• Tidak ada hasil yang ditemukan

COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM PERENCANA (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM PERENCANA (1)"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

A. Pendahuluan

Semenjak bergulirnya era Reformasi di Indonesia sampai saat ini, pemerintah Indonesia berupaya untuk berbenah dalam membentuk sistem politik yang demokratis.Pada masa pemerintahan orde baru yang selama 32 tahun berkuasa berhasil melembagakan kekuasaan otoriter sehingga rakyat hanya menjadi obyek pembangunan.Pada masa Pemerintah Orde Baru berkuasa di Indonesia, perencanaan pembangunan seringkali dilaksanakan sepenuhnya oleh pemerintah secara teknokratis. Selain itu proses perencanaan pembangunan juga sering dilakukan semata-mata bersandar pada orang-orang ahli dengan kurang memperhitungkan aspirasi masyarakat.

Masyarakat hanya tinggal menerima apapun hasil perencanaan pembangunan yang dibuat oleh

PERENCANAAN PEMBANGUNAN:

Partisipasi Masyarakat dan Pemerintah dalam Agenda Kebijakan Pembangunan Perbatasan di Kepri Tahun 2015

Oleh :

Eki Darmawan & Nazaki

Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Maritim Raja Ali Haji

Email : ekidarmawan75@yahoo.co.id

Abstract

Collaborative Governance in Development Planning or collaborative governance in the planning of development has a close relationship with the participation of the community and the government itself. To achieve the success of community development regions then all program planning, implementation and evaluation of development should involve the community, because they know the problems and needs in order to build its territory because they eventually will utilize and assess the success or failure of development in the region mereka.Metode in Research the use of qualitative methods by combining the primary and secondary data. In Kepri Border Development is still very low participation of society that is still going on differences in the perception of the border development and regional development. The government also did not show that collaborative governance on the policy agenda, so that the level of participation is very low.

Keywords : Collaborative Governance, Participation, Development Planning

pemerintah.Hampir tidak pernah terjadi diskusi publik yang kemudian dijadikan sebagai masukan dalam perencanaan pembangunan.Mobilasi sosial dengan kekuatan birokrasi seringkali mendominasi perencanaan pembangunan. Akibatnya, masyara-kat selalu menjadi tertekan dan tidak mampu menumbuhkan inisiatif secara mandiri.

(2)

menuju bottom up. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa esensi dari perubahan politik ke arah demokrasi yang terjadi menuntut keterlibatan masyarakat dalam perencanaan pembangunan dan pola-pola seperti itu sering dirumuskan sebagai partisipasi masyarakat.

Seiring diberlakukannya otonomi daerah, maka daerah diberikan wewenang untuk mengatur rumah tangganya sendiri, termasuk didalamnya adalah melakukan perencanaan pembangunannya yang berbasis pada potensi local masing-masing daerah dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Indonesia adalah negara kepulauan

(archipe-lagic state) total pulau : 17.499 pulau dan luas

wilayah perairan mencapai 5,8 juta km2, serta panjang garis pantai yang men-capai 81.900 km. Dua pertiga dari wilayah Indonesia adalah laut. Ada tiga perbatasan darat dan sisanya adalah perba-tasan laut. Perbaperba-tasan laut Indonesia berbaperba-tasan dengan 10 negara diantaranya “Malaysia, Singapura, Filipina, India, Vietnam, Republik Palau, Australia, Timor Leste, dan Papua Nugini”. Sedangkan untuk wilayah darat, Indonesia berbatasan langsung dengan tiga negara, yakni Malaysia, Papua Nugini, dan Timor Leste dengan garis perbatasan darat secara keseluruhan adalah 2914,1 km.( Grand Dsign BNPP RI 2011).

Indonesia merupakan Negara yang banyak berbatasan langsung dengan negara lain merupakan suatu kenyataan yang harus disadari bahwa Indonesia harus senantiasa waspada dalam menjaga wilayah perbatasan. Kemungkinan masuknya pengaruh asing negatif dan berpotensi mengancam stabilitas nasional sehingga harus dapat diantisipasi dan mendapatkan perhatian dari pemerintah daerah perbatasan itu sendiri.

Dalam konteks kepentingan nasional, perlu ditumbuhkan kesadaran untuk memperhatikan kawasan-kawasan perbatasan yang selama ini dianggap sebagai halaman belakang yang

terlupa-Indonesia.Masyarakat dan kawasan beranda terdepan haruslah memiliki derajat penghidupan yang layak dari sisi pemenuhan kebutuhannnya. Hal ini akan menunjukkan bahwa tingkat kemajuan kawasan tersebut akan setara atau bahkan lebih baik dari wilayah negara tetangga.

Sudah banyak regulasi yang dikeluarkan pemerintah dengan maksud dan upaya untuk pengembangan wilayah perbatasan dan peme-rintahan daerah, akan tetapi masalah-masalah perbatasan pemerintah selalu menitik beratkan pada masalah pertahan dan keamanan saja padahal kondisi sosial, politik, budaya, geografis, nasionalisme dan pembangunan infrastruktur serta pelayanan publik di daerah perbatasan dan pulau-pulau terdepan sangat memprihatinkan dengan banyaknya isu-isu yang mencuat di media dan dengan terjadinya banyak masalah diperbatasan seperti penyeludupan, TKI gelap, masalah imigrasi, dan banyak lagi masalah lain yang membuktikan bahwa daerah perbatasan perlu di perhatikan dan ada prioritas tersendiri.

Berangkat dari tulisan ini, penulis akan membahas masalah perbatasan terkait

colla-borative governance atau tata kelola

pemerin-tahan yang kolaboratif dalam melakukan perenca-naan pembangunan perbatasan. Untuk tercapainya keberhasilan pembangunan masyarakat daerah maka segala program perencanaan, pelaksanaan serta evaluasi pembangunan harus melibatkan masyarakat, karena merekalah yang mengetahui permasalahan dan kebutuhan dalam rangka membangun wilayahnya sebab merekalah nantinya yang akan memanfaatkan dan menilai tentang berhasil atau tidaknya pembangunan di wilayah mereka.

(3)

secara bertahap dan berkelanjutan guna mewujud-kan hal yang lebih baik seiring dengan dimensi waktu.

Proses perencanaan pembangunan daerah dimulai dengan informasi tentang ketersediaan sumber daya dan arah pembangunan nasional, sehingga perencanaan bertujuan untuk menyusun hubungan optimal antara input, proces, dan

output/outcomes atau dapat dikatakan sesuai

dengan kebutuhan, dinamika reformasi dan pemerintahan yang lebih demokratis dan terbuka, sehingga masyarakatlah yang paling tahu apa yang dibutuhkannya. Jadi partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan sangat penting karena dapat menumbuhkan sikap memiliki dan rasa tanggung jawab masyarakat terhadap pembangunan Sejalan dengan waktu, upaya memikirkan ulang format proses politik yang lebih memberi ruang kepada rakyat mulai tampak, hal ini ditandai dengan diterapkan maka hal tersebut juga membawa dampak positif dalam system pemerintahan di Indonesia, salah satu wujudnya adalah dengan diterapkannya Undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerahyang kemudian perbaharui dengan Undang-undang no 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah serta revisi melalui Perpu no 8 tahun 2005 serta Undang-undang no 12 tahun 2008 tentang pemerintahan daerah.

Partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan daerah merupakan salah satu pendekatan dalam pelaksanaan Collaborative

Governance, dimana pemerintah tidak menjadi

satu-satunya pihak yang menguasai jalannya pembangunan baik pada level nasional maupun daerah, keikutsertaan stakeholders yang lain dalam pembangunan merupakan bagian dari upaya untuk mewujudkan kondisi yang lebih baik.

