• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Calling Orientation Terhadap Well-Being pada Pemimpin Kegiatan Pelayanan Rohani Kristen di Universitas Sumatera Utara (USU)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Calling Orientation Terhadap Well-Being pada Pemimpin Kegiatan Pelayanan Rohani Kristen di Universitas Sumatera Utara (USU)"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ryff (1989) mengatakan bahwa orang yang memiliki tingkat well-being yang tinggi cenderung akan bisa berfungsi lebih optimal, dapat menjalin

hubungan yang positif dengan orang lain, mandiri, mampu beradaptasi dengan lingkungannya, serta memiliki tujuan hidup. Penelitian menunjukkan bahwa well-being berkorelasi secara signifikan dengan aktivitas religius seperti

pelayanan rohani (Ellison, dalam Eddington & Shuman, 2006), peningkatan hubungan individu dengan Tuhan (Pollner, 1989), hubungannya dengan pengalaman doa (Poloma & Pendleton, dalam Eddington & Shuman, 2006), dan keikutsertaan dalam kegiataan keagamaan (Ellison, Gray, & Glass, dalam Eddington & Shuman, 2006).

Waterman (1993) membagi well-being menjadi dua, yaitu eudaimonic well-being dan hedonic well-being. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan

(2)

Salah satu hal yang mempengaruhi well-being adalah agama (religiusitas). Diener (2008) mengatakan bahwa secara umum, orang yang memiliki religiusitas yang tinggi cenderung memiliki tingkat kesejahteraan mental (well-being) yang tinggi. Hal ini sejalan dengan yang disampaikan oleh

Chamberlain & Zika (1992), Hill & Pargament (2003), serta Ivtzan, Chan, Gardner, & Prashar (2009) yaitu semakin tinggi religiusitas seseorang, maka well-being-nya juga akan semakin tinggi.

Agama merupakan sejumlah aktivitas yang menjadi gaya hidup seseorang, yaitu tujuan, hasrat, gairah, dan komitmen yang dimilikinya. (Dykstra, dalam Nelson, 2009). Ninian Smart (dalam Nelson, 2009) juga mengidentifikasi agama sebagai suatu aktivitas yang terdiri dari beberapa dimensi, dan salah satu diantaranya adalah ritual seperti berdoa, penyembahan, dan meditasi. Glock dan Stark (dalam Nelson, 2009) juga memandang bahwa terdapat dimensi ritual dalam agama bersama dengan 3 dimensi lainnya yaitu pengalaman, intelektual, dan konsekuensi.

Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik Indonesia, terdapat sekitar 92% penduduk Indonesia adalah orang yang menganut kepercayaan terhadap agama dan kepercayaan tertentu. Secara khusus, pada agama Kristen, ada juga yang menjadi kewajiban bagi tiap pemeluknya, yaitu melayani. Kongres Internasional Penginjilan Sedunia (The Lausanne Covenant) tahun 1974, juga menekankan hal ini seperti yang tertulis dalam isi deklarasi pengakuan iman poin pertama (the purpose of God), “We affirm our belief in the one eternal God, Creator, and Lord of the world, Father, Son,

(3)

(dalam Our Heritage, 2006). Hal ini berarti semua hal yang dilakukan oleh Pemeluk Agama Kristen adalah melayani dengan cara melakukan perintah Tuhan.

Penelitian ini berfokus pada pelayanan rohani agama Kristen yang dilakukan di kampus, karena kampus merupakan tempat yang paling strategis untuk melayani mahasiswa dengan cara dibina secara mental dan karakter untuk dipersiapkan menjadi pemimpin bangsa (Chua Wee Hian, dalam Our Heritage, 2006). Selain itu, Tadius Gunadi dalam Kamp Regional Sumatera Bagian Utara ke-8 (KMRSU VIII) mengatakan bahwa mahasiswa adalah calon pemimpin masyarakat, gereja, universitas/bangsa, negara, dan dunia yang nantinya akan mempengaruhi ‗kehidupan‘ atau ‗nasib‘ orang banyak.

