Pemaksimalkan Peran Mahasiswa Rantau
Di Lingkungan Masyarakat Tempat Tinggal
Kajian Menggunakan Metodologi PAR (Partisipatory Action and Research) Dan Non-PAR (Non-Partisipatory Action and Research)
A Naufal Azizi 15/384251/SP/26963
Jurusan Politik Dan Pemerintahan
Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik
Universitas Gadjah Mada
Bagian 1
Pengantar
Peran Mahasiswa amatlah penting dalam rangka pembangunan daerah, bangsa, dan negara karena memiliki peran strategis sebagai agen perubahan sosial, ekonomi, dan politik. Demi kamajuan bangsa dan negara dalam melakukan terobosan-terobosan, sikap kritis dan progresif seorang pemuda sangatlah diharapkan (Musdalifah Yusuf, 2014).1
Namun, Bagaimana jika mahasiswa yang diharapkan dapat mengemban amanat negara ini suatu hari nanti justru tidak cukup berperan dalam lingkungan masyarakat? Bagaimana jika mahasiswa yang sedang dalam masa transisi sebelum terjun ke masyarakat justru malu bersosialisasi atau bahkan tidak peduli dengan permasalahan yang terjadi di lingkungan tempat tinggal? Sungguh ironi melihat keadaan yang memang benar terjadi dan sudah mewabah ke kalangan mahasiswa saat ini. Seperti penyakit flu babi yang dulu sempat marak terjadi, penyakit pragmatisme dan apatisme mahasiswa juga mulai menjalar secara masif, menyerang kaula muda yang malu ataupun tidak mau ikut bersosialisasi di
lingkungan masyarakat tempat tinggal, lebih khusus kepada mahasiswa pendatang yang merantau jauh-jauh dari kampung halaman.
Dewasa ini, mahasiswa lebih memilih melakukan aktifitas, kegiatan,
maupun menghabiskan waktu luang di kampus atau sekadar bermain bersama teman-temannya diluar lingkungan masyarakat. Secara kebutuhan hal itu memang tidak dapat disalahkan. Namun, melihat kondisi mahasiswa saat ini, sangat sedikit yang mau menghabiskan waktu di lingkungan masyarakat walau hanya berinteraksi sebentar dengan warga setempat. Padahal, mahasiswa memiliki peran sebagai social control yang tidak hanya dituntut berperan sebagai pengamat dalam masalah lingkungan masyarakat, akan tetapi dituntut pula mampu menjadi bagian dalam masyarakat itu sendiri.
Berbagai masalah timbul dari minimnya interaksi dan konstribusi mahasiswa ini di masyarakat. Muncul anggapan dari warga jika ada mahasiswa yang sering pulang malam, itu menunjukan bahwa mahasiswa tersebut memiliki sikap kurang baik dan hanya tahu bersenang-senang. Padahal, anggapan itu belum
tentu benar, boleh jadi dia pulang malam karena ada tugas yang harus diselesaikan di kampus, rapat kegiatan hingga larut malam, maupun harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan kuliah. Berbagai konstruksi lahir dan disematkan warga kepada mahasiswa akibat kurangnya interaksi tersebut. Tidak jarang, kontruksi yang disematkan tidak tepat sasaran alias hanya melihat kulit luarnya saja. Jelas dalam hal ini, interaksi dan konstribusi mahasiswa rantau sangat diperlukan untuk memperbaiki konstruksi yang selama ini sering disalah alamatkan kepada mahasiswa yang jarang hadir di lingkungan masyarakat tempat tinggal.
Berdasarkan penjabaran latar belakang masalah diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa yang menjadi fokus utama dalam penelitian ini adalah Bagaimana cara memaksimalkan peran mahasiswa rantau di lingkungan masyarakat tempat tinggal? Hal apa saja yang ditimbulkan dari minimnya interaksi antar mahasiswa rantau dengan warga setempat? Dan mengapa interaksi dan keterlibatan mahasiswa rantau sangat diperlukan dalam sebuah hubungan sosial masyarakat tempat tinggal?