B. Metode Penelitian

Jenis penelitian ini ialah penelitian dengan metode kualitatif yaitu nilai yang tidak dapat dinyatakan dalam angka-angka (statistik).Jadi, data kualitatif adalah data yang berupa kata atau kalimat, gambar, skema yang belum diangkakan.

Penelitian ini menggunakan teknik analisis deskriptif, yaitu suatu penelitian yang

mendeskripsi-kan apa yang terjadi pada saat melakumendeskripsi-kan penelitian. Pada penelitian ini terdapat upaya mendeskripsikan, mencatat, menganalisa dan menginterpretasikan kondisi-kondisi yang seka-rang ini terjadi atau ada. Penelitian ini tidak menguji hipotesa, melainkan hanya mendeskripsikan informasi apa adanya secara objektif. Oleh karena itu penelitian deskriptif pada umumnya menggu-nakan kata tanya “bagaimana” dalam merumuskan kalimat pertanyaan penelitiannya.

Lokasi penelitian ini ialah di Provinsi Kepulauan Riau dan akan dilaksanakan di Kantor Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau Kota Tanjungpinang khususnya di Lembaga dan Dinas-dinas terkait permasalahan yang akan diteliti yakni Ketua Komisi III DPRD Provinsi Bidang Pembangunan, Kepala BAPPEDA Provinsi Kepri atau yang mewakilinya, Kepala Badan Pengelolaan Per-batasan Kepri dan Aktivis LSM dan Lembaga Penelitian serta Akademisi Pengamat Perbatasan Provinsi Kepulauan Riau.

Jenis data dalam penelitian ini adalah dengan mengumpulkan dan menganalisa data sebagai berikut:

a. Data primer yang didasarkan pada interview dan observasi pada objek yang diteliti untuk memperoleh data-data yang dibutuhkan. Studi lapangan yang dilakukan dengan datang langsung ke lokasi penelitian dengan cara melakukan wawancara terhadap subyek dalam penelitian.

b. Data sekunder yaitu dengan mencari sumber data dan informasi melalui buku-buku, jurnal, internet dan lain-lain yang berkaitan dengan penelitian ini.

Teknik yang dilakukan dalam pengumpulan data ini dengan melakukan wawancara terhadap informan kunci atau orang yang dianggap dapat menjawab pertanyaan terkait masalah yang akan diteliti,yakni dengan mekanisme pertanyaan yang sudah disusun dan bisa keluar dari konsep jika berkaitan dengan yang ingin diteliti atau bisa juga disebut dengan wawancara non-terstruktur.

(4)

1. Stakeholder Primer NGO dan Akademisi 2. Stakeholder Skunder

BAPPEDA Provinsi Kepri : Komisi III DPRD Provinsi Kepri

C. Kerangka Teoritik

1. Pemerintahan Kolaboratif (Collaborative Governance)

Selama beberapa waktu terakhir mulai kita dengar sebuah strategi pelaksanaan pemerintahan dimana pemerintah dianggap akan bekerja lebih efektif dan lebih cepat mencapai tujuan-tujuannya jika melakukan kolaborasi, kolaborasi ini kemudian dikenal dengan istilah “pemerintahan kolaboratif”. Pada pemerintahan kolaboratif, pemerintah tetap memainkan peran yang penting untuk mengajak elemen-elemen yang lain terlibat aktif untuk menentukan kebijakan yang dilem-bagakan dalam sebuah forum.

Pengertian dari Pemerintahan kolaboratif(Ansell & Gash, 2007) merupakan sebuah susunan peme-rintahan yang mana lembaga publik dan lembaga non pemerintah secara langsung terlibat dalam pro-ses pengambilan keputusan kolektif yang formal, berorientasi konsensus dan deliberatif serta ber-tujuan untuk membuat atau menerapkan kebijakan publik, mengelola program publik atau aset.

Dari definisi tersebut, kita dapat mengambil

beberapa kriteria tentang pemerintahan kolaboratif, yaitu :

a. Forum yang diinisiasi oleh lembaga publik, b. Peserta dalam forum termasuk aktor non

pemerintah,

c. Peserta terlibat langsung dalam pengambilan keputusan dan tidak hanya sekedar dijadikan tempat konsultasi,

d. Forum diselenggarakan secara formal dan bertemu secara kolektif

e. Forum bertujuan untuk membuat keputusan berdasarkan mufakat,

f. Fokus kolaborasi pada kebijakan publik atau manajemen publik.

Pemerintahan kolaboratif termasuk manajemen partisipatif, pembuatan kebijakan interaktif, tata stakeholder, dan manajemen kolaboratif.istilah manajemen kolaboratif mencakup berbagai aspek, mulai dari proses perencanaan, pembuatan kebijakan, impelemntasi sampai pada evaluasi. Kolaboratif juga merupakan Istilah yang lebih menunjukkan pada pendekatan musyawarah dan berorientasi konsensus.

(5)

2. Partisipasi Masyarakat

Partisipasi selain telah menjadi kata kunci dalam pembangunan, juga menjadi salah satu karak-teristik dari penyelenggaraan pemerintah yang baik.Secara etimologi, partisipasi berasal dari bahasa inggris “participation” yang berarti mengambil bagian/keikutsertaan. Dalam kamus lengkap Bahasa Indonesia dijelaskan “partisipasi” berarti: hal turut berperan serta dalam suatu kegiatan, keikutsertaan, peran serta. Secara umum pengertian dari partisipasi masyarakat dalam pembangunan adalah keperansertaan semua anggota atau wakil-wakil masyarakat untuk ikut membuat keputusan dalam proses perencanaan dan pengelolaan pembangunan termasuk di dalamnya memutuskan tentang rencana-rencana kegiatan yang akan dilaksanakan, manfaat yang

akan diperoleh, serta bagaimana melaksanakan dan mengevaluasi hasil pelaksanaannya.

Melihat dampak penting dan positif dari perencanaan partisipatif, dengan adanya partisipasi masyarakat yang optimal dalam perencanaan diharapkan dapat membangun rasa pemilikan yang kuat dikalangan masyarakat terhadap hasil-hasil pembangunan yang ada.Geddesian (dalam Soemarmo 2005:26) mengemukakan bahwa pada dasarnya masyarakat dapat dilibatkan secara aktif sejak tahap awal penyusunan rencana. Keter-libatan masyarakat dapat berupa: (1) pendidikan melalui pelatihan, (2) partisipasi aktif dalam pengumpulan informasi, (3) partisipasi dalam memberikan alternatif rencana dan usulan kepada pemerintah. Secara skematis struktur partisipasi dalam perencanaan seperti berikut:

Tingkat kolaborasi Siapa yang terlibat dan Kegiatan Tingkat tertinggi: komitmen yang tinggi

untuk kolaborasi; risiko politik / manajerial tertinggi

Jaringan i nteraksi antara aktor -aktor yang Transformatif; keterlibatan dan

pemberdayaan su bstantif; tercapainya konsensus dan kerja sama antar stakeholder atau antar-aktor; terwujud koalisi yang kuat antara pemerintah dengan lembaga non pemerintah

Tingkat menengah -tinggi: orientasi kolaborasi; resiko politik dan manajerial tinggi

Keterlibatan yang kuat dari para pemangku kepentingan dalam pengambilan keputusan atau proses kebijakan dan implementasi; mengalihkan kapasitas pengambilan keputusan untuk klien; inovasi yang lebih kompleks dalam proses kebijakan

