BAB II
KERANGKA EKONOMI DAERAH
A. EVALUASI KINERJA EKONOMI TAHUN 2005
Kondisi ekonomi makro Jawa Timur pada tahun 2005 menunjukkan
adanya pertumbuhan positif sebesar 5,84 %. Pertumbuhan ekonomi Jawa Timur
tersebut sedikit meningkat dibandingkan pada tahun 2004 yang hanya tumbuh
sebesar 5,83 %. Pertumbuhan sebesar 5,84 % didorong oleh percepatan
pertumbuhan disemua sector, hal ini mengindikasikan bahwa peningkatan
kegiatan ekonomi di Jawa Timur terus berlangsung dan semakin membaik, bila
diukur dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga Berlaku
pada tahun 2004 telah mencapai Rp. 341.065 milyar, atau meningkat sebesar
18,27 % bila dibandingkan dengan tahun 2005 yang telah mencapai Rp. 403.392
milyar. Sedangkan Atas Dasar Harga Konstan (ADHK) 2000, PDRB telah
mencapai Rp. 242.228 milyar atau meningkat 5,84 %, bila dibandingkan dengan
tahun 2005 yang telah mencapai Rp. 256.374 milyar.
Pertumbuhan ekonomi di Jawa Timur pada tahun 2005 didorong oleh
percepatan pertumbuhan ekonomi sebagian besar sector kecuali pertanian serta
sector konstruksi yang mengalami perlambatan pertumbuhan masing-masing
tumbuh sebesar 3,16 % dan 3,48 %. Sedangkan sector-sektor yang mengalami
percepatan pertumbuhan yaitu sector industri pengolahan sebesar 4,61 %,
sector listrik, gas dan air bersih sebesar 6,72 %, sector perdagangan, hotel dan
restoran sebesar 9,15 %. Perkembangan moneter di Jawa Timur selama tahun
2005 sangat terkait erat dengan perkembangan moneter Nasional yang diwarnai
oleh meningkatnya tren laju inflasi, meningkatnya tingkat suku bunga. Laju
inflasi di Jawa Timur pada desember 2005 sebesar 14,59% lebih rendah
dibandingkan dengan inflasi nasioanal yang tercatat sebesar 17,11%.
Peningklatan tersebut didorong oleh kenaikan harga BBM oleh Pemerintah Pusat
pada tanggal 1 Oktober 2005 yang merupakan kenaikan kedua kalinya setelah
kenaikan BBM pada bulan Maret 2005, sehingga menyebabkan kenaikan inflasi di
Persetujuan investasi PMA dan PMDN di Jawa Timur periode
Januari-Desember 2005 mengalami peningkatan jika dibandingkan periode yang sama
tahun sebelumnya. Proyek investasi PMDN di Jawa Timur yang disetujui tercatat
sebesar Rp. 5,52 triliun, mengalami peningkatan sebesar Rp. 1,46 triliun atau
36,04% dari periode yang sama tahun lalu. Lokasi proyek utama investasi PMDN
di Jawa Timur adalah Surabaya dengan nilai investasi sebesar RP. 3,37 triliun
dan pasuruan dengan nilai investasi sebesar Rp. 572,43 milyar.
Sementara itu nilai arus investasi asing ke Jawa Timur yang di indikasikan
dari persetujuan PMA mengalami peningkatan yang lebih signifikan dari
perningkatan PMDN yaitu sebesar 54,94%. Pada periode Januari - Desember
2005 nilai persetujuan PMA tercatat 554,33 juta dengan jumlah proyek sebanyak
78 meningkat sebesar US $ 196,56 juta dibandingkan dengan periode yang
sama tahun 2004 yang tercatat sebesar US $ 357,77 juta dengan jumlah proyek
sebanyak 65 proyek.
Negara asal investor PMA utama di Jawa Timur adalah Singapura dengan
nilai investasi sebesar US $ 184,37 juta (7 proyek), RRC dengan nilai investasi
sebesar US $ 98,60 juta (14 proyek) dan jepang dengan nilai investasi sebesar
US $ 45,77 juta dengan jumlah proyek sebanyak 1 proyek.
Di sector Perbankan tahun 2005 bank umum Jawa Timur telah menyetujui
kredit baru secara kumulatif sebesar Rp. 35,76 triliun atau meningkat 5,57%
disbanding tahun sebelumnya yang tercatat sebesar Rp. 33,87 triliun.
Sedangkan posisi kreidit umum pada tahun 2005 sebesar Rp. 67,32 triliun atau
9,22% dari total kedit secara nasional yaitu sebesar Rp. 730,2 triliun
dibandingkan posisi kredit tahun sebelumnya mengalami peningkatan sebesar
26,35%.
