Arkeologi Sosial
Dewi Sri dan Masyarakat Agraris Jawa
Muhammad Sany Ustman 1006690430
Program Studi Arkeologi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
Dewi Sri dan Masyarakat Agraris Jawa Muhammad Sany Ustman, 1006690430 Pendahuluan
Usaha manusia untuk memenuhi kebutuhannya akan makanan salah satunya dilakukan melalui aktifitas pertanian. Dalam melakukan hal ini masyarakat percaya bahwa asal-usul benih kehidupan berasal dari dunia atas (dewa) yang diberikan kepada dunia bawah (manusia). Oleh karena itu agar keberlangsungan benih kehidupan tersebut tetap terjaga, maka manusia harus menjaga hubungan dunia atas dengan dunia bawah melalui ritual-ritual (Sumintarsih, 2007).
Dalam perkembangannya, aktivitas pertanian masa klasik berkaitan erat dengan ritual pemujaan untuk memperoleh kesuburan. Masyarakat mempersonifikasikan kesuburan tersebut ke dalam bentuk dewa atau dewi. Salah satu diantaranya adalah Dewi Sri yang dianggap sebagai dewi kesuburan dalam mitologi Hindu.
Dari beberapa penemuan artefak di Jawa, Dewi Sri digambarkan sebagai gadis muda yang tubuhnya ramping tetapi berisi, raut wajahnya tenang dan anggun, dengan mata tipis yang menghadap ke bawah, serta memegang setangkai padi di tangan kiri. Penggambaran ini hampir menyerupai gambaran umum dewi/ putri raja dalam kisah pewayangan.
Belum banyak kita ketahui sejauh mana pengaruh Dewi Sri dalam religi masyarakat agraris. Bagaimana sebenarnya bentuk ritual pemujaan yang dilakukan terhadap Dewi Sri? Seberapa pentingkah pemujaan terhadap Dewi Sri ditempatkan oleh masyarakat dalam kaitannya dengan pemujaan terhadap dewa/ dewi lain? Kedua hal inilah yang akan dicoba dijawab dalam tulisan ini melalui data-data dari studi pustaka.
Pembahasan
Asimilasi paham Animisme dengan paham Hindu dalam tindakan religius orang Jawa melahirkan tokoh simbolik seperti Dewi Sri yang kemudian memunculkan tradisi-tradisi yang berkaitan dengan pemujaan atau penghormatan kepadanya.
Banyak Cerita mitos yang berkaitan dengan Dewi Sri, namun inti ceritanya tetap sama. Terdapat sebelas hal yang menjadi tumpuan pengembangan cerita Dewi Sri (Lestari, 1996). (1) Dewi Sri berasal dari Kahyangan, (2) Dewi Sri sebagai istri dari Raden Sadhana (mereka adalah penjelmaan dari Dewi Laksmi dan Dewa Wisnu), (3) Dewi Sri mempunyai kecantikan yang sempurna, (4) Dewi Sri mempunyai persoalan dengan Raksasa Kala, (5) Dewi Sri dan Raden Sadhana melarikan diri ke hutan untuk menghindari Raksasa Kala, (6) Dewi Sri dan Raden Sadhana bersembunyi di hutan, (7) Dewi Sri dan Raden Sadhana berjanji akan membalas budi rakyat yang telah menolong mereka. (8) Dewi Sri dan Raden Sadhana mati karena sakit. (9) Muncul tanaman-tanaman yang berguna bagi manusia dari kuburnya (dalam versi lain, tanaman tersebut muncul dari bagian-bagian tubuh Dewi Sri), (10) Raksasa Kala marah dan menjelma menjadi binatang perusak tanaman, (11) Dewi Sri memohon kepada Dewata agar menolong rakyat. Pada bagian kesebelas inilah, menurut Lestari (1996), terdapat banyak pengembangan jalan cerita.