Tingkat Menengah: komitmen untuk kolaborasi; resiko politik dan manajerial sedang

Komitmen kolaborasi formal untuk konsultasi antar lembaga; aktor-aktor bergabung dengan pemerintah; keterlibatan formal dan inisiatif pendanaan bersama Tingkat menengah -rendah: bentuk

operasional dari kolaborasi untuk 'mendapatkan pekerjaan yang dilakukan'; resiko politik dan manajerial agak rendah

Bentuk co -produksi; perbaikan teknis dalam kolaborasi; Bantuan untuk mematuhi

kewajiban; konsultasi langsung dengan klien; proses yang sistematis, penggunaan data evaluasi; melakukan pelaporan pada publik Level terendah: penyesuaian operasional

kolaborasi, tingkat resiko politik dan manajerial rendah

Penyesuaian kolaborasi; menggunakan proses konsultatif; diskusi klien dan mekanisme umpan balik; mendapatkan informasi mengenai kebutuhan / harapan orang lain

Tabel 1 :Skala Kolaborasi

(6)

Menurut Juliantara (2002:87) substansi dari partisipasi adalah bekerjanya suatu sistem pemerintahan dimana tidak ada kebijakan yang diambil tanpa adanya persetujuan dari rakyat, sedangkan arah dasar yang akan dikembangkan adalah proses pemberdayaan, lebih lanjut dikatakan bahwa tujuan pengembangan partisipasi adalah Pertama, bahwa partisipasi akan memung-kinkan rakyat secara mandiri (otonom) mengorga-nisasi diri, dan dengan demikian akan memudah-kan masyarakat menghadapi situasi yang sulit, serta mampu menolak berbagai kecenderungan yang merugikan. Kedua, suatu partisipasi tidak hanya menjadi cermin konkrit peluang ekspresi aspirasi dan jalan memperjuangkannya, tetapi yang lebih penting lagi bahwa partisipasi menjadi semacam garansi bagi tidak diabaikannya kepentingan masyarakat.Ketiga, bahwa persoalan-persoalan dalam dinamika pembangunan akan dapat diatasi dengan adanya partisipasi masyarakat. (Juliantara, 2002: 89-90).

Literatur klasik selalu menunjukan bahwa partisipasi masyarakat adalah keikutsertaan masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan, sampai evaluasi program pembangunan, tetapi makna substantif yang terkandung dalam sekuen-sekuen partisipasi adalah voice, akses dan control (Juliantara, 2002:90-91). Pengertian dari masing-masing sekuen tersebut di atas adalah:

1. Voice, maksudnya adalah hak dan tindakan warga masyarakat dalam menyampaikan aspirasi, gagasan, kebutuhan, kepentingan dan

tuntutan terhadap komunitas terdekatnya maupun kebijakan pemerintah.

2. Akses, maksudnya adalah mempengaruhi dan menentukan kebijakan serta terlibat aktif mengelola barang-barang publik, termasuk didalamnya akses warga terhadap pelayanan publik.

3. Control, maksudnya adalah bagaimana masya-rakat mau dan mampu terlibat untuk mengawasi jalannya tugas-tugas pemerintah. Sehingga nantinya akan terbentuk suatu pemerintahan yang transparan, akuntabel dan responsif terhadap berbagai kebutuhan masyarakatnya.

Alexander Abe (2002:81) mengemukakan pengertian perencanaan partisipatif sebagai berikut: “perencanaan partisipatif adalah peren-canaan yang dalam tujuannya melibatkan kepentingan masyarakat, dan dalam proses-nya melibatkan rakyat (baik secara langsung maupun tidak langsung) tujuan dan cara harus dipandang sebagai satu kesatuan. Suatu tujuan untuk kepentingan rakyat dan bila dirumuskan tanpa melibatkan masya-rakat, maka akan sangat sulit dipastikan bahwa rumusan akan berpihak pada rakyat.”

Lebih lanjut Abe mengemukakan langkah-langkah dalam perencanaan partisipatif yang disusun dari bawah yang dapat digambarkan sebagai tangga perencanaan sebagai berikut: Sumber: Geddesian dalam Soemarmo

(7)

Langkah-langkah di atas, dapat diuraikan secara rinci sebagai berikut:

1. Penyelidikan, adalah sebuah proses untuk mengetahui, menggali dan mengumpulkan persoalan-persoalan bersifat local yang berkembang di masyarakat.

2. Perumusan masalah, merupakan tahap lanjut dari proses penyelidikan. Data atau informasi yang telah dikumpulkan diolah sedemikian rupa sehingga diperoleh gambaran yang lebih lengkap, utuh dan mendalam.

3. Identifikasi daya dukung, dalam hal ini daya dukung diartikan sebagai dana konkrit (uang) melainkan keseluruhan aspek yang bias memungkinkan target yang telah ditetapkan. 4. Rumusan Tujuan adalah kondisi yang hendak

dicapai, sesuatu keadaan yang diinginkan (diharapkan), dan karena itu dilakukan sejumlah upaya untuk mencapainya.

5. Langkah rinci Penetapan langkah-langkah adalah proses penyusunan apa saja yang akan dilakukan. Proses ini merupakan proses membuat rumusan yang lebih utuh, perencanaan dalam sebuah rencana tindak.

6. Merancang anggaran, disini bukan berarti mengahitung uang, melainkan suatu usaha untuk menyusun alokasi anggaran atau sumber daya yang tersedia.

Pandangan lainnya, sebagaimana dinyatakan oleh Mubyarto (1984:35), “partisipasi masyarakat

dalam pembangunan pedaerahan harus diartikan sebagai kesediaan untuk membantu berhasilnya setiap program sesuai kemampuan setiap orang tanpa berarti mengorban kepentingan diri sendiri”.Selanjutnya disebutkan pula bahwa dalam keadaan yang paling ideal keikutsertaan masya-rakat merupakan ukuran tingkat partisipasi rakyat.Semakin besar kemampuan mereka untuk menentukan nasibnya sendiri, maka semakin besar pula kemampuan mereka dalam pembangunan.

Terkait dengan masyarakat dalam tahapan kegiatan pembangunan, (Siagian, 1989:108) menyatakan bahwa partisipasi dalam pengambilan keputusan merupakan proses dalam memilih alternatif yang diberikan semua unsur masyarakat, lembaga formal, lembaga sosial dan lain-lain. Ini berarti partisipasimasyarakat dalam pengambilan keputusan sangat penting, karena masyarakat dituntut untuk dapat menentukan apa yang ingin dicapai, permasalahan apa yang dihadapi, alternatif apa yang kiranya dapat mengatasi masalah itu, dan alternatif mana yang terbaik harus dilakukan guna mengatasi permasalahan tersebut.

Pusic (dalam Adi, 2001:206-207) menyatakan bahwa Perencanaan pembangunan tanpa memper-hatikan partisipasi masyarakat akan menjadi perencanaan di atas kertas. Berdasarkan pan-dangannya, partisipasi atau keterlibatan warga masyarakat dalam pembangunan daerah dlihat dari 2 hal, yaitu:

a. Partsipasi dalam perencanaan Sumber: Alexander Abe (2002:100)

(8)

Segi positif dari partisipasi dalam perencanaan adalah program-program pembangunan daerah yang telah direncanakan bersama sedangkan segi negatifnya adalah adanya kemungkinan tidak dapat dihindari pertentangan antar kelompok dalam masyarakat yang dapat menunda atau bahkan menghambat tercapainya keputusan bersama. Disini dapat ditambahkan bahwa partisipasi secara langsung dalam perencanaan hanya dapat dilaksanakan dalam masyarakat kecil, sedangkan untuk masyarakat yang besar sukar dilakukan. Namun dapat dilakukan dengan sistem perwakilan. Masalah yang perlu dikaji adalah apakah yang duduk dalam perwakilan benar-benar mewakili warga masyarakat.

b. Partisipasi dalam pelaksanaan.