Dari sector ekonomi, alokasi kredit ke sector perindustrian masih tetap
memiliki share tertinggi sebesar Rp. 21,51 triliun (31,95%), diikuti kredit sector
perdagangan, restoran dan hotel sebesar Rp. 18,15 triliun (26,96%) dan kredit
kepada sector jasa-jasa dunia usaha sebesar Rp. 3,38 triliun (5,03%). Sementara
itu apabila dilihat dari tingkat pertumbuhan kredit tahun 2005 sektor konstruksi
pertambangan yang meningkat 41,30% dan sector perdagangan, restoran dan
hotel meningkat 39,85%.
Jika dilihat dari jenis penggunaannya, alokasi kredit untuk kebutuhan
modal kerja masih tetap memiliki pangsa pasar tertinggi sebesar Rp. 43,15
triliun (64,10%), diikuti kredit konsumsi sebesar Rp. 16,32 triliun (24,24%)
dan kredit investasi sebesar Rp. 7,85 triliun (11,66%).
Selanjutnya ekspor non migas Jawa Timur periode Januari s/d Desember
2005 mencapai sebesar US$ 6,99 milyar meningkat sebesar 12,86 persen
dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar US $ 6,19 milyar.
Sementara itu nilai impor non migas juga mengalami peningkatan sebesar 14,13
persen dari US $ 4,85 milyar dan pada tahun 2005 menjadi US $ 5,26 milyar.
Dengan demikian Jawa Timur mengalami Net Ekspor sebesar US $ 1,7 milyar.
Pangsa terbesar ekspor non migas Jawa Timur tahun 2005 adalah
komoditas tembaga sebesar 13,18 persen diikuti komoditas kertas/karton
sebesar 12,12 persen, komoditas perabot dan penerangan rumah sebesar 7,59
persen. Komoditas ekspor utama Jawa Timur adalah komodity primer yang
memberikan nilai tambah lebih rendah dibanding komodity yang telah diolah.
Negara Tujuan ekspor Jawa Timur yang utama adalah Jepang dengan nilai
ekspor US $ 1.36 juta, Amerika Serikat sebesar US $ 1.034 juta, Malaysia
sebesar US $ 481,74 juta, RRC sebesar US $ 443,54 juta dan Australia sebesar
US $ 298,07 juta.
Komoditas impor utama Jawa Timur di dominasi oleh mesin/pesawat
mekanik, besi dan baja, ampas/sisa industri makanan, plastik dan barang dari
plastik, dan bubur kayu/pulp. Kelima komoditas ini memiliki pangsa sebesar
41,69 persen dari total impor.
Negara impor utama Jawa Timur adalah Singapura sebesar US $ 1,768,45
juta, RRC sebesar US $ 967,71 juta, Amerika Serikat sebesar US $ 531,28 juta
Australia sebesar US $ 252,15 juta, Jepang sebesar US $ 302,63 juta dan Thailan
sebesar US $ 265,59 juta.
B. PERKEMBANGAN EKONOMI TAHUN 2006 DAN PREDIKSI SECARA KESELURUHAN TAHUN 2006.
Perkembangan ekonomi Jawa Timur pada tahun 2006 akan mengalami
sedikit perlambatan dibanding tahun 2005. Hal ini seiring dengan perilaku
musiman seperti terjadi pada tahun sebelumnya. Perlambatan pertumbuhan
tersebut disebabkan beberapa factor yaitu dampak kenaikan harga BBM yang
berpengaruh pada kenaikan suku bunga dan penurunan daya beli masyarakat
masih dirasakan oleh para pengusaha sehingga mempengaruhi ekspansi usaha,
serta maraknya Demonstrasi para buruh di Jawa Timur dengan tuntutan revisi
Undang-Undang Ketenagakerjaan yang menurutnya sangat merugikan pekerja
dan rencana kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) juga dapat mempengaruhi
pertumbuhan ekonomi.
Pada triwulan I 2006, pertumbuhan ekonomi Jawa Timur adalah 4,16
persen, lebih lambat dibanding pertumbuhan pada triwulan I 2005 yang
besarnya 4,96 persen, bahkan masih dibawah pertumbuhan ekonomi Nasional
pada triwulan I 2006 yang besarnya 4,35 persen. Penyebab utama melambatnya
pertumbuhan ekonomi Jawa Timur pada triwulan I 2006 adalah melambatnya
pertumbuhan sector Industri Pengolahan, yaitu dari 5,30 persen pada triwulan I
2005 menjadi hanya 3,37 persen. Penurunan kinerja ini terjadi pada seluruh
kelompok Industri, kecuali Industri semen dan Barang Galian Bukan Logam yang
justru tumbuh lebih cepat.