Dalam penelitian ini, penulis melakukan penelitian di lingkungan tempat
tinggal penulis sendiri, yaitu di Padukuhan Purwosari, Jalan Kalimantan, Sinduadi, Mlati, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Penelitian ini dimulai dari bulan Oktober hingga Desember 2015. Dalam pengumpulan data penelitian, penulis
Berikut transkip wawancara penulis dengan Kepala Dukuh Purwosari. Hasil wawancara ini digunakan sebagai landasan awal dalam penelitian dengan metode PAR maupun Non-PAR.
(Kalimat percakapan telah diubah agar sesuai dengan EYD, namun tidak merubah maksud dan tujuan narasumber)
Penulis : Seberapa penting pak interaksi mahasiswa pendatang (luar daerah) dengan warga disini?
Bapak Dukuh : Sangat penting nak, soalnya kalau mahasiswa pendatang itu bersikap terbuka, kami sebagai warga disini juga terbuka. Kalau dia minta tolong kami akan bantu semampu kami. Jadi, menurut bapak penting sekali interaksi mahasiswa terhadap warga disini. Ya sama-sama terbuka lah
Penulis : Jika mahasiswa itu kurang berinteraksi dengan warga disini, Apa saja pak kemungkinan yang bisa timbul di kemudian hari?
Bapak Dukuh : Yang pertama, warga disini merasa tidak nyaman nak dengan mahasiswa seperti itu. Hal-hal buruk bisa saja menimpa tanpa sepengetahuan kami. Kalau terjadi apa-apa nanti kami juga yang repot. Yang kedua, bisa saja tingkah laku kriminal di Dukuh kita
meningkat. Hal-hal seperti kemalingan ataupun tindakan asusila bisa saja muncul. Maka dari itu seharusnya mahasiswa jangan mengambil jarak dengan warga disini. Membaurlah dengan nyaman agar sama-sama saling mengontrol
Penulis : Menurut bapak, apa saja yang menjadi penghambat terjalinnya interaksi antar mahasiswa luar daerah dengan warga disini ?
merasa enak di kos jadi merasa tidak terlalu perlu untuk keluar dan berinteraksi dengan masyarakat disini.
Penulis : Melihat kondisi tersebut, bagaimana pak peran mahasiswa saat ini di lingkungan masyarakat tempat tinggal? Apakah sudah maksimal?
Bapak Dukuh : Belum maksimal. Karena bapak lihat mahasiswa pendatang yang sering berinteraksi dan ikut dalam kegiatan dukuh kita ini biasanya hanya sedikit dan orang yang terlibat juga dengan orang yang sama. Masih banyak mahasiswa itu malu-malu kalau mau main sama warga disini
Penulis : Dimana saja pak di daerah ini interaksi antar mahasiswa dan warga itu terjalin baik?
Bapak Dukuh : Biasanya yang banyak ditempati mahasiswa disini seperti Burjo di depan rumah bapak ini, terus juga lapangan Laboraturium Dinas Kesehatan Sleman, gedung serba guna, sama Masjid Al Hidayah Purwosari. Di tempat-tempat itu biasanya banyak mahasiswa
berkumpul dan membaur bersama warga kita. Khususnya anak-anak TPA dan remaja yang menjadi warga Purwosari
Penulis : Terakhir pak, apa harapannya bagi mahasiswa luar daerah yang
tinggal di daerah sini?
Bagian II
BAB I
Metode Non-PAR (Non-Partisipatory Action and Research)
Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Bapak Setiyono selaku Kepala Dukuh Purwosari, dapat diambil kesimpulan bahwa peran mahasiswa rantau saat ini belumlah maksimal, khususnya di Padukuhan Purwosari. Hal ini dikarenakan masih sedikitnya mahasiswa yang mau dan ikut aktif dalam kegiatan di padukuhan, ikut berinteraksi dan bermain bersama warga sekitar.