Pelayanan mahasiswa berfungsi untuk mempersiapkan para mahasiswa agar menjadi orang yang profesional dan berintegritas tinggi, tidak korup, materialistik, atau hedonis.

Salah satu kampus yang memiliki Pelayanan Mahasiswa adalah Universitas Sumatera Utara. Kegiatan pelayanan rohani yang dilakukan di Universitas Sumatera Utara diwadahi oleh Unit Kegiatan Mahasiswa Kebaktian Mahasiswa Kristen Universitas Sumatera Utara (UKM KMK USU). Bentuk-bentuk kegiatan yang dilakukan dalam Pelayanan UKM KMK USU adalah dalam bentuk Kelompok Besar (seperti Ibadah Kebaktian dan Jam Doa) dan Kelompok Kecil.

(4)

(Simanjuntak, R. dkk, 2013). Pengertian ini sejalan dengan yang dinyatakan Forsyth (dalam Aamodt, 2007), menyebut kelompok yang berjumlah 2 orang dengan dyad, 3 orang sebagai triad, dan 4-20 orang sebagai kelompok kecil. Kelompok Kecil dipandang sebagai wadah yang paling efektif untuk mempersiapkan mahasiswa menjadi seseorang yang bermoral baik dan berwawasan luas, sehingga Kelompok Kecil disebut juga sebagai ujung tombak pelayanan mahasiswa.

Kelompok Kecil terdiri dari satu orang Pemimpin Kelompok Kecil (PKK) dan beberapa orang Anggota Kelompok Kecil (AKK). PKK mengambil peranan yang sangat sentral dalam Kelompok Kecil, karena PKK bertugas untuk mengarahkan dan membina Anggota Kelompok Kecil sesuai standar dan parameter yang ditetapkan pada masing-masing tingkatan. Idealnya, kepemimpinan yang dimiliki oleh seorang PKK adalah kepemimpinan yang melayani (servant leadership). Gosling, Marturano, & Dennison (2003) mengatakan bahwa servant leadership (pemimpin pelayan) adalah kepemimpinan yang menekankan pada tugas atau peran pemimpin untuk melayani pengikutnya—kepemimpinan dipandang sebagai keinginan untuk melayani, bukan keinginan untuk mengepalai. Greenleaf (dalam Gosling, Marturano, & Dennison, 2003) mendeskripsikannya sebagai kepemimpinan yang mendahulukan kepentingan orang lain terlebih dahulu.

(5)

atau menolak tawaran tersebut. Berdasarkan observasi dan wawancara yang didapatkan oleh penulis dari lapangan, biasanya seorang AKK akan mengevaluasi kemampuan dirinya terlebih dahulu, dan saat merasa tidak sanggup maka ia akan menolak tawaran tersebut, demikian sebaliknya. Idealnya AKK yang menerima tugas tersebut adalah karena kesadaran bahwa tugas tersebut merupakan suatu bentuk pelayanan (ibadah).

Adapun standar yang ditetapkan oleh UKM KMK USU pada periode 2014 adalah PKK dan AKK yang berkualitas dilihat dari pengerjaan ritual religius, kontinuitas pertemuan dalam kelompok kecil minimal yang harus terpenuhi, terlebih bagi PKK harus bisa menjadi teladan hidup, dan melakukan pendampingan terhadap AKK. Selain dari standar yang ditetapkan oleh UKM KMK USU, seorang PKK harus memiliki kualitas pribadi yang membuatnya

mampu melakukan perannya. Whallon (dalam ―Our Heritage”, 2006)

mengatakan bahwa seorang pemimpin haruslah memiliki kualitas tinggi, artinya ia adalah pemimpin yang mengetahui bagaimana memperlengkapi, memampukan, dan memperkuat orang yang dipimpinnya. Adapun karakteristik seorang pemimpin rohani yang baik menurut Tuckey (dalam “Our Heritage”, 2006) adalah pemimpin yang visioner, inisiator,

bersemangat, rendah hati, setia, memiliki peran kepemimpinan, membangun ikatan kepercayaan, serta kerja sama dan karunia.

