. Jelasnya, gender akan menentukan seksualitas,

(31)

secara otonom. Akhirnya, genderlah yang banyak menentukan seseroang akan

menjadi apa nantinya.

Teori-teori Gender

Secara khusus tidak ditemukan suatu teori yang membicarakan masalah gender.

Teori-teori yang digunakan untuk melihat permasalahan gender ini diadopsi dari

teori-teori yang dikembangkan oleh para ahli dalam bidang-bidang yang terkait

dengan permasalahan gender, terutama bidang sosial kemasyarakatan dan kejiwaan.

Karena itu teori-teori yang digunakan untuk mendekati masalah gender ini banyak

diambil dari teori-teori sosiologi dan psikologi. Cukup banyak teori yang

dikembangkan oleh para ahli, terutama kaum feminis, untuk memperbincangkan

masalah gender, tetapi dalam kesempatan ini akan dikemukakan beberapa saja yang

dianggap penting dan cukup populer.

1. Teori Struktural-Fungsional

Teori atau pendekatan struktural-fungsional merupakan teori sosiologi yang

diterapkan dalam melihat institusi keluarga. Teori ini berangkat dari asumsi bahwa

suatu masyarakat terdiri atas beberapa bagian yang saling memengaruhi. Teori ini

mencari unsur-unsur mendasar yang berpengaruh di dalam suatu masyarakat,

mengidentifikasi fungsi setiap unsur, dan menerangkan bagaimana fungsi

5

unsur tersebut dalam masyarakat. Banyak sosiolog yang mengembangkan teori ini

dalam kehidupan keluarga pada abad ke-20, di antaranya adalah William F. Ogburn

dan Talcott Parsons (Ratna Megawangi, 1999: 56).

Teori struktural-fungsional mengakui adanya segala keragaman dalam

(32)

masyarakat dan menentukan keragaman fungsi sesuai dengan posisi seseorang dalam

struktur sebuah sistem. Sebagai contoh, dalam sebuah organisasi sosial pasti ada

anggota yang mampu menjadi pemimpin, ada yang menjadi sekretaris atau

bendahara, dan ada yang menjadi anggota biasa. Perbedaan fungsi ini bertujuan

untuk mencapai tujuan organisasi, bukan untuk kepentingan individu. Struktur dan

fungsi dalam sebuah organisasi ini tidak dapat dilepaskan dari pengaruh budaya,

norma, dan nilai-nilai yang melandasi sistem masyarakat (Ratna Megawangi, 1999:

56).

Terkait dengan peran gender, pengikut teori ini menunjuk masyarakat pra

industri yang terintegrasi di dalam suatu sistem sosial. Laki-laki berperan sebagai

pemburu ( hunter ) dan perempuan sebagai peramu ( gatherer ). Sebagai pemburu,

laki-laki lebih banyak berada di luar rumah dan bertanggung jawab untuk membawa

makanan kepada keluarga. Peran perempuan lebih terbatas di sekitar rumah dalam

urusan reproduksi, seperti mengandung, memelihara, dan menyusui anak. Pembagian

kerja seperti ini telah berfungsi dengan baik dan berhasil menciptakan kelangsungan

masyarakat yang stabil. Dalam masyarakat ini stratifikasi peran gender sangat

ditentukan oleh sex (jenis kelamin).

Menurut para penganutnya, teori struktural-fungsional tetap relevan diterapkan

dalam masyarakat modern. Talcott Parsons dan Bales menilai bahwa pembagian

6

peran secara seksual adalah suatu yang wajar (Nasaruddin Umar, 1999: 53). Dengan

pembagian kerja yang seimbang, hubungan suami-isteri bisa berjalan dengan baik.

(33)

keluarga akan mengalami ketidakseimbangan. Keseimbangan akan terwujud bila

tradisi peran gender senantiasa mengacu kepada posisi semula.

Teori struktural-fungsional ini mendapat kecaman dari kaum feminis, karena

dianggap membenarkan praktik yang selalu mengaitkan peran sosial dengan jenis

kelamin. Laki-laki diposisikan dalam urusan publik dan perempuan diposisikan

dalam urusan domistik, terutama dalam masalah reproduksi. Menurut Sylvia Walby

teori ini akan ditinggalkan secara total dalam masyarakat modern. Sedang Lindsey

menilai teori ini akan melanggengkan dominasi laki-laki dalam stratifikasi gender di

tengah-tengah masyarakat (Nasaruddin Umar, 1999: 53).