Sektor-sektor lain yang turut memberi andil terhadap melambatnya
pertumbuhan ekonomi Jawa Timur pada triwulan I 2006 adalah sector
Pertambangan dan Penggalian, sector Konstruksi, sector Perdagangan, Hotel dan
Restoran, sector Angkutan dan Komunikasi, dan sector Keuangan, Persewaan
dan Jasa Perusahaan.
Sebagai gambaran bahwa pertumbuhan sector pada triwulan I 2006
secara y-o-y adalah : sector pertanian tumbuh lebih cepat 1,12% dibanding
triwulan I 2005 sebesar 0,68%; sector pertambangan dan penggalian melambat
dari 7,34% triwulan I 2005 menjadi 6,77% pada triwulan I/2006 ; sector industri
triwulan I/2006; sector listrik, gas dan air bersih mengalami percepatan dari
5,58% pada triwulan I/2005 menjadi 6,21% pada triwulan I/2006; sector
Konstruksi melambat dari 4,89% triwulan I/2005 menjadi – 0,22% pada triwulan
I/2006; sector perdagangan, hotel dan restoran sedikit melambat dari 8,48%
triwulan I/2005 menjadi 8,02% pada triwulan I/2006; sector Pengangkutan dan
komunikasi melambat dari 6,10% pada triwulan I/2005 menjadi 3,27% pada
triwulan I/2006; Sektor Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Serta sector
jasa-jasa mengalami percepatan dari 2,62% pada triwulan I/2005 menjadi
3,17% pada triwulan I/2006.
Apabila dilihat dari performance kinerja ekonomi triwulan I/2006 yang
melambat dari tahun 2005 pada periode yang sama, hal ini bukan berarti periode
triwulan berikutnya akan memiliki karakter yang sama. Berbagai upaya
bentuk-bentuk penanganan kemiskinan di sector produksi diharapkan sedikit membantu
disamping sector–sektor produksi lain yang akan meningkat kinerjanya pada
triwulan berikutnya seperti panen raya yang akan terjadi pada triwulan II, tebu
pada triwulan III maupun IV serta sector-sektor lain yang diharapkan akan
mengalami percepatan pada triwulan II, III dan IV sehingga pada akhir tahun
2006 akan mampu dicapai pertumbuhan 5,8%.
Tingkat inflasi pada tahun 2006 diperkirakan akan mengalami penurunan
dibandingkan dengan tahun 2005. Sampai dengan semester I 2006 inflasi masih
akan tinggi namun menginjak akhir tahun 2006 inflasi diperkirakan akan
menurun disbanding tahun 2005 yaitu pada kisaran 8-9%. Kondisi ini tidak
berbeda jauh dengan kondisi nasional namun terdapat beberapa hal yang dapat
meningkatkan tekanan inflasi di Jawa Timur pada tahun 2006 dari sisi produksi
antara lain adalah kebijakan Pemerintah Daerah menaikan upah regional dan
tarif PDAM.
C. TANTANGAN POKOK
Dengan kemajuan yang dicapai pada tahun 2005 dan masalah yang
diperkirakan masih dihadapi pada tahun 2006, tantangan pokok yang dihadapi
1. MENURUNKAN PENGANGGURAN DAN KEMISKINAN. Dengan jumlah pengangguran yang semakin bertambah, kualitas pertumbuhan akan
ditingkatkan. Kegiatan ekonomi akan didorong agar mampu menciptakan
lapangan kerja yang lebih luas dan mengurangi jumlah penduduk miskin yang
masih besar. Tantangan ini cukup berat karena sejak krisis, kemampuan
ekonomi untuk menciptakan lapangan kerja masih rendah.
2. MENDORONG PERTUMBUHAN EKONOMI. Tantangan ini cukup berat dengan kecenderungan investasi yang melambatnya dan sektor industri pengolahan
non-migas yang melemah pada tahun 2005. Sementara itu masih banyaknya
kendala di dalam negeri yang menghambat peningkatan investasi dan ekspor
migas secara berkelanjutan. Demikian juga peningkatan ekspor
non-migas lebih banyak didorong oleh kenaikan harga dunia dibandingkan dengan
volume ekspor.
3. MENJAGA STABILITAS EKONOMI. Tantangan ini tetap besar dengan adanya potensi gejolak moneter internasional yang terkait dengan ketidakseimbangan
global, tingginya harga minyak dunia, yang pada gilirannya dapat
mempengaruhi ketidakseimbangan eksternal, ketahanan fiskal, dan stabilitas
moneter di dalam negeri.