Segi positif dari Partisipasi dalam pelaksanaan adalah bahwa bagian terbesar dari program (penilaian kebutuhan dan perencanaan prog-ram) telah selesai dikerjakan.Tetapi segi negatifnya adalah kecenderungan menjadikan warga negara sebagai obyek pembangunan, dimana warga hanya dijadikan pelaksana pembangunan tanpa didorong untuk mengerti dan menyadari permasalahan yang mereka hadapi dan tanpa ditimbulkan keinginan untuk mengatasi masalah.Sehingga warga masyarakat tidak secara emosional terlibat dalam program, yang berakibat kegagalan seringkali tidak dapat dihindari.

Pandangan Pusic yang menekankan partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah hanya pada tahap perencanaan dan pelaksanaan program pembangunan nampaknya belum lengkap guna menjamin kesinambungan pencapaian tujuan pembangunan daerah.Hal ini sesuai dengan pendapat Adi yang melengkapi pandangan Pusic. Menurut Adi (2001:208), dalam perkembangan

tidak diarahkan (non direktif), sehingga partisipasi masyarakat meliputi proses-proses:

a. Tahap Assesment

b. Tahap perencanaan alternatif program atau kegiatan.

c. Tahap pelaksanaan (implementasi) program atau kegiatan.

d. Tahap evaluasi (termasuk didalamnya evaluasi input, proses dan hasil).

Berdasarkan hal di atas, maka dapat dilihat bahwa partisipasi yang dilakukan masyarakat bersama-sama pihak terkait lainnya dalam berbagai tahapan pembangunan akan menghasilkan konsensus dalam kebijakan pembangunan, dan sekaligus melatih masyarakat menjadi lebih pandai khususnya dalam penanganan masalah-masalah yang muncul di masyarakat.

3. Perencanaan Pembangunan

Pengertian perencanaan pembangunan dapat dilihat berdasarkan unsur-unsur yang membentuk-nya yaitu: perencanaan dan pembangunan. Perencanaan menurut Terry (dalam Hasibuan, 1993:95) adalah memilih dan menghubungkan fakta dan membuat serta menggunakan asumsi-asumsi mengenai masa yang akan dating dengan jalan menggambarkan dan merumuskan kegiatan yang diperlukan untuk mencapai hasil yang diinginkan.

Pengertian pembangunan menurut Siagian adalah suatu usulan atau rangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan yang berencana yang dilakuakan secara sadar oleh suatu bangsa negara dan pemerintah menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa.

(9)

melibatkan keputusan-keputusan, alternatif-alternatif atau pilihan, mengenai cara-cara alternatif penggunaan sumber-sumber daya, dengan tujuan menghasilkan sasaran-sasaran spesifik untuk waktu yang akan datang”.

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa fungsi perencanaan adalah sebagai alat untuk memilih, merencanakan untuk masa yang akan datang, cara untuk mengalokasikan sumber daya serta alat untuk mencapai sasaran, dan apabila dikaitkan dengan pembangunan yang hasilnya diharapkan dapat menjawab semua permasalahan, memenuhi kebutuhan masyarakat, berdaya guna dan berhasil guna, serta mencapai tujuan yang diinginkan, maka perencanaan itu sangat diperlu-kan agar pembangunan yang dilaksanadiperlu-kan lebih terarah, efektif dan efisien dalam penggunaan sumber daya dan dana. Sedangkan pembangunan dalam perencanaan itu sendiri merupakan suatu proses perubahan kearah yang lebih baik melalui apa yang dilakukan secara terencana.

Menurut Conyers (1994: 5) setiap bentuk perencanaan pasti mempunyai implikasi atau aspek sosial, karenanya dapatlah dianggap bahwa perencanaan sosial harus merupakan bentuk arahan bagi seluruh rangkaian kegiatan perenca-naan itu sendiri.Perencaperenca-naan jenis ini biasanya dipakai pemerintah atau badan lainnya guna mengatasi masalah perubahan ekonomi dan masalah sosial pada umumnya.Perencanaan ini dikenal dengan perencanaan pembangunan.

Lebih lanjut Riyadi dan Bratakusumah (2004:7) mengemukakan bahwa perencanaan pem-bangunan dapat diartikan sebagai suatu proses perumusan alternatif-alternatif atau keputusan-keputusan yang didasarkan pada data-data dan fakta-fakta yang akan digunakan sebagai bahan untuk melaksanakan suatu rangkaian kegiatan/ aktivitas kemasyarakatan, baik yang bersifat fisik (material) maupun nonfisik (mental dan spiritual) dalam rangka mencapai tujuan yang lebih baik.

Perencanaan pembangunan merupakan pedo-man/acuan/dasar bagi pelaksanaan kegiatan pembangunan. Karena itu perencanaan pem-bangunan hendaknya bersifat implementatif (dapat melaksanakan) dan aplikatif (dapat diterapkan),

serta perlu disusun dalam suatu perencanaan strategis dalam arti tidak terlalu mengatur, penting dan mampu menyentuh kehidupan masyarakat luas, sekaligus mampu mengantisipasi tuntutan perubahan baik internal maupun eksternal, serta disusun berdasarkan fakta riil di lapangan.

Dalam hubungannya dengan suatu daerah sebagai area pembangunan sehingga terbentuk konsep perencanaan pembangunan daerah, keduanya menyatakan bahwa perencanaan pembangunan daerah adalah suatu konsep perencanaan pembangunan yang dimaksudkan untuk melakukan perubahan menuju arah perkem-bangan yang lebih baik bagi suatu komunitas masyarakat, pemerintah, dan lingkungannya dalam daerah tertentu dengan memanfaatkan atau mendayagunakan berbagai sumber daya yang ada, dan harus memiliki orientasi yang bersifat menyeluruh, lengkap tetapi berpegang pada asas prioritas.

Perencanaan pembangunan tidak mungkin hanya dilakukan di atas kertas tanpa melihat realitas di lapangan.Data valid di lapangan sebagai data primer merupakan ornamen-ornamen penting yang harus ada dan digunakan menjadi bahan dalam kegiatan perencanaan pembangunan. Dengan demikian perencanaan pembangunan dapat diartikan sebagai suatu proses perumusan alternatif-alternatif atau keputusan-keputusan yang didasarkan pada data-data dan fakta-fakta yang akan digunakan sebagai bahan untuk melaksana-kan suatu rangkaian kegiatan/aktivitas kemasya-rakatan baik yang bersifat fisik (mental spiritual) dalam rangka pencapaian tujuan yang lebih baik.

Perluasan otonomi daerah yang semakin dititikberatkan kepada kabupaten/kota akan membawa konsekuensi dan tantangan yang cukup berat bagi pengelola administrasi negara di daerah, baik dalam tahap perumusan kebijakan maupun implementasinya program-program pembangunan. Oleh karena itu model pembangunan daerah di masa kini dan masa depan perlu difokuskan kepada pengembangan masyarakat lokal. Model pem-bangunan itu dilakukan melalui perubahan paradigma pembangunan top down ke pem-bangunan partisipatif.