Berkaitan dengan tanggung jawab yang harus dikerjakan oleh PKK terhadap organisasi, PKK bisa dikatakan sebagai ‗pekerja‘ dalam organisasi

(6)

pekerjaan (job orientation), pekerja yang berorientasi terhadap karir (carrer orientation), dan pekerja yang berorientasi terhadap panggilan jiwa (calling

orientation). Pekerja dengan job orientation tujuan utamanya dalam bekerja

adalah untuk memperoleh keuntungan dan uang, sedangkan individu dengan carrer orientation akan lebih tertarik pada peningkatan karir, promosi, dan

status. Pekerja yang motivasinya calling orientation berbeda dengan pekerja dengan dua orientasi lainnya. Mereka akan terlibat dalam “job crafting” yaitu pekerja yang menjadi ‗arsitek‘ pekerjaannya, melakukan tugas tambahan,

membantu rekan kerja yang lain, dan berinisiatif melakukan pekerjaan secara lebih efisien (Wrzeniewski dalam Diener, 2008).

PKK merupakan pekerjaan yang dilakukan secara sukarela tanpa mendapatkan uang ataupun adanya peningkatan karir, sehingga dapat dapat dikategorikan sebagai calling orientation. Hal ini juga didukung oleh Weber (dalam Wrzesniwsky, 2007) yang mengatakan bahwa kata ―calling‖ dalam pekerjaan pada dasarnya digunakan dalam konteks religius, di mana orang menyadari bahwa mereka ―dipanggil‖ oleh Tuhan untuk melakukan pekerjaan

yang berpengaruh secara signifikan terhadap moral dan sosial. Calling dalam pekerjaan bukan merupakan sesuatu yang bersifat benar-salah, atau punya dan tidak punya calling, namun merupakan sesuatu yang kontinum, artinya ada orang yang memiliki tingkat calling yang lebih tinggi atau lebih rendah dari orang lain (Dobrow, 2010).

(7)

mengaktualisasikan dirinya melalui aktivitas yang dilakukannya sehingga seharusnya seorang PKK memiliki eudaimonic well-being yang tinggi. Saat seseorang merasa mampu merealisasikan potensi dirinya sewaktu melakukan suatu aktivitas, maka ia juga akan menikmati aktivitas yang dilakukannya tersebut, sehingga hal tersebut juga akan mempengaruhi hedonic well-being-nya. Hal ini berarti, saat seseorang memiliki eudaimonic well-being yang tinggi, maka hedonic well-being-nya juga akan tinggi. Secara teoritis, tidak ada orang yang memiliki eudaimonic well-being tinggi namun memiliki hedonic-well being yang rendah (Waterman, 1993). Hal ini juga didukung oleh Diener (2008) yang mengatakan bahwa pekerja yang memiliki tingkat calling yang tinggi cenderung memiliki well-being tinggi (Diener, 2008). Penelitian yang mengatakan bahwa orang yang bekerja karena calling memiliki well-being yang lebih tinggi juga didukung oleh Moen, Dempster-McClain, & Williams (1989, 1992); Young & Gaslow (1998), serta House, Landis, & Umberson (1998) yang melakukan penelitiannya pada pekerja relawan yang bekerja tanpa upah (dalam Thoits & Hewittt, 2001).

(8)

―Aduh dek, aku ini orangnya minder kali. Malu kali rasanya harus

memimpin orang itu. Aku ini apalah, gak tau ngapa-ngapain”

(Komunikasi Personal, Oktober 2013)

Pernyataan tersebut juga dipertegas oleh F, dalam komunikasi personal:

Gimana ya, kalau masalah mendekati adik-adik baru aku

orangnya apa kali, apa ya, gak percaya diri. Gugupan kali, gitulah. T’rus aku juga merasa gak pantas jadi seorang PKK, karna

menurutku masih banyak mahasiswa yang pantas jadi teladan...”