Pada daerah yang masyarakatnya mengenal pertanian pada umumnya mereka mengenal tokoh dewi kesuburan melalui upacara-upacara pertanian yang masih dilaksanakan sampai sekarang. Sedangkan pada beberapa tempat, tokoh Dewi Sri hanya dikenal melalui cerita rakyat. Dewi Sri sebagai Dewi Kesuburan
kehidupan, mengendalikan bahan makanan (padi), mengatur kehidupan, kekayaan, dan kemakmuran.
Berbagai Bentuk Upacara Ritual
Beberapa tempat dan tatacara praktek ritual pemujaan kepada Dewi Sri yang ditemukan pada masyarakat agraris Jawa diantaranya:
1. Upacara Ritual Aktivitas Pertanian
Upacara-upacara ritual yang berhubungan dengan aktivitas pertanian yang dilakukan oleh masyarakat petani merupakan sebuah bentuk penyelarasan terhadap kekuatan alam dan roh-roh yang ada disekitarnya agar tanaman terhindar dari hama penyakit dan agar mendapatkan hasil panen yang melimpah. Aktivitas ritual ini terutama dilakukan oleh masyarakat petani padi. Padi dianggap sebagai tanaman istimewa yang mempunyai hubungan dengan Dewi Sri sebagai dewi kesuburan. Mitologi tentang Dewi Sri menceritakan tentang asal-usul padi, dan kekuasaan Dewi Sri dalam memelihara, melindungi, dan menjaga kesuburan padi. Upacara ritual yang dilakukan oleh petani padi dimulai sejak penaburan benih, saat tanaman melewati beberapa siklus, dan saat tanaman dipanen (Setyastuti, 2003).
Upacara sebelum menabur benih (menyemai) biasanya dilakukan oleh laki-laki dengan cara menanamkan sembilan butir gabah pertama, satu butir diletakkan di tengah dan delapan yang lain ditanamkan di delapan arah penjuru mata angin.
Sebelum proses tandur (menanam), kembali dilakukan ritual dengan cara memberikan sesajen berupa bubur putih, pisang kluthuk, kinang (kapur-sirih), dan bunga yang dibawa ke sawah dan diletakkan di dekat tempat persemaian. Sesaji tersebut kemudian dibagi ke dalam beberapa bagian setelah dibacakan doa, dan diletakkan di sudut-sudut kotak sawah sebagai persembahan kepada penjaga sawah.
Upacara ritual terakhir adalah wiwit/ methik sebagai penghormatan kepada Dewi Sri yang telah menjaga padi hingga panen. Upacara
dimulai dengan meletakkan parijatha (padi yang pertama dipetik dan dibalut kain putih, perlambang Dewi Sri) pada sudut petak sawah yang akan dituai. Pada upacara ini petani menbawa kelengkapan upacara berupa nasi tumpeng, ayam ingkung, berbagai macam lauk (tempe, rempeyek ikan, mie, sambal, dan lain-lain).
Selain bentuk ritual yang dilakukan langsung di sawah seperti contoh diatas, ditemukan pula bentuk pemujaan di tempat lain seperti:
2. Candi Barong
Contoh penggunaan candi sebagai tempat pemujaan Dewi Sri terdapat pada Candi Barong. Candi Barong merupakan candi Hindu dari abad 9-10 Masehi yang terletak di Dusun Candisari, Bokoharjo, Prambanan, Sleman, Yogyakarta. Penamaan Candi ini didasari oleh relief hiasan singa/ barong pada sisi tubuh candi.
Bangunan candi terdiri dari tiga buah teras yang diatasnya terdapat dua buah bangunan candi. Di dalam salah satu bilik candinya terdapat arca Dewa Wisnu, dan pada candi yang lain terdapat arca Dewi Sri yang merupakan dewi kesuburan dan istri dari Dewa Wisnu. Candi ini diperkirakan berfungsi untuk kegiatan pemujaan yang berkaitan dengan kesuburan berdasarkan temuan tersebut. Selain itu, pernyataan ini didukung dengan latar belakang daerah di sekitar candi yang dinilai kurang subur. 3. Rumah Tradisonal Jawa
Bentuk lain penghormatan masyarakat Jawa kepada Dewi Sri juga terdapat pada tata ruang rumah tradisionalnya. Tata ruang rumah tradisional Jawa (Joglo), memiliki satu ruangan khusus untuk pemujaan Dewi Sri. Ruangan yang dimaksud biasanya terdapat di bagian tengah bangunan atau disebut senthong tengah.