(10)

pem-bangunan daerah yang baik, tepat waktu, tepat sasaran, berdaya guna dan berhasil guna, dibutuhkan keterlibatan masyarakat dalam perencanaan pembangunan, karena masyarakat sebagai salah satu unsur dalam pembangunan, tentunya dapat mengetahui sekaligus memahami apa yang ada di wilayahnya, disamping itu dengan melibatkan masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan, pemerintah telah memberikan kepercayaan kepada masyarakatnya, sehingga mereka dapat merasa ikut bertanggung jawab dan merasa memiliki program-program pembangunan yang jelas akan sangat menguntungkan bagi pelaksanaannya.

D. Hasil Dan Analisis

1. Pemerintahan Kolaboratif di Indonesia dalam Perencanaan Pembangunan

Konsep pemerintahan kolaboratif merujuk pada keterlibatan pihak-pihak non pemerintah untuk turut serta dalam proses perumusan kebijakan, implementasi hingga evaluasi. Salah satu keterlibatan tersebut adalah keterlibatan masya-rakat dalam proses perencanaan pembangunan. Pada era otonomi daerah di Indonesia, peren-canaan pembangunan telah berubah paradigma dari yang dahulu top down menjadi bottom up, hal ini didorong oleh sebuah kesadaran kritis bahwa pembangunan yang efektif dan tepat sasaran hanya dapat dicapai jika berorientasi pada kebutuhan masyarakat, dan dengan asumsi bahwa yang paling tahu tentang kebutuhan masyarakat adalah masyarakat sendiri membuat partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan menjadi amat penting.

Secara normatif, proses perencanaan pem-bangunan daerah di Indonesia telah memberikan ruang bagi partisipasi masyarakat, hal tersebut diejawantahkan dalam sebuah mekanisme perencanaan melalui forum musyawarah rencana pembangunan atau yang lebih kita kenal dengan

satu saluran resmi aspirasi masyarakat menjadi sangat penting, namun demikian seringkali pelaksanaan musrenbang dalam proses peren-canaan pembangunan di daerah hanya menjadi sebuah kegiatan formalitas belaka, sehingga apapun aspirasi masyarakat yang disampaikan pada saat musrenbang tak berpengaruh terhadap perencanaan pembangunan yang nyatanya lebih banyak dibuat oleh elit-elit tertentu.

Hal ini tergambar dalam beberapa hasil penelitian terdahulu diantaranya adalah pertama, penelitian yang dilakukan oleh Wahyu Dyah Widowati tahun 2007 yang membahas tentang kajian partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan penganggaran pembangunan daerah di Kabupaten Pati, penelitian tersebut berkesimpulan bahwa kualitas partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan penganggaran di Kabupaten Pati hanya masuk dalam kategori sedang atau rata-rata, kemudian komitmen para pejabat untuk melaksa-nakan proses perencanaan dan penganggaran yang melibatkan masyarakat masih setengah hati.

Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Susanti pada tahun 2009, membahas tentang pengaruh partisipasi masyarakat terhadap proses musya-warah perencanaan pembangunan di kecamatan Kapuas Kabupaten Sanggau, kesimpulan pene-litian ini adalah partisipasi masyarakat khususnya partisipasi dari para peserta musyawarah perencanaan pembangunan di Kecamatan Kapuas termasuk dalam kategori kurang baik, serta proses musyawarah perencanaan pembangunan di Kecamatan Kapuas termasuk dalam kategori kurang baik.

(11)

Deviyanti pada tahun 2013, membahas tentang partisipasi masyarakat dalam pembangunan di Kelurahan Karang Jati Kecamatan Balikpapan Tengah, hasil penelitian ini adalah partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan di Kelurahan Karang Jati belumlah optimal karena belum sepenuhnya melibatkan masyarakat setempat di dalam perencanaan.

Empat hasil penelitian diatas merupakan sedikit gambaran bahwa partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan di daerah masih sangat rendah, hal tersebut menjadi cermin terhadap pelaksanaan pemerintahan kolaboratif di Indonesia pada era otonomi daerah.

Jika kita klasifikasikan pelaksanaan pemerin-tahan kolaboratif di Indonesia pada era otonomi daerah berdasarkan pada skala kolaborasi yang dibuat oleh John Wanna sebagaimana telah diuraikan diatas maka pelaksanaan pemerintahan kolaboratif di Indonesia masuk dalam skala menengah bawah, dengan indikator sudah ada upaya untuk melibatkan masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan, namun pelaksanaan-nya masih sangat rendah atau dapat kita katakana bahwa hanya sekedar “berkonsultasi” dengan masyarakat, perencanaan pembangunan daerah masih banyak dikuasai oleh elit-elit tertentu saja.

Salah satu aspek penting dalam proses perumusan kebijakan adalah partisipasi masya-rakat, tuntutan akan hak masyarakat untuk berpartisipasi lebih luas semakin menguat. Hal ini dilakukan karena semakin tingginya kesadaran masyarakat akan kebutuhan dan kepentingan terhadap permasalahan menyangkut kehidupan bermasyarakat maupun bernegara.

Pentingnya keterlibatan masyarakat di dalam penyusunan perencanaan pembangunan sangat ditekankan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pem-bangunan Nasional. Pendekatan partisipatif masyarakat terdapat pada 4 (empat) pasal Undang-Undang ini yaitu pada Pasal 2, Pasal 5, Pasal 6 dan Pasal 7. Sistem perencanaan yang diatur dalam UU 25/2004 dan aturan pelak-sanaannya menerapkan kombinasi pendekatan antara top-down ( atas-bawah) dan bottom-up (bawah-atas), yang lebih menekankan cara-cara

aspiratif dan partisipatif.

Perencanaan pembangunan yang ditujukan untuk kepentingan masyarakat tidak akan berhasil tanpa peran serta masyarakat didalam pembuatan perencanaan tersebut Menyadari akan pentingnya peran serta masyarakarakat, pemerintah mengha-ruskan didalam pembuatan perencanaan pem-bangunan baik pusat maupun daerah dilakukan musyawarah secara berjenjang dari tingkat bawah (bottom up). Proses tersebut diawali dengan Musrenbang desa, Musrenbang kecamatan, Musrenbang Kabupaten dan Musrenbang Provinsi hingga Musrenbang Nasional.

Didalam penentuan kebijakan pembangunan daerah, aspirasi masyarakat dapat dilakukan melalui tiga jalur yaitu :

1. Jalur Musrenbang dimana masyarakat dapat menayulurkan aspirasinya secara langsung sesuai dengan tingkatannnya.

2. Jalur Politik atau melalui partai politik yang dilakukan oleh anggota dewan dalam masa reses.

3. Jalur birokrasi yang dapat langsung disampai-kan melalui SKPD maupun kepala daerah.

Jalur musrenbang dapat dikatakan sebagai jalur utama didalam menyalurkan aspirasi dan peran serta masyarakat didalam penentuan perencanaan pembangunan. Melalui jalur inilah mayoritas aspirasi masyarakat disalurkan sebagai masukkan bagi proses perencanaan pembangunan selan-jutnya.

Walaupun dikatakan sebagai jalur utama aspirasi masyarakat, aspirasi yang disampaikan dijalur ini juga dapat dikatakan sebagai jalur yang paling lemah pada proses perumusan agenda dan usulan kegiatan. Masyarakat tidak banyak tahu seberapa besar peluang usulannya yang ditampung dan ditindaklanjuti dalam proses pembangunan atau seberapa besar persentase kegiatan-kegiatan yang tertuang didalam dokumen perencanaan yang berasal dari aspirasi musrenbang. Inilah problem utama partisipasi masyarakat yang dihadapi dalam proses kebijakan penentuan perencanaan pem-bangunan daerah di Indonesia.