D. PROSPEK EKONOMI JAWA TIMUR TAHUN 2007
Seiiring dengan berbagai kebijakan untuk mengatasi dampak kenaikan
BBM dan upaya pemerintah untuk terus menerus mempromosikan investasi
diharapkan akan terjadi sinergi positif dari sektor usaha kecil dan sektor usaha
besar untuk memacu kinerja perekonomian Jawa Timur. Sentimen-sentimen
positif seperti operasional usaha hulu blok migas cepu termasuk pengelolaan
Participating Interest 10%, rencana operasional Industri Aromatik Tuban dan
rencana-rencana pembangunan infrastruktur lain akan semakin mengkondusifkan
dungan pengembangan investasi, termasuk penyiiapan Kawasan Ekonomi
Khusus yang secara khusus telah didukung oleh daerah dengan menyiapkan East
Java Integrated Industrial Zone (EJIIZ). Namun demikian faktor stabilitas
moneter juga sangat mempengaruhi, oleh karena itu diharapkan Pemerintah
dan tingkat suku bunga SBI yang proporsional. Apabila sentimen positif tersebut
mampu menstimulir dunia usaha, maka target pertumbuhan 6,10% pada tahun
2007 niscaya dapat dicapai.
Disamping itu kondisi ekonomi tahun 2007 juga akan dipengaruhi oleh
Lingkungan eksternal dan internal, sebagai berikut :
a. Lingkungan Eksternal
1. Harga minyak mentah dunia diperkirakan masih tetap tinggi. Pertumbuhan
ekonomi AS yang melambat diperkirakan akan mengurangi kenaikan
permintaan dunia, sedangkan permintaan dari China, India, dan negara
Asia lainnya diperkirakan tetap tinggi dengan perekonomian yang tumbuh
pesat di negara-negara tersebut. Dalam tahun 2007, total permintaan
minyak dunia diperkirakan sebesar 87,2 juta barel/hari dan pasokan
minyak dunia sebesar 87,4 juta barel/hari. Dengan perkiraan tersebut,
pasokan minyak dunia diperkirakan hanya mampu memenuhi
permintaannya, tetapi tidak dapat menurunkan harganya secara drastis.
Pada tahun 2007, harga minyak mentah dunia diperkirakan masih tetap
tinggi, meskipun lebih rendah dari tahun sebelumnya.
2. Kesenjangan global diperkirakan akan melebar. Kesenjangan global
bersumber dari meningkatnya ketidakseimbangan perdagangan antara AS
yang mengalami defisit neraca transaksi berjalan dengan negara-negara
Asia dan pengekspor minyak yang mengalami surplus.
3. Pertumbuhan ekonomi dunia diperkirakan relatif sama dengan tahun
sebelumnya. Perlambatan ekonomi AS yang diperkirakan terjadi di tahun
2005 mengalami pergeseran ke tahun 2006 dan diperkirakan berlanjut ke
tahun 2007. Perlambatan ini antara lain didorong oleh pengurangan
stimulus fiskal setelah siklus pengetatan kebijakan moneter Amerika
Serikat berakhir pada tahun 2006. Sementara itu, perekonomian Asia
diperkirakan tetap tumbuh tinggi dengan penggerak perekonomian China
serta negara-negara industri lainnya. Secara keseluruhan, pertumbuhan
ekonomi dunia pada tahun 2007 diperkirakan relatif sama dengan tahun
2006 dengan volume perdagangan dan harga komoditi non-migas yang
4. Persaingan internasional semakin meningkat. Perekonomian dunia yang
semakin terintegrasi menuntut daya saing perekonomian nasional lebih
tinggi. Perlambatan ekonomi yang terjadi di AS menurunkan permintaan
barang dan jasa terutama dari negara-negara pengekspor dengan tujuan
AS dan pada gilirannya akan meningkatkan persaingan perdagangan
dunia. Persaingan juga meningkat untuk menarik investasi asing terutama
oleh negara-negara di kawasan Asia dan Amerika Latin dalam upaya
mendorong perekonomiannya.
b. Lingkungan Internal
1. Meningkatnya kemampuan koordinasi kebijakan fiskal, moneter, dan
sektor riil. Kemampuan koordinasi yang lebih baik ini akan meningkatkan
efektivitas kebijakan fiskal, moneter, dan sektor riil dalam mendorong
pertumbuhan ekonomi, menjaga stabilitas ekonomi, dan meningkatkan
kemampuan ekonomi dalam memperluas lapangan kerja dan mengurangi
jumlah penduduk miskin.