Senthong tengah oleh masyarakat agraris diyakini sebagai tempat istirahat Dewi Sri. Oleh karena itu, ruangan ini kemudian dipergunakan untuk tempat pemujaan terhadap Dewi Sri dan disebut sebagai pasren (dari asal kata Sri) atau petanen (dari asal kata tani). Bagi para petani,
. Pada rumah Joglo milik seorang bangsawan, keberadaan pasren dilengkapi dengan beberapa aksesoris seperti ani-ani (pisau kecil untuk memetik padi), beberapa tangkai padi, dan Patung Loro Blonyo. Loro Blonyo merupakan patung sepasang pengantin dari tanah liat/ kayu yang digambarkan dengan posisi duduk bersila yang merupakan gambaran bersatunya Dewi Sri dengan Raden Sadhana. Patung ini menyimbolkan harapan agar pengantin Jawa diberi kesuburan dalan proses regenerasi mereka.
Keterangan: 1.Regol, 2. Rana, 3. Sumur, 4. Langgar, 5. Kuncung, 6. Kandang Kuda, 7. Pendapa, 8. Longkonan, 9. Seketheng, 10. Pringgitan, 11. Dalem, 12. Senthong Kiwa (kiri), 13. Senthong Tengah, 14. Senthong Kanan, 15. Ganchok, 16. Dapur dll, A. Halaman Luar, B. Halaman Dalam.
Gambar 2. Denah Kompleks Rumah Joglo Lengkap (Widayatsari, 2002)
Kesimpulan
Berdasarkan beberapa uraian di atas, dapat kita ketahui bahwa masyarakat tradisional di Jawa melakukan berbagai macam bentuk ritual yang ditujukan kepada Dewi Sri. Pemujaan kepada Dewi Sri selalu berkaitan dengan kesuburan. Salah satu contoh pemujaan terhadap Dewi Sri dalam masyarakat agraris adalah ritual-ritual yang dilakukan selama proses bertani padi yang terdiri dari upacara tingkep tandhur, methik, dan lain-lain.
Pemujaan kepada Dewi Sri dalam candi-candi Hindu Waisnawa memiliki posisi yang sama penting dengan pemujaan Yoni atau Dewi Parwati dalam candi-candi Hindu Syaiwa, yaitu sebagai pendamping dari salah satu Dewa Trimurti. Namun, berbeda dengan pemujaan terhadap Dewi Parwati yang dikenal luas dalam Masyarakat dan umumnya hanya dilakukan di candi, pemujaan kepada Dewi Sri lebih ‘populer’ dilakukan oleh masyarakat pertanian dan pemujaan kepadanya diantaranya juga dilakukan di tempat lain seperti: sawah atau Senthong Tengah pada Rumah Joglo.
Daftar Pustaka
Lestari, Nanny Sri. 1996. Mitos Dewi Sri dan Rempah-rempah. Laporan penelitian Universitas Indonesia
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. http://candi.pnri.go.id/jawa_tengah_yogyakarta/ barong/barong.htm. Diakses pada 14 April 2012
Setyastuti, Ari, dkk. 2003. Mosaik Pusaka Budaya Yogyakarta. Yogyakarta: Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Yogyakarta
Sumintarsih. 2007. “Dewi Sri dalam Tradisi Jawa”. Dalam Jantra: Jurnal Sejarah dan Budaya
vol.II, no. 3, h. 136-144
Suwardi. [t. th]. Makna Simbolik Mitos Dewi Sri dalam Masyarakat Jawa. [t. t]: [t. p.]