(Komunikasi Personal, Desember 2014)

Selain itu, ada juga perasaan takut karena ketidakmampuan memanajemen waktu dengan baik. Hal ini terungkap pada saat wawancara:

―Susah kali aku manajemen waktu kak, udah gitu aku juga bukan

orang yang pintar-pintar kali, jadi takut keteteran studiku. Nanti diliat adek-adekku kekmana.

(Komunikasi Personal, Oktober 2014)

(9)

memimpin dan mengerjakan perannya. Akan tetapi, saat kondisi seorang PKK sedang tidak baik, maka ia cenderung merasa hampa, suka marah-marah, malas memimpin, dan merasa apa yang dikatakannya kepada orang-orang yang dipimpinnya tidak berdampak dalam membawa mereka lebih mengenal Tuhan.

Melihat adanya hubungan tingkat calling seseorang terhadap well-being-nya, penulis tertarik untuk melihat bagaimana pengaruh antara tingkat

calling orientation PKK di USU terhadap well being, baik eudaimonic

well-being maupun hedonic well-well-being yang dimilikinya.

B. Rumusan Masalah

Masalah dalam penelitian ini dirumuskan dengan pertanyaan penelitian

a. Apakah terdapat pengaruh calling orientation PKK di USU terhadap eudaimonic well-being-nya?‖

b. Apakah terdapat pengaruh calling orientation PKK di UKM KMK USU terhadap hedonic well-being-nya?

C. Tujuan Penelitian

(10)

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan dua manfaat, yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis.

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam pengembangan ilmu psikologi, terutama Psikologi Klinis, Psikologi Kesehatan Mental, khususnya mengenai well-being.

2. Manfaat Praktis

a) Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat terutama kepada para pekerja untuk mengetahui pengaruh antara tingkat calling orientation dengan pekerjaan mereka terhadap well-being-nya.

b) Bagi PKK di UKM KMK USU, agar mereka dapat mengetahui gambaran well-being yang dimilikinya dan mengetahui cara agar lebih menikmati perannya sebagai seorang PKK.

(11)

E. Sistematika Penulisan

Bab I : Pendahuluan

Bab ini berisi penjelasan mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.

Bab II : Landasan Teori

Bab ini berisi teori mengenai calling orientation dalam bekerja, komponen dalam pekerja yang memiliki calling orientation, teori mengenai subjective well-being, aspek-aspek dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, definisi PKK, peranan seorang PKK, serta rumusan hipotesa.

Bab III: Metode Penelitian

Bab ini terdiri atas identifikasi variabel penelitian, defenisi operasional penelitian, sampling dan populasi, dan metode analisis data.

Bab IV: Analisa Data dan Pembahasan

Bab ini terdiri atas gambaran subjek penelitian, hasil penelitian, uji hipotesis, kategorisasi skor penelitian, hasil tambahan, dan pembahasan.

Bab V: Kesimpulan dan Saran

Referensi

Dokumen terkait

Teori orbital molekul didasarkan asumsi bahwa pada pembentukan senyawa kompleks terjadi interaksi kombinasi linear antara orbital-orbital dari atom pusat dengan

Berdasarkan hasil dari data yang telah didapatkan pada hipotesis tentang adanya pengaruh penggunaan umpan alami dan umpan buatan menunjukkan bahwa hasil dari nilai sig yang

Internet Connection Sharing merupakan sebuah fasilitas yang diberikan oleh Microsoft Windows yang berfungsi untuk menyediakan jaringan komputer dengan kemampuan untuk

[r]

Dalam kondisi dimana Opto Coupler menerima lebih banyak sinar yang masuk maka resistansinya akan semakin berkurang, hal ini tentu saja mempengaruhi masukan ke gerbang NAND yang

[r]

Tampilan seperti ini dapat memudahkan pada saat proses pelayanan antrean kapan waktu untuk maju keruang pintu loket dan kapan waktu untuk berhenti dan disamping itu juga

[r]