2. Meningkatnya upaya pemerintah untuk mengurangi ekonomi biaya tinggi
guna mendorong investasi dan meningkatkan daya saing ekspor
non-migas, termasuk dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
3. Dengan meningkatnya rasa aman, kepercayaan masyarakat, termasuk
dunia usaha akan meningkat. Pada gilirannya akan meningkatkan
partisipasi masyarakat dalam kegiatan ekonomi.
E. Kondisi Fiskal Daerah 1. Keuangan Daerah
Dengan semangat otonomi daerah bidang keuangan daerah mendapat
perhatian seksama antara eksekutif dan legislatif, utamanya dalam upaya
meningkatkan pendapatan daerah baik melalui Pendapatan Asli Daerah, Dana
Perimbangan dan sumber-sumber pendapatan daerah lainnya yang sah sesuai
peraturan perundangan yang berlaku, serta berupaya melakukan efisiensi
terhadap pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan.
Dalam membiayai program-program pembangunan, daerah harus
daerah juga memperoleh dana perimbangan sebagaimana diatur dalam
Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, namun hal itu belum memadai.
Arah kebijakan dari program ini untuk mendorong implementasi
otonomi daerah dengan desentralisasi keuangan sehingga daerah dapat
membiayai pembangunan daerah dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang
didapat dari prakarsa dan kreativitas Daerah sendiri, sehingga dapat mengurangi
ketergantungan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat.
Belanja merupakan bagian tak terpisahkan dari bagian pendapatan
maupun pembiayaan dalam sistem APBD berbasis kinerja. Sebagaimana
diketahui bahwa struktur belanja daerah sebagaimana substansi UU No.17 Tahun
2003 dan Kepmendagri No. 29 Tahun 2002, serta Peraturan Daerah Nomor 10
tahun 2003 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah jo Peraturan Daerah Nomor 9
tahun 2004 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2003
tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, dirinci menurut organisasi, fungsi dan
jenis belanja, sedangkan belanja administrasi umum, modal, operasional dan
pemeliharaan, bantuan keuangan dan belanja tak tersangka merupakan jenis
belanja yang menjadi kelompok satuan belanja terkecil.
Belanja daerah sebagai bagian dalam sistem APBD merupakan
besaran-besaran yang harus dialokasikan dengan jumlah tertentu sesuai dengan
strategi prioritas yang telah disepakati bersama. Oleh karena menyangkut
masalah besaran, harus dilakukan analisis kebutuhan baik menyangkut belanja
publik maupun aparatur. Dalam kaitan untuk kepentingan publik dan aparatur,
diharapkan tidak dipahami secara parsial yang mengakibatkan adanya dikotomi
kepentingan publik dan aparatur. Perlu dipahami bahwa keduanyan adalah untuk
kepentingan publik hanya saja bahwa belanja aparatur sebenarnya untuk
kepentingan publik melalui peningkatan kualitas layanan aparatur.
Permasalahan utama belanja daerah adalah besaran yang terbatas.
Penerimaan daerah sebagai acuan dalam pengalokasian belanja daerah menjadi
variabel yang sangat penting. Penerimaan daerah dari Pendapan Asli Daerah
maupun dana perimbangan masih merupakan sumber penerimaan yang menjadi
namun sifatnya terbatas karena harus memenuhi ketentuan berdasarkan
proyeksi penerimaan dan pengeluaran daerah dengan Debt Service Coverage
Ratio (DCSR) paling sedikit 2,5 prosen (Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun
2000). Dengan kondisi demikian memang spectrum belanja daerah masih sempit
untuk mampu mengakomodasikan setiap beban belanja daerah. Permasalahan
tersebut hampir disemua daerah bahkan di beberapa negara merupakan masalah
klasik. Sebagai justifikasi terhadap masalah tersebut kedepan perlu dilakukan
prioritisasi belanja daerah yang efektif, agar setiap item belanja daerah dalam
spketrum kegiatan ekonomi, target group mampu mengembalikan modal awal
dari besaran belanja daerah yang akan menjadi sumber penerimaan pada tahun
berikutnya. Dengan model demikian akan sedikit menambah spectrum belanja
daerah baik menyangkut volume maupun lokasi atau target group. Yang perlu
dipikirkan pula adalah bagaimana mengatasi terbatasnya besaran belanja daerah
dari penerimaan yang terbatas pula.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Propinsi di Jawa
Timur Tahun 2007 sebesar Rp. 5,096 Trilyun jika dibandingkan dengan APBD tahun sebelumnya terjadi peningkatan yaitu dari Rp 4,38 Trilyun menjadi Rp
5,096 Trilyun.