(12)

digolongkan menjadi dua kelompok yaitu : 1. Internal, yang dimaksud adalah kondisi didalam

sistem birokrasi pemerintah.

2. Eksternal, yang dimaksud adalah kondisi diluar sistem birokrasi pemerintah yaitu masyarakat umum.

Faktor internal pemerintah yang menyebabkan partisipasi masyarakat belum efektif di dalam sistem perencanaan pembangunan yaitu :

Pertama, Sistem Perencanaan Pembangunan yang disusun dengan jadual yang ketat mengaki-batkan masyarakat tidak mempunyai cukup waktu untuk menyampaikan seluruh aspirasinya.Sebagai contoh musrenbang provinsi yang menghadirkan pemangku kepentingan yang berjumlah ratusan orang hanya dilaksanakan dalam satu hari.Kondisi tersebut tidak memberikan waktu yang cukup bagi masyarakat untuk menyampaikan seluruh aspi-rasinya.

Kedua, pola pikir aparat birokrasi yang masih beranggapan bahwa mereka yang paling tahu dan paling bisa membuat perencanaan pembangunan. Perubahan paradigma pembangunan dari top

down ke bottom up masih belum sepenuhnya

dapat diimplementasikan, masih terdapat anggapan birokrat bahwa mereka adalah pihak yang memahami perencanaan pembangunan, hal tersebut kemudian menyebabkan pelaksanaan perencanaan pembangunan dengan paradigma bottom up “setengah hati”.

Selanjutnya adalah masih terdapat aparatur pemerintah di tingkat yang paling bawah seperti desa/kelurahan bahkan kecamatan tidak mem-peroleh informasi yang cukup tentang program-program kabupaten/ kota. Ada dua kemungkinan penyebab hal tersebut terjadi yaitu karena mereka tidak memperoleh informasi yang cukup dari kabupaten /kota atau mereka sendiri tidak ingin tahu perencanaan pembangunan daerah yang tertuang didalam dokumen-dokumen perancanaan

pemerintah pusat (Top down) didalam menentukan kebijakan, program dan kegiatan didalam perencanaan pembangunan.Besarnya dominasi tersebut menyebabkan aspirasi-aspirasi masya-rakat (Bottom up) mentah pada tahapan penentuan agenda dan usulan kebjakan.

Keempat, terpisahnya jalur perencanaan kegiatan dan keuangan menyebabkan akses masyarakat untuk menentukan anggaran menjadi sangat terbatas.Masyarakat selama ini hanya mempunyai peran didalam perencanaan kegiatan melalui jalur musrenbang namun tidak mempunyai akses yang cukup dalam perencanaan keuangan melalui jalur KUA dan PPAS.

Kelima, belum ada sistem tentang pemantauan aspirasi masyarakat untuk sampai pada usulan rencana penganggaran.Selama ini tidak pernah ada prosentase yang jelas tentang jumlah program atau kegiatan yang berasal dari aspirasi masyarakat, program pemerintah maupun aspirasi melalui dewan.

Selain faktor internal, terdapat faktor eksternal yang turut menyebabkan lemahnya partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan daerah, yaitu :

Pertama, masih rendahnya kapasitas dan kapabilitas masyarakat untuk mengikuti proses perencanaan pembangunan daerah. Pada berbagai kesempatan musrenbang di berbagai tingkatan yang dilaksanakan,seringkali kita menemukan bahwa usulan-usalan mereka terlalu mikro dan lebih banyak pada pembangunan fisik saja misal dalam musrenbang tingkat kabupaten masyarakat masih mengusulkan perbaikan selokan desa, tembok makam rehab balai desa dan lain sebagainya.

(13)

partisipasi masyarakat, namun dalam realitasnya peran lembaga-lembaga tersebut belum berjalan secara efektif.

Proses perencanaannya secara normatif telah tersistem dengan suatu mekanisme yang meli-batkan partisipasi publik secara luas. Kebijakan perumusan anggaran dimulai dari usulan/aspirasi masyarakat yang dihimpun atau dirangkum dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Mus-renbang) diharapkan melahirkan kebijakan anggaran yang pro-rakyat.

Usulan tersebut disampaikan melalui perangkat pemerintah yang dihimpun dari masyarakat secara berjenjang mulai dari kelurahan, kecamatan, kabupaten kota sampai Provinsi. Forum Musren-bang ini biasanya dimulai dari Maret hingga April, mulai dari kabupaten- kota ke Provinsi dan Nasional. Masyarakat diundang untuk menghadiri forum Musrenbang dari berbagai kalangan dan kelompok, seperti akademisi (dosen/mahasiswa), LSM, organisasi kepemudaan, organisasi massa, paguyuban, forum RT/RW dan tokoh masyarakat. Forum Musrenbang merupakan wahana partisipasi publik secara nyata atas apa yang akan direncanakan pemerintah daerah atau kepala daerah dalam setiap tahun anggaran. Partisipasi publik dalam musrenbang diatur dalam UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang sistem perencanaan pembangunan nasional.Dalam perspektif peren-canaan pembangunan nasional, perenperen-canaan anggaran dalam APBD haruslah dilihat dalam satu kesatuan secara komprehensif dari mulai Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dengan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD). Dibutuhkan sinkronisasi antara RKPD dan Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (PPAS) dan antara KUA – PPAS dan RAPBD menjadi satu kesatuan atau kristalisasi dari seluruh RKA-SKPD.

Sistem perencanaan pembangunan nasional menegaskan kebijakan politik anggaran di daerah harus berada dalam bingkai negara kesatuan republik indonesia. Tujuannya adalah agar terjadi sinkronisasi dan harmonisasi pembangunan yang saling mendukung dari pusat hingga daerah otonom.Artinya, kebijakan politik anggaran daerah tidak boleh bertentangan atau bertabrakan dengan

kepentingan nasional. Dalam pembahasan selanjutnya akan dijelaskan faktanya partisipasi masyarakat dan pemerintah dalam agenda perencanaan pembangunan masih sangat lemah. Untuk lebih lanjut akan dibahas pada sub bab-sub bab berikut.

2. Partisipasi Masyarakat dan Pemerintah dalam Agenda Kebijakan Pembangunan Perbatasan Kepri

a. Partisipasi Kehadiran Kelompok Kepen-tingan, NGO, danLSM

Salah satu aspek penting dalam proses perumusan kebijakan adalah partisipasi masya-rakat, tuntutan akan hak masyarakat untuk berpartisipasi lebih luas semakin menguat. Hal ini dilakukan karena semakin tingginya kesadaran masyarakat akan kebutuhan dan kepentingan terhadap permasalahan menyangkut kehidupan bermasyarakat maupun bernegara.

Didalam kaitannya dengan proses bangunan nasional untuk perencanaan pem-bangunan yang dituangkan didalam tahapan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), Rencana kerja Pembangunan (RKP) dan APBN/D merupakan bagian dari sebuah kebijakan publik yang dikuatkan dengan Undang-Undang atau Perda. Produk-produk dokumen peren-canaan tersebut merupakan bagian dari kebijakan publik sebab implikasi dari produk-produk perencanaan tersebut adalah masyarakat karena pada hakekatnya pembangunan dilaksanakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hal tersebut sesuai dengan intisari dari kebijakan publik yang telah disebutkan diatas, bahwa Dokumen-dokumen perencanaan pembangunan menetapkan tindakan-tindakan pemerintah dimasa datang, mempunyai visi, misi dan tujuan yang jelas serta senantiasa ditujukan untuk kepentingan seluruh anggota masyarakat.