Bapak Setiyono juga mengatakan, banyaknya hunian-hunian mahasiswa yang bersifat eksklusif membuat mahasiswa semakin tertutup dan seakan memberi batasan jarak antara mahasiswa pendatang dengan warga setempat. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Prof. Drs. Koentjoro, M.Bsc. Ph.D, bahwa faktor lain yang menyebabkan minimnya interaksi penghuni dengan warga ialah jenis dari kos tersebut. Dosen Jurusan Ilmu Psikologi UGM ini menyampaikan bahwa terdapat dua jenis kos-asrama, kos yang menyerupai asrama tapi merupakan usaha pribadi, dan kos yang murni merupakan bisnis. Kedua jenis kos ini mempengaruhi pola interaksi sosial yang dihasilkan.2
Dengan menggunakan pendekatan teori Ferdinan Tonis, Prof. Koentjoro
menjabarkan bahwa penghuni kos merupakan individu dari masyarakat. Ferdinan Tonis membagi masyarakat menjadi dua kelompok, yaitu patembayan dan paguyuban, yang mana patembayan merupakan ekspresi dari orang-orang kaya, sedangkan paguyuban merupakan ekspresi masyarakat menengah kebawah.3
Masyarakat patembayan tergambar pada penghuni kos eksklusif yang jarang berinteraksi dengan masyarakat. Menurut Derajad, seorang mahasiswa UGM yang juga pernah meneliti tentang pola interaksi mahasiswa dengan masyarakat mengatakan, bahwa golongan petembayan ini sulit aktif dalam kegiatan warga seperti ronda atau kerja bakti. Mereka kurang bersosialisasi dengan masyarakat dalam hal gotong royong karena partisipasi itu sudah dapat
2Dewi dan Fazrin, Garis Batas Penghuni Kos dan Masyarakat Balairung Edisi Khusus, 2015,
hlm.11
digantikan dengan uang. “Kalau partisipasi sosial dapat digantikan dengan uang untuk apa berpartisipasi secara fisik,”tegasnya.4
Selain itu, berdasarkan hasil riset Derajad pula, kos yang hanya mementingkan aspek ekonomi juga sering disalahgunakan oleh para penghuninya. Tidak jarang di Kota Yogyakarta sendiri kos-kos eksklusif tersebut digunakan untuk transaksi narkoba dan beberapa tindakan asusila. Minimnya interaksi antar sesama penghuni kos juga salah satu penyebab maraknya tingkah laku kriminal seperti pencurian di lingkungan masyarakat. 5 Disinilah letak pergeseran interaksinya. Interaksi yang terjadi antar penghuni saja sudah menimbulkan masalah, apalagi dengan lingkungan masyarakat.
Derajad S. Widhyharto, S.Sos, M.si, Dosen Jurusan Sosiologi UGM mengatakan bahwa rendahnya interaksi mahasiswa dengan masyarakat sekitar tidak hanya dipengaruhi oleh perilaku mahasiswa maupun masyarakat. Perkembangan teknologi juga turut menyebabkan mahasiswa kurang membaur dengan masyarkat. Kehadiran teknologi telah menggantikan peran interaksi konvensional yang mengharuskan tatap muka. Menurutnya pula, kesibukan kuliah
dan organisasi membuat hubungan mahasiswa dengan masyarakat tidak sedekat dulu.6
Berdasarkan data diatas, penulis mencoba mewawancarai mahasiswa
pendatang yang tinggal disalah satu hunian eksklusif di daerah Purwosari ini. Penulis menanyakan “apakah mas/mbak sering berinteraksi dengan warga
Purwosari ini? Jika iya, dalam hal apa biasanya mas/mbak berinteraksi ?”
Nama, Daerah Asal,
Universitas Alasan
Ayu, Tangerang, UGM
Jarang, karena saya orangnya pemalu dan kadang bingung harus berperilaku seperti apa di masyarakat sini
Danang, Kudus, UNY
Tidak terlalu sering, soalnya saya banyak aktif kegiatan di kampus dan kalau siang atau sore jarang ada di kos.