Sumber penerimaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah seluruh
Pemerintah Daerah di Jawa Timur Tahun 2007 adalah Dana Alokasi Umum (DAU)
dari Pemerintah Pusat serta Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang berasal dari
pendapatan daerah setempat.
Jumlah Dana Alokasi Umum dan Dana Perimbangan seluruh
Kabupaten/Kota dan Propinsi di Jawa Timur pada tahun 2006 mencapai Rp 11,81
Trilyun atau meningkat 5,22% dari alokasi DAU pada tahun sebelumnya.
Sedangkan penerimaan dari total PAD sebesar Rp 3,74 Trilyun atau naik 11,95%
dibandingkan dengan pendapatan asli daerah tahun sebelumnya. Kondisi ini
menunjukkan berkurangnya ketergantungan keuangan Pemerintah Propinsi Jawa
timur terhadap Pemerintah Pusat dengan mulai mengembangkan sumber-sumber
pendapatan di daerah, sebagian besar dari realisasi penerimaan Pendapatan Asli
Daerah Pemerintah Propinsi, disumbang dari Sub Pajak Daerah yaitu sebesar
Rp 84,127 Milyar, Sub Pos bagian laba dari Badan Usaha Milik Daerah sebesar Rp 5,54 Milyar dan dari Retribusi Daerah sebesar Rp 178 Milyar. Sedangkan penerimaan dana perimbangan berasal dari Sub Pos bagi hasil pajak dan bukan
pajak sebesar Rp. 224,98 Milyar.
2. Kebijakan Pendapatan Daerah
Dalam rangka melaksanakan wewenang sebagaimana tersebut diatas,
maka Daerah harus memaksimalkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan
tujuan agar terwujud kemandirian Daerah dalam Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Maksimalisasi PAD dalam pengertian bahwa keleluasaan yang dimiliki oleh
Daerah dapat dimanfaatkan untuk peningkatan PAD maupun untuk menggali
sumber-sumber penerimaan baru. Upaya peningkatan PAD tersebut harus
dipandang sebagai perwujudan tanggung jawab Pemerintah Daerah dalam
mencapai tujuan pemberian otonomi,yaitu peningkatan pelayanan dan
kesejahteraan masyarakat.
Arah kebijakan Pendapatan Daerah yang akan dilaksanakan pada
tahun 2007 adalah sebagai berikut :
a. Peningkatan target pendapatan daerah baik pajak langsung maupun tidak
langsung secara terencana sesuai kondisi perekonomian dengan
memperhatikan kendala, potensi, dan coverage ratio yang ada,
b. Mengembangkan kebijakan pendapatan daerah yang dapat diterima
masyarakat, partisipatif, bertanggung jawab dan berkelanjutan.
Stategi yang akan dilaksanakan dalam peningkatan pendapatan daerah
dilaksanakan melalui rencana kerja, sebagai berikut:
1. Pendapatan Asli Daerah
Strategi di bidang pendapatan asli daerah pada prinsipnya diarahkan pada
peningkatan pendapatan daerah yang dilaksanakan dengan 3 (tiga) fokus
strategi, yaitu:
1). Perluasan dan peningkatan sumber penerimaan dan pembiayaan
Daerah serta mendorong peningkatan tertib administrasi keuangan Daerah
2). Peningkatan Hubungan Kerja/ kerjasama antar Dinas dilingkungan
Propinsi Jawa Timur dan dengan Pemerintah/BUMN dalam rangka
peningkatan penerimaan Bagi Hasil dari Pemerintah,
3). Pengembangan fasilitasi kerjasama dengan Kabupaten/Kota dibidang
Pajak dan Retribusi Daerah serta lain-lain pendapatan daerah yang
sah.
4). Optimalisasi pemanfaatan aset dan pengelolaan BUMD yang didukung oleh sistem evaluasi kinerja BUMD yang memungkinkan BUMD
dioptimalkan maupun dilakukan re-strukturisasi.
b. Bidang Pelayanan Publik
1). Pengembangan/ peningkatan sarana dan prasarana pelayanan masyarakat;
2). Pembangunan sarana dan prasarana pelayanan masyarakat,
3). Meningkatkan kualitas pelayanan, dengan pemanfaatan teknologi
informasi (hardware dan software) sebagai pendukung utama kelembagaan;
4). Pengembangan sistem dan prosedur pemungutan dan pembayaran
pajak, retribusi daerah dan pendapatan lainnya;
c. Bidang Kelembagaan
1). Penyederhanaan peraturan perundang-undangan,
2). Pengembangan manajemen pendapatan daerah dengan prinsip profesionalitas, efisiensi, transparan dan bertanggung jawab,
3). Peningkatan kapabilitas dan profesionalisme Sumber Daya Manusia
Aparatur dibidang pengelolaan Keuangan Daerah,
4). In House/On Job Training,
5). Program Rekruitmen Sumber Daya Manusia Aparatur berbasis
Kompetensi.