Meskipun teori ini banyak memeroleh kritikan dan kecaman, teori ini masih

tetap bertahan terutama karena didukung oleh masyarakat industri yang cenderung

tetap memertahankan prinsip-prinsip ekonomi industri yang menekankan aspek

produktivitas. Jika faktor produksi diutamakan, maka nilai manusia akan tampil tidak

lebih dari sekedar alat produksi. Nilai-nilai fundamental kemanusiaan cenderung

diabaikan. Karena itu, tidak heran dalam masyarakat kapitalis, “industri seks” dapat

diterima secara wajar. Yang juga memerkuat pemberlakuan teori ini adalah karena

masyarakat modern-kapitalis, menurut Michel Foucault dan Heidi Hartman

(Nasaruddin Umar, 1999: 60), cenderung mengakomodasi sistem pembagian kerja

berdasarkan perbedaan jenis kelamin. Akibatnya, posisi perempuan akan tetap lebih

rendah dan dalam posisi marginal, sedang posisi laki-laki lebih tinggi dan menduduki

posisi sentral.

7

2. Teori Sosial-Konflik

Menurut Lockwood, suasana konflik akan selalu mewarnai masyarakat,

terutama dalam hal distribusi sumber daya yang terbatas. Sifat pementingan diri,

(34)

sekelompok orang menindas kelompok lainnya. Perbedaan kepentingan dan

pertentangan antar individu pada akhirnya dapat menimbulkan konflik dalam suatu

organisasi atau masyarakat (Ratna Megawangi, 1999: 76).

Dalam masalah gender, teori sosial-konflik terkadang diidentikkan dengan teori

Marx, karena begitu kuatnya pengaruh Marx di dalamnya. Marx yang kemudian

dilengkapi oleh F. Engels, mengemukakan suatu gagasan menarik bahwa perbedaan

dan ketimpangan gender antara laki-laki dan perempuan tidak disebabkan oleh

perbedaan biologis, tetapi merupakan bagian dari penindasan kelas yang berkuasa

dalam relasi produksi yang diterapkan dalam konsep keluarga. Hubungan

laki-laki-perempuan (suami-isteri) tidak ubahnya dengan hubungan ploretar dan borjuis,

hamba dan tuan, atau pemeras dan yang diperas. Dengan kata lain, ketimpangan

peran gender dalam masyarakat bukan karena kodrat dari Tuhan, tetapi karena

konstruksi masyarakat. Teori ini selanjutnya dikembangkan oleh para pengikut Marx

seperti F. Engels, R. Dahrendorf, dan Randall Collins.

Asumsi yang dipakai dalam pengembangan teori sosial-konflik, atau teori

diterminisme ekonomi Marx, bertolak belakang dengan asumsi yang mendasari teori

struktural-fungsional, yaitu: 1) walaupun relasi sosial menggambarkan karakteristik

yang sistemik, pola relasi yang ada sebenarnya penuh dengan

kepentingan-kepentingan pribadi atau sekelompok orang. Hal ini membuktikan bahwa sistem

sosial secara sistematis menghasilkan konflik; 2) maka konflik adalah suatu yang

8

takterhindarkan dalam semua sistem sosial; 3) konflik akan terjadi dalam aspek

pendistribusian sumber daya yang terbatas, terutama kekuasaan; dan 4) konflik

adalah sumber utama terjadinya perubahan dalam masyarakat (Ratna Megawangi,

1999: 81).

(35)

laki-laki terhadap produksi merupakan sebab paling mendasar terjadinya subordinasi

perempuan. Seolah-olah Engels mengatakan bahwa keunggulan laki-laki atas

perempuan adalah hasil keunggulan kaum kapitalis atas kaum pekerja. Penurunan

status perempuan mempunyai korelasi dengan perkembangan produksi perdagangan

(Nasaruddin Umar, 1999: 62).