4Ibid. 5Ibid.
Biasanya saya keluar kos kalau mau membeli keperluan pribadi saja.
Razi, Lampung, UGM
Jarang, karena saya kuliah sambil bekerja. Saya di kos hanya ada beberapa kali dalam seminggu. Sisanya saya
habiskan di meja kerja.
Wahyu, Surabaya, UGM
Sering, orang-orang yang tinggal di Purwosari ini ramah-ramah. Saya tidak malu kalau memulai interaksi duluan. Saya sering berinteraksi saat makan di burjo dan main bulu
tangkis di gedung serba guna
Dari hasil wawancara saya dengan narasumber diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa memang ada pergeseran interaksi yang terjadi antara mahasiswa yang menghuni kos hunian eksklusif. Namun, itu juga bukan merupakan kesimpulan mutlak, karena mahasiswa seperti Mas Wahyu tidaklah sendiri di padukuhan ini. Mahasiswa yang tinggal di hunian konvensional pun juga ada yang masih tertutup dengan masyarakat. Selebihnya, hal ini bukan hanya tergantung hunian yang ditempati oleh mahasiswa, melaikan sikap pribadi
mahasiswa itu sendiri.
Oleh karena itu, di tanah rantau perlu kiranya memperhatikan dan
BAB II
Metode PAR (Partisipatory Action and Research)
Setelah mengamati potret tingkah laku mahasiswa saat ini di masyarakat, sangat tidak adil kalau diri saya sebagai penulis tidak mengambil bagian dan berperan di lingkungan masyarakat itu sendiri. Di lingkungan tempat penulis tinggal, Jalan Kalimantan, Padukuhan Purwosari, Sleman, DIY, interaksi dan konstribusi mahasiswa rantau dalam kegiatan padukuhan juga masih sangat kurang. Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Bapak Setiyono selaku Kepala Dukuh Purwosari, beliau mengatakan bahwa mahasiswa saat ini lebih memilih melakukan aktifitas di kampus dan jarang yang mau berinteraksi apalagi berkonstribusi di lingkungan tempat tinggal. Padahal, ajakan dari padukuhan sendiri sudah sering dilakukan warga setempat.
Berdasarkan hasil wawancara penulis pula dengan Bapak Setiyono, penulis mendapatkan informasi tempat-tempat di Purwosari ini yang biasanya ditempati mahasiswa untuk berinteraksi antara warga setempat dan itu terjalin dengan baik dan bersifat dua arah. Tempat-tempat itu antara lain rumah makan (Burjo) Palm Kuning, lapangan Dinas Kesehatan, gedung serba guna, dan Masjid
Al Hidayah Purwosari.
3. Gedung Serba Guna 4. Masjid Al Hidayah Purwosari
Dari gambar nomor satu diatas, itu adalah angkringan (burjo) yang selalu ramai dikunjungi pemuda dan lebih khususnya mahasiswa yang tinggal di daerah ini. Di burjo tersebut komunikasi antara warga asli Purwosari dan mahasiswa pendatang terjalin dengan hangat. Tempat-tempat makan seperti burjo ini bisa mencairkan suasana yang sempat kaku di masyarakat.
Dalam kesempatan ini, Saya mewawancarai atau lebih tepatnya ngobrol dengan salah seorang pembeli disana, namanya Wahyu, dia mahasiswa semester lima Fakultas Kedokteran UGM. Dia mengatakan, di tempat seperti Burjo ini dia sering berinteraksi dengan mahasiswa lain luar daerah ataupun penduduk asli Purwosari. Di tempat makan seperti ini menurut dia sangat cocok untuk mencairkan suasana dan bisa sejenak melupakan tugas kuliah yang semakin menggunung. Tidak lupa sebelum menyelesaikan perbincangan saya mengajak mas Wahyu untuk sering-sering ke tempat ini dan turut mengajak teman-temannya yang lain untuk makan disini sekalian berinteraksi dengan warga setempat.