2. Dana Perimbangan
a. Memperjuangkan “redistribusi” Penerimaan Pusat ke Daerah diluar DAU
dan DAK, yang mengarah kepada keseimbangan yang proporsional bagi
daerah yang mempunyai sumber daya ekonomi dan memberikan
kontribusi berupa cukai atau pajak ke Pusat, namun memiliki sumber
daya alam yang terbatas.
b. Perlunya diatur mengenai Revenue Sharing terhadap Pajak Pusat yang
harus dimasukkan dalam konstruksi perubahan UU 34 Tahun 2000 ke
dalam salah satu pasal dengan konsep sebagai berikut, terhadap Pajak
Pusat dengan pembagian : 70% untuk Pemerintah Pusat, 30% untuk
Pemerintah Propinsi seluruh Indonesia. Dari 30% tersebut kemudian di
“100%” kan, dan dibagi 50% untuk seluruh Pemerintah Propinsi di
Indonesia (pro rata), sedangkan 50% dibagi berdasarkan angka indeks
penerimaan (potensi) masing-masing Pemerintah Propinsi (berdasarkan
potensi). Demikian juga halnya dengan bagian Pemerintah Propinsi, akan
dibagikan kepada Kabupaten/Kota dengan konsep 70% dan 30% sesuai
dengan kesepakatan.
Pendapatan daerah tahun 2007 yang diperkirakan mencapai 5 trilyun 736 milyar 74 juta rupiah lebih, yang diperoleh dari komponen:
1. Bagian Pendapatan Asli Daerah.
Untuk Bagian Pendapatan Asli Daerah (termasuk pendapatan Ex. Rumah
Sakit Swadana) direncanakan sebesar 3 trilyun 742 milyar 484 juta rupiah
lebih.
2. Bagian Dana Perimbangan.
Untuk Bagian Dana Perimbangan yang berasal dari pos Bagi Hasil Pajak dan
Bukan Pajak Sumber Daya Alam sebesar 437 milyar 200 juta rupiah,
sedangkan Dana Alokasi Umum dianggarkan sebesar sebesar 901 milyar
245 juta rupiah.
3. Lain-lain Pendapatan yang Syah.
Penerimaan ini berasal dari Dana Penyesuaian Murni dan Penyesuaian
3. Arah dan Kebijakan Umum Belanja
Arah dan kebijakan umum belanja pembangunan memuat komponen
pelayanan dan tingkat pencapaian yang diharapkan pada setiap bidang
kewenangan Pemerintah Propinsi yang dilaksanakan dalam satu tahun anggaran.
Komponen dan kinerja pelayanan yang diharapkan disusun berdasarkan aspirasi
masyarakat dengan mempertimbangkan kondisi dan kemampuan daerah,
termasuk kinerja pelayanan yang telah dicapai dalam tahun anggaran
sebelumnya. Komponen pelayanan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan
dan pelayanan publik disusun berdasarkan klasifikasi bidang kewenangan
pemerintahan sebagaimana yang berpedoman pada ketentuan dalam Peraturan
Daerah Nomor 10 Tahun 2003 Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah Propinsi
Jawa Timur. Namun demikian berdasarkan pertimbangan teknis pengajuan
rancangan anggaran, penyajian RAPBD juga disajikan dalam bentuk Memoranda
Anggaran Program (MAP), yang didalamnya memuat informasi rancangan
anggaran berdasarkan kebijakan dan program sebagaimana substansi RPJMD
2006-2008. Disamping itu informasi lain yang dapat disajikan dalam MAP adalah
seberapa besar usulan Satuan Kerja sensitif dalam menyelesaikan masalah
(solusi) terhadap isu strategis yang berkembang dan aktual untuk ditangani.
Secara analitis perhitungan belanja daerah langsung didasarkan atas
perhitungan selisih (spread) antara target dan realisasi capaian standar kinerja
pembangunan tahun 2006, sebagaimana diamanatkan pada RPJMD 2006-2008.