Keluarga, menurut teori ini, bukan sebuah kesatuan yang normatif (harmonis

dan seimbang), melainkan lebih dilihat sebagai sebuah sistem yang penuh konflik

yang menganggap bahwa keragaman biologis dapat dipakai untuk melegitimasi relasi

sosial yang operatif. Keragaman biologis yang menciptakan peran gender dianggap

konstruksi budaya, sosialisasi kapitalisme, atau patriarkat. Menurut para feminis

Marxis dan sosialis institusi yang paling eksis dalam melanggengkan peran gender

adalah keluarga dan agama, sehingga usaha untuk menciptakan perfect equality

(kesetaraan gender 50/50) adalah dengan menghilangkan peran biologis gender, yaitu

dengan usaha radikal untuk mengubah pola pikir dan struktur keluarga yang

menciptakannya (Ratna Megawangi, 1999: 91.

Teori sosial-konflik ini juga mendapat kritik dari sejumlah pakar, terutama

karena teori ini terlalu menekankan faktor ekonomi sebagai basis ketidakadilan yang

selanjutnya melahirkan konflik. Dahrendorf dan R. Collins, yang tidak sepenuhnya

setuju dengan Marx dan Engels, menganggap konflik tidak hanya terjadi karena

9

perjuangan kelas dan ketegangan antara pemilik dan pekerja, tetapi juga disebabkan

(36)

isteri, senior dan yunior, laki-laki dan perempuan, dan lain sebagainya (Nasaruddin

Umar, 1999: 64). Meskipun demikian, teori ini banyak diikuti oleh para feminis

modern yang kemudian banyak memunculkan teori-teori baru mengenai feminisme,

seperti feminisme liberal, feminisme Marxis-sosialis, dan feminisme radikal.

3. Teori Feminisme Liberal

Teori ini berasumsi bahwa pada dasarnya tidak ada perbedaan antara laki-laki

dan perempuan. Karena itu perempuan harus mempunyai hak yang sama dengan

laki-laki. Meskipun demikian, kelompok feminis liberal menolak persamaan secara

menyeluruh antara laki-laki dan perempuan. Dalam beberapa hal masih tetap ada

pembedaan ( distinction ) antara laki-laki dan perempuan. Bagaimanapun juga, fungsi

organ reproduksi bagi perempuan membawa konsekuensi logis dalam kehidupan

bermasyarakat (Ratna Megawangi, 1999: 228).

Teori kelompok ini termasuk paling moderat di antara teori-teori feminisme.

Pengikut teori ini menghendaki agar perempuan diintegrasikan secara total dalam

semua peran, termasuk bekerja di luar rumah. Dengan demikian, tidak ada lagi suatu

kelompok jenis kelamin yang lebih dominan. Organ reproduksi bukan merupakan

penghalang bagi perempuan untuk memasuki peran-peran di sektor publik.

4. Teori Feminisme Marxis-Sosialis

Feminisme ini bertujuan mengadakan restrukturisasi masyarakat agar tercapai

kesetaraan gender. Ketimpangan gender disebabkan oleh sistem kapitalisme yang

menimbulkan kelas-kelas dan division of labour , termasuk di dalam keluarga.

10

Gerakan kelompok ini mengadopsi teori praxis Marxisme, yaitu teori penyadaran

pada kelompok tertindas, agar kaum perempuan sadar bahwa mereka merupakan

(37)

membangkitkan rasa emosi para perempuan agar bangkit untuk merubah keadaan

(Ratna Megawangi, 1999: 225). Berbeda dengan teori sosial-konflik, teori ini tidak

terlalu menekankan pada faktor akumulasi modal atau pemilikan harta pribadi

sebagai kerangka dasar ideologi. Teori ini lebih menyoroti faktor seksualitas dan

gender dalam kerangka dasar ideologinya.

Teori ini juga tidak luput dari kritikan, karena terlalu melupakan pekerjaan

domistik. Marx dan Engels sama sekali tidak melihat nilai ekonomi pekerjaan

domistik. Pekerjaan domistik hanya dianggap pekerjaan marjinal dan tidak produktif.