Kemudian melihat mirisnya partisipasi stake-holder dalam membangun daerah perbatasan, seperti pernyataan dari M.Iqbal Kasubag Umum dari BAPPEDA Provinsi Kepri :

(14)

sangat lemah sehingga kadang terjadi kesalahan sasaran dalam hal pembangunan, ditambah kurangnya koordinasi antar lembaga pemerintah dan antara pemerintah Desa, Kecamatan, Kabupaten/Kota dengan Provinsi. Ada 3 anggota DPR RI daerah pemilihan Kepri, tidak satupun yang hadir. Sedangkan anggota DPD RI, hanya Hari-pinto Tanuwijaya yang terlihat hadir, dan Ria Saptarika yang datang terlambat. Sementara dari 45 anggota DPRD Kepri, yang hadir sesuai absen, hanya 22 orang, 23 orang lainnya tidak hadir. Sedangkan dari 7Kepala daerah Kabupaten/Kota di Kepri hanya 5 kepala daerah yang hadir, sementara Bupati Natuna dan Anambas tidak tampak hadir.” ( 29 Mei 2015 di Kantor BAPPEDA Provinsi Kepri).

Bagaimana isu-isu terkait masalah perbatasan akan naik ke agenda pemerintahan kalau koordinsi internal pemerintah saja masih lemah ditambah dengan lemahnya partisipasi masyarakat akan hal tersebut.

Penulis menarik kesimpulan dari hasil wawan-cara dengan beberapa LSM, NGO serta akade-misi di Provinsi Kepri dalam perhatiannya terhadap pembangunan perbatasan juga masih sangat rendah, mereka mengatakan tidak ikut hadir dalam agenda-agenda kebijakan pemerintah karena sering tidak tahu dan mendadak dilaksakan. Seperti yang di Ungkapkan Fajjar Bayu Putra Pungkasan selaku Ketua NGO Komunitas Mahasiswa Perbatasan Kepri yang mengatakan : “Kami selalu antusias terhadap mem-bangun perbatasan, akan tetapi setiap agenda kebijakan pembangunan kami selalu terbentur dengan perkuliahan dan agenda kegiatan lain, undangan yang disampaikan juga sering terkesan mendadak sehingga kami sulit untuk mengatur waktu agar bisa ikut berpartisipasi”(01 April 2015 di Sekretariat KMP-Kepri)

(15)

Bukan hanya itu, selain partisipasi masyarakat yang rendah NGO, LSM dan Akademisi di Pro-vinsi Kepri juga tidak terlalu berperan aktif dalam partisipasi agenda kebijakan pembangunan perbatasan, seperti yang di ungkapkan Wahyu Dwi Hidayat selaku Sekretaris Umum NGO Komu-nitas Mahasiswa Perbatasan Kepri yang meng-atakan:

“Partisipasi NGO, LSM dan Akademisi memang sangat lemah dalam agenda kebijakan pemerintah dalam hal membangun daerah perbatasan, bukan itu saja masa-lahnya jumlah NGO dan LSM yang berge-rak dibidang perbatasan juga tidak terlalu banyak, sehingga nampak jelas perhatian untuk daerah perbatasan sangat rendah.”(01 April 2015 di Sekretariat KMP-Kepri)

Faktor eksternal yang turut menyebabkan lemahnya partisipasi masyarakat dalam peren-canaan pembangunan daerah, yaitu rendahnya kualitas dan kuantitas LSM, Civil Society dan lembaga non pemerintah lainnya. Peran sebagai fasilitator bagi masyarakat membuat posisi LSM, civil society dan lembaga non pemerintah menjadi instrumen penting dalam partisipasi masyarakat, namun dalam realitasnya peran lembaga-lembaga tersebut belum berjalan secara efektif.

b. Partisipasi Kehadiran Anggota DPRD Komisi Pembangunandalam Agenda Kebijakan Pembangunan Perbatasan Kepri.

Bukan hanya partisipasi dari kelompok kepentingan dan masyarakat, untuk DPRD Komisi III bagian Pembangunan juga sangat berperan penting. Dalam hal ini partisipasi anggota DPRD Komisi III bidang pembangunan sudah cukup baik, dalam agenda musrembang Provinsi kepri tahun 2015 dari 45 anggota DPRD Kepri, yang hadir sesuai absen, hanya 22 orang, 23 orang lainnya tidak hadir. Kinerja dan partisipasi anggota DPRD, baik itu dalam rapat kerja Komisi dan turun langsung ke masyarakat untuk melihat dan menyerap aspirasi masyarakat sangat berpengaruh. Hasil-hasil reses yang dilakukan oleh anggota DPRD yang dihimpun melalui konstituen yang

datang berkunjung langsung juga mengalami nasib tragis tidak terakomodasi dalam perencanaan pembangunan.Setiap kali hasil reses tidak terwujud atau tidak masuk dalam perencanaan anggaran, maka, konstituen atau warga mempertanyakan kredibilitas Dewan yang melakukan reses setiap empat bulan sekali.

Dalam prakteknya, sering kali aspirasi publik yang sudah dibuat sedemikian rupa hilang entah kemana.Meski proposal sudah dibuat sedemikian rupa warga harus mengurut dada karena usulannya tidak terakomodasi dalam anggaran. Salah satu faktornya adalah ketika kepala daerah mem-berikan kepercayaan kepada SKPD terkait, yaitu, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), dalam merencanakan anggaran, dokumen aspirasi publik tidak ter-collect dan terakomodasi dengan baik.

Pola seperti itu, sudah dapat dipastikan, perencanaan anggaran pembangunan tidak lagi mempertimbangkan aspek kebutuhan dan prioritas pembangunan yang akan dilakukan masing-masing SKPD, melainkan berdasarkan pola rutinitas dengan prinsip bagaimana menghabiskan anggaran dalam satu tahun dengan budget yang ada.

Pernyataan dari Tawarich,B.Sc selaku anggota Komisi III DPRD Provinsi Kepri yakni :

“Partisipasi kawan-kawan di komisi III saya rasa sudah cukup aktif dalam rapat kerja Komisi dan antar komisi.Begitu pula teman-teman dan saya sering mendiskusikan hasil reses dan kami sampaikan ke peme-rintah dalam menjalankan kebijakan-kebijakannya.Kami juga sering memanggil Kadis - Kadis di pemerintahan terkait masalah yang dihadapi masyarakat sesuai bidang mereka masing-masing. Hanya saja terkadang ada hal-hal lain yang harus kami prioritaskan.” (26 Mei 2015 di Kantor DPRD Provinsi Kepri)

Kemudian, Permasalahan dalam penanganan wilayah perbatasan ini juga berasal dari :

1. Persepsi tentang pembangunan perbatasan masih berbeda.

(16)

3. Koordinasi belum berjalan dengan baik, baik antara sektoral, tingkat pusat maupun antar pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. 4. Komitmen dan anggaran pembangunan

perba-tasan di daerah relatif masih minim.