Hal ini dimaksudkan sebagai upaya untuk mengetahui program - program yang
pada tahun 2006 capaian kinerjanya belum optimal serta target-target kinerja
yang terlampui capaiannya. Dengan dasar analitis capaian kinerja dimaksud,
dapat diketahui pula seberapa jauh permasalahan pokok Jawa Timur akan
tereduksi, sehingga permasalahan yang masih tersisa pada tahun 2006, akan
dilakukan langkah-langkah solutif melalui implementasi kebijakan dengan
rencana tindak RKPD 2007. Disamping itu capain kinerja agregat existing
ternyata belum mampu menyelesaikan problem mendasar kemiskinan dan
pengangguran. Oleh karena itu pada tahun anggaran 2007 ini dilakukan
penajaman-penajaman pada rencana tindak sebagai upaya menyelesaikan isu-isu
Arah kebijakan umum yang diambil dalam pengelolaan belanja APBD
tahun 2007 adalah sebagai berikut :
a. Pemenuhan kebutuhan pelayanan dasar masyarakat, khususnya bidang pendidikan, kesehatan dan pangan.
b. Stimulasi pertumbuhan ekonomi di sektor riil melalui fasilitasi UKM di semua
sektor terutama dalam rangka menuju kemandirian pangan dan energi.
c. Melanjutkan proyek-proyek strategis sesuai tahapan.
d. Penanganan bencana alam dan pasca bencana alam. Belanja penanganan bencana alam dan paska bencana alam dialokasikan dengan pola ”ploting
mengambang” yang sewaktu-waktu dapat dibelanjakan. Belanja dari pola
ploting mengambang jika tidak dapat diserap karena tidak terjadi bencana, sisa lebih bukan tidak dihitung sebagai kerangka prestasi kerja.
e. Mengakomodasikan dinamika masyarakat yang berkembang
f. Memenuhi prinsip keadilan tidak hanya terkonsentrasi pada lokus tertentu
serta dengan tetap memperhatikan aspirasi masyarakat.
g. Mengacu pada sinkronisasi kebijakan antara Pemerintah Pusat, Propinsi dan Kabupaten/Kota
h. Peningkatan kineja hasil ( out come ) yang nyata dan pada tahap awal
diperlukan PILOT PROJECT untuk mendukug keberhasilan implementasi perencanaan.
Sedangkan strategi yang diambil dalam pelaksanaan belanja tahun
2007, sebagai berikut :
a. Melaksanakan efisiensi dan efektifitas pemanfaatan belanja melalui kejelasan
klasifikasi pada obyek belanja. Layanan dasar dengan pola full allocated / cost
sharing, penanganan bencana/keadaan darurat pola full allocated/cost
sharing, belanja pengembangan ekonomi di sektor riil dengan pola stimulasi,
insentif dan subsidi.
b. Memperbanyak konsep public-private inisiatif yang ditindaklanjuti dengan
c. Stimulasi kebijakan eksternal dalam rangka pemanfaatan idle capital lembaga
perbankan untuk mengoptimalkan baki debet kredit untuk sector riil dalam
rangka percepatan pertumbuhan ekonomi.
d. Optimalisasi Pemanfaatan belanja untuk mendukung kebijakan insentif di
sector riil.
e. Efektivitas stimulasi sector riil melalui penyusunan prospectus bisnis melalui
pembentukan pengelolaan inisiasi investasi (managemen board investation
initiation).
4. Kebutuhan Investasi dan Sumber Pembiayaan
Berdasarkan berbagai langkah perbaikan investasi yang dilakukan di
berbagai bidang, tingkat efisiensi kegiatan ekonomi yang diukur dengan
Incremental Capital Output Ratio (ICOR). ICOR Jawa Timur pada tahun 2004
sebesar 4,00 dan mengalami peningkatan menjadi sebesar 4,18 pada tahun
2005, sehingga dibutuhkan penambahan modal sebesar 3,16 unit yang berarti
untuk menaikkan PDRB sebesar Rp 13.777 miliar dibutuhkan investasi sebesar
Rp 45.108 miliar.
Arah kebijakan umum yang diambil dalam peningkatan sumber
pembiayaan adalah dengan meningkatkan manajemen pembiayaan daerah yang
mengarah pada akurasi, efisiensi, efektifitas dan profitabilitas. Sedangkan
strategi yang diambil adalah sebagai berikut :
a. Apabila APBD surplus maka perlu dilakukan transfer ke persediaan Kas dalam
bentuk girfo, deposito, penyertaan modal atau sisa lebih perhitungan
anggaran tahun berjalan.
b. Apabila APBD defisit, maka perlu memanfaatkan anggaran yang berasal dari
sisa lebih perhitungan anggaran tahun lalu, dan melakukan rasionalisasi
belanja.
c. Apabila Sisa Lebih Perhitungan Anggaran tidak mencukupi untuk menutup