Kemudian gambar yang ketiga adalah gedung serba guna. Letaknya tepat di depan lapangan laboraturium Dinas Kesehatan Sleman tadi. Saat malam menjelang, selepas shalat isya tempat ini selalu ramai dikunjungi mahasiswa dan bapak-bapak penduduk Purwosari. Malam hari ketika tidak ada acara padukuhan, tempat ini selalu disihir menjadi lapangan bulu tangkis. Tanpa ada halangan untuk bermain, semua warga Purwosari boleh mengambil bagian dalam pertandingan. Tidak jarang permainan bulu tangkis ini berlangsung hingga larut malam dan membuat suasana semakin hangat dan akrab.
Dalam kesempatan ini, saya mewawancarai atau lebih tepatnya ngobrol dengan Bapak Budi selaku tokoh masyarakat yang cukup terkenal di dukuh ini dan juga salah seorang pemain aktif di gedung ini. Menurut Pak Budi di gedung
ini sering mahasiswa yang sedang tidak ada tugas bermain bersama warga. “kita tidak membeda-bedakan siapa pemainnya, yang penting bermain saja”, tandas Pak Budi mengakhiri perbincangan. Tidak lupa sebelum melanjutkan permainan, saya mengajak teman-teman lain yang bermain agar sering-sering ke gedung ini agar komunikasi antar warga setempat dan mahasiswa pendatang terjalin hangat.
Yang terakhir adalah Masjid Al Hidayah Purwosari. Di masjid ini, menurut pengamatan saya lebih dari 50 persen jamaahnya diisi oleh kalangan mahasiswa dan anak-anak. Remaja masjid Al Hidayah ini juga hampir semuanya
adalah mahasiswa pendatangyang “bekerja” sambil kuliah di berbagai universitas di Yogyakarta. Di masjid ini, interaksi antara para orang tua, tetua dukuh, dan mahasiswa pendatang terjalin baik dan hangat. Pengajian dan diskusi yang diadakan padukuhan Purwosari di Masjid Al Hidayah ini sukses membuat mahasiswa aktif dalam kegiatan di kampung kecil ini. Tidak lupa sebagai agent of change bagi masyarakat, saya menyempatkan berbincang dengan para remaja masjid dan terus mengajak teman-teman yang lain bergabung dalam kegiatan masjid.
Derajad S. Widhyharto, S.Sos, M.si, Dosen FISIPOL UGM mengatakan faktor penting yang mempengaruhi terjadinya interaksi adalah kesempatan, keinginan, dan kepercayaan.7 Pertama, yaitu kesempatan. Kesempatan tidak datang dengan sendirinya, tapi diusahakan untuk mendapatkannya. Saat memiliki
kesempatan dan waktu luang kita harus mencoba untuk keluar kos dan berinteraksi dengan warga sekitar. Jika masih merasa malu dan canggung, kita bisa mengajak bicara dan bermain bersama anak-anak yang sedang beraktifitas di lingkungan sekitar tempat tinggal kita. Mengikuti mereka bermain, berbagi, dan bertukar cerita akan membuat suasana keakraban disana akan berjalan hangat. Secara tidak langsung warga sekitar akan menilai kita sebagai pribadi yang ramah dan mudah bergaul.
Yang selanjutnya yaitu keinginan. Ketika sudah mendapatkan kesempatan, yang harus dilakukan selanjutnya yaitu berkeinginan untuk berinteraksi dengan warga setempat. Keinginan juga tidak datang dengan sendirinya. Keinginan ditumbuhkan atas dasar kebutuhan kita sebagai agen perubahan. Menurut Muhammad Salim (1999) kita sebagai mahasiswa merupakan jembatan antara dunia teoritis dan dunia empiris dalam arti pemetaan dan pemecahan masalah-masalah kehidupan sesuai dengan bidangnya. Jadi, sebagai mahasiswa yang terdidik kita juga harus membantu masyarakat dalam menghadapi permasalahan yang timbul di lingkungan, dan salah satu caranya yang pertama yaitu
menumbuhkan keinginan untuk membantu.