Hal ini diungkapkan oleh Saproni ketua komisi III DPRD Provinsi Kepri bidang pembangunan. Beliau juga menegaskan bahwa :

“Pemerintah Provinsi Kepri sudah berupaya semaksimal mungkin dalam meningkatkan kualitas pembangunan wilayah perbatasan, fokus pembangunan yang dulunya ke arah pendekatan keamanan

(Scurity approach) tidak membuahkan

hasil, keamanan di laut juga di tunjang dengan pemahaman masyarakatnya sendiri, bukti-nya kepri mengalami kecolongan akibat masalah ilegal fishing diperkirakan meng-alami kerugian sekitar setara dengan jumlah 1 (satu) tahun APBD Kepri, sehingga seka-rang pemerintah lebih menekankan pem-bangunan perbatasan dengan pende-katan Kesejahteraan (Prosperity approach).” (16 Juni 2015 di Kantor DPRD Provinsi Kepri)

Dari hasil Keseluruhan Pembangunan dan Program yang mengarah ke perbatasan yang tertera pada APBD Provinsi Kepri T.A. 2015 diantaranya adalah sebagai berikut :

a) Dari 100 % alokasi dana untuk pendidikan hanya 17,5 % yang mengarah ke perbatasan dan 82,5 % tidak ke perbatasan.

b) Dari 100 % alokasi dana untuk Kesehatan hanya 9,5 % yang mengarah ke perbatasan dan 90,5 % tidak ke perbatasan.

c) Dari 100 % alokasi dana untuk Pembangunan Infrastruktur Jalan dan Fasilitas Umum Lainnya hanya 17,3 % yang mengarah ke perbatasan dan 82,7 % tidak ke perbatasan

d) Dari 100 % alokasi dana untuk Perhubungan

perhatian pemerintah terhadap pembangunan perbatasan di Provinsi Kepri.Pada masalah ini harusnya semua stakeholder berperan lebih dalam membangun kawasan perbatasan.

E. Kesimpulan

a. Partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan daerah di Indonesia masih rendah, hal ini disebabkan oleh faktor internal dan faktor eksternal.

b. Pelaksanaan Pemerintahan Kolaboratif di Indonesia pada era otonomi daerah masih belum maksimal dan hanya menempati posisi me-nengah bawah, hal ini merujuk pada hasil analisis tentang partisipasi masyarakat dalam peren-canaan pembangunan daerah dimana sudah ada sebuah forum yang diinisiasi oleh pemerintah dalam proses perencanaan pembangunan yaitu forum Musrenbang, namun forum itu masih sebatas digunakan untuk “berkonsultasi” dengan stakeholders lainnya.

(17)

Abe, Alexander. 2002. Perencanaan Daerah

Partisipatif. Solo : Pondok.

Adi, Isbandi Rukminto.2001.

Pemikiran-Pemikiran dalam Pembangunan Kesejahteraan Sosial.Jakarta:FE UI.

Ansell, Chris & Gash, Alison. 2007.

Collaborative Governance in Theory and Practice. Journal of Public Administration

Research and Theory

Badan Nasional Pengelola Perbatasan, Garand Dsign Pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan Tahun 2011-2015. Jakarta: BNPP RI, 2011, Seri BNPP 01S-)111).

Conyers, Diana. 1994. Perencanaan Social di

Dunia Ketiga. Yogyakarta: UGM Press

Cooper, L Terry. 2008. Collaborative Public

Governance: Implications For Civic Engagement

Deviyanti, Dea. 2013. Studi Tentang Partisipasi

Masyarakat dalam Pembangunan di Kelurahan Karang Jati Kecamatan Balikpapan Tengah. Jurnal Administrasi

Negara. Vol 1 hal 380-394

Dian, Sad U. 2003. Otonomi Daerah: Evaluasi

dan Proyeksi. Jakarta: Yayasan Harkat

Bangsa

Susanti. 2009. Pengaruh Partisipasi

Masyarakat Terhadap Proses Musya-warah Perencanaan Pembangunan di Kecamatan Kapuas Kabupaten Sang-gau. Jurnal Ilmu Administrasi Vol VI. No 3

Dunn, William N. 1999. Pengantar Analisis

Kebijakan Publik (edisi kedua).

Yogyakarta: UGM Press

Hasibuan, Malayu.1993. Manajemen Sumber

Daya Manusia.Jakarta:Bumi Aksara

Indrajat, Hilmawan dkk. 2012. Partisipasi

Mayarakat Dalam Proses Pembangunan di Kecamatan Kemiling. Lampung: Fisip

Unila

Juliantara, Dadang. 2002. Pembaruan Desa:

Bertumpu Pada Apa yang Terbawa.

Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama John Wanna,2009. Policy in Action. Sydney:

UNSW Press

Lubis Asri. 2009. Upaya Meningkatkan

Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan. Jurnal Tabularasa PPS

Unimed Vol 6 No 2

Mubyarto. 1984. Strategi Pembangunan

Perdesaan.Yogyakarta:P3PK UGM

Muslim, Aziz. 2003. Konsep Dasar Dan

Pendekatan Pengembangan Masyara-kat. Yogyakarta: Jurnal PMI. Vol 1 No. 1

——. 2007. Pendekatan Partisipatif Dalam

pemberdayaan Masyarakat. Jurnal

Aplikasi Ilmu-Ilmu Agama Vol VIII, No 2 Rihandoyo. 2010. Aktualisasi Peran Serta

Masyarakat Dalam Perencanaan Pembangunan Daerah. Semarang: Undip

Riyadi dan Bratakusumah, Deddy. 2004.

Perencanaan Pembangunan Daerah: Strategi Menggali Potensi dan Mewujudkan Otonomi Daerah. Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama

Siagian, Sondang.1989. Administrasi

Pem-bangunan, Konsep, dan Strateginya.

Jakarta: Bumi Aksara

Teguh, Ambar S. 2004. Kemitraan Dan

Model-Model Pemberdayaan. Yogyakarta: Gava

Media

Tjokromidjojo, Bintoro. 1995. Pengantar

Administrasi Pembangunan. Jakarta :

LP3ES

Undang-Undang No 24 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional Undang-Undang No 32 Tahun 2004 Tentang

Gambar

Tabel 1 :Skala Kolaborasi
Gambar 3 : Persentase partisipasi masyarakat dan stakeholder lain dalam perencanaanPembanguan.

Referensi

Dokumen terkait

Hwang and Lee, (2010) dalam penelitiannya tentang prediksi kekasaran permukaan dan gaya pemotongan menggunakan proses bubut MQL dan dengan pelumasan pada material

Obwohl die KIDRON Vermögens- verwaltung GmbH der Auffassung ist, dass die Angaben auf ver lässlichen Quellen beruhen, kann sie für die Qualität, Richtigkeit, Aktualität oder

Hasil uji ANOVA total fenol ekstrak buah takokak berbeda nyata (p<0.05) pada taraf signifikansi 5% terhadap jenis pelarutnya, namun untuk perlakuan buah dan

Diceritakan oleh Sulaiman bin Daud Almahriy dari Ibnu Wahab dari Said bin Abi Ayyub dari Abu Abdillah al-Qurasyi dari Abu Burdah bin Abi Musa al-Asy’ari dari ayahnya dari

BMT telah menerapkan konsep ketentuan Fatwa DSN-MUI pada poin (b). Kesesuaian itu dapat dilihat dari ketentuan mitra tidak diperkenankan menunda-nunda pembayaran

Ayat tersebut dapat menjadi landasan hukum jual beli online dalam Islam. Selain itu, jual beli yang tidak tunai heknaknya segera ditulis agar.. terhindar dari kesalahpahaman

Tindakan perbaikan yang dilakukan pada siklus II adalah (1) memberikan penekanan bahwa dalam melakukan pemecahan masalah terhadap tugas kelompok, tes awal, dan tes

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi mengenai persepsi terhadap keterlibatan ayah dalam pengasuhan dengan intensi perilaku seksual pranikah pada