Padahal semua pekerjaan publik yang mempunyai nilai ekonomi sangat bergantung

pada produk-produk yang dihasilkan dari pekerjaan rumah tangga, misalnya

makanan yang siap dimakan, rumah yang layak ditempati, dan lain-lain yang

memengaruhi pekerjaan publik tidak produktif. Kontribusi ekonomi yang dihasilkan

kaum perempuan melalui pekerjaan domistiknya telah banyak diperhitungkan oleh

kaum feminis sendiri. Kalau dinilai dengan uang, perempuan sebenarnya dapat

memiliki penghasilan yang lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki dari sektor

domistik yang dikerjakannya (Ratna Megawangi, 1999: 143).

5. Teori Feminisme Radikal

Teori ini berkembang pesat di Amerika Serikat pada kurun waktu 1960-an dan

1970-an. Meskipun teori ini hampir sama dengan teori feminisme Marxis-sosialis,

teori ini lebih memfokuskan serangannya pada keberadaan institusi keluarga dan

sistem patriarki. Keluarga dianggapnya sebagai institusi yang melegitimasi dominasi

11

laki-laki (patriarki), sehingga perempuan tertindas. Feminisme ini cenderung

membenci laki-laki sebagai individu dan mengajak perempuan untuk mandiri,

bahkan tanpa perlu keberadaan laki-laki dalam kehidupan perempuan. Elsa Gidlow

(38)

laki-laki, baik internal maupun eksternal. Martha Shelley selanjutnya memperkuat

bahwa perempuan lesbian perlu dijadikan model sebagai perempuan mandiri (Ratna

Megawangi, 1999: 226).

Karena keradikalannya, teori ini mendapat kritikan yang tajam, bukan saja dari

kalangan sosiolog, tetapi juga dari kalangan feminis sendiri. Tokoh feminis liberal

tidak setuju sepenuhnya dengan teori ini. Persamaan total antara laki-laki dan

perempuan pada akhirnya akan merugikan perempuan sendiri. Laki-laki yang tidak

terbebani oleh masalah reproduksi akan sulit diimbangi oleh perempuan yang tidak

bisa lepas dari beban ini.

6. Teori Ekofeminisme

Teori ekofeminisme muncul karena ketidakpuasan akan arah perkembangan

ekologi dunia yang semakin bobrok. Teori ini mempunyai konsep yang bertolak

belakang dengan tiga teori feminisme modern seperti di atas. Teori-teori feminisme

modern berasumsi bahwa individu adalah makhluk otonom yang lepas dari pengaruh

lingkungannya dan berhak menentukan jalan hidupnya sendiri. Sedang teori

ekofeminisme melihat individu secara lebih komprehensif, yaitu sebagai makhluk

yang terikat dan berinteraksi dengan lingkungannya (Ratna Megawangi, 1999: 189).

Menurut teori ini, apa

Referensi

Dokumen terkait

Jenis kritik yang dipilih oleh mahasiswa dibagi dalam tiga kategori, yaitu: (1) jenis kritik pada carpon µFHUSHQ¶ \DQJ GLEXDW ROHK PDKDVLVZD secara individual berdasarkan

Jadual 11 menunjukkan semua item bagi aspek pelaporan mempunyai skor median 4 iaitu majoriti pakar Sangat Setuju dengan kesan-kesan yang dijangkakan itu. Julat antara kuartilnya

Research only positions (which may involve some teaching) have grown by approximately 30% over the past 8 years. The appointment of research associates or research fellows

Pengelompokan ini dilakukan berdasarkan pada variabel-variabel yang menjadi alasan konsumen dalam memilih provider layanan telekomunikasi selular di Bandung,

<<Nama Pembimbing Universitas>> << Tanggal Persetujuan>>.. Berkas ini harus diisi oleh pembimbing perusahaan. Setelah dinilai, pembimbing harus

Standar penilaian antara aktiva lancar dengan utang lancar yaitu 100% atau 1:1, sedangkan hasil quick ratio tahun 2019 sebesar 0,705: 1 sehingga aktiva

Hasil dari kegiatan ini adalah data karakteristik lahan berupa peta satuan lahan dan peta pewilayahan komoditas pertanian skala 1 : 50.000 untuk Kabupaten Mukomuko,

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, proses penerapan prinsip Good Corporate Governance sudah diterapkan dalam perusahaan. Proses penerapan Prinsip Good