Dengan kesempatan dan keinginan yang sudah kita tumbuhkan tersebut, tanpa sadar kita akan memperoleh kepercayaan dari masyarakat itu sendiri.
Dengan memanfaatkan kesempatan dan mengelola keinginan itu kita akan mudah dalam bersosialisasi disana. Pada saat awal memang terasa malu, canggung, atau bahkan takut. Namun, saat kita sudah mengenal dan dikenal oleh warga sekitar, tingkah laku kita akan diperhatikan dan dijaga oleh masyarakat.
Di negeri rantau, kita mendapatkan keluarga baru, berbagai kemudahan dalam mengakses informasi setempat, dan terutama yaitu relasi yang banyak dengan masyarakat sekitar yang akan sulit kita dapatkan dikehidupan perkuliahan. Terjadi aspek timbal balik disana, saling mempercayai antara mahasiswa dan warga setempat, kita dapat menilai bagaimana orang lain menilai kita, dan kita dapat memposisikan diri akibat dari penilaian tersebut.
dan selalu aktif di masyarakat, karena tidak bisa dipungkiri bahwa kita akan kembali hadir dan menjadi bagian dari masyarakat di kemudia hari.
Bagian III
Refleksi
Berdasarkan penelitian di atas, penulis beranggapan bahwa interaksi yang terjalin antara mahasiswa rantau dengan masyarakat tempat tinggal dewasa ini belumlah maksimal. Masih banyak hal yang perlu dievaluasi dari peran mahasiswa sebagai agent of change bagi masyarakat. Permasalahan dari minimnya interaksi mahasiswa rantau juga berdampak dari konstruksi yang dibangun masyarakat terhadap dirinya. Munculnya anggapan kurang baik dari masyarakat terhadap mahasiswa yang kurang berinteraksi tidak jarang hadir dalam tatanan kehidupan sosial masyarakat. Hal ini pula yang menimbulkan tingkat kejahatan dan asusila meningkat di lingkungan masyarakat dan tentu menimbulkan ketidakamanan bagi setiap hak individu.
Perjalanan penulis dalam melakukan penelitian ini tidaklah mudah. Kendala yang dihadapi penulis antara lain ; sulitnya mencari mahasiswa yang kurang aktif di masyarakat karena banyaknya kesibukan mereka di kampus, mengajak mahasiswa untuk ikut aktif dalam kegiatan di padukuhan, dan mensosialisasikan bagaimana dampak buruk yang akan timbul jika mahasiswa
kurang berinteraksi dengan masyarakat sekitar. Namun, dengan arahan Bapak Setiyono selaku Kepala Dukuh Purwosari, penulis merasa terbantu dengan diberi
tahunya tempat-tempat yang biasanya ditempati mahasiswa dan warga di padukuhan ini. Dengan adanya tempat itu, objek kajian dan narasumber penelitian ini menjadi jelas.
DAFTAR PUSTAKA
MAKALAH
Moh. Gufron, 2014, “PeranMahasiswa Dalam Mempersiapkan Generasi Emas
Sebagai Generasi Penerus Pemimpin Bangsa”. Makalah dipresentasikan pada
pemilihan duta mahasiswa GenRe Tingkat Provinsi NTB Tahun 2014 di Mataram.
Musdalifah Yusuf, 2014, “Aktualisasi Peran Mahasiswa”. Forumdiskusi
slideshare.net.
Muhammad Salim, 1999, “Antara Status dan Peran”. Makalah ini dipresentasikan
dalam Orientasi Kemahasiswaam di IAI Nurul Jadid Tahun 1999 di Probolinggo.
MAJALAH
UKM Balairung UGM, 2015, “Garis Batas Penghuni Kos dan Masyarakat”,
Balkon: Edisi Spesial Mahasiswa baru 2015. Vol. Khusus.
UKM Bulaksumur UGM, 2015, “Adaptasi Mahasiswa”,Bulaksumur Pos: Edisi